Anda di halaman 1dari 10

Nama : Dian Permata

NPM : 2203100023
Program Studi : Ilmu Administrasi Publik
Dosen Pengampu : Rafieqah Nalar Rizky, S.Sos.,M.A.
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Tugas
Review buku mengenai “Sosiologi Politik” berdasarkan beberapa tema yang telah ditentukan!
Judul buku : Sosiologi Politik
Penulis : Susi Fitria Dewi, S.Sos., M.Sl., Ph.D
Design Cover dan Tata Letak : Manvan & Gun
Penerbit : GRE PUBTISHING
ISBN : 978-602-7677-32-6
Halaman : 53 halaman
Cetakan : 2017

Dalam Buku ini penulis menjelaskan Sosiologi politik merupakan kajian interdisiplin,
irisan dua bidang ilmu, yakni sosiologi dan politik. Apabila sosiologi mengkaji mengenai
masyarakat, lalu politik mengkaji kekuasaan para pengambil keputusan, maka sosiologi politik
mengkaji relasi antara kehidupan masyarakat dengan keputusan- keputusan yangdiambil oleh
penguasa.
Buku ini terdiri dari tuiuh bab, dimana pembahasan dimulai dari konsep dasar sosiologi
politik, konsep kekuasaan, faktor-faktor dalam struktur politik, unsur-unsur politik, gerakan
sosial dan partai politik, konflik dan penyelesaiannya, Terakhir hubungan parpol dengan
perubahan politik. Pemilihan tema disesuaikan dengan konsep-konsep yarlg sering
didiskusikan dalam ruang perkuliahan dan issue yarrg menjadi perbincangan di berbagai media
massa. Sehingga buku Sosiologi Politik ini dapat digunakan oleh mahasiswa dan Para
Pembaca Yang tertarik dengan fenomena sosiologi politik.
Namun, teori di balik buku ini bertujuan menjadi suatu teori umum yang berlomba-
lomba untuk mempertahankannya, sekurang-kurangnya dalam arti kerangka masalah yang
ditelitinya. Keasliannya terletak di dalam menyeberangi kerangka khusus dari kedua
kosmogoni politik yang besar dan saling bertikai dalam zaman kita: Teori Barat dan Teori
Marxis masing-masingnya dianggap sebagai sintesa parsial dan relatif. Persis seperti seorang
ahli ekonomi yang baik mulai membangun generalized economics yang menyeberangi sistem-
sistem ekonomi yang berbeda-beda yang dipakai pada saat sekarang, demikian pula kita
mencoba di sini meletakkan dasar bagi generalized politics.
Konsep yang terdapat dalam buku ini berasal dari konsep-konsep yang telah dituliskan
oleh penulis buku sosiologi politik sebelumnya, seperti Tom Bootomore, Rafael Raga Maran,
Maurice Duverger, Damsar, Michael Rush & Philip Althoff, Keith Faulks dan Mochtar
Mas'oed Nasikun. Kelebihan buku ini adalah dituliskan dalam bahasa yang lebih sederhana,
dilengkapi dengan bagan alur serta beberapa analisis fenomena sosiologi politik terkini,
sehingga diharapkan mudah dimengerti oleh para pembaca.
Sosiologi politik didefinisikan sebagai subjek area (bidang subjek) beberapa orang lain
menamakan mata rantai antar politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan
struktur-struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku politik dengan melihat
sosiologi politik merupakan jembatan teoritis dan jembatan metodologis antara sosiologi dan
ilmu politik, atau yang oleh Sartori disebut hybird inter-dicipliner. Skema konsepsi tersebut
dilandaskan pada empat konsep, yaitu; sosialisasi politik, partisipasi, penerimaan atau
perekrutan politik dan komunikasi politik. Semua konsep itu sifatnya interdependent,
bergantung satu sama lain dan saling berpautan. Karenanya kita mendefinisikannya sebagai
berikut:
1. Sosialisasi politik adalah proses, oleh pengaruh mana seseorang individu bisa mengenali
sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta
reaksinya terhadap gejaiagejala politik. Sosialisasi politik mencakup pemeriksaan mengenai
lingkugan kultural, lingkungan politik dan lingkungan sosial dari masyarakat individu yang
bersangkutan. Juga mempelajari sikap-sikap politik serta penilaiannya terhadap politik. Maka
sosialisasi politik itu merupakan mata rantai paling penting di antara sistem-sistem sosial
dengan sistem-sistem politik, namun satu sistem bisa berbeda sekali dengan sistem lainnya.
