Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATAKULIAH

PENDIDIKAN PANCASILA
TEMA : MAKNA PENGAMALAN SILA KE – 4
JUDUL :
PEMILU SEBAGAI PENGAMALAN NILAI SILA KE-4 PANCASILA
DOSEN PENGAMPU :
Dr. THOMAS HUTAURUK, M. Si

KELOMPOK 4 :
ARKHAM ISKANDAR (18643009)
ROSALINDA RAHMA (18643025)
RESHA UTAMI PARASUDA (18643033)
ROY NUR HARIYANTO (18643049)

POLITEKNIK NEGERI SAMARINDA


D4 REKAYASA JALAN DAN JEMBATAN
2019
PEMILU SEBAGAI PENGAMALAN SILA KE-4 PANCASILA

A. Latar Belakang

Bunyi yang terdapat dalam sila ke-4 Pancasila adalah “Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Hal ini mengindikasikan
bahwa hakekat dasar manusia sebagai mahluk sosial (zoon politicon) tidak bisa hidup sendiri
dan memerlukan aturan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan dari serangkaian
hubungan sosial. Pertama kali dicetuskan oleh Presiden Soekarno dimana pengambilan
keputusan yang dilakukan bersama musyawarah, gotong royong, dan kekeluargaan
merupakan nilai-nilai khas bangsa Indonesia.

Pemilu banyak di asumsikan orang sebagai wujud dari pengamalan demokrasi pancasila yang
dianut oleh bangsa Indonesia sebagai pengamalan nilai-nilai dalam ideologi pancasila.
Pendukung pemilu oleh DPR berargumen, demokrasi berdasarkan sila ke-4 adalah demokrasi
perwakilan. Demokrasi perwakilan dan perilaku koruptif adalah dua isu hokum yang
terpisah. Namun argumentasi itu sendiri patut mendapatkan perhatian kita. Pertama, karena
ini adalah suatu klaim serius terkait dasar Negara.
B. Aspek Sila Ke-4 Pancasila
a. “Kerakyatan” dan “demokrasi”

Ihwal kerakyatan pertama-tama adalah tentang “segala sesuatu yang mengenai rakyat”. Dalam
kehidupan politik nasional, makna kerakyatan kemudian mengerucut pada “demokrasi”.

Kita harus camkan, demokrasi adalah kata serapan dalam bahasa Indonesia. Dalam penyerapan
suatu kata, mustahil kita preteli makna atau konsep aslinya. Kemudian, secara konseptual
demokrasi adalah buah-pikir masyarakat Barat. Meski konsep demokrasi kemudian menjadi
universal, tetapi setiap negara mempunyai kisah dan sejarah masing-masing. Universal sebagai
suatu konsep, majemuk dalam pelaksanaan nasional.

Oleh karena itu tidak heran kita mengenal “Demokrasi Parlementer”, “Demokrasi Terpimpin”,
dan “Demokrasi Pancasila”. Ketiganya memiliki persamaan: sistem pemerintahan. Mengapa kita
coba sana coba sini? Karena kita mencoba mencari sistem yang terbaik dan tercocok. Yang patut
kita camkan: demokrasi adalah alat, bukan tujuan.

Apakah yang menjadi tujuan “demokrasi” (baca: kerakyatan dalam arti sempit)? Merujuk kepada
Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Apakah ini artinya Pancasila adalah suatu sistem perjenjangan sila? Tidak, sebab kelima sila
paut-memaut sebagai dasar Indonesia Merdeka. Itu sebabnya Sukarno kemudian mengatakan,
urutan sila tidak penting. Pancasila bisa menjadi Trisila, dan bahkan menjadi satu dasar:
“gotong-royong”.

Dasar untuk apa? Untuk “Indonesia Merdeka” (baca: kerakyatan dalam arti luas). Apakah yang
menjadi tujuan “kerakyatan”? Merujuk pada Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan
bangsa; dan melaksanakan ketertiban dunia.

