Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT hingga saat ini masih
memberikan nafas kehidupan dan anugerah akal, sehingga saya dapat menyelesaikan
pembuatan makalah ini dengan judul “Pelaksanaan Nilai-nilai Pancasila Dalam Pesta
Demokrasi” tepat pada waktunya. Terimakasih pula kepada semua pihak yang telah ikut
membantu hingga dapat disusunnya makalah ini. Makalah sederhana ini dibuat untuk
memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Akhirnya, tidak ada manusia yang luput dari kesalahan dan kekurangan. Dengan
segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat saya
harapkan dari para pembaca guna peningkatan kualitas makalah ini dan makalah-makalah
lainnya pada waktu mendatang.

Rancakalong, Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2
A. Makna Pancasila sila ke-4 ................................................................................... 2
B. Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pesta Demokrasi .................................................... 7
C. Pancasila dalam Pesta demokrasi ........................................................................ 9
D. Pelaksanaan Pemilu Sebagai Pengamalan Pancasila........................................... 14
BAB III PENUTUP........................................................................................................ 21
A. Simpulan.............................................................................................................. 21
B. Saran .................................................................................................................... 21
DAFTAR ISI .................................................................................................................. 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagaimana kita ketahu bahwa pemilu banyak dibahas dalam literatur – literatur
dalam pendidikan kewarganegaraan maupun dalam pancasila. Pemilu banyak
diasumsikan oarang sebagai wujud dari pengamalan demokrasi pancasila yang dianut
oleh bangsa indonesia sebagai pengamalan nilai – nilai dalam ideologi pancasila.
Dalam hal ini apakah pemilu itu sebenarnya pengamalan pancasila dan apa
sebenarnya pemilu dalam demokrsi pancasila. Mungkin orang awam akan mengatakan
bahwa pemilu merupakan politik para politikus yang sering mamperdaya masyarakat dan
setelah pemilu selesai, rakyat masih belum mendapat kesejahteraan.
Rakyat menganggap bahwa pemilu hanya rekayasa politikus – potikus munkin
dikarenakan bahwa pelaksanaan pemilu yang mereka anggap tidak teratur dan tidak
konsekuensi pada aturan. Tapi itu hanyalah anggapan mereka karena mereka belum tentu
mengerti dan faham akan perundang – undangan dalam pemilu.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini membahas beberapa masalah pemilu dalam demokrasi
pancasila diantaranya :
1. Mengapa pancasila dikatakan sebagai pengamalan demokrasi
pancasila?
2. Bagaimana pelaksanaan pemilu di indonesia sebagai salah satu
pengamalan pancasila?

C. Tujuan
1) Memahami pelaksanaan demokrasi berdasarkan pancasila di Indonesia.
2) Memahami tujuan diadakannya pesta demokrasi.
3) Memahami pelaksanaan pemilu sebagai sarana pesta demokrasi rakyat saat ini.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Pancasila sila ke-4


Sila ke-4 Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mencoba memenuhi
permintaan Ketua BPUPKI dr. K. R. T. Radjiman Wediodiningrat tentang philosofische
grondslag Indonesia Merdeka. Untuk dasar ketiga, Sang Proklamator tersebut
menguraikan tentang “dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan”. Sang
Orator haqqul yakin bahwa “syarat multak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah
permusyawaratan, perwakilan”. Indonesia adalah negara“’semua buat semua’, ‘satu buat
semua, semua buat satu”.
Proses persidangan berikut kemudian merumuskan dasar itu menjadi sila ke-4
yang kita kenal sekarang: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan.
Sila ini kerap kita pahami secara parsial. Hal ini terutama terjadi ketika kita fokus
pada satu aspek, seperti “permusyawaratan” saja. Perbuatan ini tentunya adalah suatu
perbuatan tidak adil terhadap sila ke-4.
Untuk pemahaman yang benar, kita kupas satu persatu aspek yang ada. Setelah
itu kita akan menemukan betapa dalamnya makna sila berlambang kepala banteng ini.
“Kerakyatan” dan “demokrasi” Ihwal kerakyatan pertama-tama adalah tentang “segala
sesuatu yang mengenai rakyat”. Dalam kehidupan politik nasional,
makna kerakyatan kemudian mengerucut pada “demokrasi”.
Kita harus camkan, demokrasi adalah kata serapan dalam bahasa Indonesia.
Dalam penyerapan suatu kata, mustahil kita preteli makna atau konsep aslinya.
Kemudian, secara konseptual demokrasi adalah buah-pikir masyarakat Barat. Meski
konsep demokrasi kemudian menjadi universal, tetapi setiap negara mempunyai kisah
dan sejarah masing-masing. Universal sebagai suatu konsep, majemuk dalam
pelaksanaan nasional.
Oleh karena itu tidak heran kita mengenal “Demokrasi Parlementer”, “Demokrasi
Terpimpin”, dan “Demokrasi Pancasila”. Ketiganya memiliki persamaan: sistem
pemerintahan. Mengapa kita coba sana coba sini? Karena kita mencoba mencari sistem
yang terbaik dan tercocok. Yang patut kita camkan: demokrasi adalah alat, bukan tujuan.
Apakah yang menjadi tujuan “demokrasi” (baca: kerakyatan dalam arti sempit)? Merujuk
kepada Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