2. Partisipasi politik ialah keterlibatan individu sampai pada bermacam- macam tingkatan di
dalam sistem politik. Aktiviatas politik itu bisa bergerak dari ketidak-terlibatan sama-pai
dengan aktivitas jabatannya. Oleh karena itu, partisipasi politik itu berbeda-beda pada satu
masyarakat dengan masyarakat lainnya, juga bisa bervariasi di dalam masyarakat-masyarakat
khusus, maka pentinglah bagi kita untuk mempelajari konsep- konsep mengenai apa itu politik
dan alienasi serta peranan mereka dalam ketidak-terlibatan dan keterlibatan mereka yang
terbatas.
3. Perekrutan politik adalah proses dengan mana individu-individu menjamin atau
mendaftarkan diri untuk menduduki suatu jabatan. Perekrutan ini merupakan proses dua arah
dan sifatnya bisa formal maupun tidak formal. Merupakan proses dua arah karena
individuindividunya mungkin mampu mendapatkan kesempatan atau mungkin didekati oleh
orang lain dan kemudian bida menjabat posisi-posisi tertentu.
4. Komunikasi politik ialah proses dimana informasi plitik yang relevan diteruskan dari sauatu
bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-
sistem politik. Kejadian tersebut merupakan proses yang berkesinambungan, melibatkan pula
pertukaran informasi di antara individu-individu dengan kelompok- kelompoknya pada semua
tingkat masyarakat.
Politik dianggap sebagai pergolakan dan Pertempuran, antara kelompok-kelompok dan
individu yang ingin berkuasa atau mempertahankan dominasinya terhadap masyarakat dengan
cara mengeksploitirnya. Sedangkan individu dan kelompok yang lain menentang dominasi dan
tindak eksploitatif tersebut. Di sini politik merupakan sarana untuk mempertahankan hak-hak
istimewa kelompok minoritas dari dominasi kelompok mayoritas. Politik juga dipandang
sebagai suatu usaha untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Di sini kekuasaan dipakai
untuk mewu.iudkan kemakmuran bersama dan melindungi kepentingan umum dari tekanan
kelompok-kelompok tertentu. Artinya, politik merupakan sarana untuk mengintegrasikan
seriap orang ke dalam komunitas dan menciptakan keadilan seperti yang dicita-citakan oleh
Aristoteles.
Pemahaman politik mencakup konflik antara individu-individu dan kelompok untuk
memperoleh kekuasaan, yang dipergunakan oleh pemenang bagi keuntungannya sendiri atas
kerugian dari yang ditaklukkan, maupun usaha untuk menegakkan ketertiban sosial yang
berguna bagi semua orang merupakan dasar teori kita tentang sosiologi politik. Hal ini akan
menjadi garis penuntun melalui semua perkembangan yang bakal menyusul. Satu dari
kekurangan yang sungguh-sungguh di dalam sosiologi politik masa kini adalah ketiadaan teori
umum yang diterima oleh komunitas para sarjana, atau teori apa pun yang bisa berlaku sebagai
dasar bagi penelitiannya masing-masing. Setiap sarjana berwajib untuk mengisi kesenjangan
tersebut dengan membangun sintesanya sendiri. Akan lebih baik jadinya bilamana ini
dilakukan secara jujur, dengan mengakui bahwa seseorang menawarkan ide-ide pribadi,
daripada memberikan embel-embel obyektivitas dan generalitas kepada pendapat-pendapatnya
yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Partisipasi politik adalah bagian penting dalam kehidupan suatu negara. Terutama bagi
negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, partisipasi politik merupakan salah
satu indikator penting. Artinya suatu negara barn bisa disebut sebagai negara demokrasi, jika
pemerintah yang berkuasa memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara
untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Sebaliknya, warga negara yang bersangkutan juga
harus memperlihatkan tingkat partispasi politik yang cukup tinggi. Jika tidak, maka kadar
kedemorkatisan negara tersebut masih diragukan. Masalah partisipasi politik bukan hanya
menyangkut watak atau sifat dari pemerintahan negara, melainkan lebih berkaitan dengan sifat
dan karakter masyarakat suatu negara dan pengaruh yang ditimbulkannya. Oleh karena itu,
partisipasi politik menjadi kajian penting dalam sosiologi politik, di samping juga menjadi
kajian ilmu politik. Dan dalam modul ini, partisipasi politik menjadi topik inti yang harus Anda
pelajari dengan sungguh-sungguh.
Pertama, partisipasi politik yang menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap.
