Anda di halaman 1dari 8

Rocky Gerung* (Majalah Tempo, 7 Jul 2014)

Debat bukan sabung ayam. Tapi kita telanjur menikmatinya begitu. Menunggu ada
yang keok. Lalu bersorak, lalu mengejek. Hasrat ejek-mengejek inilah yang kini
menguasai psikologi politik kita: mencari kepuasan dalam kedunguan lawan.

Debat adalah seni persuasi. Seharusnya ia dinikmati sebagai sebuah pedagogi: sambil
berkalimat, pikiran dikonsolidasikan. Suhu percakapan adalah suhu pikiran. Tapi
bagian ini yang justru hilang dari forum debat hari-hari ini. Yang menonjol cuma
bagian demagoginya: busa kalimat. Pada kalimat berbusa, kita tak menonton
keindahan pikiran.

Dalam suatu rapat politik, Haji Agus Salim, salah seorang pendiri negeri, berpidato
memukau. Lawan politiknya datang mengganggu dengan meneriakkan suara
kambing: embeeek… embeeek. Teriakan itu jelas untuk menghina. Janggut Agus
Salim memang mirip janggut kambing. Rapat jadi gaduh. Caci-maki memenuhi
ruangan.

Tapi Agus Salim tak terusik. Dengan tenang ia berbicara: “Maaf, ini rapat manusia.
Mengapa ada suara kambing?” Rapat berlanjut, setelah gelak tawa meledak.

Politik adalah kecerdasan. Haji Agus Salim tak mengejek balik. Ia hanya memakai
otaknya untuk membungkam lawan. Ia memberi pelajaran. Politik adalah pikiran.
Bukan makian.

ooo

Demagogi adalah ilmu menyiram angin demi menuai bau, yaitu mencari sensasi
dalam psikologi massa untuk menikmati kebanggaan diri. Sang tokoh akan mencari
penonton demagogis, mereka yang siap menelan angin, siap berjuang dengan modal
angin. Dengan psikologi inilah politik mengepung publik. Demokrasi kita hari ini ada
dalam situasi itu.

Duel politik tak lagi bermutu. Gagasan dihapus oleh hiruk-pikuk ejekan. Sensasi
dirayakan, esensi diabaikan. Rasa gagah memenuhi dada ketika ejekan disambut
gempita oleh sesama pendukung. Sahut-menyahut di ruang sosial melambungkan
kebanggaan kubu. Semacam ketagihan massal, ejekan menjadi obat perangsang
politik. Suatu sensasi aphrodisiac memompa adrenalin untuk memuaskan politik
demagogi: “Aku mengejek, maka aku ada.” Megalomania di sana, hipokrasi di sini.
Dua-duanya kekurangan pikiran.

ooo
Negeri ini didirikan dengan pikiran yang kuat: bahwa kemerdekaan harus diisi dengan
pengetahuan, agar anak negeri tak lagi dibodoh-bodohi oleh kaum pinter dari luar.
Kebodohan mengundang penjajahan.

Kemerdekaan adalah hasil siasat intelektual, oleh yang berbahasa, maupun yang
bersenjata. Politikus dan pejuang tumbuh dalam kesimpulan yang sama, yaitu
kemerdekaan adalah tindakan pedagogis.

Panglima Sudirman semula adalah seorang guru, lalu jadi jenderal.

Jadi, dari mana kita belajar demagogi?


Kendati suka memanfaatkan emosi massa, Sukarno bukanlah seorang demagog. Ia
memang mengumbar retorika, tapi tetap dalam kendali logika yang kuat. Dalam
sebuah pidato lapangan di depan barisan tentara, Sukarno mengucapkan kalimat
kurang-lebih begini: “Saudara-saudara tentara, kalian adalah alatnya negara. Dan
negara adalah alatnya rakyat. Jadi kalian adalah alatnya alat.” Bukan sekadar
retorikanya bagus, Sukarno mengucapkannya dalam suatu silogisme. Suatu pelajaran
logika, bagi rakyat.

