Anda di halaman 1dari 8

STUDI PERBANDINGAN (COMPARATIVE) PADA PROSES IMPLEMENTASI DAN

PENGELOLAAN OTONOMI KHUSUS PROVINSI ACEH DAN PAPUA


Anang Fajrul Ukhwaluddin
1806279821

Mata Kuliah Politik Indonesia


Pascasarjana Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang beranekaragam, negara dengan beragam suku, ras,
budaya dan agama bagi masyarakatnya, dan negara dengan beragam masalah dan kekhasan bagi
daerah-daerahnya. Keanekaragaman tersebut harus mampu direspon dan dikelola oleh pemerintah
Indonesia agar tujuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terwujud secara maksimal
sesuai dengan amanat konstitusi. Respon pemerintah untuk menyikapi keanekaragaman tersebut
terimplementasikan dalam banyak hal, diantaranya dengan kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi.
Dalam Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah bab 1 pasal 1
ayat 6 diuraikan bahwa.
“Otonomi adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”1
Sedangkan pada ayat 8 dijelaskan makna terkait desentralisasi
“Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah
Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonom”2
Berdasarkan kedua uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa daerah-daerah
yang ada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan daerah otonom, daerah yang
mempunyai hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai
dengan masalah dan kekhasan yang terdapat pada masing-masing daerah, dengan berbekal dari
penyerahan urusan pemerintahan dari pusat kepada daerah.
Pada perkembangan dan dinamikanya, desentralisasi yang diberikan oleh pemerintah pusat
kepada daerah tidak sama rata. Tetapi, terdapat perbedaan pada daerah-daerah yang memiliki
kekhususan baik dari segi historis dan kultural, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dari
segi kekhususan karena sebagai Ibu Kota Negara, seperti Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI
Jakarta), atau dari segi budaya, adat, kondisi sosial-politik masyarakat, dan keagamananya, seperti

1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah BAB 1 ayat 1 pasal 6
2
Ibid, ayat 1 pasal 8
halnya Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, Papua dan Papua Barat.3 Pemberian otonomi khusus
bagi daerah-daerah tersebut di atas sering kali disebut dengan desentralisasi asimetris. 4
Pada paper ini penulis ingin membandingkan proses implementasi dan pengelolaan
desentralisasi asimetris atau otonomi khusus pada daerah paling barat di Indonesia yakni Aceh
dengan daerah paling timur di Indonesia yakni Papua, karena dua daerah tersebut tidak hanya letak
geografisnya dipaling ujung Indonesia, tetapi dua daerah tersebut memiliki sejarah pergolakan
dinamika sosial-politik kedaerahan yang sangat dinamis, sehingga hal tersebut menjadi salah satu
faktor pemerintah Indonesia memutuskan menjadikan tiga Provinsi tersebut sebagai provinsi yang
memiliki otonomi khusus.
Pembahasan yang akan diuraikan oleh penulis pada paper ini akan membandingkan
substansi otonomi khusus antara provinsi Aceh dan provinsi Papua dengan Prespektif politik dan
dianalisis dengan pendekatan yang ada di dalam ilmu politik, yakni pendekatan institusional dan
pendekatan behavioral.
Pendekatan institusional atau biasa disebut dengan pendekatan tradisional, memiliki fokus
pada pembahasan dan atau perbandingan pada aturan-aturan legal, kedudukan formal-yuridis, dan
lembaga-lembaga formal yang ada, sedangkan pada pendekatan behavioral penakanan pada proses
dan perilaku aktor politik, organisasi kemasyarakatan, kelompok kepentingan, dan society.5 Dua
pendekatan tersebut di atas setidaknya yang akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam proses
perbandingan otonomi khusus di Provinsi Aceh dan Papua.