Dalam hal ini komponen-komponen subjektif seperti orientasi-orientasi politik yang meliputi
pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan mengenai kompetisi
dan keefektifan politik, dan persepsi-persepsi mengenai relevansi politik tidak dimasukkan.
Hal-hal seperti sikap dan perasaan politik hanya dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan bentuk tindakan politik, tetapi terpisah dari Tindakan politik.
Kedua, subjek yang dimasukkan dalam partisipasi politik itu adalah warga negara,
preman (private citizen) atau lebih tepatnya, orang per orang dalam peranannya sebagai warga
negara biasa, bukan orang-orang professional di bidang politik seperti pejabat-pejabat
pemerintah, pejabat-pejabat partai, calon-calon politikus, lobbi profesional. Kegiatan yang
disebut partisipasi politik ini bersifat terputus-putus, hanya sebagai sambilan atau sebagai
pekerjaan sewaktu-waktu (evocational dan bersfiat sekunder saja dibandingkan dengan
peranan-peranan sosial lainnya.
Ketiga, kegiatan dari apa yang disebut partisipasi politik itu hanyalah kegiatan yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan kepada
pejabat pejabat pemerintah yang mempunyai wewenang politik. Sasarannya adalah untuk
mengubah keputusan-keputusan pejabat-pejabat yang sedang berkuasa, menggantikan atau
mempertahankan pejabat-pejabat itu, merubah atau mempertahankan organisasi sistem politik
yang ada dan aturan-aturan main politiknya. Tujuan-tujuan itulah yang menjadi batasan
partisipasi politik terlepas apakah itu legal atau tidak. Karena itu aktivitas seperti misalnya
protes-protes, huru-hara, demonstrasi, kekerasan, bahkan pemberontakan untuk mempengaruhi
kebijaksanaan pemerintah merupakan bentuk-bentuk partisipasi politik.
Keempat, partisipasi politik mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi
pemerintah, terlepas apakah tindakan itu mempunyai efek atau tidak, berhasil atau gagal.
Kelima, partisipasi politik mencakup partisipasi otonom dan partisipasi
dimobilisasikan. Partisipasi otonom adalah kegiatan politik yang oleh pelakunya sendiri
dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemernitah. Sedangkan partisipasi
yang dimobilisasikan adalah kegiatan politik yang dilakukan karena keinginan oran glain.
Demikian batasan partisipasi politik yang dikemukakan oleh Huntington dan Nelson.
Batasan yang lebih luas mengenai partisipasi politik dikemukakan oleh Miriam Budiardjo. la
memandang partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut
secara aktif dalam kehidupan politik, misalnya dalam pemilihan pemimpin negara,
mempengaruhi kebijaksanaan negara dan berbagai kegiatan lainnya
Partisipasi politik dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dilihat sebagian suatu
kegiatan partisipasi politik dapat dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif.
Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan
umum, mengajukan alternatif kebijakan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah,
mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemeirntah, membayar pajak dan
ikut dalam proses pemilihan pimpinan pemerintahan.
Partisipasi politik, sebagai suatu aktivitas, tentu banyak dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Banyak pendapat yang menyoroti faktor-faktor yang mempengaruhbi partisipasi politik.
Ada yang menyoroti faktor-faktor dari dalam diri seseorang, ada yang menyoroti faktor-faktor
dari luar dan ada yang menggabungkannya. Berbagai pendapat tersebut dapat dilihat dalam
uraian berikut ini.
Surbakti menyebutkan dua variabel penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya
tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama, adalah aspek kesadaran politik seseorang yang
meliputi kesadaran terhadap hak dan kewahiban sebagai warga negara. Misalnya hak-hak
politik, hak ekonomi, hak mendapat perlindungan hukum, hak mendapatkan jaminan sosial,
dan kewajiban-kewajiban seperti kewajiban dalam sistem politik, kewajiban kehidupan sosial,
dan kewajiban lainnya. Kedua, menyangkut bagaimanakah penilaian dan apresiasinya terhadap
pemerintah, balk terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahannya.
Partisipasi politik dinilai secara berbeda-beds di dalam masyarakat yang berbeda. Di
mans hal itu dianggap sebagai tujuan yang perlu dicapai. Perluasan partisipasi politik
melibatkan biaya dan konsepsi ditinjau dari segi tujuan- tujuan lain, serta biaya-biaya dan
konsepsikonsepsi itu berada di antara masyarakat-masyarakat yang berlainan pada tingkat yang
berlainan dari modernisasi atau pembangunan secara keseluruhan. Pokok persoalan yang
penting adalah bahwa peranan partisipasi politik di dalam masyarakat merupakan satu fungsi
dari prioritas-prioritas yang diberikan keapda variable dan tujuan-tujuan lain dan dari strategi
pembangunan secara keseluruhan.