2
Apakah ini artinya Pancasila adalah suatu sistem perjenjangan sila? Tidak, sebab
kelima sila paut-memaut sebagai dasar Indonesia Merdeka. Itu sebabnya Sukarno
kemudian mengatakan, urutan sila tidak penting. Pancasila bisa menjadi Trisila, dan
bahkan menjadi satu dasar: “gotong-royong”.
Dasar untuk apa? Untuk “Indonesia Merdeka” (baca: kerakyatan dalam arti luas).
Apakah yang menjadi tujuan “kerakyatan”? Merujuk pada Pembukaan UUD 1945:
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan
kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan melaksanakan ketertiban
dunia.
Jadi kerakyatan adalah segala sesuatu yang mengantarkan kita
mewujudkan tujuan Indonesia Merdeka, dan demokrasi adalah alat untuk
mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Dipimpin”
Sifat pasif sangat dominan dalam penyusunan kalimat dalam bahasa Indonesia.
Hal ini terjadi sebagian karena budaya ewuh-pakewuh; sebagian lagi karena
pribadi/subyek penerima perbuatan adalah lebih penting ketimbang pribadi/subyek
pemberi perbuatan. Kepasifan ini lebih jelas melalui “tut wuri handayani”: dari belakang
mendukung/mendorong.
Jadi kerakyatan yang didukung/didorong “hikmat kebijaksanaan”, yang
merupakan buah dari “permusyawaratan perwakilan”, akan mengantarkan rakyat
Indonesia kepada tujuan Indonesia Merdeka.
“Hikmat kebijaksanaan”
Pancasila dengan akurat merumuskan kekhasan demokrasi kita. Bukan tokoh atau
suara mayoritas, tapi hikmat kebijaksanaan yang merupakan penentu keberhasilan
demokrasi. Demikian tinggi kearifan lokal kita dalam menentukan kriteria
kepemimpinan. Akibatnya: pribadi tanpa hikmat kebijaksanaan tidaklah layak memimpin
Indonesia. Pimpinan tanpa hikmat kebijaksanaan tidak akan jauh dari kubang kesesatan.
Bukankah hikmat kebijaksanaan suatu utopia? Bukankah hanya para filsuf yang
mengejar kebijaksanaan?
Ada dua cara untuk memperoleh “hikmat kebijaksanaan”. Pertama, kedalaman
penguasaan ilmu pengetahuan yang melibatkan kontemplasi. Kedua, pengalaman
langsung (first-hand experience) menghadapi berbagai macam masalah. Cara kedua
terangkum dalam perumusan sila ke-4. “Permusyawaratan perwakilan” akan memberikan
kita pengalaman yang langsung berbuah pada hikmat kebijaksanaan. Jadi “hikmat

3
kebijaksanaan” adalah daya pimpin satu-satunya yang bisa mewujudkan kerakyatan yang
kita cita-citakan.
“Permusyawaratan perwakilan”
Bung Karno menyarankan agar segala tuntutan dan pertarungan ide berlangsung
di forum badan perwakilan. Kita boleh mati-matian berdebat, tapi hanya terbatas di
forum ini. Setelah selesai proses di sini, kita semua bersatu-suara sebab kepentingan
bangsa di atas segalanya. Namun kita juga belajar memahami permasalahan sesama.
Dengan kata lain: lebih berhikmat kebijaksanaan setiap usai suatu permusyawaratan.
Siapa yang sudi membaca risalah sidang BPUPKI akan menemukan penjelasan
adisarjana hukum kita, Supomo, bahwa “permusyawaratan” dan “perwakilan” adalah dua
konsep yang berbeda dalam UUD 1945 sebelum Perubahan.
Pertama, musyawarah adalah pembahasan bersama oleh semua pihak. Itu
sebabnya UUD 1945 sebelum Perubahan mengenal Fraksi Utusan Golongan dan Utusan
Daerah di MPR. Kursi di MPR diperoleh bukan lewat pemilu, tetapi sudah teralokasi
sejak awal. Apapun hasil pemilu, semua elemen di masyarakat harus tetap terwakili.
Kedua, forum musyawarah berbeda dengan forum perwakilan. DPR hanya
mengakomodasi hasil pemilu, tapi MPR mengakomodasi semua elemen masyarakat.
DPR sebagai mitra kerja Presiden, yang adalah “mandataris MPR”.
Karena komposisi dan sifat kerjanya, secara konseptual DPR sulit mencapai
“hikmat kebijaksanaan”. Sulit, tapi bukannya mustahil. MPR yang adalah lembaga
tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat, mutlak dituntut untuk melulu tergerak
oleh “hikmat kebijaksanaan”.
Timbul pertanyaan-pertanyaan: Bukankah setelah Perubahan Ketiga UUD 1945,
MPR tidak lagi memegang kedaulatan rakyat? Apakah MPR sekarang, yang terdiri dari
anggota DPR dan DPD hasil pemilu, sepadan dengan MPR sebelum Perubahan? Apakah
tidak mungkin permusyawaratan bersatu dalam perwakilan di DPR?
Jawab: Pasca Perubahan rakyat kembali memegang penuh kedaulatan, kecuali
yang sudah dinyatakan dengan jelas dalam UUD 1945. Tidak, MPR sekarang tidak
sepadan dalam komposisi dengan MPR sebelumnya. Mungkin saja permusyawaratan
bersatu dalam perwakilan di DPR jika anggota DPR mampu meraih kebijaksanaan
karena penguasaan ilmu pengetahuannya ataupun karena pengalaman langsung
membimbingnya demikian.
Jelas Perubahan UUD 1945 mengeser sebagian penting dari konsep sejati
“permusyawatan perwakilan” ke luar forum lembaga tertinggi negara. Namun karena

4
Perubahan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, maka lembaga-lembaga negara
harus mampu menangkap dan menampung aspirasi sekecil apapun di dalam
masyarakat. Ulangi: lembaga negara, bukan anggota MPR, bukan anggota DPR, bukan
anggota DPD, tapi lembaga negara.
Jadi “permusyawaratan” tidak identik dengan“perwakilan”.
Makna sila ke empat Pancasila yang menyiratkan adanya sistem demokrasi, kalau
diperinci lebih dalam dan lebih luas lagi, maka unsur-unsur demokrasi : kerakyatan,
permusyawaratan dan kedaulatan rakyat, menurut Drs. Kaelan bisa diformulasikan
sebagai berikut:
1. Arti yang terkandung dalam pengertian “kerakyatan” adalah bersifat cita-cita
kefilsafatan, yaitu bahwa negara adalah untuk keperluan rakyat. Oleh karena itu
maka sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat.
Jadi “kerakyatan” pada hakekatnya lebih luas pengertiannya dibanding dengan
pengertian demokrasi, terutama demokrasi politik.
2. Pengertian demokrasi pada hakekatnya terikat dengan kata-kata
permusyawaratan/perwakilan. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam
sila keempat Pancasila. Hal ini merupakan suatu cita-cita kefilsafatan demokrasi.
Terutama dalam kaitannya dengan demokrasi politik, karena cita-cita kefilsafatan
demokrasi politik ini, merupakan syarat mutlak bagi tercapainya maksud
kerakyatan.
3. Dalam pengertian “kerakyatan” terkandung pula cita-cita kefilsafatan demokrasi
sosial-ekonomi. Demokrasi sosial -ekonomi adalah untuk pelaksanaan persamaan
dalam lapangan kemasyarakatan (social) dan ekonomi untuk mewujudkan
kesejahteraaan bersama dengan sebaik-baiknya. Adapun untuk mencapai
kesejahteraan sosial-ekonomi tersebut harus dengan syarat demokrasi politik.
4. Dengan demikian maka dalam sila keempat senantiasa terkandung dasar bagi
cita-cita kefilsafatan yang terkandung dalam sila ke lima yaitu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia’.
Apabila kita membahas sila ke 4 dari Pancasila, ada kebutuhan melihat Pancasila
sebagai suatu keutuhan, tidak bisa melihat Pancasila satu persatu sila yang ada, karena
kalau kita melihat sila dalam Pancasila satu persatu, kita tidak akan bisa melihat sesuatu
yang unik di Pancasila. Hendaknya kita harus melihat Pancasila dalam bentuk kesatuan
atau benang merah yang terangkai dalam sila-sila Pancasila sehingga maknanya adalah
sebuah prinsip dasar yang unik dan hanya dipunyai oleh bangsa Indonesia yang berbeda

