Anda di halaman 1dari 4

POLITIK IDENTITAS: DARI GENEALOGI KE FABRIKASI

Seminar LIPI, 31 Oktober 2016


Rocky Gerung

1. Duduk Perkara

Sejumlah soal secara nyata kini diajukan ke dalam sistem demokrasi kita. Dari ihwal “dasar
negara”, “keaslian warganegara” sampai soal “orientasi seksual warganegara”. Reformasi
memungkinkan semua persoalan ditampilkan sebagai diskursus politik publik, demi menguji
sejauh mana sistem demokrasi mampu mengelola artikulasi politik warga. Tetapi yang terasa
hari-hari ini, perdebatan tentang soal-soal itu kurang diajukan dengan basis “public reason”.
Komunalisme masih kuat mensponsori agenda artikulasi itu, dengan akibat diskusi publik
lebih banyak berisi sentimen ketimbang argumen. Agenda demokrasi adalah mengaktifkan
kepentingan-kepentingan politik untuk dikenali oleh sistem demokrasi agar partisipasi dapat
diselenggarakan maksimal. Pluralisme dalil politik akan diolah demi mencapai "political
consensus", yaitu kesepakatan epistemik untuk tidak mengabsolutkan "politik identitas".
Tentu ini tak berarti bahwa kepentingan politik agama tak boleh didalilkan sebagai tuntutan
politik identitas. Kepentingan itu sah sebagai tuntutan, tetapi ia harus ditransformasikan
menjadi tuntutan yang konsensual dan diargumentasikan secara rasional. Artinya, konsepsi-
konsepsi teologis harus dapat dipersoalkan secara sosiologis, karena kebijakan publik
memerlukan parameter sosiologis.
Memori Kolektif
Setiap kali tersedia momentum politik, obsesi tentang politik identitas menggeliat ulang
dalam politik kita. Obsesi itu terutama mengenai “dasar penyelenggaraan kehidupan
bernegara”. Wacana “Syariat Islam” menjadi dominan dalam politik artikulasi itu karena
reformasi menjaminnya. Pada permukaan, wacana itu tampak sebagai artikulasi demokrasi,
yaitu kebebasan menyuarakan pendapat. Tetapi ada faktor khas dalam argumentasi wacana
itu, yaitu “memori kolektif” dalam genealogi penyusunan konstitusi: bahwa pernah ada
pikiran untuk menjadikan Islam sebagai prinsip politik bernegara melalui dokumen “Piagam
Jakarta”: Ketuhanan Yang Maha Esa “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluknya”. Jelas ada memori “politik identitas” di situ. Tentu bukan tuntutan rekognisi
atas nama prinsip “overlapping consensus” Rawlsian yang menjadi paradigma dari wacana
politik identitas itu, melainkan obsesi ideologis (yang disebut Rawls “comprehensive
doctrine”) yang justeru tidak masuk dalam skema pluralisme Rawls.
Momentum politik –di dalam maupun di luar negeri- merelevansikan tuntutan politik
identitas itu dengan memanfaatkan kondisi demokrasi. Dalil bahwa demokrasi harus
menerima semua "klaim kebenaran", dan bahwa kompetisi demokratis harus mengijinkan
representasi plural dalam parlemen dan partai politik, telah juga dimanfaatkan negara untuk
mengefisienkan sistem pengambilan keputusan-keputusan politik strategis. Akomodasi
negara terhadap tuntutan itu nampak sangat politis karena ada kalkulasi “legitimasi elektoral”
dalam wacana politik Islam itu. Tidak ada satu rezim yang mau mengambil risiko politik
dengan bersikap “kritis” terhadap artikulasi politik indentitas itu. Padahal konstitusi telah
menutup perdebatan tentang “filosofi negara” dengan merumuskan formula “kedaulatan
rakyat” sebagai pedoman penyelenggaraan negara. Jadi, sebetulnya semua ide lain tentang
“dasar negara” (“teokrasi”, “monarki”) telah tertolak dalam konsensus konstitusional 1945
itu.
Karena itu, dapat dihipotesakan bahwa berlanjutnya klaim politik identitas dalam politik
demokratis hari ini adalah akibat dari bertemunya kepentingan "politics of memory" dengan
fabrikasi "electoral politics". Artinya, negara juga berkepentingan dengan "fakta
mayoritarianisme" itu, dan karena itu tidak tegas terhadap obsesi "politik identitas". Bifurkasi
inilah yang menjelaskan belanjutnya tuntutan politik identitas itu. Dalam pemilihan gubernur
DKI Jakarta sekarang ini, isu itu menemukan momentum.