Pembangunan yang dimaksud di sini adalah sebagai proses modernisasi atau proses
pembinaan bangsa (nation building) di segala bidang, baik ekonomi, politik, sosial, budaya,
pendidikan maupun mental. Dalam hal ini terkandung satu pengertian bahwa pemberian
prioritas pertama kepada pembangunan ekonomi seperti sekarang ini hanyalah merupakan
suatu strategi menujun ke arah itu. Sukses dalam pembangunan ekonomi diharapkan akan
melimpah ke bidang-bidang yang lain sehingga merangsang mereka untuk berkembang pula.
Banyaknya pengenian politik menunjukkan bahwa apa yang disebut polidk itu
senantiasa ambivalen. Dewa Janus yang bermuka dua adalah gambaran tentang citra kekuasaan
dan secara mendalam mengungkapkan kebenaran politik. Di satu sisi, kekuasaan dijadikan alar
unruk mendominasi orang atau pihak lain. Di sini yang lain, kekuasaan dijadikan sarana untuk
menjamin ketertiban sosial tertentu atau sebagai alar pemersatu. Kedua paham ini merupakan
dasar teoritis bagi pembicaraaan tentang sosiologi politik. Namun perlu dicatat, bahwa tidak
ada suatu teori umum renrang sosiologi politik yang dapat diterima oleh semua sarjana terkait.
Merumuskan teori umum renrang sosiologi politik merupakan ranrangan sekaligus peluang
bagi sarjana sosiologi politik kontemporer.
Sosiologi politik memfokuskan kaitan pada perilaku sosial yang berkembang pada saat
masyarakat memberi respon terhadap sistem birokrasi. Masyarakat sebagai pemberi respon
birokrasi inilah yangmenjadi bahagian kajian sosiologi politik.
Pandangan ini menghendaki agar ruang lingkup kekuasaan dalam sosiologi politik tidak
terlalu luas dan tanpa arah. Gambar di atas menekankan kajian sosiologi politik tidak pernah
lepas dari keterkaitannya dengan Negara. Sebab hamper semua institusi memiliki kaitan
dengan negara, dibandingkan dengan sesama organisasi privat. Perusahaan misalnya
merupakan persoalan hubungan antara karyawan dengan pengusaha, upah buruh minimum,
pemilikan saham, dan sebagainya. Namun pada aspek tertentu, misalnya pembayaran pajak,
izin usaha dan pendirian, Penentuan upah tetap menjadi persoalan negara. Itu sebab hubungan
perusahaan dan negara merupakan kajian sosiologi politik. Bahkan dewasa ini hubungan
organisasi privat dengan negara semakin kuat sebab seluruh proses pengambilan berbagai
keputusan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar anggota
masyarakat menjadi tidak dapat dilepaskan dengan hukum dan birokrasi Negara.
Pandangan kedua mengatakan bahwa sosiologi politik seharusnya bukan hanya
mempelajari atau membahas masalah kekuasaan yang berkaitan dengan Negara, melainkan
juga pada unit-unit kehidupan sosial yang lain yang lebih kecil, seperti: keluarga, asosiasi atau
organisasi. Ini berarti jika pandangan pertama berbicara pada level makro saja (hubungan
negara dan masyarakat), sedangkan pandangan kedua berbicara pada level makro sekaligus
mikro (negara, hubungan negara dan masyarakat, masyarakat itu sendiri).
Pandangan di atas berpijak pada suaru pemahaman bahwa jika kekuasaan adalah objek
sosiologi potitit , maka hampir semua bentuk hubungan sosial ditemukan kekuasaan dan
struktur kekuasaan. Dalam keluarga batih misalnya, terdapat anggota keluarga reftenru yang
paling berkuasa atau paling determinan dalam proses pengambilan keputusan. Sementara itu
anggota-anggota keluarga lainnya hanya dalam posisi subordinasi atau di pinggiran
(dipinggirkan). Demikian pula dalam keluarga besar, ada orang-orang tertentu yang secara adat
diposisikan lebih tinggi dan diberi peranan tebih besar. Hampir semua persoalan yang berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan- kebutuhan dasar dasar ditaruh dan dipertaruhkan kepada orang-
orang semacam itu.