5
dengan prinsip yang mendasari demokrasi barat ataupun komunis/sosialis yang
mendasari negara-negara Eropa Timur, China. Karena itu kita bisa membentuk persepsi
baru tentang Pancasila sebagai konsep dasar bangsa Indonesia dalam melaksanakan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat dengan sistem
penyelenggaraan Negara secara demokratis yaitu sesuai dengan sila ke-4 dari Pancasila –
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan – tapi sistem demokrasi yang dibangun harus dalam
koridor atau dalam ruang lingkup sila-sila yang lain dalam Pancasila.
Suatu sistem demokrasi yang ber-Ketuhanan Maha Esa (sila-1 sebagai prinsip
keharusan mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa dan kebebasan memilih agama dan
kepercayaan masing-masing), yang ber-Peri Kemanusian Yang Beradab (sila-2 sebagai
prinsip keharusan bagi Negara dan rakyat Indonesia untuk mematuhi dan melaksanakan
prinsip-prinsip hak-hak azasi manusia), yang tetap menjaga Persatuan Indonesia (sila ke-
3 prinsip keharusan bagi Negara dan rakyat Indonesia untuk menjaga prinsip satu nusa,
satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia), yang mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5 yang mengharuskan Negara menjamin dan
mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.)
Apabila kita meterjemahkan Pancasila seperti tersebut diatas kita baru bisa
melihat Pancasila sebagai ideologi yang unik yang mungkin baru dimulai di Indonesia
yang mungkin bisa menjadi ideologi yang universal kalau negara dan bangsa Indonesia
mampu merealisasikan dalam bentuk nyata. Prinsip demokrasi yang punya koridor yang
sangat jelas pada batas-batas sila yang lain dalam Pancasila. Bukan prinsip demokrasi
untuk demokrasi tapi demokrasi yang punya tujuan mulia. Bukan juga demokrasi Barat
yang berpasangan dengan sistem ekonomi pasar bebas dan kapitalisme.
Pancasila adalah ideologi yang juga berarti suatu sistem ide yang dijadikan dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai prinsip dasar negara yang diharapkan menjadi
“basic belief” ataupun “way of life” sudah pasti dibuat sesempurna mungkin jadi tidak
harus dirubah dari waktu ke waktu, kalau bisa sistem ide ini memang dibuat sekali tapi
sudah bisa mencakup periode yang selama-lamanya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia.
sila ke-4 Pancasila dapat dimaknai sebagai berikut: Arti yang terkandung dalam
pengertian “kerakyatan” adalah bersifat cita-cita kefilsafatan, yaitu bahwa negara adalah
untuk keperluan rakyat. Oleh karena itu maka sifat dan keadaan negara harus sesuai
dengan kepentingan seluruh rakyat. Jadi “kerakyatan” pada hakekatnya lebih luas

6
pengertiannya dibanding dengan pengertian demokrasi, terutama demokrasi politik,
pengertian demokrasi pada hakekatnya terikat dengan kata-kata
permusyawaratan/perwakilan. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam sila
keempat Pancasila. Hal ini merupakan suatu cita-cita kefilsafatan demokrasi. Terutama
dalam kaitannya dengan demokrasi politik, karena cita-cita kefilsafatan demokrasi politik
ini, merupakan syarat mutlak bagi tercapainya maksud kerakyatan, dalam pengertian
“kerakyatan” terkandung pula cita-cita kefilsafatan demokrasi sosial-ekonomi.
Demokrasi sosial -ekonomi adalah untuk pelaksanaan persamaan dalam lapangan
kemasyarakatan (social) dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraaan bersama
dengan sebaik-baiknya. Adapun untuk mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi tersebut
harus dengan syarat demokrasi politik.

Pada dasarnya didalam sila keempat Pancasila dijelaskan tentang kerakyatan yang
diwakilkan sistem permusyawaratan dalam perwakilan. Dengan demikian, pemilihan
presiden harusnya dilakukan dalam forum permusyawaratan perwakilan. Jadi seharusnya
pemilihan presiden dilakukan di MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sila ke-4 pada
intinya adalah permusyawaratan perwakilan. Demokrasi di Indonesia itu merupakan
demokrasi perwakilan, bukanlah secara langsung. Seharusnya yang memilih presiden
adalah wakil rakyat yaitu melalui sebuah lembaga tinggi

B. Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pesta Demokrasi


Pesta Demokrasi seharusnya dimaknai sebagai perwujudan dari dewasanya
berdemokrasi tanpa mengusik dan memprovokasi percikan perselisihan yang bisa
berakibat pertikaian. Pada dasarnya, dalam berdemokrasi di Indonesia harus ditekankan
akan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai ideologi kehidupan.(sapno
209/20). Kunci menciptakan masyarakat yang moderat dan madani dalam berpolitik,
salah satunya kembali untuk menghayati arti dari Bhinneka Tunggal Ika untuk Indonesia.
Lantas seperti apa implementasi dari Bhinneka Tunggal Ika di pesta demokrasi. Bhinneka
Tunggal Ika untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang rukun, aman, damai, dan saling
menghormati dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa dan harus selaras dengan
nilai-nilai Pancasila untuk kedamaian (sapno 209/20)
Pemilihan Umum adalah suatu cara untuk memilih wakil wakil rakyat serta merupakan
salah satu bentuk pelayanan hak-hak asasi warga negara bidang politik. Jadi, sudah
menjadi keharusan pemerintahan demokrasi untuk melaksanakan pemilihan umum dalam