Jadi kerakyatan adalah segala sesuatu yang mengantarkan kita mewujudkan tujuan Indonesia
Merdeka, dan demokrasi adalah alat untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
b. “Dipimpin”

Sifat pasif sangat dominan dalam penyusunan kalimat dalam bahasa Indonesia. Hal ini terjadi
sebagian karena budaya ewuh-pakewuh; sebagian lagi karena pribadi/subyek penerima perbuatan
adalah lebih penting ketimbang pribadi/subyek pemberi perbuatan. Kepasifan ini lebih jelas
melalui “tut wuri handayani”: dari belakang mendukung/mendorong.

Jadi kerakyatan yang didukung/didorong “hikmat kebijaksanaan”, yang merupakan buah dari
“permusyawaratan perwakilan”, akan mengantarkan rakyat Indonesia kepada tujuan Indonesia
Merdeka.

c. “Hikmat kebijaksanaan”

Pancasila dengan akurat merumuskan kekhasan demokrasi kita. Bukan tokoh atau suara
mayoritas, tapi hikmat kebijaksanaan yang merupakan penentu keberhasilan
demokrasi. Demikian tinggi kearifan lokal kita dalam menentukan kriteria kepemimpinan.
Akibatnya: pribadi tanpa hikmat kebijaksanaan tidaklah layak memimpin Indonesia. Pimpinan
tanpa hikmat kebijaksanaan tidak akan jauh dari kubang kesesatan. Bukankah hikmat
kebijaksanaan suatu utopia? Bukankah hanya para filsuf yang mengejar kebijaksanaan?

Ada dua cara untuk memperoleh “hikmat kebijaksanaan”. Pertama, kedalaman penguasaan ilmu
pengetahuan yang melibatkan kontemplasi. Kedua, pengalaman langsung (first-hand experience)
menghadapi berbagai macam masalah. Cara kedua terangkum dalam perumusan sila ke-4.
“Permusyawaratan perwakilan” akan memberikan kita pengalaman yang langsung berbuah pada
hikmat kebijaksanaan. Jadi “hikmat kebijaksanaan” adalah daya pimpin satu-satunya yang bisa
mewujudkan kerakyatan yang kita cita-citakan.

d. “Permusyawaratan perwakilan”

Bung Karno menyarankan agar segala tuntutan dan pertarungan ide berlangsung di forum badan
perwakilan. Kita boleh mati-matian berdebat, tapi hanya terbatas di forum ini. Setelah selesai
proses di sini, kita semua bersatu-suara sebab kepentingan bangsa di atas segalanya. Namun kita
juga belajar memahami permasalahan sesama. Dengan kata lain: lebih berhikmat kebijaksanaan
setiap usai suatu permusyawaratan.

Siapa yang sudi membaca risalah sidang BPUPKI akan menemukan penjelasan adisarjana
hukum kita, Supomo, bahwa “permusyawaratan” dan “perwakilan” adalah dua konsep yang
berbeda dalam UUD 1945 sebelum Perubahan.

Pertama, musyawarah adalah pembahasan bersama oleh semua pihak. Itu sebabnya UUD 1945
sebelum Perubahan mengenal Fraksi Utusan Golongan dan Utusan Daerah di MPR. Kursi di
MPR diperoleh bukan lewat pemilu, tetapi sudah teralokasi sejak awal. Apapun hasil pemilu,
semua elemen di masyarakat harus tetap terwakili.

Kedua, forum musyawarah berbeda dengan forum perwakilan. DPR hanya mengakomodasi hasil
pemilu, tapi MPR mengakomodasi semua elemen masyarakat. DPR sebagai mitra kerja Presiden,
yang adalah “mandataris MPR”.

Karena komposisi dan sifat kerjanya, secara konseptual DPR sulit mencapai “hikmat
kebijaksanaan”. Sulit, tapi bukannya mustahil. MPR yang adalah lembaga tertinggi negara dan
pemegang kedaulatan rakyat, mutlak dituntut untuk melulu tergerak oleh “hikmat
kebijaksanaan”.

