Anda di halaman 1dari 7

Bertaruh Hidup di Bantaran Kumuh Jakarta

Ardiman Kelihu

Tempat Terbaik di Dunia (2020) . Ini adalah buku antropologi yang memotret
kemiskinan warga miskin kota dengan sangat jujur. Roanne Van Voorst yang tinggal
setahun lebih di sebuah kawasan kumuh Jakarta yang rawan banjir, mencatat dengan
sangat detail tentang perilaku warga miskin kota dan pertarungan hidupnya ditengah
ketiadaan akses dan keterpinggiran. Meskipun mengangkat kasus di salah satu bantaran
kumuh Jakarta, namun situasinya justru sedang menjelaskan pertaruhan hidup warga
miskin kota di Indonesia secara keseluruhan.

Roanne berbeda dari kebanyakan orang kerap melihat kaum miskin kota di pemukiman
kumuh secara negatif dan romantis. Misalnya, bagi para pejabat atau masyarakat kelas
menengah atas di Indonesia, kaum miskin kota di daerah-daerah kumuh adalah
kelompok masyarakat yang malas dan kriminal. Bagi aktivis, ilmuan maupun peneliti
romantik, kaum miskin kota adalah orang paling kuat. Dengan mental berjuang yang
kuat karena terlahir sebagai orang miskin. Situasi yang menginspirasinya untuk bekerja
keras. Istilah Roanne, kaum miskin kota dalam pandangan romantis tersebut dianggap
mengembangkan mentalitas yang disebut “etos kerja kampung kumuh” (2020:5).

Kalangan romantis mengabaikan situasi-situasi rentan yang sebenarnya tidak bisa


diselesaikan oleh warga miskin di kampung-kampung kumuh. Sedangkan perspektif
kelas menengah atas, seolah melakukan generalisasi yang bias kepentingan kelas.
Seolah kemiskinan punya sebab dan solusi tunggal yang hanya bergantung pada
kaum miskin kota. Kaum miskin di bantaran kumuh dalam amatan Roanne, justru
terpinggirkan karena ketiadaan akses dan pengakuan negara. Mereka punya sisi-sisi
kejatuhan yang sangat kompleks sekaligus relatif sama dengan yang dialami warga
pada umumnya. Berusaha menambal satu kerentanan dengan kerentanan lain dalam
situasi yang sosial yang sangat ironis. Sekaligus menikmatinya dengan sangat biasa.
Bantaran Kumuh Jakarta

Orang-orang di Bantaran Kumuh mempertahankan hidup dengan mengakses berbagai


layanan informal seperti bisnis keamanan, menjadi Pekerja Seks Komersil (PSK),
berjudi, menyuap para pegawai atau Polisi, hingga berkrompomi dengan kepala
kampung. Mereka terbiasa memperoleh perlindungan lewat praktik-praktik semacam
itu karena tidak bisa mendapatkan akses dan pelayanan dari pemerintah.

Pemerintah dapat memberikan pelayanan publik jika syarat-syarat administratif bisa


meereka bisa penuhi. Misalnya, harus punya surat atau akta tanah sebagai bukti
tinggal maupun pelayanan kesehatan dan pendidikan. Masalahnya, mereka tinggal
secara illegal di bantaran sungai yang rawan banjir, sehingga tak mungkin mengurus
persyaratan-persyaratan tersebut. Sudah pasti tak diizinkan. Permukiman kumuh yang
tanpa izin pemerintah biasanya digusur karena dianggap sebagai hunian illegal.

Kalaupun harus pindah dari bantaran kumuh itu atau menyewa, mereka biasanya
tak mampu membayar. Pemerintah memang telah menyediakan rumah susun
bersubsidi, namun hampir tak ada harga yang tak terjangkau buat orang miskin
di Jakarta. Akibatny, warga kumuh ini biasanya memilih tinggal di bantaran sungai
meskipun beradu nasib dengan, banjir, kebakaranm ataupun digusur berulang kali.