7
waktu-waktu yang telah ditentukan terutama di Indonesia. Pemilihan Umum
dilaksanakan sebagai perwujudan demokrasi.
Pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan secara langsung, rakyat secara
langsung memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat,
contohnya pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Pemilu diselenggarakan
dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk
pemerintahan yang demokratis, kuat, dan juga memperoleh dukungan rakyat dalam
rangka mewujudkan tujuan nasional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber)
serta jujur dan adil (jurdil).
Selain UUD 1945, Pemilihan Umum juga terdapat pada Pancasila terutama dalam
sila keempat yang berbunyi " Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan/Perwakilan". Pada awalnya, musyawarah memiliki arti
pembahasan bersama oleh semua pihak dan forum musyawarah berbeda dengan forum
perwakilan. Namun, karena komposisi dan sifat kerjanya, DPR sulit mencapai "hikmat
kebijaksanaan".
Pasca-Perubahan rakyat kembali memegang penuh kedaulatan.Sila ke-4 dan
Pemilu oleh DPR Pancasila tetap menjadi dasar negara meski UUD 1945 mengalami
perubahan. Tidak ada perubahan filosofis, tetapi yang terjadi adalah perubahan yuridis.
Argumentasi tentang pemilu oleh DPR dapat diterima sebelum Perubahan.Namun
argumentasi itu menjadi tumpul ketika Perubahan UUD 1945 meng embalikan
kedaulatan ke tangan rakyat.
Demokrasi menurut sila ke-4 bukanlah "demokrasi perwakilan". Jadi Pemilihan
Langsung menjadi satu-satunya bentuk demokrasi yang menegaskan dan menjunjung
tinggi menempatkan kedaulatan dan hak Rakyat pada tempat yang seharusnya dalam
memilih pemimpinnya sendiri dan Pemilu merupakan hal yang esesnsial bagi seluruh
negara demokrasi terutama Indonesia.
Namun, akhir-akhir ini kita dapat melihat pengaruh globalisasi mempengaruhi
rakyat Indonesia, yakni apatis. Rakyat Indonesia menjadi makin apatis terhadap
Pemerintah dan juga negara. Keadaan ini adalah keadaan yang sangat krusial bagi Negara
karena pola pikir masyarakat tidak akan tertuju lagi pada tujuan Indonesia terutama
dalam prinsip kesatuan dan persatuan sebagai Bangsa Indonesia.

8
Sikap individualisme yang sudah sampai kepada masyarakat Indonesia ini dapat
mengakibatkan semangat gotong royong yang dimiliki Indonesia semakin memudar
hingga habis.
leh karena itu, Pemilu harus makin digalakkan dan Pemilu harus dilaksanakan
dengan luberjurdil karena jika tidak dilaksanakan sesuai asas ini, rakyat akan malas untuk
melaksanakan Pancasila. Hal lain yang dapat dilakukan adalah penyelenggara pemilu
harus memaksimalkan sosialisasi Pemilu yang berbasis pelayanan, misalnya dalam
proses sosialisasi setiap tahapan pemilu harus dapat memastikan bahwa setiap informasi
kepemiluan itu telah dimengerti oleh masyarakat.
Sebagai contoh selain sosialisasi resmi dalam forum diskusi seminar, sebaiknya
disosialisasikan juga lewat perkembangan teknologi yaitu media-media sosial seperti
FaceBook, WhatsApp, Instagram, dll sehingga pemenuhan akan kebutuhan informasi
bagi masyarakat bias terjadi.
Objek utama masyarakat juga menjadi keharusan untuk bergerak aktif, bukan
hanya para orang politik karena dengan adanya kemajuan teknologi maka akan semakin
gampang untuk mengakses informasi misalnya lewat media sosial.
Namun, hal ini juga harus didukung oleh rakyat yang aktif karena untuk menyambut
informasi dari penyelenggara Pemilu, rakyat harus agresif sekali sehingga informasi
dapat benar-benar sampai dan masalah-masalah yang muncul nantinya akan tereliminasi.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan Pemilu yang berdasarkan Pancasila, standarisasinya
terletak pada penyelenggara Pemilu yang harus melaksanakan Pemilu dengan maksimal
dan memanfaatkan semua media yang ada, serta harus didukung secara aktif oleh
masyarakat.

C. Pancasila dalam Pesta demokrasi


Pancasila dalam pesta demokrasi, dapat dilakukan dengan hal-hal sederhana di
kehidupan sehari-hari. Salah satunya dengan bergotong-royong, bertenggang rasa, saling
menghormati, dan menghargai dalam berkehidupan, termasuk berbeda dalam mendukung
calon gubernur di pesta demokrasi. Menghargai dan menghormati pendapat atau pilihan
orang lain dalam pesta demokrasi, itu termasuk perilaku yang menunjukkan nilai
persatuan dalam berbangsa.(simardjo144/23)
Sesungguhnya pesta demokrasi merupakan pesta demokrasi, yang harus
berlandaskan asas Pancasila yang mengedepankan akan nilai Indonesia-nya yang
tertuang dalam Bhinneka Tunggal Ika bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa

9
terkecuali.Karena dengan mengedepankan Pancasila yang ber-Bhinneka Tunggal Ika,
akan mendatangkan tingginya nasionalisme, persaudaraan, persatuan dan kesatuan
diantara anak bangsa, tanpa membedakan ras, suku, agama dan etnis.(simardjo144/23).
Pancasila bagi indonesia pada umumya dan ngaranya khusunya sebagai dasar
negara juga sebagi ideologi bangsa dan negara indonesia. Dengan demikian pancasila
telah dapat diterima oleh seluruh rakyat indonesia dan menjadi dasar serta pedoman
dalampenyelanggarakan pemerintahan negara republik indonesia Begitu juga dengan
pesta demokrasi harus dengan dasar-dasar pancasila agar berjalan dengan aman dan
menaati peraturan yang ada dalam isi dan pedoman pancasila. (simardjo144/21).
nilai-nilai yang terkandung dalam Lima Sila Pancasila sebagai bahan baku
Pancasila memang sudah menjadi nilai-nilai ini sudah dipraktekkan di bumi pertiwi sejak
dahulu ajaran Demokrasi Pancasila melalui pemahaman dan pengimplementasi Bhinneka
Tunggal Ika yaitu Berbeda-beda tetapi tetap Satu. Secara sejarah Mohammad Yamin
telah meresapi arti kata ini dapat menjadi pengikat bangsa yang beragam-ragam sehingga
dia yang pertama kali mengusulkan kepada peserta rapat BPUPKI agar semboyan
Bhinneka Tunggal Ika dapat diadopsi menjadi semboyan Negara.
Usul Mohammad Yamin diterima oleh Soekarno dan kalimat Bhinneka Tunggal
Ika diletakkan di kaki Burung Garuda. Burung Garuda pada saat rapat BPUPKI juga
ditetapkan sebagai lambang negara Indonesia.Selain itu, agar demokrasi Indonesia tetap
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, maka Pesta demokrasi Serentak hendaknya
menjunjung tinggi demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, sebagai ideologi dan dasar negara," ujarnya.Pancasila menghendaki
kompetensi yang baik termasuk akhlak yang baik sehingga hajat demokrasi pesta
demokrasi akan diisi oleh orang orang yang telahmenyiapkan diri dengan baik. Pancasila
menghendaki calon pemimpin memberi semua atau melayani empati manusiawi bangun
ekonomi rakyat intensif setiap elemen merasa usaha adil Karena muara perwujudan
Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila menghendaki
tatanan yang memberi peluang kontestasi berjalan demokratis.(hafies98/32)
Jika pencermatan aktual merefleksikan persaingan antara kinerja dengan
personalitas mengingat rivalitas klasik petahana dengan penantang , sesungguhnya
Pancasila menghendaki batas kewajaran antara Kompetensi Kinerja dan
Konspirasi.Semoga ajang pesta demokrasi dapat menghadirkan partisipasi warga
independen nilai atau win dalam menentukan sosok yang pantas diplih sebagai
pemimpinnya.Bangsa Indonesia menggunakan Pancasila sebagai dasar negara

