Anda di halaman 1dari 4

Nama:Hilman Zadiqh Onasis Yuzaljibran

NIT :22314369
Kelas :J
Demokrasi Kerakyatan dan Pandangan Politik Sutan Sjahrir

Sila Keempat Pancasila, merupakan doktrin mengenai hidup bernegara, yakni:


Kerakyatan! Artinya, poros penyelenggara negara, adalah rakyat dan kepentingannya.
Kita boleh menyebut "kerakyatan" tersebut sebagai demokrasi. Tetapi demokrasi di sini,
adalah demokrasi "bagi kehidupan bersama bangsa Indonesia". Suatu demokrasi
kerakyatan yang tidak terpisahkan dari "mimpi Indonesia": Indonesia yang kian kokoh
menjadi sebuah rumah bagi semua penghuninya, yang ingin hidup damai, tenteram, dan
sejahtera di dalamnya.Dalam konteks itu, frasa Sila Keempat (kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat dan kebijaksanaan), menjadi begitu penting. Hikmat dan kebijaksanaan,
adalah "jalan kearifan" yang disiapkan Pancasila dalam mengelola kekuasaan bagi
kokohnya "rumah Indonesia".
Dalam demokrasi yang berbasis kerakyatan, tidak diijinkan model-model "demokrasi
angka" dan juga tidak diperbolehkan hadirnya "demokrasi lalat". "Demokrasi angka"
ditolak karena yang dipentingkan bukan mayoritas-minoritas, tetapi keseluruhan rakyat.
Demikian juga, "demokrasi lalat" ditolak, karena yang dipentingkan adalah hikmat dan
kebijaksanaan, bukan hal-hal busuk di mana lalat suka berkumpul.
Demokrasi adu angka, hasilnya bukanlah pemerintahan dari seluruh rakyat, oleh seluruh
rakyat, dan untuk seluruh rakyat melainkan pemerintahan dari segolongan rakyat yang
satu untuk segolongan rakyat yang lain, dan oleh segolongan rakyat atas segolongan yang
lain (pemerintahan oleh satu-dua golongan atas seluruh suku-suku bangsa Indonesia yang
lainnya).Dominasi golongan, memperoleh lahan subur dalam sistem demokrasi angka.
Karena dalam demokrasi adu angka, jumlah mayoritaslah yang menentukan, maka
mudah dibayangkan angka yang terbanyak (suku, golongan, keyakinan/agama),
berpeluang menentukan kekuasaan politik dalam arti yang sesungguhnya.
Oleh karenanya titik simpul dari persoalan ini adalah pada keputusan-keputusan
menyangkut hidup bernegara haruslah merakyat, dalam arti harus merupakan hasil
persetujuan dan berisi kehendak/kepentingan rakyat seluruhnya. Sebuah keputusan tidak
boleh hanya representasi kepentingan golongan tertentu atau kelompok tertentu.Itulah
sebabnya, politik yang dikehendaki untuk merawat "rumah Indonesia", bukan sekedar
kunst des moeglichen (seni memanfaatkan berbagai kemungkinan) versi Otto Von
Bismarck. Atau bukan sekedar seni mempertaruhkan kemungkinan untuk merebut
kemungkinan yang lebih besar seperti dalam ilmu politik.
Lebih dari itu, "rumah Indonesia" butuh politik yang "bersubstansi kehidupan" seperti
yang dimaksud Friedrich Scheller dan Sutan Sjahrir. Yaitu, politik sebagai "kehidupan
yang dipertaruhkan" untuk memenangkan kehidupan itu sendiri.Kehidupan atau
eksistensi "rumah Indonesia"-lah, dan itu berarti, kehidupan kitalah, yang dipertaruhkan
dalam politik bernegara. Dari sudut itu, jelas bahwa, pengelolaan hidup bernegara, harus
diarahkan atau diproyeksikan untuk memenangkan tegaknya "rumah Indonesia" yang
damai, tenteram, dan sejahtera.
Kembali pada politik versi Sjahrir yang mana beliau memahami politik dengan lebih
susbtantif dan indah. Dalam dua pucuk suratnya yang ditulis dari penjara Cipinang dan
dari tempat pembuangan di Boven Digoel, Sjahrir mengutip speenggal sajak penyair
Jerman Friedrich Schiller. Dalam teks aslinya kutipan itu berbunyi: und setzt ihr nicht das
Lebern ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein (hidup yang tak dipertaruhkan, tak
akan pernah dimenangkan). Menurut pengakuannya, kalimat-kalimat indah itu
dikutipnya dari luar kepala, jadi kita dapat menduga petikan tersebut sangat disukainya
dan besar arti buat hidupnya.
Politik untuk Sjahrir tidak terutama berarti merebut kekuasaan dan memanfaatkan
kekuasaan itu sebagaimana sering dipraktikan orang. Politik juga bukan persoalan
mempertaruhkan modal diyakini oleh pelaksana money politics dewasa ini di tanah air
kita untuk merebut kemungkinan yang lebih besar sebagaimana yang kita pelajari dari
Otto Von Bismarck dari Prusia.
Bagi Sjahrir politik rupanya bukanlah semata-mata perkara pragmatis sifatnya, yang
hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani
dengan memakai rasionalitas instrumental. Bagi Sjahrir politik lebih mengandung sifat