Jika banjir datang, mereka mengamankan barang-barang penting ke tempat yang


lebih tinggi lalu naik ke loteng berhari-hari. Saat kebakaran, rumah dan sebagian
besar barang jarang terselamatkan. Setelah itu mereka membangun kembali huniannya
dengan barang-barang bekas sisa banjir atau kebakaran. Jika akan digusur
pemerintahan biasanya memberikan ganti rugi, namun uang itu hanya cukup
untuk makan selama beberapa minggu atau menyewa rumah. Sehingga, meskipun
telah digusur berulang kali, mereka tetap membangun hunian kumuh yang baru
di tempat lain.

Rata-rata pendapatan orang-orang disana adalah Rp.60.000 per minggu. Itupun jika
masih punya pekerjaan. Dari mereka, ada yang bekerja sebagai cleaning service,
pengamen, tukang parkir, peminta-minta, PSK hingga pekerja kasar lain di jalan-jalan
Jakarta. Pendapatan tersebut baisanya digunakan untuk makan dua kali sehari. Sisanya
untuk beli rokok, mencicil harga buku dan biaya sekolah anak-anaknya.

Masyarakat di Bantaran Kumuh tersebut datang dari daerah-daerah di Jawa.


Mereka menempati sebuah huniah kumuh di bantaran sungai yang dibangun dengan
barang-barang bekas. Dalam satu kamar kecil berukuran 10 meteri, berdinding asbes,
kardus atau dan menggunakan atap-atap plastik, ditempati oleh sekitar 50 orang.
Mereka adalah teman-teman sesama pengamen atau pekerja kasar, yang datang
dari daerah-daerah berbeda. Hampir seluruh dari mereka tidak pernah mendatangi
kawasan kota Jakarta yang maju atau pusat-pusat layanan kesehatan. Warga Bantaran
Kumuh tersebut merasa malu dengan pakaian dan status sosial mereka yang miskin dan
sangat kontras dengan dunia Jakarta yang metropolit.

Situasi sosial yang amat tragis ini berbanding terbalik dengan geliat pemerintah
Indonesia untuk memberikan izin kepada pemilik modal besar untuk membangun
hotel-hotel, pusat perbelanjaan, apartemen, villa, bisnis property hingga hunian vertikal
dalam skala yang besar. Data Biro Pusat Statistik pada tahun 2017 saat itu misalnya
mecatat ada 306 hotel di Jakarta, sedikitnya 1.955 pabrik besar damn sedang
serta 125 hipermarket. Konon di dunia ini, tidak ada kota dengan pusat perbelanjaan
sebanyak Jakarta. Bisa dibayangkan, di tengah pembangunan berskala besar tersebut,
keterpinggiran warga miskin kota yang nyata seolah absen dari “kacamata” pemerintah.

Berstrategi dengan Negara

Dunia kumuh masyarakat miskin kota adalah dunia berstrategi dengan negara. Mereka
tidak saja harus memastikan kapan akan banjir, melainkan juga kapan akan digusur,
kapan jadi korban kebakaran, dan kapan harus bernegosiasi dengan pejabat-pejabat
pemerintah. Semua warga kumuh yang tinggal di kawasan bantaran sungai adalah
warga miskin yang bertrategi dengan mengandalkan berbagai peluang agar bisa
mendapatakan perlindungan. Minimal tidak diusir dari tempat tersebut. Entah dengan
menjadi PSK tanpa dibayar, berjudi, berbisnis jasa keamanan, membayar kepala
kampung, atau membeli partofon untuk memastikan informasi tentang banjir.
Sebagai warga miskin yang illegal, mereka bahkan tidak mendapatkan pelayanan
kesehatan yang baik dari Rumah Sakit-Rumah Sakit modern di Jakarta. Beberapa
anggota keluarga atau temannya, justru tidak terselamatkan karena rumah sakit tidak
memberikan pelayanan bagi orang miskin di Jakarta. Jika mereka diketahui tinggal
di Bantaran Kumuh tersebut, maka dianggap tidak bisa melunasi ongkos rumah sakit
yang mahal. Salah satu cara berstrategi dengan negara yang dimiliki oleh warga
tersebut adalah mereka tidak percaya sama sekali dengan institusi kesehatan. Mereka
tidak begitu yakin bahwa orang miskin seperti mereka bakal sembuh jika dibawa ke
rumah sakit.