Jadi, dari mana kita belajar mengejek? Tan Malaka memiliki kekayaan metafor. Sutan
Sjahrir lihai membekuk pikiran lawan debat. Mohammad Hatta bersih dalam
berkalimat. Begitu juga yang lain. Pendiri negeri tumbuh dalam tradisi pikiran. Pidato
Sjahrir di Perserikatan Bangsa-Bangsa (1947), ketika mempertahankan kemerdekaan,
disebut oleh New York Herald Tribune sebagai salah satu pidato yang paling
menggetarkan. Jebakan diplomat Belanda kepada Dewan Keamanan PBB untuk
memilih: “Siapa yang Saudara percaya, mereka atau orang-orang beradab seperti
kami,” ditanggapi Sjahrir dengan enteng: “Mereka mengajukan tuduhan tanpa bukti,
ketimbang membantah argumen saya.”

Debat adalah pelajaran berpikir.

Negeri ini dihuni oleh gagasan, karena kita bertemu dengan berbagai pengetahuan
mancanegara. Filsafat dan ideologi sudah lama berseliweran dalam pikiran pendiri
negeri. Rasionalitas dan teosofi beredar luas di awal kemerdekaan. Sastra dan musik
disuguhkan dalam pesta dan konferensi. Suatu suasana pedagogis pernah tumbuh di
negeri ini. Tapi jejak poskolonialnya hampir tak berbekas, kini.

Memang, ada yang putus dari masa itu dengan periode Orde Baru: kritisisme.
Teknokratisasi pikiran, ketika itu, melumpuhkan kebudayaan. Birokratisasi politik
mengefisienkan pembuatan keputusan, karena tak ada oposisi.

Kritik yang pedas memerlukan pengetahuan yang dalam. Sinisme yang kejam datang
dari logika yang kuat. Dua-duanya kita perlukan untuk menguji pikiran publik agar
tak berubah menjadi doktrin, agar panggung publik tak dikuasai para demagog. Kita
hendak menumbuhkan demokrasi sebagai forum pikiran.

ooo

Debat adalah metode berpikir. Titik kritisnya adalah ketika retorika mulai tergelincir.
Titik matinya adalah ketika dialektika terkunci.
Itulah saat kita menikmati debat sebagai pelajaran berpikir, suatu peralatan pedagogis
untuk mendidik rakyat dengan pikiran. Demokrasi adalah sekolah manusia, bukan
arena sabung ayam. Hari-hari ini, kita tak melihat itu karena busa kalimat memenuhi
ruang sosial. Busa kekuasaan, busa dendam, busa hipokrit. Sementara di belakang
panggung para dalang mengatur siasat, penonton dijebak dalam psikologi: terlalu
optimistis atau terlalu pesimistis. Tak ada yang kritis. Tan Malaka pernah memberi
nasihat: “Kita tak boleh merasa terlalu pesimistis, pun tak boleh merasa terlalu
optimistis, karena kedua perasaan itu akan mudah membawa kita kepada
oportunisme.”

*) Pengajar Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Rocky Gerung : Politik Ditransaksikan antara Beberapa Orang


Posted August 11, 2011
Filed under: esai |
Rocky Gerung : Politik Ditransaksikan antara Beberapa Orang
Salam Perspektif Baru,

Tamu kita Rocky Gerung, yang sudah bukan nama asing lagi untuk orang yang senang mendengar
obrolan menarik tapi benar. Pada dasarnya Rocky adalah seorang intelektual, dia punya pekerjaan
sebagai dosen dalam logika dan etika. Dia aktif dalam pemikiran politik dan akhir-akhir ini menjadi
pendorong pemikiran etis di Solidaritas Masyarakat Indonesia untuk Keadilan (SMI Keadilan).

Menurut Rocky Gerung, benang kusut persoalan di negeri ini dimulai dari hulu yaitu pendidikan politik
di partai yang sama sekali tidak ada. Kita tidak melihat ada semacam kurikulum pendidikan publik di
dalam partai. Partai dalam pikiran saya, anggotanya dididik untuk menjadi lebih sebagai debt collector
daripada sebagai publik educator. Yang dimaksud debt collector adalah utang politik untuk mencari
modal Pemilu berikutnya.