Menurut pengertian yang lebih modern, sosiologi politik adalah ilmu tentang
kekuasaan, pemerintah, otoritas, komando, di dalam semua masyarakat manusia, tidak hanya
di dalam masyarakat nasional. Leon Daguit, seorang ahli hukum, berkebangsaan Perancis
menyatakan terdapat perbedaan antara pemerintah dan yang diperintah. Katanya, dalam setiap
kelompok manusia, mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar, mulai dari yang rapuh
hingga yang paling stabil terdapat orang yang memerintah dan mereka yang mematuhinya.
Terdapat mereka yang membuat keputusan dan orang-orang yang menaati keputusan yang
bersangkutan. Perbedaan tersebut merupakan fenomena politik yang fundamental yang
dijelaskan melalui studi perbandingan pada setiap masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial
(DuvergerMaurice. 2001).
Pada berbagai macam organisasi sosial (keagamaan, kemahasiswaaan, kewanitaan,
kriminalitas dan sebagainya) juga ditemukan struktur kekuasaan. Di kalangan organisasi sosial
tertentu kekuasaan dan struktur kekuasaan dibangun berdasarkan ketentuan-ketentuan resmi
yang disepakati. Kemudian di kdangan organisasi sosial tertennr lainnya, kekuasaan dan
struktur kekuasaan dibangun dan dilembagakan melalui keyakinan dengan menghubungkan
pengaruh kekuatan kekuatan gaib.
Ini mengukuhkan pendapat bahwa konsep kekuasaan tidak hanya melekat pada Negara,
dengan kata lain tidak hanya menjadi kajian ilmu politik. Pokok bahasan sosiologi politik
menjadi lebih luas karena pada dasarnya fenomena yang dikaji berada pada seputar masalah
pengaruh dan pihak yang dipengaruhi (kekuasan dan yangpihak yang berkuasa). Hal yang perlu
diingat adalah pandangan ini tidak mengatakan bahwa bentuk kekuasaan adalah sama pada
semua kehidupan sosial sebaliknya diakui bentuk-bentuk hubungan sosial yang berbeda bisa
melahirkan kekuasaan yang berbeda pula.
Titik pandang di sini artinya adalah pendekatan atau metode yang dipakai oleh para ahli
sosiologi politik untuk mempelajari masalah-masalah yang menjadi objek perhatian mereka.
Biasanya para ahli sosiologi politik mempelajari masalah-masalah seperti tersebut di bawah
ini:
a. Kondisi-kondisi apakah yang menimbulkan tertib politik atau kekacauan politik dalam
masyarakat?
b. Mengapa sistem-sistem politik tertentu dianggap sah atau tidak sah oleh warga negara?
c. Mengapa sistem-sistem politik tertentu stabil, sedangkan yang lainnya tidak?
d. Mengapa ada pemerintahan yang demokratis, dan mengapa ada yang totaliter? Mengapa
pula ada pemerintahan yang merupakan kombinasi antara keduanya?
e. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan variasi pada sistem kepartaian, taraf partisipasi
politik, dan angka rata- rata, pemilihan suara?
Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut dipergunakan berbagai cara pendekatan
seperti pendekatan historis, pendekatan komparattf, institusional, dan pendekatan behavioral.
Melalui pendekatan historis kita berusaha mencari karya peru ahli sosiologi politik klasik untuk
menemukan konsep-konsep dan minat-minat tradisional dari sosiologi politik sebagai suatu
disiplin intelektual. Dengan care ini kita bisa menemukan bagaimana jawaban-jawaban mereka
atas permasalahan-permasalahan yang kita hadapi. Dengan kata lain, pendekatan ini
memberikan suatu perspektif yang diperlukan bagi studi-studi yeng sama, baik dalam
pengertian kontekstual maupun temporal.
Melalui pendekaran komparatif kita mempelajari gejala- gejala sosial politik dari suatu
masyarakat tertenru untuk menyorot fenomena yang kita hadapi. Pendekatan semacam ini
dipergunakan antara lain oleh Ostrogorski dan Michels dalam studi mereka tentang partai-
partai politik, dan diterapkan pada studi lingkungan oleh Almond dan kawan-kawan beserta
Lipset.
Kedua pendekatan di atas, sering digunakan oleh peneliti sosiologi politik. Berbeda
dengan pendekatan institusional, pendekatan ini dianggap tidak memadai dan tidak realistis,
sebab studi ini mengabaikan realitas tingkah laku politik. Masalahnya ialah, bahwa pendekatan
ini mengkonsentrasikan diri pada faktor-faktor konstitusional dan legalistik. Dengan kara lain,
institusi-institusi sosial atau lembagalembaga sosial merupakan unit dasar analisis. Dengan
demikian orang memberikan tekanan yang berlebihan pada pandangan bahwa dngkah laku
politik itu selalu berlangsung dalam kerangka institusional. Sering kali kaitan tingkah laku
dengan instirusinya ddak dijelaskan secara memadai.
