Anda di halaman 1dari 3

Monolog Perampas hak mahasiswa

Tanah air, air mata tanah

Tanah air, air mata kami

Disinilah kami berdiri menyanyikan air matakami

Di balik tanah suburmu kami simpan perih kami

Di balik etalas-etalase gedungmu kami simpan penderitaan kami...kami simpan dukalara

Saya dengan anak indonesia yang lain nya sudah mempelajari metafisika

Kami mempelajari segalahal yang berupa

Namun tak pernah melihat, tak pernah mendengar, tak pernah menyentuh nya. Karena tidak ada
alat peraga, tidak pernah observasi tidak meneliti hanya mendengar dongeng saja bahwa 2 + 2 = 4,
saat saya tanya maaf ibu dosen mengapa ibu yakin 2+2=4 sedangkan 2 kerbau + 2telur tidak 4
karena berbeda unsur, ibu dosen hanya menjawab kata penulis ini 2 + 2 =4 dan pokok nya 4

Dan pelajaran eksakta seolah menjadi pelajaran agama yang selesai dengan di amini saja, 2+2= 4
anak anak..... aminn bu dosennnn

Aghhh teman ku ada yang di bilang bodoh karena tidak bisa matematika padahal dia sangat handal
dalam kelas seni rupa

Teman ku yang lain di bilang tidak berbakat karena tidak bisa seni rupa padahal di sangat handal
dalam kimia

Teman ku yang lain ada yang di sindir habis habisan karena tidak bisa lulus mata kuliah algoritma
padahal di tidak pernah bolos mata kuliah

Apakah kita harus mengutuk ikan karena tidak bisa memanjat pohon seperti monyet ?

Sampai kapan kita terfokus pada kelemahan, bukan kekuatan ?

Sampai kapan kita menyamakan standar semua manusia padahal manusia di ciptakan itu berbeda
beda

Pendidikan bukan hanya perkara menghakimi atau menilai dari satu sisi

Kau hanya mengajarkan nya sebagai seorang pengajar, sorang guru adalah seorang yang
memberikan pengetahuan nya sebagai amal dia tidak pernah memperdagangkan pengetahuan , dia
tidak memberikan nilai untuk pengetahuan nya yang tidak ternilai. itulah kenapa guru hanya
mengharapkan masa depan baik untuk murit2nya,

Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus
perasaan, bukan untuk di kendalikan dan di penjara

Narapidana, mahasiswa adalah narapidana pergi kekampus macam terdakwa untuk di bina agar ia
patuhi perintah dan di tempah oleh para jelmaan sipil penjara kurikulum berbasis baris-berbaris,
pendidikan hipnosis ala orba dan kapitalis, aku di hajar dengan tumpukan makalah ki hajar
dewantara telah kehilangan makna, akademis yang amis racuni mahasiswa, nasionalis politis bela
negara, kau punya visi hegemoni lembagamu membodohi, ing madyo mangun karso dan tuthuri
handayani apa arti? Apa guna punya ilmu tinggi bila buku yang kau baca hanya untuk mengibuli,
tanya widji, tanya ia tentang hidup ini mujarabnya puisi lebih canggih dari bidikmisi memanipulasi
kompetisi dengan ambisi berdasi.

Kini ruang kelas menjelma menjadi pabrik

Isi nya dosen tak tahan kritik

Dan teman hanya mengejar nilai

Bukankah itu kolaborasi yang menyebalkan?

Satu satunya tempat yang paling bebas di alam semesta adalah ruang kelas karena ruang kelas orang
hanya bertumpu pada kekuatan argumen, apapun pikiran orang yang di sajikan harus bisa di bantah
untuk di uji argumen nya termasuk tentang surga tentang nasionalis maka tidak ada alasan kampus
tidak ada alasan kampus untuk menutup diri, dan menciptakan diskusi diskusi yang bertujuan untuk
memperhalus argumen.

Demokrasi adalah mencerdaskan kehidupan bangsa namun mengapa kau malah membungkam kami
dengan ancaman untuk pengunjuk rasa.

Edukasi demokrasi kini menjadi tabu, sekali diberikan, dianggap provokasi, dianggap salah peresepsi,
bertentangan dengan ideologi.

Coba kita lihat lagi, masa pandemi membuat kesulitan ekonomi, PHK di penjuru negeri buat
mahasiswa dan orang tua wali harus memilih, makan nasi atau biaya kuliah terlunasi.

Pemerintah memberi intruksi bahwa masyarakat harus diayomi, harus tetap dihidupi. namun
kenyataanya pemerintah hanya bermanifestasi tanpa memberikan solusi. Pemerintah tak mau di
kritisi dan tak juga memberi aksi nyata untuk negeri.

Yang katanya menteri, memberikan intruksi tanpa memahami hati nurani. Memberikan solusi yang
tak solutif untuk negeri. Memberi pers conferency tanpa adanya realisasi. walau katanya itu bisa jadi
esensi bagi para pemangku institusi.

Bukan lagi kita lihat para pemangku institusi, melihat kemanusiaan hanya setengah hati. Bahkan kita
lihat mulai hilang rasa empati. Coba kita ulas kembali, bahwa institusi pendidikan dibentuk untuk
memberikan edukasi, bukan untuk dikapitalisasi dan dikomersialisasi. Bahkan kalau kita lihat gimik
para petinggi, mudah sekali memahami intrik akan adanya imperialisasi untuk melancarkan
kepentingan bagi diri pribadi.

Melihat birokrasi yang kini kurang adanya simpati, jika ditanya tentang transparansi, malah
menghindar memberi alasan yang menghilangkan makna tentang “relevansi”. Saat ditanya tentang
transparansi, yang dillakukan hanya berteriak membentak membentuk dinamika pengalihan sebagai
teatrikal untuk membungkam.

Bayangkan...... bayangkan..... bayangkan kawan kawan yang dilanda sulitnya perekonomian... tanpa
diberikan keringanan.... mungkin sekarang ringan ringan saja, tidak tahu untuk kedepan, apa kelas
kelas masih diisi oleh kaum kaum intelektual yang masih peduli sesama, atau hanya kursi kursi
kosong bercoretkan tinta hitam di meja dan juga para pendengar dongeng dosen tercinta yang terus
menulis dan mencatat ceramah dosen yang sangat teoritis tanpa diberikan praktik yang saintis.
Sempat terpikirkan, sudah biarkan saja diri ini pergi, pergi dengan lapang hati tanpa penyesalan
karena tidak bisa lanjut lagi, tanpa merasa dengki pada birokrasi karena terbesit kurangnya
ekonomiMungkin bisa jadi, hari ini menentukan apa yang terjadi esok hari, apa birokrasi
memberikan kompensasi, atau membiarkan banyak kawan kawan.

Untuk setiap regulasi yang kalian jadikan dalih untuk menyembelih

Kami kibarkan semua ajaran tentang kemanusiaan, persamaan dan kebebasan demokrasi.

Kawan kawan

Siap untuk mendapatkan hak kembali?

Siap untuk berebut kembali hak itu ?

Siap untuk merebut demokrasi ?

50 x 5 langkah revolusi !!!

Anda mungkin juga menyukai