Anda di halaman 1dari 2

Demokrasi Agonistik : Jalan Lain ke Demokratisasi

Ardiman Kelihu
Dalam diskursus demokrasi liberal selama ini, demokrasi selalu ditempatkan secara linear dengan
kesejahteraan rakyat. Demokrasi pun dihubungkan lebih banyak dengan terlaksananya suksesi
elektoral maupun bekerjanya institusi-institusi formal demokrasi. Paradigma ini sangatlah
esensialis dalam memandang demokrasi.

Pandangan tersebut menempatkan kesejahteraan sebagai sesuatu yang objektif dan telah tersedia
sebagai kanon tertutup yang bisa diperoleh ketika demokrasi dijalankan. Padahal dinamika
demokrasi dan kesejahteraan sangatlah kompleks, sehingga selalu ada antagonisme sosial atau
konflik yang hadir menyertainya. Sayangnya demokrasi modern selalu absen dalam memotretnya
realitas ini sebagai bagian diskursus politik. Akibatnya, dimensi antagonis dalam demokrasi
dianggap sebagai ancaman berdemokrasi yang mesti dihabisi.

Narasi-narasi alternatif yang bertentangan dengan narasi dominan demokrasi tidak didialogkan
secara diskursif melainkan diredam oleh sejumlah institusi formal dan regulasi agar tidak
mengganggu stabilitas demokrasi (status-quo). Padahal, demokrasi seyogyanya mengakomdir
dimensi ke-berbeda-an agar tak jatuh pada totalisasi/penyeragaman.

Berbeda dengan demokrasi agonistic, antagonistme dianggap sebagai dimensi politis yang mesti
dihidupkan dan diakomodir sebagai narasi alternatif. Ini penting agar demokrasi tampil sebagai
ruang diskursif yang tidak dihegemoni oleh salah satu kelompok dominan saja.

Dalam kasus lain, menarik untuk melihat fenomena intoleransi yang berlangsung di ruang publik
kita, berikut cara menyikapinya. Sejumlah tindakan intoleransi terjadi dan sering dilegitimasi oleh
dalih consensus bersama. Usaha-usaha melegitimasi tindakan intoleransi itu dianggap legitimatif
hanya karena consensus tersebut disepakati oleh kelompok dominan dan mengekslusi narasi
alternatif dari kelompok minor. Mereka yang diekslusi oleh consensus--meskipun merasa
dirugikan-- pada akhirnya tidak bisa berbuat banyak, karena consensus itu diklaim demokratis
karena merepresentasi kelompok dominan. Persis di titik ini, “kepatuhan-kepatuhan” tersebut
berlangsung dalam “keterpaksaan dan penyeragaman” sebagai model pemakluman atau strategi
paling aman untuk tetap bertahan. Elizabeth Nieuman (2017) menyebutkannya sebagai spiral
keheningan (silence spirall). Bahwa ada pihak yang diekslusi dan mengendap senyap dibalik
sejumlah konsensus yang diklaim demokratis.
Kondisi ini adalah dari paradoks demokrasi liberal yang telah lama kita puja puji. Kita sering
beranggapan, sebuah konsensus itu demokratis karena mengakomodasi kepentingan mayoritas.
Sehingga narasi-narasi alternatif (non-issue) dihabisi atas nama demokratisasi. Akibatnya
keberbedaan yang particular itu menjadi hilang karena standar universalitas dan hegemonic
yang dipaksanakan untuk mendefinisikan demokrasi. Hilangnya dimensi yang particular ini
membawa demokrasi pada kubangan totalisasi/penyeragaman karena mereduksi aspek diskursif
dari demokrasi.

Dalam meretas jalan baru demokratisasi itulah, penting untuk melihat argumen Chantal Mouffe
dan Ernesto Laclau (1985) tentang demokrasi radikal atau agonistik. Demokrasi agonistic
menempatkan sejumlah antagonism sosial sebagai bagian dari momen politis, yang tidak mesti
dihabisi melainkan diletakan dalam relasi diskursif. Berbagai wacana antagonis yang bertebaran
sebagai wacana-wacana alternatif diluar wacana dominan mesti dirangkul. Dengan kata lain,
antagonism itu tak boleh dilihat sebagai musuh (enemy), melainkan ditempatkan sebagai lawan
(adversary).

Jika demokrasi liberal bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan, maka demokrasi agonistik
menekankan pada perbedaan. Sehingga demokrasi agonistik melihat antagonisme sosial sebagai
potensi yang menghidupkan demokrasi karena menghadirkan narasi alternatif sebagai kontrol atas
narasi dominan. Tanpa adanya antagonisme, demokrasi akan jadi tirani. Dititik ini, bukan berarti
demokrasi agonistic tidak menghendaki adanya konsensus melainkan menunda terbentuknya
konsensus sebelum adanya diskursus yang akomodatif terhadap berbagai wacana alternatif
termasuk antagonism sosial. Demokrasi agonstic mengenalnya sebagai disensus (Mouffe, 2000).

Dengan kata lain antagonism sosial bukanlah patologi politik, melainkan dimensi politis yang
mesti akomodasi dan didudukan dalam relasi yang berimbang (chain of equvalance). Tak lain
karena demokrasi dan sejumlah argumen kesejahteraan bukanlah sesuatu yang ada (being),
melainkan selalu dalam proses menjadi (becoming) dan tidak hadir di ruang kosong.

________________________________________________________

Laclau, Ernesto & Mouffe, Chantal. 1985. Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical
Democratic Politics. New York: Verso.

Mouffe, Chantal. 2000. The Democratic Paradox. New York: Verso

Anda mungkin juga menyukai