Pendekatan behavioral (pendekatan perilaku) dianggap menjadi solusi bagi kekeliruan-
kekeliruan yang terdapat pada pendekatan-pendekatan lainnya. Pendekatan behavioral
menggunakan individu sebagai dasar dari analisis. Di sini fakta dan nilai dipisahkan, dan orang
membuat generalisasi berdasarkan prinsip verifikasi. Meskipun demikian pendekatan ini
dikritik berdasarkan dua alasan. Pertama, para pengguna pendekatan ini dianggap terlalu kaku
dalam melakukan analisis politik dan sosial. Sikap kaku itu dipertahankan demi standar-
standar yang tinggi yang dipentingkan dalam pendekatan ini.
Kedua, pendekatan ini mengabaikan segi-segi yang merupakan kelebihan dari
pendekatan-pendekatan lain. Padahal tidak ada satu pendekatan yangpaling baik dan sempurna.
Bagaimanapun setiap pendekatan adalah parsial. Karena itu berbagai pendekatan itu bisa saling
melengkapi. Menggabungkan beberapa pendekatan dapat menghasilkan suatu Pengetahuan
yeng lebih utuh, misalnya tentang suatu fenomena sosial politik.
Pada bidang sosiologi politik terkenal teori sistem yang beranggapan bahwa semua
gejala sosial merupakan bagian dari pola tingkah laku yang konsisten, internal, dan reguler,
dapat dilihat dan dibedakan. Itulah yang disebut sistem sosial yang terdiri dari subsistem-
subsistem yang saling bergantung, seperti halnya kaitan antara ekonomi dan politik. Salah satu
tokoh terkemuka dalam teori sistem adalah Talcot Parsons yang menulis buku The Sosial
Sisrem (1951).
Teori berfungsi untuk mengarahkan peneliti memahami suatu konsep umum tentang
fenomena di mana seorang ilmuwan bekerja. Teori bekerja seperti "bagaimana dunia itu
disatukan dan bagaimana dunia itu bekerja". Artinya, teori memberi panduan umum tentang
kerangka utama dari suatu fenomena yang sedang diteliti. Teori berisikan ide-ide utama rentang
hakikat dari unit-unit sosial yang mencakup pola relasi-relasi di antara unit sosial (Raga
Margan, Rafael. 2001).
Ada tiga manfaat sosiologi politik manfaat analids, manfaat praktis dan manfaat moral.
Sosiologi politik dinyatakan memiliki manfaat analitis karena di dalamnya menawarkan
berbagai macam teori dan metodologi yang dapat dipergunakan untuk membaca fenomena
politik Yang riil berkembang dalam masyarakat. Dalam sosiologi politik dibahas teori dan
metodologi struktur kekuasaan dan distribusi kekuasaan yang ada dalam masyarakat termasuk
juga sosialisasi politik, partisipasi politik, komunikasi politik, dan Gerakan politik.
Perbendaharaan pengetahuan tentang teori dan metodologi mengenai fenomena serta
masalah semacam itu akan sangat membantu kita dalam mengidentifikasi mengapa suatu
fenomena politik tertentu muncul dan berkembang dalam masyarakat. Di samping itu juga akan
sangat membantu dalam membuat prediksi apa kira-kira yang kelak terjadi.
Selaniutnya sosiologi politik memiliki manfaat praktis karena di dalamnyajugadibahas
berbagai macam strategi untuk mencapai tujuan politik. Ada di antara strategi-strategi tertentu
yang tergolong efektif dan efesien untuk menjawab kepentingan politik tertentu, tapi ada pula
yang di antaranya justru potensial menghadirkan konflik politik yang berkepanjangan.
Kemudian ada di antara strategi-strategi tersebut yang tergolong efektif dan efisien untuk
diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang tergolong modern industrial, tapi ada juga yang
justru lebih relevan pada maryarakat agraris - tradisional.
Manfaat kedua yakni manfaat moral maksudnya dengan memahami teori dan
metodologi yeng berkembang dalam sosiologi politik serta strategi-strategi yang tergolong
efektif dan efisien dalam usaha memenuhi kepentingan politik atau mencapai tujuan politik
dapat meningkatkan komitmen kerakyatan kita. Komitmen tersebut berkaitan dengan
"keberpihakan" yang ditempatkan sebagai tawaran bukan doktrin wajib yang harus diikuti.