Timbul pertanyaan-pertanyaan: Bukankah setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, MPR tidak lagi
memegang kedaulatan rakyat? Apakah MPR sekarang, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD
hasil pemilu, sepadan dengan MPR sebelum Perubahan? Apakah tidak mungkin
permusyawaratan bersatu dalam perwakilan di DPR?

Jawab: Pasca Perubahan rakyat kembali memegang penuh kedaulatan, kecuali yang sudah
dinyatakan dengan jelas dalam UUD 1945. Tidak, MPR sekarang tidak sepadan dalam komposisi
dengan MPR sebelumnya. Mungkin saja permusyawaratan bersatu dalam perwakilan di DPR
jika anggota DPR mampu meraih kebijaksanaan karena penguasaan ilmu pengetahuannya
ataupun karena pengalaman langsung membimbingnya demikian.
Jelas Perubahan UUD 1945 mengeser sebagian penting dari konsep sejati “permusyawatan
perwakilan” ke luar forum lembaga tertinggi negara. Namun karena Perubahan mengembalikan
kedaulatan kepada rakyat, maka lembaga-lembaga negara harus mampu menangkap dan
menampung aspirasi sekecil apapun di dalam masyarakat. Ulangi: lembaga negara, bukan
anggota MPR, bukan anggota DPR, bukan anggota DPD, tapi lembaga negara.

Jadi “permusyawaratan” tidak identik dengan“perwakilan”.

C. Hubungan antara sistem pemilihan umum langsung dengan Pancasila sila ke-4

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sengaja dimasukkan di dalam Pasal 22E Ayat (2) bukan
kebetulan semata, melainkan sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh para pelaku perumus
perubahan UUD 1945 saat itu yang berpendapat bahwa sebaiknya pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD dan
DPRD. Sehingga pemilihan umum dilakukan serentak sekali dalam lima tahun, bukan dua kali
dengan memisahkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tersendiri yang dilakukan sesudah
pemilihan anggota legislatif. Kalau itu dilaksanakan, akan ada lima kotak suara yang harus diisi,
yaitu kotak suara untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.

Ada banyak keuntungan seandainya pemilihan umum diadakan serentak sebagaimana yang
difikirkan oleh pelaku perubahan UUD 1945. Di antaranya, akan terjadi efisiensi biaya,
memperpendek tensi suhu politik, dan ketegangan sosial akibat Pemilu. Selain itu, dengan
diberlakukannya pemilihan umum serentak maka koalisi antarpartai bisa dilakukan sebelum
pemilihan umum, bukan setelah Pemilu Legislatif.

Dalam kaitannya dengan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, UUD
1945 menentukan syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh para calon Presiden dan
Wakil Presiden, sekaligus bagaimana mekanisme yang harus dijalankan dalam pemilihan
tersebut. Secara khusus UUD 1945 setelah perubahan mengatur pemilihan Presiden, yaitu
dengan keharusan melakukan penggabungan dalam satu paket. Alasan yang berkembang saat itu
diantaranya adalah untuk menyederhanakan partai politik. Dengan diharuskan calon Presiden
dan Wakil Presiden satu paket maka bisa dilakukan koalisi antarpartai untuk memenangkan
calonnya.

Pasal 6A Ayat (1)

”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat.”

Selanjutnya Pasal 6 (A) ayat 2 muncul didasari pemikiran bahwa Presiden terpilih agar bisa
mudah dalam menjalankan tugas-tugasnya maka harus memiliki dukungan yang kuat dari
parlemen (DPR). Oleh karenanya, UUD 1945 mengharuskan bahwa seorang Presiden dan Wakil
Presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. UUD 1945 tidak memberi
peluang bagi calon independen untuk mencalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden dengan
alasan akan lemah di depan Parlemen sehingga sulit menjalankan roda pemerintahan. Pasal ini
juga menegaskan tentang pentingnya partai politik dalam bangunan system kenegaraan yang
demoktaris. Tak ada demokrasi tanpa partai politik.

