POLITIK IDENTITAS (Dari Joko)
POLITIK IDENTITAS (Dari Joko)
1. Duduk Perkara
Sejumlah soal secara nyata kini diajukan ke dalam sistem demokrasi kita. Dari ihwal “dasar
negara”, “keaslian warganegara” sampai soal “orientasi seksual warganegara”. Reformasi
memungkinkan semua persoalan ditampilkan sebagai diskursus politik publik, demi menguji
sejauh mana sistem demokrasi mampu mengelola artikulasi politik warga. Tetapi yang terasa
hari-hari ini, perdebatan tentang soal-soal itu kurang diajukan dengan basis “public reason”.
Komunalisme masih kuat mensponsori agenda artikulasi itu, dengan akibat diskusi publik
lebih banyak berisi sentimen ketimbang argumen. Agenda demokrasi adalah mengaktifkan
kepentingan-kepentingan politik untuk dikenali oleh sistem demokrasi agar partisipasi dapat
diselenggarakan maksimal. Pluralisme dalil politik akan diolah demi mencapai "political
consensus", yaitu kesepakatan epistemik untuk tidak mengabsolutkan "politik identitas".
Tentu ini tak berarti bahwa kepentingan politik agama tak boleh didalilkan sebagai tuntutan
politik identitas. Kepentingan itu sah sebagai tuntutan, tetapi ia harus ditransformasikan
menjadi tuntutan yang konsensual dan diargumentasikan secara rasional. Artinya, konsepsi-
konsepsi teologis harus dapat dipersoalkan secara sosiologis, karena kebijakan publik
memerlukan parameter sosiologis.
Memori Kolektif
Setiap kali tersedia momentum politik, obsesi tentang politik identitas menggeliat ulang
dalam politik kita. Obsesi itu terutama mengenai “dasar penyelenggaraan kehidupan
bernegara”. Wacana “Syariat Islam” menjadi dominan dalam politik artikulasi itu karena
reformasi menjaminnya. Pada permukaan, wacana itu tampak sebagai artikulasi demokrasi,
yaitu kebebasan menyuarakan pendapat. Tetapi ada faktor khas dalam argumentasi wacana
itu, yaitu “memori kolektif” dalam genealogi penyusunan konstitusi: bahwa pernah ada
pikiran untuk menjadikan Islam sebagai prinsip politik bernegara melalui dokumen “Piagam
Jakarta”: Ketuhanan Yang Maha Esa “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluknya”. Jelas ada memori “politik identitas” di situ. Tentu bukan tuntutan rekognisi
atas nama prinsip “overlapping consensus” Rawlsian yang menjadi paradigma dari wacana
politik identitas itu, melainkan obsesi ideologis (yang disebut Rawls “comprehensive
doctrine”) yang justeru tidak masuk dalam skema pluralisme Rawls.
Momentum politik –di dalam maupun di luar negeri- merelevansikan tuntutan politik
identitas itu dengan memanfaatkan kondisi demokrasi. Dalil bahwa demokrasi harus
menerima semua "klaim kebenaran", dan bahwa kompetisi demokratis harus mengijinkan
representasi plural dalam parlemen dan partai politik, telah juga dimanfaatkan negara untuk
mengefisienkan sistem pengambilan keputusan-keputusan politik strategis. Akomodasi
negara terhadap tuntutan itu nampak sangat politis karena ada kalkulasi “legitimasi elektoral”
dalam wacana politik Islam itu. Tidak ada satu rezim yang mau mengambil risiko politik
dengan bersikap “kritis” terhadap artikulasi politik indentitas itu. Padahal konstitusi telah
menutup perdebatan tentang “filosofi negara” dengan merumuskan formula “kedaulatan
rakyat” sebagai pedoman penyelenggaraan negara. Jadi, sebetulnya semua ide lain tentang
“dasar negara” (“teokrasi”, “monarki”) telah tertolak dalam konsensus konstitusional 1945
itu.
Karena itu, dapat dihipotesakan bahwa berlanjutnya klaim politik identitas dalam politik
demokratis hari ini adalah akibat dari bertemunya kepentingan "politics of memory" dengan
fabrikasi "electoral politics". Artinya, negara juga berkepentingan dengan "fakta
mayoritarianisme" itu, dan karena itu tidak tegas terhadap obsesi "politik identitas". Bifurkasi
inilah yang menjelaskan belanjutnya tuntutan politik identitas itu. Dalam pemilihan gubernur
DKI Jakarta sekarang ini, isu itu menemukan momentum.
2. Multikulturalisme Semu
3. Skema Solusi