Rocky Gerung mengatakan koalisi partai sebetulnya semacam gabungan tukang tadah. Dia terima
barang curian. Dia sebut barang curian karena politisi mendapat representasi atau mencuri representasi
dari Pemilu, lalu publiknya ditinggalkan. Akibatnya, suara publik itu ditransaksikan diantara dua atau
tiga orang saja, transaksi diantara para tukang tadah sebenarnya.

Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Rocky Gerung.


Pertanyaan pertama, apakah persoalan yang begitu banyak saat ini harus dijalin dalam satu pandangan
komprehensif atau bisa melihatnya secara anekdotal sendiri-sendiri?

Makin anekdotal, makin dalam analisisnya, makin tak bisa diterangkan lagi problem kita saat ini lewat
teori.

Apakah kalau kita membahas pemboman maka pemboman saja, kalau kita membahas koalisi maka
koalisi saja, kita membahas orang Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dituduh korupsi maka PKS saja,
ataukah itu memang ada benang merahnya? Apakah ini masih yang dulu Sri Mulyani Indrawati katakan
sebagai perang untuk mempertahankan etika saat ini?

Kita terikat bersama dengan nasib republik karena kita miskin etis selain miskin akal tadi, sehingga
anekdot lebih cerdas diucapkan ketimbang jalan pikiran yang masuk akal. Kelihatannya politisi juga
tidak bisa dibetulkan lagi jalan pikirannya karena di kepalanya tidak mau melihat lagi kebenaran tapi
dia mau melihat kekuasaan. Itu menutup kemungkinan kita untuk berpikir jernih tentang republik ini.
Itu dasar saya dan Anda tentu terlibat dalam srimulyani.net.
Itu karena kita sudah terlibat, dan kita juga memang tidak bisa pasrah terhadap kurang bermutunya
para politisi. Bagaimana Anda memandang masalah ini kalau harus memegang atau merekomendasikan
kepada Sri Mulyani Indrawati atau siapa saja orangnya, dan darimana harus dipegang masalah sekarang?

Pertama, kita mau urai benang kusut politik kita. Sebenarnya benang kusut itu dimulai dari hulu yaitu
pendidikan politik di partai yang sama sekali tidak ada. Kita tidak melihat ada semacam kurikulum
pendidikan publik di dalam partai. Partai dalam pikiran saya, anggotanya dididik untuk menjadi lebih
sebagai debt collector daripada sebagai publik educator.

Apakah maksudnya menjadi debt collector itu utang politik?

Ya, utang politik untuk mencari modal Pemilu berikutnya. Sebetulnya kegiatan yang sangat teknis dan
memuakkan. Rasa muak itu yang bisa membuat orang bikin bom, tapi bisa juga membuat orang tenang
untuk memikirkan ulang fungsi dari etika publik untuk menyelamatkan republik.

Menurut Anda, apakah yang bikin bom itu adalah orang muak atau orang yang memang disuruh oleh
bos-bos politik?

Saya kira semacam umpan dari orang yang tidak punya cara lain untuk mempertahankan gengsi, citra
atau apa saja. Namun tetap, di dalam rangkaian bom sekarang terlalu rapi disainnya, dan biasanya
kalau terlalu rapi pasti ada master mind tunggal.

Saya ingat dulu Gus Dur suka ditanya, “Mengapa banyak bom dan mengapa tidak ditindak?” Beliau
menjawab, “Ya, tahu sendiri susah menindaknya karena pembomnya tingkat menteri.” Apakah hal itu
berlaku juga sekarang karena katanya rapi dan bukan orang sembarang?

Mungkin yang membuatnya adalah komisaris utama dari republik.

Apakah dari republik atau dari sekretariat gabungan (Setgap) koalisi? Apa yang terjadi dengan Setgap
dan koalisi karena kebetulan sedang tidak dibicarakan, dan apakah itu sudah hilang atau masih ada
mengganggu kita di lain waktu?

Koalisi ini sebetulnya semacam gabungan tukang tadah. Dia terima barang curian. Saya sebut barang
curian karena politisi mendapat representasi atau mencuri representasi dari Pemilu, lalu publiknya
ditinggalkan. Akibatnya, suara publik itu ditransaksikan diantara dua atau tiga orang saja, transaksi
diantara para tukang tadah sebenarnya.