Karena itulah kita perlu berhati-hati memilih supaya dapat menghindari bentuk-bentuk
monopoli dan eksploitasi (Sunyoto tIsman, 2001).
Didalam buku ini Kekuasaan adalah kemampuan untuk menguasai atau mempengaruhi
orang lain untuk melakukan sesuatu. Kekuasaan juga diartikan kemampuan mengatasi
perlawanan dari orang lain. Untuk memiliki kemampuan ini, ada yeng dilakukan secara sah
dan ada pula yengtidak sah. Menurut Max'Weber, Seseorang dikatakan sah untuk berkuasa
apabila ia memiliki kewenangan/otoritas dan legitimasi/hak dari pihak pemberi kekuasaan.
Sedangkan kekuasaan dikatakan tidak sah apabila seseorang mempengaruhi orang lain dengan
cara paksaan dan kekerasan.
Sumber-sumber kekuasaan yang terdapat dibuku ini yaitu :
• Kekuatan militer, dimiliki oleh polisi untuk mampu menguasai kekerasan kriminal.
• Kekuatan ekonomi, seperti tanah, modal yang dapat menguasai tenaga kerja.
• Kekuatan politik, dimiliki politisi dan pejabat Negara yang berwenang atau berhak
mengambil keputusan.
• Kekuatan ideologis (tradisional), dimiliki oleh tokoh adat yang menguasai sistem
kepercayaan, nilai-nilai moral, pengetahuan agama sehingga mampu melakukan
doktrinisasi dan propaganda.
PERTUMBUHAN KEKUASAAN
Menurut Buku ini Ada 3 perkembangan dalam kekuasaan :
• Bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki salah satu sumber kekuasaan,
otomatis akan memiliki sumber kekuasaan Yang lain. Misalnya, orang yang memiliki
kekuatan militer akan menggunakan kekerasan untuk mendapat tanah yang merupakan
sumber kekuasaan ekonomi. Begitu juga dengan orang Yang dipercaya memiliki
kekuatan gaib, baik dengan cara halus maupun dengan kekerasan ia mampu untuk
menguasai sumber kekuasaan ekonomi.
• Kehadiran seseorang atau sekelompok masyarakat Yang memiliki sumber dan struktur
kekuasaan, lambat laun akan memunculkan kekuatan oposisi untuk menentang
stabilitas masyarakar yang diciptakan pemimpin tadi. Kekuasaan kelompok oposisi tadi
dapat semakin kuat apabila ia mampu menyuarakan kepenringan public seharusnya
berada di aras kepentingan pribadi. Isu perbandingan mana yanglebih urama aspek
publik atau privat dapat mengantarkannya untuk memiliki sumber kekuasaan
kepercayeen atau ideologi sehingga mampu untuk menyaingi kekuasaan individu yang
sudah mapan tadi.
• Semakin bertambah jumlah masyarakat maka semakin berkembang fungsi minoritas
sebagai perwakilan mayoritas dalam mengambil keputusan.
Struktur kekuasaan yang paling menarik di buku ini adalah yang paling banyak massanya,
memiliki sumber daya, dan kesepakatan terhadap nilai-nilai tujuan bersama sebagai hasil
pengambilan keputusan bersama. Dengan struktur seperti di atas akan menjadikan anggotanya
lebih taat kepada pemimpin, sehingga ia dapat mengembangan sumber daya, disiplin
organisasi, lebih mandiri/otonom bahkan memiliki kesempatan mengeksploitasi masyarakat.
Unsur- unsur terbentuknya Adanya kepentingan dan dorongan untuk menciptakan
ketertiban sosial. Perebutan kekuasaan oleh kelompok oposisi atau bergabung
membentuk koalisi. Keinginan untuk mempertahankan integritas kelompok Tercukupinya
pangan dan jaminan kedamaian. Legitimasi dapat terjadi atas dua hal; (1) Kepatuhan warga
masyarakat (2) Merupakan Negara yang merdeka.
Kekuasaan pada masyarakat ada yang sah dan ada tidak sah. Dikatakan sahapabila nilai
yengberlaku dalam menjalankan kekuasaan diterima dan diakui oleh masyarakat. Misalnya,
keputusan yang dibuat pengadilan, ayah yang menghukum anakya. Sedangkan yang tidak sah
misalnya kasus pemberian uang suaP.
Kualitas kekuasaan ditentukan kualitas koersi, yakni kekuatan dalam bentuk kekerasan
yang diterapkan, baik dapat menghancurkan atauPun sekedar ancaman. Koersi ini bertolak
belakang dengan pemilu, diplomasi, propaganda, sangsi, boikot, dan lain-lain. Karena cara-
qlra ini tidak menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan potitik. Bia koersi selalu
digunakan maka nilai "kerjasama" akan hilang, dan berefek negatif yang hanya akan
menimbulkan lingkaran kekerasan (Schermerhon, R.A.987).