eksistensial dalam wujudnya, karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai.Karena itulah
politik lebih dari sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan
cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang
dipilih harus dapat, dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yag ditetapkan
untuk mencapainya haruslah dites dengan kriteria moral.
Menurut tafsiran Ignas Kleden, kutipan penggal sajak Schiller di atas, kalau
diparafrasekan, maka politik bagi Sjahrir adalah das Leben einsetzen und daurch das
Leben gewinnen (politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan
hidup itu sendiri).
Lebih lanjut, Kleden juga mengungkapkan bahwa konsepsi politik seperti itu
kedengarannya terlalu halus kalau dihadapkan dengan realita politik , khususnya di
Indonesia. Akan tetapi dibalik kehalusan tersebut tegak sebuah keberanian yang kokoh
karena tanpa komplikasi, suatu kesehajaan yang menakutkan karena tanpa pretensi.
Kemudian bagi para politisi muda konsepsi seperti itu membantu mengingatkan bahwa
dalam politik ada suatu keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan
tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan
bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar.
Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan
dengan penuh tanggungjawab. Wajar belaka bahwa gagasan seperti itu tidak selalu
mudah dipahami oleh banyak orang, karena mengandaikan pengertian tentang berberapa
asumsi yang filosofis sifatnya.
Pertama, mempertaruhkan hidup adalah suatu sikap dan perbuatan yang bisa juga
dilakukan oleh orang-orang yang serba nekad. Tetapi bukan itu yang dimaksud Sjahrir,
melainkan lebih menuju pada kebebasan yang didambakan oleh setiap orang , yaitu
induvidu yang dapat menggunakan akal-pikirannya untuk bertanggungjawab terhhadap
cita-cita dan tindak-perbuatannya masing-masing.
Kedua, sikap mempertaruhkan hidup untuk memenangkan hidup, dapat memberi kesan
bahwa Sjahrir mirip seorang politikus romantis yang tidak memahami bekerjanya mesin
kekuasaan atau mechanics of power dalam politik praktis. Anggapan ini salah, sebenarnya
Sjahrir sangat cemas akan hidupnya kembali feodalisme lama dalam politik Indonesia,
yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan
kepada para pemimpin politik untuk menjadi raja-raja versi baru yang tetap
membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan.
Dalam konteks itulah dibutuhkan revolusi nasional dan revolusi pilitik. Revolusi nasional
harus didahulukan, karena hanya dalam alam kemerdekaan, maka pejuang menentang
feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkraman kapitalisme dapat
dilaksanakan. Sedangkan revolusi politik diarahkan agar partai politik sebaiknya
berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota
partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakikan politik ikut memikul tanggungjawab
politik, sedangkan dalam partai masa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan
pemimpin politik, dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut
kehendak sang pemimpin.
Lebih lanjut, Sjahrir juga mengejawantahkan bahwa kalau dalam negeri nasionalisme
harus tunduk pada tuntutan demokrasi, maka dalam hubungan internasional,
nasionalisme harus tunduk pada tuntutan humanisme, karena kalau tidak maka
nasionalisme itu dapat menjadi sumber ketegangan dan perseteruan di antara bangsa yang
satu dan bangsa lainnya. Fasisme dalam negeri hanyalah wajah lain dari chauvinisme
dalam pergulatan antar-bangsa. Pada titik inilah, kelihatan bahwa bagi Sjahrir politik
adalah usaha dan upaya untuk mewujudkan nilai-nilai martabat dan kesejahteraan
manusia.
Melalui politik ala Sjahrir itu, kita diajak untuk menangkap sisi terdalam dari politik. Sisi
yang elok dan luhur. Politik adalah usaha dan upaya untuk mewujudkan nilai-nilai
bermartabat dan kesejahteraan manusia yang harus diperjuangkan dan dimenangkan.
Politik tidak hanya kekotoran, tidak hanya tipu muslihat, dan bukan hanya kepentingan-
kepentingan sempit yang dapat diperjual belikan ala dagang sapi.
Dalam konteks kita sebagai negara, terdapat sejumlah hal (dalam bernegara) yang mesti
ditangani secara berhikmat dan bijaksana demi kokohnya "rumah Indonesia" itu. Dan
hukum harus sungguh-sungguh berperan mengawal semua ini.
Sumber: Bernar L. Tanya, Theodorys Yosep Parera, Samuel F. Lena dalam bukunya yang
berjudul: Pancasila Bingkai Hukum Indonesia