PEMBAHASAN
Pemberian otonomi khusus atau desentraliasasi asimetris pada Provinsi Aceh dan Provinsi
Papua tidak bisa dilepaskan dari sejarah pergolakan kedua provinsi tersebut pada awal-awal
kemerdekaan hingga hari ini. Pergolakan yang memunculkan ancaman serius terhadap integrasi
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pergolakan yang terjadi di Provinsi Aceh merupakan suatu bentuk protes masyarakat Aceh
terhadap pemerintah Indonesia akibat dari proses sentralistiknya kekuasaan pada saat itu, juga
akibat dari adanya kesenjangan sosial-politik-ekonomi yang terjadi antara masyarakat asli Aceh
dengan masyarakat pendatang, khususnya masyarakat yang berasal dari Jawa, karena pada saat itu
masyarakat asli Jawa lebih banyak berkesempatan bekerja dan ikut serta melakukan
pengembangan di kawasan industri minyak dan gas di Aceh Utara pada 1970-an.6 Di sisi lain
kondisi sosial-budaya masyarakat Aceh juga ikut serta mempengaruhi pergolakan dinamika yang
terjadi di Aceh, ini dibuktikan dengan semangat kesukuan yang sering mengalahkan posisi negara
pada saat itu, ini dibuktikan pada pemberontakan DI/TII dan militansi GAM dalam melawan
3
Romli, Lili, Kebijakan dan Implementasi Otonomi Khusus di Papua dan Aceh, Jakarta, Yogyakarta; P3DI Setjen
DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, 2012, Hal. Vii.
4
Ibid, Hal. iii
5
Budiharjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, Hal. 72
6
Mastuti, Sri, Tesis: Konflik Vertikal di Aceh: Studi Kasus Gerakan Aceh Merdeka (1976-1982), Depok;
Perpustakaan Universitas Indonesia, 2001, Hal. 4
negara.7 Pada literature lain dijelaksan pula, bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
semangat dan eksistensi gerakan GAM pada saat itu dibangun atas hubungan kekerabatan dan
bangunan sentimen primodialisme di tengah-tengah masayakat Aceh.8 Contoh kasus di atas
membuktikan bagaimana semangat kesukuan atau sosio-kultural yang terjadi di Aceh pada saat
itu, apalagi dengan pendekatan militer dan keamanan sangat brutal yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia.9 Bangunan-bangunan tersebut yang akhirnya menjadi energi bagi GAM
untuk terus tumbuh dan berjuang di tengah-tengah masyarakat melawan pemerintah Indonesia
hingga disepakatinya perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Aceh
yang dikenal dengan perjanjian Helsinki.
Sedang pergolakan yang terjadi di Provinsi Papua hingga hari ini terjadi akibat dari proses
bergabungnya Provinsi Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
dianggap sebagian kelompok masyarakat Papua tidak demokratis.10 Proses yang dikenal dengan
sebutan pepera (penentuan pendapat rakyat) tersebut dianggap tidak representative untuk mewakili
seluruh suara masyarakat Papua dan terlalu banyak campur tangan dari pemerintah Indonesia pada
saat itu.11 Dalam menyikapi pergolakan yang terjadi di Papua pendekatan yang digunakan oleh
pemerintah Indonesia hingga saat ini masih sama yakni dengan melakukan pendekatan militer dan
keamanan, meskipun intensitas dari masa ke masa mengalami perubahan, tetapi pemerintah
memandang pendekatan tersebut sebagai pendekatan yang terbaik untuk memelihara stabilitas
sosial-politik di tanah Papua. Dan pendekatan tersebut juga yang akhirnya bagi sebagian kelompok
masyarakat Papua menjadi trigger untuk terus melawan pemerintah Indonesia yang mereka
anggap represif.
Dua pergolakan yang terjadi di Provinsi Aceh dan Provinsi Papua seperti yang dijelaskan
singkat di atas, menjadikan pemerintahan Indonesia perlu untuk melakukan kompromi politik agar
pergolakan tersebut tidak terjadi secara terus menerus, apalagi pergolakan tersebut berpotensi kuat
untuk mengancam integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia pada
akhirnya menyepakti kompromi politik dengan memberikan otonomi khusus kepada kedua
Provinsi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh,
yang pasca perjanjian Helsinki dirubah atau diperjelas dengan memasukkan poin-poin kesepakatan
perjanjian tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Sedangkan untuk Provinsi Papua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Aceh, yang kemudian pada 2018 dirubah dan ditambah dengan memasukan Papua Barat
menjadi Provinsi tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 dan tanpa merubah isi
substansi undang-undang sebelumnya.