Ada dua kriteria untuk membedakan institusi dengan hubungan yang bersifat sempit.
Pertama, yang bersifat fisikal dan kedua sikap kolektif dan keyakinan. Secara fisikal hubungan
yang bersifat sempit adalah hubungan manusia yang tidak terikat kepada model-model yang
sudah ada terdahulu, Biasanya berlangsung tidak permanen, sporadis, sekejap, dan tidak stabil.
Sedangkan, institusi adalah model hubungan yang berlaku sebagai pola hubungan yang
kongkrit, bersifat stabil, berlangsung lama dan kohesif. Model- model institusional relatif sama
dengan pengertian "struktur" dalam sosiologi modern. Struktur adalah sistem hubungan-
hubungan yang tidak akan terlepas dari hubungan itu sendiri dan keasliannya ditentukan oleh
hubungannya dengan model struktural. Dalam arti ini, maka parlemen, menterimenteri kabinet,
kepala-kepala negara dan pemilihan umum adalah institusi. Atas dasar keyakinan manusia
kekuasaan dirasakan sebagai kekuasaan oleh mereka yang menaatinya dan mereka yang
menggunakannya. Bagi mereka, hal tersebut bukan hanya fenomena fisik sebuah dominasi,
melainkan juga fenomena psikologis. Dalam hal ini, masalah "legitimasi" (keabsahan) menjadi
penting. Kekuasaan selalu dianggap sebagai sesuatu yang "legitimate" (sah untuk diterima)
sampai tingkat tertentu. Oleh karena kita menerima kekuasaan tersebut, maka sangatiah wajar
bila kita menaatinya. Kekuasaan ditaati, karena kita pikir kita harus berbuat demikian, karena
kita percaya bahwa kekuasaan "sah" adanya untuk ditaati. Jadi, keabsahan ini yang
membedakan kekuasaan dari sekedar hubungan otoritas.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi politik adalah "ilmu
tentang kekuasaan dalam setiap kelompok manusia atau masyarakat". Secara lebih tegas,
Duverger menganggap sosiologi politik sama dengan ilmu politik hampir tidak ada bedanya.
Hal ini didasarkan pemahaman bahwa sosiologi sama dengan ilmu-ilmu sosial. Jika ilmu
politik adalah salah satu bidang dari ilmu-ilmu sosial, maka sosiologi politik dianggap seagai
salah satu cabang dari sosiologi. Oleh karena itu, menurut Duverger yang juga mendapat
pengakuan di Perancis, sosiologi politik sama dengan ilmu politik yakni sama-sama mengkaji
kekuasaan dalam masyarakat sebagai objek studi.
Pemikiran Duverger yang sangat sosiologis tersebut, tentu ditolak oleh para ahli politik.
Rush dan Althoff, misalnya keduanya tidak sependapat dengan pemikiran bahwa sosiologi
politik adalah cabang dari sosiologi dan dianggap sebagai ilmu politik. Keduanya hanya
mengakui bahwa ada studi-studi politik yang dilakukan oleh para sosiolog, seperti Marx
Webwer, Mosca, dan Pareto dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Rush dan
Althoff, sosiologi politik merupakan bidang subjek yang mempelajari mata rantai antara politik
dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik, dan antara tingkah
laku sosial dan tingkah laku politik. Menurutnya sosiologi politik merupakan jembatan teoritis
dan jembatan metodologis antara sosiologi dan ilmu politik, atau yang oleh Sartori disebut
hybrid inter- dicipliner.
Bila disimak lebih mendalam, maka posisi sosiologi politik sebagaimana diungkapkan
oleh Duverger di atas, tampaknya lebih tepat jika diterapkan pada program sudi Ilmu Sosiologi.
Sementara pemikiran Rush dan Althoff sangat tepat diterapkan pada program studi ilmu politik.
Untuk kepentingan pembelajaran pada program studi PPKn, maka pendapat Rush dan Althoff,
secara substantial tampaknya lebih cocok menjadi acuan mata kuliah ini. Artinya, hakikat
sosiologi politik dalam mata kuliah ini dipandang sebagai "suatu kajian yang menyajikan
konsep-konsep sosiologi dan konsep-konsep ilmu politik serta mengkaji masalah-masalah
politik yang ditinjau secara sosiologis".

Anda mungkin juga menyukai