Karena koalisi anggotanya juga partai Demokrat yang partai pemerintah, apakah itu berarti Anda
mengklasifikasikan partai Demokrat sama dengan partai lain?
Datanya cukup menarik kalau kita perhatikan. Misalnya, mereka yang mempunyai masalah dengan
korupsi di daerah terutama seperti bupati atau walikota akan ramai-ramai keluar dari partai awalnya
lalu pindah ke partai Demokrat.

Jadi bibitnya sudah tidak begitu bagus yaitu keanggotaan oportunistik, betulkah?

Sangat oportunistik karena mau cari selamat saja. Dia pindah ke partai yang berkuasa karena melihat
potensi dikejar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga dia pindah partai.

Kalau dia oportunistik, mengapa partai Golongan Karya (Golkar) tidak ditinggalkan saja? Bukankah
Golkar lama-lama akan tenggelam juga?

Dulu kita anti Golkar, lalu kita kasih semacam kesempatan Golkar untuk berubah dengan anggapan di
dalam Golkar masih ada bibit-bibit pikiran rasional. Biasanya kita deteksi Golkar lewat argumen publik
yang diucapkan oleh para aktivis. Sekarang kalau saya perhatikan, Golkar isinya betul-betul pengusaha.
Jadi sangat terbatas dan tidak ada pemikiran politik, Golkar sekarang bukan Golkar yang ada strata
pengambil keputusan dari rapat daerah, pusat dan kongres. Sekarang kelihatannya ketua umum ada di
tengah lalu dikelilingi komponen-komponen yang setiap saat bisa dia perintahkan. Tidak ada
mekanisme yang bisa meneliti apakah kebijakan itu betul kebijakan partai atau kebijakan personal.
Jadi, organisasi Golkar sekarang sangat instrumental, instrumen dari ketua umumnya.

Saya pernah mendengar joke yaitu siapa yang bakalan turun duluan, Nurdin Halid atau Moamar Khadafi?
Terus orang menjawab Moamar Khadafi. Mengapa? Karena dia tidak didukung Golkar. Sejelek-jeleknya
Golkar, imbas dari Nurdin Halid mungkin lebih jelek lagi. Mengapa Golkar sepertinya tidak punya
selektifitas dalam mendukung orang atau sesuatu?

Golkar sebenarnya tidak punya stock kader, jadi satu-satunya kader adalah siapa yang menempel
secara ketat pada rekening pada ketua partai. Kelihatannya memang begitu pola di situ, jalan pikiran
finansial lebih dominan daripada jalan pikiran etis dan itu yang menerangkan bahwa Nurdin Halid akan
selalu di Golkar.

Ini menarik sekali karena dengan contoh populer dan Anda bisa menunjukkan segi-segi yang lebih
dalam. Kalau dikatakan Golkar tidak punya kader, maka Nurdin Halid pun dianggap kader. Nurdin Halid
sangat tidak populer tapi Golkar tetap terus sangat yakin mendukung dia. Apa yang menjelaskan
mengenai kepercayaan diri maupun kekuatan Golkar itu, dan sampai kapan uang akan dominan
terhadap pertimbangan lain?

Itu yang disesalkan bahwa Golkar berubah menjadi partai dengan satu ideologi yaitu fulusisme.
Kelihatannya organisasi Golkar akan terus begitu sampai ada gempa bumi politik yang agak besar yaitu
gempa bumi nasional. Kalau kita deteksi dari awal, banyak orang yang pesimis bahwa Golkar akan
kembali menjadi partai modern. Pertaruhannya habis-habisan buat sang ketua partai, to be or not to
be. Itu berarti seluruh instrumennya harus dia percaya betul dan semakin lama lingkarannya semakin
sempit dan kohesi di dalam partai bukan lagi kohesi ideologi tetapi kohesi personal.