2. Multikulturalisme Semu

Apakah soal tadi dapat diselesaikan dengan acuan “multikulturalisme”? Apakah


“nasionalisme” efektif menyamarkan problem ini? Cukupkah konsep “toleransi” mengatasi
politik identitas itu? Tentu pada kasus ini konsep multikulturalisme Kymlicka tidak
kontekstual sebagai alat eksplanasi karena sumber problem politik identitas kita bukan soal
kultur, melainkan pada obsesi ideologis. Artinya, afirmasi terhadap “cultural rights” –
sebagaimana didalilkan Kymlicka, sudah dijamin oleh tafsir demokrasi terhadap konstitusi
kita. Tetapi sekaligus konstitusi kita telah memilih untuk mendasarkan aktivitas bernegara
pada ide “kedaulatan rakyat”, dan bukan pada ide “mayoritarianisme”. Jadi, klaim politk
identitas telah dicukupkan melalui “politik rekognisi”, dan karena itu obsesi pada
“mayoritarianisme”, kendati tetap tumbuh dalam”memori kolektif” politik Islam, telah
dibatalkan oleh konstitusi sejak awal.
Perlu penegasan bahwa “kedaulatan rakyat”, dalam filosofi Rousseau, adalah prinsip yang tak
boleh dikuantifikasi. Kedaulatan adalah ide yang justeru menjamin bahwa demokrasi tidak
boleh berakhir menjadi pemerintahan “mayoritas”. Hak dan kepentingan kaum marginal
adalah justru komponen esensial dari kedaulatan rakyat. Kuantifikasi demokrasi adalah
konsekwensi dari “electoral politics”, tetapi esensi demokrasi adalah perlindungan terhadap
“the unspeakable”.
Pada kasus negara-negara "multikultural", politik identitas juga dieksploitasi sebagai
"statistik pemilu". Tapi negara bersikap imparsial terhadap isu itu karena tuntutan politik
identitas justru berasal dari golongan minoritas. Pada kita, di sini, politik identitas justru
menjadi obsesi golongan mayoritas. Sebetulnya agak aneh bahwa mayoritas masih menuntut
rekognisi, bahkan identitas. Jadi, sistem kita memang bukan "multikultural" dalam arti ada
imparsialitas negara terhadap keberagaman. Negara bahkan didefinisikan oleh antropologi
politik mayoritarianisme itu. Simbol-simbol moderen dari sistem demokrasi hari ini justeru
penuh dengan semiotik religius: dalam sistem pendidikan dan kurikulum, dalam peraturan
daerah, dalam sensor informasi, dalam dalil-dalil mahkamah konstitusi, dan tentu saja dalam
artikulasi politik Pilkada.
Ide toleransi misalnya, sebagai konsep pengikat kemajemukan, hanya dipahami dan
dipraktekkan terbatas sebagai "toleransi antar agama". Toleransi justru menjadi sangat
eksklusif karena ia membentuk semacam "kartel kesolehan" di antara umat beragama saja. Ia
menjadi tak toleran pada mereka yang "tak beragama", atau mereka yang bermadzhab "lain"
dari teologi mayoritas. Kondisi ini juga dibiarkan oleh negara karena fakta
"mayoritarianisme" itu telah berkekuatan hegemonik.