Alhasil, mereka mengandalkan perawatan tradisional seadanya semisal kerok, pijat,


meminum jamu atau ramuan-ramuan sederhana. Pengobatan tradisional dianggap
jauh lebih meyakinkan dibanding rumah sakit. Bukan karena tidak percaya,
melainkan mereka tidak yakin akan sembuh jika diketahui tinggal di bantaran kumuh
Jakarta. Di Jakarta, kesembuhan seolah sangat tergantung dari representasi kelas sosial
seseorang.

Beberapa dari mereka yang menjadi PSK juga secara sukarela melayani sejumlah
orang di kampung-kampung tersebut untuk menambal kemiskinannya. Meskipun
tidak dibayar. Beberapa PSK disana hanya diberikan barang atau semacam hadiah
untuk kebutuhan mereka. Ada juga di antara para PSK yang melayani oknum Polisi
untuk menjamin kelangsungan tempat tinggalnya agar tidak digusur oleh pemerintah.
Para Polisi tersebut selanjutnya dapat memberikan jaminan rasa aman dari
penggusuran. Dengan juga dengan berjudi dan minuman keras. Semua dirayakan untuk
mejami rasa aman bagi warga kumuh yang dianggap ilegal.

Warga negara memang perlu berstrategi dengan negara jika negara tak begitu
menjamin kelangsungan hidupnya secara baik. Relasi terhadap jaringan-jaringan
non-formal seperti preman, PSK termasuk ketidakpercayaan pada institusi kesehatan
bukan lagi situasi yang tabuh. Hal tersebut merupakan bagian dari politik kewargaan
dimana warga miskin kota berusaha mempertahankan hak kewargaannya di tengah
ketiadaan akses dan representasi politik mereka dengan negara. Hak-hak tersebut
biasanya berupa representasi politik, redistribusi ekonomi maupun rekognisi atau
pengakuan-pengakuan politik terhadap mereka (Frasser, 2009).

Jaringan Sosial di Tengah Hunian Kumuh

Cara lain bagi warga negara jika kemiskinan dan keterpinggiran mereka tak lagidigubris
oleh negara adalah, berusaha membangun jejaring sosial yang bertujuan mengamankan
kepentingan sosial, ketertiban maupun pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam politik
kewargaan, cara-cara tersebut menunjukan lemahnya akses dan ketiadaan representasi
politik mereka saat berhadapan dengan negara secara formal.

Warga Bantaran kumuh yang diamati Roanne, justru merusaha membangun jejaring
sosial yang kuat untuk survive ditengah ketidak pastian dan kerentanan-kerentanan
yang mereka alami sehari-hari. Secara ekonomi, para warga misalnya berusaha
membayar ongkos keamana pada seorang pemuda yang dianggap dapat menjamin
ketertiban dan keselamatan dari para pencuri yang datang dari kampung lain. Mereka
membayar seadanya setiap minggu. Kadang 1.000-2.000 atau tidak sama sekali.

Untuk memastikan bahwa mereka tidak terusir dari situ, mereka membangun
kompromi-kompromi kecil dengan kepala kampung untuk membayar ongkos
kebersihan. Tapi bukan untuk tujuan kebersihan. Mereka membayar sedikit uang bagi
kepala kampung, sebagai kompensasi untuk tetap membuang sampan di sungai.
Dibanding membayarnya secara langsung ke petugas keamanan dengan harga yang
mahal. Bagi mereka, biaya mahal yang mereka berikan pada petugas keamana yang
sama sekali mereka tak akenal justru merugikan karena tidak menjamin keselamatan
mereka untuk tetap tinggal disini. Membayar kepala kampung artinya memastikan
bahwa biaya kebersihan tadi akan jadi urusan kepala kampung dengan petugas.

Dalam konteks yang lain, mereka juga biasanya membangun relasi-relasi intim dan
transaksional dengan oknum kepolisian. Berjudi dengan mereka, meminum minuman
keras, membayar uang suap, atau menjajakan tubuh sebagai PSK tanpa dibayar oleh
mereka. Semua itu dilakukan untuk memastikan nasib mereka agar tetap tinggal di
Bantaran Kumuh. Sesuatu yang tabuh, sedang mencarikan cara untuk bernegosiasi
sebagai dengan pemerintah, sekaligus memastikan keselamatan mereka ditengah
ketiadaan akses dan pelayanan publik.

