Anda di halaman 1dari 5

TUGAS REVIEW KEBIJAKAN LUAR NEGERI DAN KEAMANAN AMERIKA SERIKAT

Nama : Sri Rezeki


NPM : 0806322962
Sumber : Thomas E. Mann & Norman J. Ornstein, ”The Case of Continuity” dalam The Broken Branch:
How Congress is Failing America and How to Get It Back on Track (Oxford: Oxford Univ
Press, 2006), hal. 192-210.

DILEMA CONTINUITY PLANNING DALAM KONGRES DI AMERIKA SERIKAT

Dunia dikejutkan atas serangan terhadap gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon. Saat itu pagi hari
tanggal 11 September 2001, rakyat Amerika Serikat sedang melakukan kegiatan rutinnya, begitu juga situasi yang
terjadi di gedung dewan perwakilan rakyat negara bagian (Capitol). The House of Representatives saat itu sedang
dalam satu sesi persidangan, seperti biasa para komite mengadakat pertemuan baik secara formal dan informal.
Sementara para staf, pelobi, dan kelompok tur ada di luar gedung, tidak jauh dari East Front. Kemudian berita
mengenai serangan terhadap gedung World Trade Center mulai menggemparkan rakyat Amerika Serikat.
Terutama untuk para wakil rakyat sendiri. Pada serangan yang kedua dimana Pentagon yang diserang, situasi
semakin kacau dan sulit untuk dijelaskan. Pimpinan kongres seperti Pembicara, House Minority Leader, Mayoritas
Senat, dan Pimpinan Minoritas segera diamankan ke suatu tempat. Sementara yang lain seperti lawmakers, staf,
dan yang lainnya tidak diberikan perlindungan serupa. Tanpa adanya rencana evakuasi yang baik, bisa ditebak
yang terjadi adalah banyak anggota dewan perwakilan rakyat yang meninggal, hilang ataupun terluka parah
hingga tidak mampu bekerja dengan baik. Motif kenapa penyerangan ini dilakukan di bulan September baru
diketahui tiga tahun setelah terjadinya serangan. Seperti yang dikatakan oleh Mohammed Atta, penyerangan ini
dilakukan pada awal bulan September dikarenakan pada awal bulan ini Kongres di Amerika Serikat sedang dalam
sesi persidangan. Dengan banyaknya member yang terluka dan tidak mampu untuk melakukan persidangan, maka
yang terjadi pada House sendiri adalah House menjadi tidak aktif selama 4 bulan atau lebih (dikhawatirkan hingga
Januari 2003). Untuk mengadakan satu official business setidaknya diperlukan setengah anggota dari total
kuorum. Memang House tidak seperti Senat yang bisa mengisi beberapa vacancies yang kosong melalui pemilihan
umum (pemilu), dan karena pemilu spesial pada saat itu menghabiskan waktu paling tidak empat bulan, maka
seperti yang dikhawatirkan, House akan vakum selama paling tidak empat bulan atau bahkan lebih.

Satu kondisi horor kemudian terjadi lagi, partikel virus antraks tiba-tiba menghantui Senator-senator utama seperti
Tom Dascle dan Pat Leahy. Masalah lainnya yang juga ditakutkan adalah apabila para teroris kemudian
menyebarkan virus antraks ini ke dalam sistem ventilasi udara gedung Senat, maka paling tidak ada sekitar 60
hingga 70 Senat yang harus dirawat inap selama beberapa bulan hingga kembali normal dan akibatnya adalah
kosongnya beberapa vacancies, sehingga fungsi Senat pun tidak bisa dijalankan dengan baik. Sebenarnya
kekosongan vacancies ini bisa diisi oleh executive appointments jika memang satu negara menginginkannya.
Namun jika ada 60 Senator yang inkapasitas, yang terjadi adalah kuorum tidak terpenuhi dan sekali lagi negara
1
pun tidak mampu untuk mengisi kekosongan vacancies ini, sehingga fungsi Senat pun sama halnya dengan yang
terjadi pada House adalah tidak dapat menjalankan fungsinya hingga kuorum dapat terpenuhi dan dapat
mengadakan pemilu. Para member House dan Senat sendiri meributkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan
continuity planning. Continuity planning adalah rencana yang dimaksudkan untuk menyelamatkan para anggota
kongres (member House maupun Senator) pada saat dalam keadaan darurat agar para anggota kongres ini dapat
tetap menjalankan fungsinya dengan baik. Dalam era Reagan, seperti yang ditulis dalam Washington Post,
continuity planning meliputi “any occurrence, including natural disaster, military attack, technological
emergency, or other emergency, that seriously degrades or seriously threatens the national security of the United
States."1 Selain itu, pada saat Perang Dingin sebenarnya sudah ada bentuk continuity planning, yaitu dalam bentuk
mengatur kerahasiaan, menyiapkan bunker-bunker yang kokoh di Greenbrier Resort, Virginia Barat yang dapat
mengakomodasi semua anggota kongres dengan makanan, miniman, mini-chamber, dan proteksi atas radiasi
nuklir jika Uni Soviet menembakkan uklir ke Washington. Namun sayangnya bentuk continuity planning
semacam ini sudah tidak relevan lagi karena bentuk serangan yang digunakan para teroris bukanlah bentuk
serangan dalam artian tradisional (dimana ada tanda-tanda serangan sebelum pihak lawan menyerang) yang terjadi
sekarang adalah transnational crimes dimana pihak teroris bisa menyerang kapan saja dan dimana saja tanpa
memberikan aba-aba terlebih dahulu.