10
dikarenakan Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa diantara tokoh perumus Pancasila
itu ialah Mr. M Yamin, Prof. Mr Soepomo, dan Ir. Soekarno dapat mengemukakan
mengapa Pancasila itu sebagai dasar yang paling cocok bagi bangsa selain sakti dan
selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu :
1. Secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang
menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.
2. Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-
faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut
mempunyai keleluasaan yang cukup untuk memperkembangkan diri.
3. Sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai
dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan,
pasti akan ditolak Pancasila, misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak
beragama akan ditolak oleh bangsa Insonesia yang bertuhan dan beragama.(fai604)
Pancasila bagi bangsa kita adalah sistem etika berbangsa. Sebagai etika
berbangsa, etika Pancasila adalah norma Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, dan persatuan Indonesia yang dijadikan sebagai worl view politik
berbangsa dan bernegara Dengan norma inilah kita mengetahui adanya etika politik yang
mengikat kehidupan politik Etika politik Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, dan persatuan Indonesia. Ketiga etika ini dilaksanakan dengan cara
permusyawaratan dan perwakilan guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pemilihan kepala daerah dengan berbagai sistem pelaksanaannya tidak dapat
tidak mesti dibangun di atas etika politik Pancasila.
Norma menghalalkan segala cara adalah etika politik yang nyata-nyata
bertentangan dengan etika politik Pancasila. pesta demokrasi sebagai wadah
mempersiapkan lahirnya budaya politik di masa datang dilakukan dengan cara-cara yang
adil, adil pada diri elit politik, adil pada masyarakat, dan adil pada sistem politiknya.
Budaya sosial yang adil pasti akan melahirkan budaya politik yang beradab dan
terhormat.
Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), para Bapak
Bangsa menyetujui secara bulat isi, bunyi, kedudukan, dan fungsi Pancasila bagi bangsa
Indonesia. Isi dan bunyi sila-sila Pancasila seperti yang terdapat pada Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945 yang kita kenal hingga sekarang. Disepakati pula bahwa
Pancasila mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai dasar negara atau dasar filosofis

11
(philosofische grondslag) dan sebagai pandangan hidup (weltanschauung) bagi bangsa
Indonesia sebagai sebuah negara merdeka.
Tujuan didirikannya Indonesia sebagai negara merdeka itu adalah untuk
melindungi segenap suku bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, bangsa Indonesia bersepakat bulat
membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang bersifat
demokratis berdasarkan Pancasila.
Sebagai bentuk pengamalan Pancasila, negara Indonesia bertekad mewujudkan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan cita-cita luhur itu bangsa Indonesia harus betul-
betul bebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan baik oleh bangsa lain maupun
oleh bangsa sendiri, serta terlindunginya seluruh tumpah darah Indonesia dari segala
bentuk gangguan dan ancaman. Cita-cita luhur dan kondisi itu hanya dapat terwujud jika
Pancasila betul-betul berfungsi sebagai ideologi, yaitu sebagai dasar negara dan
pandangan hidup bangsa dalam praktik hidup sehari-hari.
Dalam konteks pelaksanaaan Pemilu, Pacasila hendaklah juga menjadi visi, dasar,
dan parameter evaluasi dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat. Sebab untuk
menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional, perlu diselenggarakan Pemilu untuk
Kepala Daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan perwakilan Rakyat
Daerah sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat
dan sistem pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sungguhkah Pancasila memenuhi kriteria untuk disebut sebagai ideologi negara?
Secara terminologis, ideologi adalah cara pandang atau seperangkat konsep tentang sikap
dan tindakan yang dirumuskan dari buah pikir atau kerangka berpikir yang
mencerminkan identitas atau jati diri suatu kelompok masyarakat. Dengan demikian,
suatu cara pandang atau konsep tentang sikap dan tindakan dapat disebut sebagai
ideologi jika memuat cita-cita ideal yang hendak dicapai, merupakan kerangka berpikir
yang bersifat mendasar dan rasional, serta merupakan metode untuk mewujudkan tujuan
dan mengevaluasi suatu tindakan.