7
Ibid, Hal. 2
8
Nurhasim, Moch, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka; kajian tentang konsensus normative
antara RI-GAM dalam perundingan Helsinki, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008, Hal. 11
9
Timmer, Jaap, Desentralisasi salah kaprah dan Politik Elite di Papua, dalam Nordholt, Henk S dan Klinken, Van
G, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta; KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014, Hal. 305
10
Katharina, Riris, Implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua, dalam Romli, Lili, Kebijakan dan
Implementasi Otonomi Khusus di Papua dan Aceh, Jakarta, Yogyakarta; P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan
Azza Grafika, 2012, Hal.5
11
Widjojo, Muridan S dan Budiharti, Aisah P, Artikel Jurnal, UU Otonomi khusus Papua: masalah kemauan dan
legitimasi politik,
Lantas sampai hari ini sejauh mana proses implementasi dan pengelolaan otonomi khusus
Provinsi Aceh dan Papua dilihat dari prespektif politik dengan pendekatan-pendekatan yang telah
disebutkan dipendahuluan, mengingat banyak yang hanya melihat otonomi khusus dari sudut
pandang ekonomi terkait dengan dana otonomi khusus yang diperoleh masing-masing Provinsi.
Tabel 1
Perbandingan Kewenangan Lembaga Formal, Lembaga Politik dan Obyek Lain yang terkait
dengan pengimplementasian Undang-Undang Otonomi Khusus
No Bidang Aceh Papua Keterangan
1 Legislatif Aceh mempunyai DPRA yang Papua mempunyai Anggota DPRP
berwenang sebagai lembaga DPRP yang dan DPRA
legislatif di tingkat provinsi berwenang sebagai mempunyai
dengan jumlah 125% dari yang lembaga legislatif jumlah lebih
ditetapkan undang-undang ditingkat Provinsi banyak
dengan jumlah satu dibanding
seperempat kali dari dengan daerah
jumlah Anggota lain berdasarkan
DPRD Papua sesuai undang-undang,
dengan undang- anggota DPR
undang Aceh tidak hanya
berasal dari
partai politik
nasional tetapi
juga ada dari
partai politik
lokal Aceh
2 Eksekutif Gubernur Aceh tidak harus orang Gubernur dan wakil Ini merupakan
asli gubernur Papua salah satu isu
harus orang asli sensitif yang
dulunya
berkembang di
dua provinsi
tersebut, isu-isu
primordialisme
dalam
prakteknya
hanya Papua
yang
mewajibkan
calon Gubernur
masyarakat asli
3 Lembaga Wali Nanggro merupakan MRP beranggotakan Lembaga adat
Adat kepemimpinan adat yang ada di orang Papua asli yang ada di
Papua bersifat independen dan terdiri wakil adat, Papua dan Aceh
bukan merupakan lembaga wakil agama yang memiliki
politik berwenang membina dan berwenang wewenang yang
mengawasi lembaga adat, memberikan berbeda di Aceh
kehiudpan sosial dan berhak pertimbangan bersifat
memberikan gelar adat kepada kepada Gubernur independen dan
perorangan atau individu dan DPRP sekaligus tidak terkait
sedangkan untuk lembaga adat memiliki wewenang dengan politik
lebih pada pembinaan keamanan, menyetujui perdasus berbeda dengan
ketentraman dan ketertiban sosial MRP yang
dan menjadi penyelesaian memiliki
konflik sosial secara adat di Aceh wewenangan
terdapat pula MPU sebagai mitra politik bahkan
Gubernur dan DPRA yang haknya sama
berwenang memberikan fatwa kurang lebih
terkait dengan jalannya roda sama dengan
pemerintahan di Aceh DPRP
4 Partai Partai politik lokal sudah ada dan Partai lokal Papua Persoalan yang
Politik sudah ikut dalam setiap sampai saat ini terjadi di Papua
lokal kontestasi yang ada sampai 2019 belum ada hal ini terkait partai
terdapat 4 partai lokal Aceh karenakan faktor uu Aceh lebih pada
yang kurang tegas undang-undang
terkait yang tidak
mengksplisitkan
apa yang
dimaksud hal ini
berbanding
terbalik dengan
yang ada di
UUPA
5 Aturan Qonun merupakan aturan yang Perdasus dan perdasi Antara Papua
Daerah dibahas dan disetujui bersama yang merupakan dan Aceh
antara Gubernur dan DPRA lalu sama-sama produk memiliki produk
disahkan oleh Gubernur legislatif dan hokum yang
eksekutif tetapi berbeda, Aceh
perdasus harus cukup dengan
mendapatkan Qonunya
persetujuan dan sedangkan Papua
MRP terdapat dua
yakni perdasus
dan perdasi
6 Peradilan Mahkamah Syari’ah berwenang Peradilan adat Mahkamah atau
seperti lembaga peradilan pada berada pada peradilan yang
umumnya tetapi dengan lingkungan ada dan terdapat di Aceh
menggunakan pendekatan nilai- menggunakan nilai- dan di Papua
nilai agama islam dan nilai adat yang telah disesuaikan
menanggani khusus masalah disepakati engan kondisi