Pasal 6A Ayat (2)

“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Pasal 6A Ayat (3) selanjutnya merupakan buah pemikiran yang sangat mendalam dari pelaku
perubahan UUD 1945 untuk memecahkan persoalan yang muncul akibat beraneka ragamnya
penduduk Indonesia. Dengan ayat tersebut diharapkan bahwa Presiden dan wakil Presiden yang
terpilih mewakili seluruh elemen masyarakat. Artinya, bagaimana sistem yang dibangun tidak
dimonopoli oleh suku, agama, golongan, atau daerah tertentu saja, melainkan mencakup seluruh
bangsa Indonesia.

Pasal 6A Ayat (3)

“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima
puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen
suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia,
dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.“
Demikian pula pada Pasal 6A Ayat (4). Para pelaku perubahan UUD 1945 saat itu berpendapat
bahwa keharusan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden memperoleh suara lebih dari lima
puluh persen adalah untuk memperkuat legitimasi seorang Presiden dalam menjalankan roda
pemerintahannya.

Pasal 6A Ayat (4)

“Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak
dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sebagaimana yang diamanatkan oleh
Pasal 6A UUD 1945 adalah murni pemilu rakyat. Tidak semua negara yang mengklaim dirinya
demokrasi menerapkan sistem pemilu rakyat. Amerika Serikat yang menjadi rujukan utama
demokrasi dunia, tidak menganut sistem se-demokratis di Indonesia. Di negara tersebut, dianut
mekanisme electoral collage. Seorang calon Presiden meskipun dia memperoleh suara terbanyak
dalam pemilu, tetapi dia kalah suara di electoral collage, dia tidak bisa jadi Presiden. Hal inilah
yang menimpa Calon Presiden Al Gore dari Partai Demokrat pada 2000. Saat itu, popular votes
Al Gore lebih unggul daripada Bush. Dia memperoleh 48.595.533 suara dan Bush hanya
48.363.922 suara. Al Gore unggul 231.611 suara. Artinya, suara rakyat secara langsung
mendukung Al Gore sebagai Presiden. Namun, peraturan AS menyebutkan, kepastian siapa yang
menang ditentukan oleh electoral collage. Rakyat ke kotak suara untuk memilih elector, bukan
memilih Presidennya secara langsung.

Selain melakukan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden untuk mengemban tugas
pemerintahan (eksekutif), rakyat juga mempunyai hak untuk memilih para wakil-wakilnya di
lembaga perwakilan, yaitu DPR dan DPD untuk mengemban tugas legislatif. Pasal 19 Ayat (1)
UUD 1945 setelah perubahan mengatakan, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui
pemilihan umum.” Sementara pengisian anggota DPD diatur di dalam Pasal 22C Ayat (1) UUD
1945 yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum.”
Proses pemilihan umum langsung tentunya tidak terlepas dari dasar negara RI yaitu Pancasila,
terutama sila ke-4 Pancasila. Apabila kita lihat antara keterkaitan antara sistem pemilihan umum
langsung dengan sila ke-4 Pancasila, maka kurang adanya kesesuaian.
Setelah empat kali amandemen, sila ke 4 dari Pancasila yang bisa diartikan sebagai sistem
pemerintahan yang demokratis yaitu sistem pemerintahan yang mendasarkan diri kepada
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, telah
tercermin dalam pasal-pasal di UUD ’45, sebagai berikut:

1. BAB II – MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, pasal 2 s/d pasal 3.


2. BAB III – KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA, pasal 4 s/d pasal 16.
3. BAB IV – DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG, dihapus pada amandemen IV – 2002.
4. BAB V – KEMENTERIAN NEGARA, pasal 17
5. BAB VI – PEMERINTAH DAERAH, pasal 18, 18A, dan 18B
6. BAB VII – DEWAN PERWAKILAN RAKYAT. Pasal 19 s/d pasal 22B
7. BAB VIIA - DEWAN PERWAKILAN DAERAH, pasal 22C, 22D
8. BAB VIIB – PEMILIHAN UMUM, pasal 22E
9. BAB VIII - HAL KEUANGAN, pasal 23 s/d 23D
10. BAB VIIIA - BADAN PEMERIKSA KEUANGAN, pasal 23E s/d 23G
11. BAB IX – KEKUASAAN KEHAKIMAN, pasal 24 s/d pasal 25