12
Pancasila memenuhi kriteria untuk disebut sebagai ideologi negara Indonesia.
Ditempatkannya Pancasila sebagai ideologi, karena Pancasila memuat cita-cita luhur
yang akan dicapai, yaitu masyarakat adil dan makmur yang merata baik materiil maupun
spirituil bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila memiliki nilai-nilai falsafah yang
mendasar dan rasional yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa yang mendahului, ada,
dan tumbuh di Indonesia. Tidak hanya itu, Pancasila juga merupakan cara pandang dan
sistem untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai
ideologi yang hidup, Pancasila telah menjadi kerangka berpikir (the main of idea),
konsep bertindak (the concept of action), dan dasar hukum (the basic of law) bagi
penyelenggara kekuasaan negara serta seluruh warga negara.
Oleh karena itu, Pancasila sebagai ideologi berfungsi sebagai lentera atau bintang
kejora yang menerangi sekaligus menuntun pelaksanaan langkah masyarakat, bangsa,
dan negara ke suatu tempat yang akan dituju. Dengan demikian, Pancasila hendaklah
menjadi penerang sekaligus penuntun pelaksanaan Pemilu untuk mewujudkan cita-cita
dan tujuan nasional. Pancasila akan haruslah menjadi seperangkat pengetahuan, norma,
dan pedoman bagi perencanaan, pembuatan peraturan, dan pelaksanaan Pemilu. Lebih
dari itu, sebagai ideologi Pancasila juga berfungsi sebagai parameter evaluatif atas
berbagai aturan perundangan, pelaksanaan Pemilu, serta dinamika dan sengketa atau
permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan Pemilu.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sila-sila Pancasila memang telah terbukti
berhasil mempersatukan berbagai perbedaan, sekaligus menerangi dan menuntun
dinamika bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Perbedaan suku bangsa,
daerah, budaya, adat istiadat, agama, dan pandangan hidup dapat diwadahi dan dijamin
keberadaannya di Indonesia oleh rumusan sakti Pancasila yang menyatukan. Sila-sila
Pancasila yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa yang ada dan tumbuh di Indonesia itu,
juga terbukti sakti menghadapi berbagai konflik sosial dan perbedaan pandangan politik
tajam yang terjadi di Indonesia pada masa lalu. Namun demikian, apakah Pancasila
betul-betul sudah menjadi sumber tertib hukum dan inspirasi tindakan penyelenggaraan
Pemilu? Apakah nilai dan semangat Pancasila telah menjadi parameter evaluatif atas
pelaksanaan Pemilu demi terwujudnya cita-cita dan tujuan nasional?
Upaya untuk menempatkan Pancasila sebagai visi, dasar, dan parameter evaluatif
atas pelaksanaan Pemilu tampaknya masih jauh dari harapan. Masih terlalu banyak
pelanggaran Pemilu yang mencederai demokrasi. Sangat kuat kesan, pelaksanaan Pemilu
yang sangat mahal ini terjebak pada aturan administratif dan prosedural semata. Terlebih

13
jika dilihat dari wakil rakyat dan kepala daerah yang dihasilkan, tentu masih sangat jauh
dari upaya cita-cita dan tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Kita perlu segera merevitalisasi Pancasila dalam konteks pelaksanaan Pemilu di
tengah tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman yang terus berubah. Pancasila
harus dipahami sebagai ideologi terbuka, yaitu selain sebagai falsafah dan dasar negara,
Pancasila juga harus dimaknai sebagai sumber inspirasi tindakan dan parameter evaluatif
dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang terus berubah.
Sebagai ideologi terbuka, memungkinkan Pancasila menyerap dan mengembangkan diri
dengan nilai-nilai lokal dan nilai-nilai baru dari luar yang tidak bertentangan dengan
Pancasila. Inilah tantangan baru dalam pelaksanaan Pemilu pada masa kini dan akan
datang.

D. Pelaksanaan Pemilu Sebagai Pengamalan Pancasila


Pelaksanaan pemilu dari tahun ketahun masih belum memuaskan karena apabila
dilihat dari sejarah politik indonesia dari orde baru pun ada suatu kejanggalan –
kejanggalan, contohnya ada monopoli politik yang dilakukan oleh beberapa partai politik
yang diatur dalam perpu dan dikecilkannya politik besar menjadi tiga partai dalam masa
orde baru.
Dalam sumber dijelaskan ada banyak penyimpangan dalam pelaksanaan pemilu
pada masa orde baru, seperti: penyelenggaraan pemilu tidak jujur dan adil, pengekangan
kebebasan berpolitik bagi PNS ( monoloyalitas ), masih ada intervensi pemerintah denan
lembaga peradilan, kurangnya jaminan kebebasan mengemikakan pendapat, sistem
kepartaian tidak otonom, pembatasan jumlah parpol secara paksa dan banyak lagi
penyimpangan demokrasi pancasila khusunya dalam pelaksanaan pemilu.
Pada masa sekarang sistem dalam pemilu dirubah semua dan peraturan pemilu pun
juga direvisi lagi yang diharapkan pemilu bisa berjalan dengan baik dan rakyat pun tidak
merasa kecewa atas pilihannya karena calon yang diajukan dalam pemilu sangat banyak
sehingga rakyat bisa memilih wakil yang diingikannya. Sehingga kebebasan hak asasi
manusia lebih diperhatikan.
Dalam pemilu sekarang sistemnya mungkin sudah bagus tetapi pada saat
pelaksanaan pemilu masih ada sedikit kejanggalan – kajanggalan yang ditemukan di
lapangan. Contohnya: maraknya sistem suap untuk memilih calon wakil rakyat,
pemanipulasian surat suara masih banyak, banyaknya parpol yang menyalahi aturan

14
dalam berkampaye dan kinerja KPU yang lamban dalam menyikapi pelanggaran yang
terjadi di lapangan.
Pelaksanaan pemilu yang dilakukan di indonesia mungkin masih belum sesuai
dengan nilai luhur pancasila tetapi dari sistem dan peraturan tetang pemilu mungkin
mendekati dengan nilai idologi pancasila. Sehingga diharapkan dengan adanya sistem
peraturan pemilu yang berlandaskan pancasila itu pelaksanaan pemilu menjadi sedikit
baik dan pelaksanaan pemilu menjadi jurdil luber.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sengaja dimasukkan di dalam Pasal 22E
Ayat (2) bukan kebetulan semata, melainkan sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh
para pelaku perumus perubahan UUD 1945 saat itu yang berpendapat bahwa sebaiknya
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan pemilihan umum untuk
memilih anggota DPR, DPD dan DPRD. Sehingga pemiihan umum dilakukan serentak
sekali dalam lima tahun, bukan dua kali dengan memisahkan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden tersendiri yang dilakukan sesudah pemilihan anggota legislatif. Kalau itu
dilaksanakan, akan ada lima kotak suara yang harus diisi, yaitu kotak suara untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.
Ada banyak keuntungan seandainya pemilihan umum diadakan serentak
sebagaimana yang difikirkan oleh pelaku perubahan UUD 1945. Di antaranya, akan
terjadi efisiensi biaya, memperpendek tensi suhu politik, dan ketegangan sosial akibat
Pemilu. Selain itu, dengan diberlakukannya pemilihan umum serentak maka koalisi
antarpartai bisa dilakukan sebelum pemilihan umum, bukan setelah Pemilu Legislatif.
Dalam kaitannya dengan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden,
UUD 1945 menentukan syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh para calon
Presiden dan Wakil Presiden, sekaligus bagaimana mekanisme yang harus dijalankan
dalam pemilihan tersebut. Secara khusus UUD 1945 setelah perubahan mengatur
pemilihan Presiden, yaitu dengan keharusan melakukan penggabungan dalam satu paket.
Alasan yang berkembang saat itu diantaranya adalah untuk menyederhanakan partai
politik. Dengan diharuskan calon Presiden dan Wakil Presiden satu paket maka bisa
dilakukan koalisi antarpartai untuk memenangkan calonnya.