Dalam demokrasi yang berbasis kerakyatan, tidak diijinkan model-model "demokrasi


angka" dan juga tidak diperbolehkan hadirnya "demokrasi lalat". "Demokrasi angka"
ditolak karena yang dipentingkan bukan mayoritas-minoritas, tetapi keseluruhan rakyat.
Demikian juga, "demokrasi lalat" ditolak, karena yang dipentingkan adalah hikmat dan
kebijaksanaan, bukan hal-hal busuk di mana lalat suka berkumpul.
Oleh karenanya titik simpul dari persoalan ini adalah pada keputusan-keputusan
menyangkut hidup bernegara haruslah merakyat, dalam arti harus merupakan hasil
persetujuan dan berisi kehendak/kepentingan rakyat seluruhnya. Sebuah keputusan tidak
boleh hanya representasi kepentingan golongan tertentu atau kelompok tertentu.
Itulah sebabnya, politik yang dikehendaki untuk merawat "rumah Indonesia", bukan
sekedar kunst des moeglichen (seni memanfaatkan berbagai kemungkinan) versi Otto Von
Bismarck. Atau bukan sekedar seni mempertaruhkan kemungkinan untuk merebut
kemungkinan yang lebih besar seperti dalam ilmu politik.
Melalui politik ala Sjahrir itu, kita diajak untuk menangkap sisi terdalam dari politik. Sisi
yang elok dan luhur. Politik adalah usaha dan upaya untuk mewujudkan nilai-nilai
bermartabat dan kesejahteraan manusia yang harus diperjuangkan dan dimenangkan.
Politik tidak hanya kekotoran, tidak hanya tipu muslihat, dan bukan hanya kepentingan-
kepentingan sempit yang dapat diperjual belikan ala dagang sapi.
Dalam konteks kita sebagai negara, terdapat sejumlah hal (dalam bernegara) yang mesti
ditangani secara berhikmat dan bijaksana demi kokohnya "rumah Indonesia" itu. Dan
hukum harus sungguh-sungguh berperan mengawal semua ini.

Anda mungkin juga menyukai