Saya masih mencari celah dalam pemikiran itu karena berbahaya sekali kalau saya percaya betul,
bahwa senjata politik yang paling kuat adalah uang. Jadi untuk apa kita membuat SMI Keadilan dan
Rumah Integritas kalau uang kita sampai kapan pun termasuk walaupun kita mengemplang pajak
selama 2.000 tahun tidak akan sebanyak satu orang itu?

Kita mau membuat kontras di dalam politik dengan mengucapkan etis mendahului uang, dan sebetulnya
politik itu urusan etis. Golkar yang sehari-hari partainya ditawan oleh politik uang dan ketua partai
tidak bisa keluar dari itu. Involusi akan terjadi, mutar sampai ke bawah sampai akhirnya tidak bisa
kemana-mana lagi dan partai itu seperti supernova dan kelihatan tidak ada lagi kader yang bisa berpikir
otonom. Dalam teori blackhole, grafitasinya sangat kuat sehingga tidak ada cahaya sekalipun yang tidak
bisa keluar dari pusat grafitasi.
Apakah grafitasi tersebut lebih kuat daripada orang yang dulu dianggap tokoh Golkar?

Betul. Saya kira yang disebut tokoh Golkar sekarang sudah tidak ada. Mungkin faksi terakhir dari Akbar
Tanjung dan Marzuki Darusman.

Semua tersedot ke dalam black hole, hilang semua. Saya mencoba menangkap celah-celah optimisme
bahwa kita harus menawarkan kontras. Ada harapan bahwa masyarakat pada satu titik tertentu akan
mengatakan capai mengikuti orang-orang fulus tersebut, ini barangkali saya mengikuti pemikiran
murni. Apakah ada alasan untuk percaya pada keyakinan itu?

Sebenarnya ada yang melanggar akal sehat, misalnya, gubernur yang masa jabatannya habis kemudian
dia mencalonkan diri menjadi wakil gubernur. Itu menghina akal publik. Kelihatannya kita harus
melakukan semacam penataan bahwa otonomi menghasilkan raja-raja kecil dan politik uang langsung
secara personal. Misalnya dulu bupati masih dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), saat
itu ada money politic tapi di dalam DPRD karena sikapnya terbuka dan saling intip terjadi. Kalau
sekarang pemilihan umum langsung tanpa melalui DPRD, maka uang bekerja langsung. Mungkin itu
karena kegagalan pelembagaan dari ide otonomi, sehingga seolah-olah otonomi anything cost, dan
anything cost ini yang dimanfaatkan oleh investor politik.

Dari segi penjelasan politik bagus. Sekarang saya ingin mencoba dengan latar belakang penjelasan itu
untuk mengamati beberapa kasus nyata seperti penggempuran terhadap Ahmadiyah dan munculnya
fundamentalisme Islam. Setelah dijelaskan dengan sangat baik paling tidak bagi saya, bagaimana
pengertian-pengertian politik yang muncul sehingga menjadi keadaan seperti semrawut. Sebetulnya
kalau dimengerti semua barangkali tidak semrawut dan berpola. Namun ada satu isu yang ingin saya
angkat yaitu soal fundamentalisme agama atau kekerasan. Ahmadiyah setelah diserang, bukannya
dibela tapi malah diserang lagi secara peraturan dengan eksekusi yang luar biasa. Terus sampai hari ini,
katanya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan penghormatan bendera dan lagu. Saya
juga paling tidak senang menghormat bendera dan lagu, tapi kalau dilarang MUI saya jadi senang
bendera. Apakah ini suatu sporadis atau lama-lama memang menjadi bergeser ke arah
fundamentalisme, jangan-jangan kita menjadi seperti Iran?