Pasal 6A Ayat (1)

”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat.”

15
Selanjutnya Pasal 6 (A) ayat 2 muncul didasari pemikiran bahwa Presiden terpilih
agar bisa mudah dalam menjalankan tugas-tugasnya maka harus memiliki dukungan
yang kuat dari parlemen (DPR). Oleh karenanya, UUD 1945 mengharuskan bahwa
seorang Presiden dan Wakil Presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai
politik. UUD 1945 tidak memberi peluang bagi calon independen untuk mencalonkan
menjadi Presiden dan Wakil Presiden dengan alasan akan lemah di depan Parlemen
sehingga sulit menjalankan roda pemerintahan. Pasal ini juga menegaskan tentang
pentingnya partai politik dalam bangunan system kenegaraan yang demoktaris. Tak ada
demokrasi tanpa partai politik

Pasal 6A Ayat (2)

“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Pasal 6A Ayat (3) selanjutnya merupakan buah pemikiran yang sangat mendalam
dari pelaku perubahan UUD 1945 untuk memecahkan persoalan yang muncul akibat
beraneka ragamnya penduduk Indonesia. Dengan ayat tersebut diharapkan bahwa
Presiden dan wakil Presiden yang terpilih mewakili seluruh elemen masyarakat. Artinya,
bagaimana sistem yang dibangun tidak dimonopoli oleh suku, agama, golongan, atau
daerah tertentu saja, melainkan mencakup seluruh bangsa Indonesia.

Pasal 6A Ayat (3) “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat-
kan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah
jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.“

Demikian pula pada Pasal 6A Ayat (4). Para pelaku perubahan UUD 1945 saat itu
berpendapat bahwa keharusan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden memperoleh
suara lebih dari lima puluh persen adalah untuk memperkuat legitimasi seorang Presiden
dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Pasal 6A Ayat (4) “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Pre-
siden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang
memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”

16
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sebagaimana yang
diamanatkan oleh Pasal 6A UUD 1945 adalah murni pemilu rakyat. Tidak semua negara
yang mengklaim dirinya demokrasi menerapkan sistem pemilu rakyat. Amerika Serikat
yang menjadi rujukan utama demokrasi dunia, tidak menganut sistem se-demokratis di
Indonesia. Di negara tersebut, dianut mekanisme electoral collage. Seorang calon
Presiden meskipun dia memperoleh suara terbanyak dalam pemilu, tetapi dia kalah suara
di electoral collage, dia tidak bisa jadi Presiden. Hal inilah yang menimpa Calon Presiden
Al Gore dari Partai Demokrat pada 2000. Saat itu, popular votes Al Gore lebih unggul
daripada Bush. Dia memperoleh 48.595.533 suara dan Bush hanya 48.363.922 suara. Al
Gore unggul 231.611 suara. Artinya, suara rakyat secara langsung mendukung Al Gore
sebagai Presiden. Namun, peraturan AS menyebutkan, kepastian siapa yang menang
ditentukan oleh electoral collage. Rakyat ke kotak suara untuk memilih elector, bukan
memilih Presidennya secara langsung.
Selain melakukan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden untuk
mengemban tugas pemerintahan (eksekutif), rakyat juga mempunyai hak untuk memilih
para wakil-wakilnya di lembaga perwakilan, yaitu DPR dan DPD untuk mengemban
tugas legislatif. Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan mengatakan, “Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.” Sementara pengisian
anggota DPD diatur di dalam Pasal 22C Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.”
Proses pemilihan umum langsung tentunya tidak terlepas dari dasar negara RI
yaitu Pancasila, terutama sila ke-4 Pancasila. Apabila kita lihat antara keterkaitan antara
sistem pemilihan umum langsung dengan sila ke-4 Pancasila, maka kurang adanya
kesesuaian.
Setelah empat kali amandemen, sila ke 4 dari Pancasila yang bisa diartikan
sebagai sistem pemerintahan yang demokratis yaitu sistem pemerintahan yang
mendasarkan diri kepada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, telah tercermin dalam pasal-pasal di UUD’45, sebagai
berikut:

1. BAB II – MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, pasal 2 s/d pasal 3.


2. BAB III – KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA, pasal 4 s/d pasal 16.
3. BAB IV – DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG, dihapus pada amandemen IV –
2002.

17
4. BAB V – KEMENTERIAN NEGARA, pasal 17
5. BAB VI – PEMERINTAH DAERAH, pasal 18, 18A, dan 18B
6. BAB VII – DEWAN PERWAKILAN RAKYAT. Pasal 19 s/d pasal 22B
7. BAB VIIA - DEWAN PERWAKILAN DAERAH, pasal 22C, 22D
8. BAB VIIB – PEMILIHAN UMUM, pasal 22E
9. BAB VIII - HAL KEUANGAN, pasal 23 s/d 23D
10. BAB VIIIA - BADAN PEMERIKSA KEUANGAN, pasal 23E s/d 23G
11. BAB IX – KEKUASAAN KEHAKIMAN, pasal 24 s/d pasal 25

Pasal-pasal tersebut telah mengalami empat kali amandemen untuk sampai pada
bentuk yang sekarang ini yang pada hakekatnya membagi kekuasaan negara untuk lebih
berimbang diantara lembaga tinggi negara (MPR, DPR, DPD, BPK, Presiden dan
Mahkamah Agung) sehingga kekuasaan tidak terpusat terlalu besar di Presiden
(Eksekutif) saja seperti yang tercermin pada UUD’45 sebelum amandemen.
Kalau kita menterjemahkan sila ke-4 dari Pancasila - kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan – adalah sistem demokrasi
untuk penyelenggaraan Negara, sudah barang tentu amandemen UUD’45 yang berkaitan
dengan ketatanegraan ini adalah kemajuan yang sangat besar dibandingkan dengan
UUD’45 versi aslinya yang kekuasaan Negara terlalu besar berada di Presiden
(Eksekutif).
Menurut Drs. Kaelan, sila ke-4 Pancasila dapat dimaknai sebagai berikut: Arti
yang terkandung dalam pengertian “kerakyatan” adalah bersifat cita-cita kefilsafatan,
yaitu bahwa negara adalah untuk keperluan rakyat. Oleh karena itu maka sifat dan
keadaan negara harus sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat. Jadi “kerakyatan” pada
hakekatnya lebih luas pengertiannya dibanding dengan pengertian demokrasi, terutama
demokrasi politik, pengertian demokrasi pada hakekatnya terikat dengan kata-kata
permusyawaratan/perwakilan. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terdapat dalam sila
keempat Pancasila. Hal ini merupakan suatu cita-cita kefilsafatan demokrasi. Terutama
dalam kaitannya dengan demokrasi politik, karena cita-cita kefilsafatan demokrasi politik
ini, merupakan syarat mutlak bagi tercapainya maksud kerakyatan, dalam pengertian
“kerakyatan” terkandung pula cita-cita kefilsafatan demokrasi sosial-ekonomi.
Demokrasi sosial -ekonomi adalah untuk pelaksanaan persamaan dalam lapangan
kemasyarakatan (social) dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraaan bersama

18
dengan sebaik-baiknya. Adapun untuk mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi tersebut
harus dengan syarat demokrasi politik.