Pasal-pasal tersebut telah mengalami empat kali amandemen untuk sampai pada bentuk yang
sekarang ini yang pada hakekatnya membagi kekuasaan negara untuk lebih berimbang diantara
lembaga tinggi negara (MPR, DPR, DPD, BPK, Presiden dan Mahkamah Agung) sehingga
kekuasaan tidak terpusat terlalu besar di Presiden (Eksekutif) saja seperti yang tercermin pada
UUD ’45 sebelum amandemen.

Kalau kita menterjemahkan sila ke-4 dari Pancasila “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” adalah sistem demokrasi untuk
penyelenggaraan Negara, sudah barang tentu amandemen UUD ’45 yang berkaitan dengan
ketatanegaraan ini adalah kemajuan yang sangat besar dibandingkan dengan UUD ’45 versi
aslinya yang kekuasaan Negara terlalu besar berada di Presiden (Eksekutif).
Menurut Drs. Kaelan, sila ke-4 Pancasila dapat dimaknai sebagai berikut: Arti yang terkandung
dalam pengertian “kerakyatan” adalah bersifat cita-cita kefilsafatan, yaitu bahwa negara adalah
untuk keperluan rakyat. Oleh karena itu maka sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan
kepentingan seluruh rakyat. Jadi “kerakyatan” pada hakekatnya lebih luas pengertiannya
dibanding dengan pengertian demokrasi, terutama demokrasi politik, pengertian demokrasi pada
hakekatnya terikat dengan kata-kata permusyawaratan/perwakilan. Hal ini sesuai dengan
rumusan yang terdapat dalam sila keempat Pancasila. Hal ini merupakan suatu cita-cita
kefilsafatan demokrasi. Terutama dalam kaitannya dengan demokrasi politik, karena cita-cita
kefilsafatan demokrasi politik ini, merupakan syarat mutlak bagi tercapainya maksud kerakyatan,
dalam pengertian “kerakyatan” terkandung pula cita-cita kefilsafatan demokrasi sosial-ekonomi.
Demokrasi sosial-ekonomi adalah untuk pelaksanaan persamaan dalam lapangan
kemasyarakatan (social) dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraaan bersama dengan
sebaik-baiknya. Adapun untuk mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi tersebut harus dengan
syarat demokrasi politik.

Pada dasarnya didalam sila keempat Pancasila dijelaskan tentang kerakyatan yang diwakilkan
sistem permusyawaratan dalam perwakilan. Dengan demikian, pemilihan presiden harusnya
dilakukan dalam forum permusyawaratan perwakilan. Jadi seharusnya pemilihan presiden
dilakukan di MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sila ke-4 pada intinya adalah
permusyawaratan perwakilan. Demokrasi di Indonesia itu merupakan demokrasi perwakilan,
bukanlah secara langsung. Seharusnya yang memilih presiden adalah wakil rakyat yaitu melalui
sebuah lembaga tinggi.

D. Penutup
a. Kesimpulan

 Pemilu dikatakan sebagai pengamalan pancasila karena pemilu mempunyai landasan


undang-undang yang sah dimata hokum dan pemilu juga diatur dalam UUD 1945 yang
berlandaskan pada nilai-nilai luhur pancasila.
 Demokrasi menurut sila ke-4 bukanlah “demokrasi perwakilan”
 Pemilihan langsung menjadi satu-satunya bentuk demokrasi yang menegaskan dan
menjunjung tinggi menempatkan kedaulatan dan hak rakyat.
DAFTAR PUSTAKA

https://prezi.com/msv8iycphezh/pemilu-sebagai-pengamalan-nilai-sila-ke-4-pancasila/

Anda mungkin juga menyukai