Terakhir, secara ekonomis, warga di Bantaran kota juga berusaha untuk saling bantu
membangun hunian-hunian kumuh mereka jika terjadi banjir, kebakaran atau
penggurusan. Mereka secara sukarela saling bantu menyelamatkan barang-barang,
memberi informasi tentang banjir, atau menukangi pekerjaan rumah yang akan
dibangun.

Dalam hal membangun ketahanan ekonomi warga di kampung kumuh, mereka


biasanya memberlakukan sistem jaminan ekonomi berupa arisan (Rotation and Saving
Assosiaciation/ROSCA), simpan pinjam, maupun bertukar uang sumbangan. Arisan
adalah cara mengumpulkan uang dari sejumlah anggota masyaarakat untuk selanjutnya
diberikan secara bergiliran pada satu orang. Arisan memang menajdi kebiasaan umu di
negara-negara miskin Afrika atau Asia.

Sedangkan simpan pinjam yang dikelola oleh seorang warga kumuh. Masing-masing
warga dapat menyimpan uang hasil kerja seperlunya, dengan tujuan untuk membeli
sesuatu. Selanjutnya warga yang berperan sebagai banker bertugas mencatat dan
memberlakukan sistem bunga balik bagi mereka. Ada juga sistem bertukar uang,
dengan memberi amplop berisi uang bagi acara-acara warga, dengan berharap ada
sumbangan balik dengan besaran serupa atau lebih jika seseorang juga melakukan acara
serupa.

Hanya Titik Kecil

Kemiskinan dan pertaruhan hidup di bantaran kumuh menyisakan satu simpulan


penting tentang ketiadaan akses orang-orang miskin kota di hadapan negara. Orang-
orang miskin kota menjadi kalah karena tidak adanya pengakuan negara terhadap
warganya. Ini tragis sekaligus menyimpan sisi protes paling dalam tentang model
politik kewargaan. Dimana warga berpolitik dengan terpaksa mengandalkan relasi-
relasi non-formal yang mungkin tabuh bagi negara. Tapi itulah warga negara, ditengah
kesulitan yang kompleks, dan kerentanan sosial yang menganga, mereka dipaksa untuk
memenuhi kebutuhan harian dan tempat tinggalnya peris seperti warga kota yang lain.
Sayangnya saat mereka berusaha mendatangi kanal-kanal formal yang di sediakan
negara, negara seolah membiarkan dengan dalih dan keberpihakan pada warga kelas
sosial yang lebih tinggi. Entah mereka adalah kalangan orang kaya, pemodal atau
pejabat dekat kekuasaan. Warga negara bantaran kumuh pada akhirnya dihadapkan
pada kehidupan sosial yang senjang sekaligus membahagiakan. Mereka menikmati apa
yang mereka lakukan meskipun itu bertentangan dengan ketabuhan atau sistem formal
bernegara, namun itulah pertarungan sebenarnya yang mesti diterima bahkan dicintai
ketika menajdi orang Jakarta. Seperti kata Elizabeth Pisani, seorang Indonesianis yang
menulis soal keseharian di Indonesia, bahwa Jakarta adalah kota yang sangat tidak
gampang dicintai.

Warga di bantaran kumuh adalah kasus kecil tentang daerah kumuh di Jakarta. Namun
perluasannya sangat mungkin terjadi di sudut-sudut kota lain di Indonesia. Ia adalah
gambaran nyata tentang kisah hidup mereka yang tersingkir, sekaligus berusaha berdiri
di atas kesenjangan sosial yang jsutru dihasilkan oleh negara secara berulang. Situasi di
atas adalah potret paling tajam tentang keterpinggiran, kemiskinan dan pertaruhan
hidup orang-orang yang bernasib malang, sekaligus ceria saat berhadapan dengan
induknya sendiri : negara.

Anda mungkin juga menyukai