umat islam mempunyai sosial-budaya di
kewenangan masing-masing
memeriksa danProvinsi Aceh
mengadili sengketa dengan nilai-
perdata adat dan nilai islamnya
perkaran pidana dan Papua
dengan nilai-
nilai adatnya
7 Lembaga Pengadilan Hak Asasi Manusia Perwakilan Komisi Isu HAm
HAM dan Komisi Kebenaran dan Hak Asasi Manusia, merupakan salah
Rekonsiliasi berwenang Pengadilan Hak satu isu yang
melakukan investigasi terkait Asasi Manusia, dan sensitif di
bentuk pelanggaran HAM pasca Komisi Kebenaran masing-masing
aturan ini diundangkan dan Rekonsiliasi Provinsi tersebut
berwenang tetapi lembaga-
melakukan lembaga HAM
klarifikasi sejarah yang ada baik di
Papua dan Indonesia
menetapkan maupun daerah
langkah-langkah belum mampu
rekonsiliasi menyelesaikan
permasalahan-
permasalahan
HAM, di Papua
sampai hari
klarifikasi
sejarah dan
penetapan
langkah-langkah
belum terwujud,
dan di Aceh
lembaga HAM
seakan-akan
melupakan
kejadian masa
lalu dengan
memberi
wewenang
lemabag HAM
untuk
penyelidiki
kasus-kasus
pasca aturan
UUPA
diundangkan.
Sumber; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua
Perbandingan kelembagaan di atas memperlihatkan bagaimana perbandingan antar
lembaga formal, lembaga politik dan lembaga-lembaga lain dalam proses implementasi dan
pengelolaan otonomi khusus yang dijalankan di Provinsi Aceh dan Provinsi Papua. Meskipun
dalam sejarahnya otonomi khusus kedua Provinsi tersebut berangkat dari tahun yang sama, namun
dalam perjalanannya elite dan pemimpin di Provinsi Aceh lebih terkonsolidasikan, setidaknya para
elite dan pemimpin Aceh mampu mendesak pemerintah Indonesia pada saat itu untuk melakukan
perjanjian Helsinki dan hasil dari perjanjian tersebut dijadikan Undang-Undang Pemerintahan
Aceh dengan lebih detail dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. Dan akhirnya
berimplikasi pada maksimalnya setiap peran dan fungsi masing-masing lembaga formal, lembaga
politik dan lembaga-lembaga lain dalam mewarnai proses pemerintahan dan proses politik yang
terjadi di Provinsi Aceh. Ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Provinsi Papua, Undang-
Undang Otonomi Khusus Papua hanya dirubah sekali yang terkait dengan pemekaran Provinsi
Papua Barat tanpa merubah substansinya. Hal ini berimplikasi pada proses pengimplementasian
dan pengelolaan Otonomi Papua yang lebih lambat atau kurang terkonsolidasikan, dan
mengakibatkan belum maksimalnya segala hak, wewenang dan kewajiban lembaga formal,
lembaga politik dan lembaga yang lainnya pada proses pemerintahan dan proses politik di Provinsi
Papua.
Dari prespektif perilaku pada proses implementasi dan pengelolaan otonomi khusus
memperlihatkan bahwa dengan adanya otonomi khusus di masing-masing provinsi belum mampu
menjadi landasan bagi elite atau pemimpin daerah untuk meningkatkan kesejahteraan dan
partisipasi masyarakat, utamanya di Provinsi Papua. Proses implementasi dan pengelolaan
otonomi khusus di Papua terkendala perbedaan pemaknaan dari elite dan pimpinan lembaga di
Papua dan pemerintah pusat terkait dengan arti otonomi khusus, pemerintah pusat memaknai
bahwa otonomi khusus dijalankan dalam konteks desentralisasi asimetris sesuai dengan aturan
undang-undang, tetapi bagi elite dan pemimpin Papua memaknai bahwa otonomi khusus adalah
bentuk pengecualian dari undang-undang yang ada.12 Hal ini sangat berbanding terbalik dengan
yang terjadi di Aceh, elite dan para pemimpin di Aceh dari awal sudah mampu
mengkonsolidasikan diri terkait dengan kepentingan Provinsi Aceh yang diajukan ke pemerintah
pusat.
Kasus lain hubungan dan kepentingan antar elite dan pemimpin daerah juga berimplikasi
pada sejauh mana keberhasilan proses implementasi dan pengelolaan otonomi khusus di masing-
masing daerah. Para elite dan pemimpin daerah masih memandang bahwa otonomi khusus adalah
pemberian uang triliunan dari pemerintah pusat kepada daerah dengan otonomi khusus. Di Papua
dana otonomi khusus seperti menjadi angin segar bagi elite dan pemimpin daerah dengan berkedok
di balik tatanan birokrasi yang rapi dan sistematis, selain menggunakan jalur birokrasi korupsi di
Papua juga dilakukan melalui penyaluran dana ke setiap kampung-kampung.13 Sedangkan pada
akhir tahun 2018 Gubernur Aceh Irwandi Yusuf didakwa sebagai tersangka pada kasus korupsi
dana otonomi khusus Provinsi Aceh (DOKA).14 Perilaku elite dan pemimpin daerah yang