Ada semacam fundamentalisme yang sedang diedarkan cicilan, dan para pencicil ini mau melihat daya
tahan presiden atau daya tahan bangsa Indonesia terhadap ide pluralisme itu. Dulu kita juga membuat
pikiran itu karena kita menentang monopoli pendapat dari rezim Orde Baru. Namun yang diedarkan
oleh MUI adalah dasarnya fatwa. Jadi konsepnya adalah religius dan berarti MUI menganggap negeri ini
diatur lewat pasal-pasal religi. Padahal kita adalah negara yang dasar konstitusinya sekuler. Itu
sebetulnya semacam umpan yang berbahaya pada masyarakat kita. Kalau itu diumpankan oleh MUI
maka itu bisa menjadi serius dan menghasilkan problem konflik horizontal habis-habisan. Dalam
pandangan saya, agama diatur dalam posisi hak bukan kewajiban. Sebagai hak, agama bisa kita pakai
atau tidak dipakai. Kita harus biasakan, setiap warga negara beragama boleh memilih memakai atau
tidak memakainya. Tapi dominan value yang diedarkan bahwa negara harus beragama adalah nalar
yang betul-betul sesat.

Apakah itu artinya sekarang secara legal memang orang untuk menjadi agnostik ataupun atheis
melanggar hukum?

Tidak melanggar hukum. Konstitusi tidak melarang itu. Sialnya, dua menteri yang seharusnya mengurus
warga negara tapi dia sibuk mengurusi agama. Menteri Dalam Negeri sibuk mengurusi Ahmadiyah,
Menteri Agama juga sibuk mengurusi Ahmadiyah. Tidak ada pandangan republik dari para
penyelenggara negara, dan sangat sempit paradigma kenegaraannya.

Sejauh apa pejabat negara dan politisi yang membawakan politik ekstrim agama dari segi ketulusannya,
apakah itu hanya salah arah atau pragmatisme politik?

Pragmatisme politik pasti. Di dalam keadaan dimana nilai mayoritas mulai dirasa sebagai
menguntungkan, semua orang akan mencari perlindungan dalam nilai itu. Sedangkan dua menteri itu
kelihatannya mencari perlindungan pada nilai itu. Buruk sekali politik bila dijaminkan pada nilai-nilai
fundamental. Petinggi-petinggi, pemuka, pendahulu, atau pendiri bangsa ini justru menghindar dari
politik langit semacam itu. Karena itu kita membuat konstitusi yang berbasis pada problem keadilan di
bumi bukan janji di akherat.

Tadi disebut dua menteri yang menggadaikan integritasnya untuk mengikuti arus popularitas, menurut
persepsi dia. Apakah di sisi lain tidak ada menteri yang mencari popularitas dengan bersikap sekuler
dan pluralis. Kemudian, mengapa presidennya juga diam saja, ataukah salah kalau dibilang diam saja?

Dia terlalu lama diam sehingga naluri kepemimpinannya beku. Saya kira dia sedikit berhitung agak
taktis. Dia merasa kalau terlalu lembek pada fundamentalis, maka dia tidak akan mendapat dukungan
politik. Dia sudah menunggangi isu fundamentalis untuk kepentingan politik. Dia tidak ingin rasa aman
kepemimpinannya diganggu lagi oleh fundamentalis walaupun dengan risiko dia sebetulnya
mengkhianati konstitusi sebagai sang presiden.

Suatu sangkaan atau tuduhan yang sangat berat. Apakah itu berarti didalam order politik yang kita cari
bukan orang semacam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?

Ideal kita bukan seperti itu. Pertama, pemimpin kita disumpah demi konstitusi dan bukan disumpah
demi keyakinan religiusnya. Kalau dia pejabat publik, dia hanya boleh mengucapkan dalil-dalil publik,
dan dalil-dalil publik itu bisa diuji ulang oleh akal sehat publik. Kalau didasarkan pandangannya pada
pendapat kayakinannya, maka itu tidak bisa diuji dan tidak boleh ucapkan itu. Dia boleh ucapkan
sebagai warga dari masjid, gereja atau pura tapi sebagai pejabat publik dia hanya boleh ucapkan tata
bahasa publik.

Kalau yang menjadi presiden sekarang adalah Boediono, Anda, atau Sri Mulyani Indrawati, apa advice
Anda untuk menghadapi Golkar atau ketua umum Golkar dan bagaimana menghadapi Golkar dengan
ketua umum model begitu?