3. Skema Solusi

Bila proposal “deliberative democracy” hendak diajukan sebagai kerangka pedagogi


kemajemukan, maka dua syarat kembarnya harus disediakan: “public reason” dan “political
consensus”. Menyediakan dua kondsi itu berarti mulai dengan mengeksplisitkan sifat politik
negara yang sekuler. Intinya: “public reason” tak boleh diisi dengan “comprehensive
doctrines”, dan prosedur pencapaian konsensus tak boleh didasarkan pada prinsip
representasi “mayoritariansme”. Pada syarat epistemik ini, ideal Rawlsian tentang “political
liberalism” harus dapat membatalkalkan tuntutan politik identitas yang basisnya adalah
obsesi ideologis. Imajinasi tentang “Negara Pancasila” harus sungguh dilepaskan dari
“politics of memory” agar obsesi-obsesi teokratik maupun teknokratik tidak berkesempatan
menjadi dominan.
Proposal ini tentu akan menjadi isu politik kontroversil. Terutama soal imperatif “beragama”
yang seolah-olah berstatus “kewajiban” dalam “Ideologi Pancasila”, tetapi bersifat “hak”
dalam pengaturan konstitusi. Artinya, selama imperatif itu bekerja secara diskursif dalam
praktek politik negara dan dalam lapis sosietal, maka selalu akan timbul obsesi ideologis
untuk mengembalikan memori Piagam Jakarta itu.
Hari-hari ini, akan ada ujian serius terhadap demokrasi kita: apakah eskalasi isu agama dalam
politik Pilgub Jakarta akan diartikulasikan sebagai protes ad hoc terhadap "peristiwa"
politisasi agama dalam kasus "Surah Al-Mai'dah", atau ia justeru akan memperkuat obsesi
"politics of memory" yang kini menemukan momentumnya pada politik Pilgub DKI Jakarta.
Sekaligus akan diuji kedewasaan politik elit: hendak keluar dari kerangka politik identitas itu
atau justru ingin memanfaatkan fabrikasi identitas itu demi kepentingan statistik pilkada.
Materi politik kita memang tak banyak berubah kendati forma-nya telah berganti. Fabrikasi
agama oleh politik Orde Baru terus terbawa masuk dalam forma politik reformasi. Bahkan
"tema agama" tetap menguat dalam semua aktivitas politik formal sampai ke daerah. Benar
ada transaksi pragmatis pada lapis politik elit dalam mengatur distribusi kekuasaan politik
formal. Ada cukup contoh tentang koalisi pragmatis (melampaui distingsi ideologis
kepartaian) dalam mengatur "tukar-tambah" kekuasaan di suatu daerah. Tetapi pada lapis
sosietal tetap berlangsung pendalaman normatif tentang politik yang berbasis agama.
Memang tak ada kaitan formal antara "kurikulum ideologis" di tingkat masyarakat dengan
representasinya pada sistem kepartaian. Dengan kata lain, terjadi "overlapping consensus"
pada proses politik formal, tetapi juga terjadi pendalaman ideologis pada basis-basis politik
komunal.
Kita dapat membaca dinamika politik Islam ini dalam kontra-diskursus antara "Islam
Nusantara" dan "Islam Arab". Tetapi perebutan diskursus itu (antara kontekstualisasi dan
normativitas), tetap terkait dengan "politics of memory" yang memang tak hendak
diselesaikan oleh negara. Jadi, kontra-diskursus itu tidak berlangsung dalam upaya pluralisasi
nilai dan paham-paham kultural, melainkan tetap dalam obsesi "memorabilia" politik
identitas.
Karena itu, saya berpendapat, ketegangan "memorabilia" ini, akan terus menjadi-jadi bila
negara tidak secara eksplisit mendalilkan sifat sekuler dari konstitusi kita. Apalagi bila negara
secara implisit menikmati surplus statistik dari fabrikasi politik identitas itu. Negara tidak
membangun legitimasinya berdasarkan argumen Weberian, melainkan lebih melalui fabrikasi
sentimen politik id

Anda mungkin juga menyukai