12
Katharina, Riris, “Implementasi Otonomi Khusus…” Hal. 37
13
Nusa, Ikrar B dan Pigay, Natalius, Artikel Jurnal, Menemukan akar masalah dan solusi atas konflik Papua;
Supenkah?,
14
https://tirto.id/jejak-korupsi-gubernur-aceh-irwandi-yusuf-di-dua-masa-jabatan-dat8
demikian menjadikan tujuan mulia dari otonomi khusus tidak dapat tercapai secara maksimal
sesuai dengan harapan konstitusi maupun harapan masyarakat pada umumnya.

PENUTUP
Perbandingan Proses implementasi dan pengelolaan otonomi khusus di Provinsi Aceh dan Provinsi
Papua dari prespektif politik dengan pendekatan kelembagaan dan prilaku setidaknya
menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, Undang-Undang otonomi khusus Provinsi Papua
jelas sangat berbeda dan tertinggal dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, karena UUPA
dihasilkan dari konsolidasi dan kesepakatan elite dan masyarakat Aceh yang diteruskan melalui
perjanjian Helsinki. Maka, Provinsi Papua perlu langkah-langkah yang sama agar
pengimplementasian dan pengelolaan otonomi khusus dapat berjalan secara maksimal. Kedua,
belum adanya paradigma yang sama antar pemerintah pusat dan elite dan pemimpin daerah
Provinsi Papua terkait dengan pemaknaan terhadap otonomi khusus. Dan ketiga, elite dan
pemimpin Provinsi Aceh dan Provinsi Papua memiliki karakteristik perilaku yang sama bahwa
kepentingan untuk memperkaya diri sendiri itu lebih besar dibandingkan dengan kepentingan
masyarakat secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
Budiharjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Katharina, Riris, Implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua, dalam Romli, Lili, Kebijakan dan
Implementasi Otonomi Khusus di Papua dan Aceh, Jakarta, Yogyakarta; P3DI Setjen DPR
Republik Indonesia dan Azza Grafika, 2012.
Nurhasim, Moch, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka; kajian tentang konsensus
normative antara RI-GAM dalam perundingan Helsinki, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008.
Romli, Lili, Kebijakan dan Implementasi Otonomi Khusus di Papua dan Aceh, Jakarta, Yogyakarta; P3DI
Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, 2012.
Timmer, Jaap, Desentralisasi salah kaprah dan Politik Elite di Papua, dalam Nordholt, Henk S dan
Klinken, Van G, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta; KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014.
Mastuti, Sri, Tesis: Konflik Vertikal di Aceh: Studi Kasus Gerakan Aceh Merdeka (1976-1982), Depok;
Perpustakaan Universitas Indonesia, 2001.
Widjojo, Muridan S dan Budiharti, Aisah P, Artikel Jurnal, UU Otonomi khusus Papua: masalah kemauan
dan legitimasi politik,
Nusa, Ikrar B dan Pigay, Natalius, Artikel Jurnal, Menemukan akar masalah dan solusi atas konflik Papua;
Supenkah?
https://tirto.id/jejak-korupsi-gubernur-aceh-irwandi-yusuf-di-dua-masa-jabatan-dat8
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

Anda mungkin juga menyukai