Presiden punya semacam keagungan publik karena dia dipilih secara langsung. Dia bisa maksimalkan
dengan membuat pidato terbuka pada rakyat bahwa saya hanya bertanggung jawab pada rakyat dan
demi itu saya pastikan bahwa tidak boleh ada bau fundamentalis di negeri ini dan tidak boleh ada bau
politik uang. Nah itu langsung menyangkut pejabat-pejabat yang separuh tergoda dengan pikiran
fundamentalis dan mereka yang sangat tergoda dengan pikiran finansial seperti kasus partai Golkar.
Sebenarnya ini soal nyali atau karakter kepempimpinan, kalau dia berintegritas maka dia berani tampil
di depan publik menyatakan hal tadi. Apalagi kalau dia dipilih oleh publik yang mayoritas, maka dia
harus bisa memanfaatkan kemampuan politicking dan dia bisa juga melakukan deal yang sama di DPR.
Tapi presiden yang sekarang, faktanya terpilih secara legitimasi tapi dia tidak memiliki kapabilitas
untuk mengolah sumber daya politik.

Pada Pemilu 2004 SBY terpilih menjadi presiden tapi tidak dengan suara semutlak pada 2009. Mengapa
kesannya periode 2004 – 2009 memiliki keadaan lebih setabil dari sekarang, ataukah itu memang stabil
tapi jelek?

Saya kira harapan publik pada 2004 – 2009 lebih penuh dari sekarang. Itu karena masih ada semacam
otonomi pada presiden dan setelah itu kita mulai merasa bahwa sebetulnya presiden pernah punya
janji-janji politik secara rahasia dengan beberapa petinggi partai di sini dan janji itu mungkin yang
sedang ditagihkan oleh sang investor politik dan presiden terdesak. Desakan itu terbaca misalkan
ketidakmampuan untuk menyelesaikan koalisi, ketidakmampuan untuk mengucapkan secara final
mengenai apa sebetulnya problem Lapindo. Jadi dia hidup di dalam wilayah abu-abu menjelang malam
atau rabun etis.

Kembali pada soal bom. Bahwa bom itu punya pola teratur sehingga tidak mungkin direncanakan oleh
orang bodoh, kira-kira begitu. Bagaimana itu bisa dijelaskan?
Saya hanya mencoba mendokumentasikan pandangan para analis dan membandingkan apa yang disebut
efek teror pada publik. Kelihatannya memang diatur sedemikian rupa supaya bom itu sekadar membuat
orang cemas. Kalau kita membaca buku Political Economy from Terorisme, memang ada perubahan
doktrim dari bom yang menghasilkan collateral damage menjadi bom sekarang yang lebih individual.
Tapi kita tidak melihat bahwa bom itu dimaksudkan secara serius untuk membunuh orang. Saya kira
yang membuat pola itu orang yang cukup intelektual dan dia tahu buku mana kira-kira bisa dikirim ke
orang tertentu. Saya kira kecemasan ini diedarkan untuk memungkinkan kekuasaan mengolah kembali
sumber daya, agar supaya seolah-olah ada kesan sedikit kedaruratan dan atas dasar itu dia melakukan
political grip kembali pada masyarakat. Tentu kita bertanya, apa tukar tambahnya? Ya, karena ada
legitimasi yang turun karena isu internasional misalnya wikileaks, dan isu ketidakmampuan mengatur
koalisi. Ini analisis akademi bukan analisis politik.

Tolong Anda ceritakan mengenai wikileaks.

Sebagai orang sekolahan, lalu lintas data diplomatik itu biasa. Kalau kita lihat, tidak ada bantahan
formil dari para orang yang terlibat di situ. Ada dua nama yang saya catat yaitu TB. Silalahi dan Sudi
Silalahi. Kedua orang tersebut betul-betul berada di ring satu istana. Jadi kalau data tersebut dari ring
satu berarti ada internal struggle di dalam politik istana.

Apakah itu mungkin dari percakapan di resepsi diplomatik?

Sebagai kebenaran jangan diucapkan atau pasti ada tukar tambah internasional dalam soal ini. Tukar
tambah itu yang bisa kita duga beberapa minggu ke depan, apa sebenarnya posisi Indonesia terhadap
soal Libya atau posisi Indonesia terhadap human rights, dan seterusnya.

Anda mungkin juga menyukai