Pada dasarnya didalam sila keempat Pancasila dijelaskan tentang kerakyatan yang
diwakilkan sistem permusyawaratan dalam perwakilan. Dengan demikian, pemilihan
presiden harusnya dilakukan dalam forum permusyawaratan perwakilan. Jadi seharusnya
pemilihan presiden dilakukan di MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sila ke-4 pada
intinya adalah permusyawaratan perwakilan. Demokrasi di Indonesia itu merupakan
demokrasi perwakilan, bukanlah secara langsung. Seharusnya yang memilih presiden
adalah wakil rakyat yaitu melalui sebuah lembaga tinggi.

Pancasila sebagai dasar negara Pilpres atau Pemilihan Presiden sebentar lagi akan
berlangsung, lebih tepatnya pada tanggal 9 Juli 2014 sebentar lagi Indonesia akan
mendapatkan presiden ke-7 dalam sejarah NKRI. Indonesia bersiap menantikan
pemimpin baru yang akan memimpin negara kita tercinta ini selama setidaknya 5 tahun
kedepan. pada saat ini penduduk indonesia dihadapkan pada 2 pilihan yaitu pasangan
Jokowi-JK atau Prabowo dan Hatta Rajasa. Kedua pasangan calon ini tentunya sama-
sama mempunyai tekad yang mulia yaitu mempimpin negara kita tercinta ini menjadi
negara yang lebih baik lagi dari Indonesia yang sebelumnya. saya tidak meragukan
kapasitas dan kapabilitas kedua calon pemimpin kita yang betul-betul memiliki gaya
kepemimpinan yang sangat bertolak belakang.
Dalam tulisan ini saya hanya ingin mencoba memaknai apakah kita sebagai
rakyat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila sebagai dasar negara
kita. apakah kita telah menerapkan nilai luhur pancasila tersebut dalam pengambilan
keputusan tertinggi dalam negara kita? apakah betul bahwa kita telah menerapkan
semangat pancasila dalam memutuskan wakil rakyat kita di DPRD maupun DPR hingga
menetapkan Presiden kita yang baru nantinya? Sebagaimana yang kita ketahui bersama
bahwa salah satu nilai luhur dalam Pancasila adalah kita penduduk Indonesia sangat
menghargai dan lebih mengutamakan Musysawarah untuk mencapai mufakat ketimbang
Voting atau pemilihan. bahkan dalam Sila ke-4 dari pancasila teramanatkan bagi
penduduk Indonesia bahwaa penduduk indonesia wajib menjunjung tinggi
"KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM
PERMUSYAWARATAN / PERWAKILAN" Permusyawaratan yang dimaksud adalah
bahwa untuk mencapai suatu keputusan hendaknya berdasarkan kehendak rakyat, melalui
musyawarah dan mufakat. dalam sila ke-4 Pancasila tersebut telah menjelaskan pada kita

19
bahwa sebagai rakyat Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila sebagai salah satu
dasar negara, kita rakyat Indonesia sudah sewajibnya mengutamakan permusyawaratan
daripada bentuk pemilihan atau voting.
Namun selama ini kita tidak pernah menerapkan musyawarah untuk mufakat
dalam penentuan perwakilan kita di DPRD-DPR bahkan dalam penentuan Presiden,
terkecuali Soekarno yang terpilih secara aklamasi pada saat pertama kali didaulat
menjadi presiden. saya bukan seorang sarjana Hukum jadi saya tidak tahu pasti apakah
selama ini kita telah melanggar undang-undang dasar kita selama kita melakukan proses
pemilihan presiden dan wakil rakyat ataukah kita ini hanyalah warga Indonesia yang
munafik dimana kita sangat mengelu-elukan Pancasila sebagai dasar negara kita namun
kita tidak pernah benar2 mengamalkan pancasila tersebut secara keseluruhan.

20
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari uraian pada halaman pambahasan dapat kita simpulkan bahwa:
 Pemilu merupakan pelaksanaan demokrasi pancasila secara tidak langsung karena
rakyat tidak langsung menjalankan pemerintahan tetapi rakyat memilih wakil
rakyat untuk menjalankan pemerintahan negara indonesia.
 Pemilu dikatakan sebagai pengamalan pancasila karena pemilu mempunyai
landasan undang – undang yang sah dimata hukum dan pemilu juga diatur dalam
UUD 1945 yang berlandaskan pada nilai – nilai luhur pancasila.
 Sistem pelaksanaan pemilu di indonesia sudah hampir sejalan dengan nilai luhur
pancasila tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan masih ada kecurangan –
kecurangan yang seharusnya tidak diharapkan. Karena kecurangan tersebut sangat
merusak nilai pancasila.

B. Saran
Semoga kita sebagai warga Negara yang baik bisa mengamalkan nilai – nilai
pancasila khususnya ketika pesta demokrasi berlangsung demi terwujudnya Demokrasi
Pancasila.

21
DAFTAR PUSTAKA

http://pemudakompeten.blogspot.com/2010/03/pemilu-sebagai-pengamalan-
demokrasi.html
http://dedetugas.blogspot.com/2016/10/nilai-nilai-pancasila-dalm-pilkada.html
https://www.academia.edu/6708458/Hubungan_Antara_Sistem_Pemilu_dengan_Pancasil
a
https://www.kompasiana.com/sigalo/54f73056a33311b7728b46e2/pengamalan-nilai-
nilai-pancasila-dalam-pemilihan-presiden
http://law.ui.ac.id/v3/makna-sila-ke-4-dalam-konteks-pilkada-2/

22

Anda mungkin juga menyukai