Menyadari pentingnya continuity planning, Ornstein kemudian menulis dalam Roll Call (tiga hari setelah
penyerangan terhadap WTC dan Pentagon), Ornstein berpendapat bahwa kongres harus segera menyadari bahwa
masalah ini bukan masalah yang sederhana. Mengadakan satu reformasi dalam proses adalah satu-satunya cara
untuk menyelesaikannya karena hal ini menyangkut keberlangsungan kongres yang artinya juga menyangkut akan
fungsinya sebagai kekuatan legislatif yang memiliki andil besar dalam pemerintahan negara. Cara terbaik untuk
melakukan reformasi proses menurut Ornstein adalah dengan membentuk satu tugas kecil untuk para
constitutional scholars, dan former lawmakers untuk melaporkan kepada empat pimpinan teratas kongres dengan
saran untuk melakukan reformasi konstitusional. Dengan adanya hal ini, perpanjangan pemilu spesial (expedited
special election)dalam keadaan darurat pun akan mulai disadari sebagai sesuatu yang harus ada untuk menunjang
kontinuitas dari kongres. Selain itu juga harus dilakukan amandemen konstitusional dalam keadaan darurat dan
juga mendefini ulang quorum jika anggota quorum banyak yang inkapasitas.

1
The provisions of Executive Order 12656 of November 18, 1988, appear at 53 FR 47491, 3 CFR, 1988 Comp., p. 585, "Executive Order
12656-Assignment of Emergency Preparedness Responsibilities,". The Washington Post (Gellman and Schmidt, "Shadow Government Is
at Work in Secret," March 1, 2002) later claimed, incorrectly, that Executive Order 12656 dealt only with "a nuclear attack."
2
Analisis

Menurut Reviewer, masalah kevakuman House dan Senat akibat satu bencana besar bukan merupakan satu
masalah yang sepele dikarenakan fungsi keduanya yang sangat besar dalam hal legislatif. Setidaknya negara tidak
dapat menghasilkan satu undang-undang yang berhubungan dengan kepentingan negara seperti misalnya
pendeklarasian perang, pelaksanaan kekuatan prosekutor, penurunan dana darurat, hingga pada fungsi military
power. Jika hal ini terjadi sama saja satu negara dapat dikatakan ”hampir mati”, karena fungsi eksekutif yang
dijalankan tanpa adanya fungsi legislatif adalah tidak kuat. Bagaimanapun, eksekutif membutuhkan legislatif
dalam menjalankan tugasnya sehingga kemudian masalah kontinuitas kongres ini menjadi satu hal yang krusial
untuk dibicarakan dan diambil satu alternatif yang diperlukan. Masalah kevakuman kongres yang dijadikan
wacana ini sayangnya dianggap sebagai masalah kepartaian yang sekali lagi pasti menyangkut ”kursi” dan
keterwakilan, padahal masalah ini bukanlah mengenai isu kepartaian dalam makna tradisional, yang ada adalah
masalah ini merupakan masalah bersama kenegaraan. Seperti yang tertuang dalam Amandemen mengenai party-
line votes, maka akan ada satu vote satu suara, dimana partai-partai kecil minoritas juga memiliki suara dalam hal
ini. Tentu saja hal ini merugikan pihak mayoritas yang pada saat itu dipimpin oleh Partai Republik. Beberapa
Republikan yang sangat ekstrim menentang misalnya J. Sensenbrenner yang merupakan ketua dari House
Judiciary Committee. Padahal sebenarnya ada beberapa Republikan yang juga mendukung masalah kontinuitas
Kongres seperti yang diajukan oleh Ornstein. Memang disini tidak terlihat jelas motif dari Sensenbrenner sendiri,
namun masalah suara dan keberlangsungan kekuasaan Republik memang dipertaruhkan jika terjadi pemilu spesial
dalam situasi darurat. Setidaknya jika massa dari partai-partai minoritas dikumpulkan suaranya dan mendukung
satu pihak selain Republik, maka keterwakilan Republik di Senat maupun House akan semakin menipis sehingga
akan sulit untuk mencapai konsensus.

Seperti halnya yang diungkapkan oleh Prof. Peter Dale Scott, tidak ada salahnya jika dalam pemerintahan satu
negara menyiapkan Continuity of Government (COG) planning. Seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah
negara lain, maka Amerika Serikat pun sebaiknya juga memperhatikan masalah kontinuitas ini. Akan ada banyak
hal buruk yang mungkin terjadi di masa depan.2 Scott dalam hal ini setuju atas usulan yang diajukan oleh Ornstein
mengenai pentingnya rencana kontinuitas. Kontinuitas juga diyakini sebagai ”shadow government” yang dapat
menguatkan fungsi pemerintahan.3 Ketakutan atas terjadinya over kekuatan eksekutif terhadap kekuatan legislatif
karena tidak berfungsinya kekuatan legislatif dalam keadaan darurat pun dapat diminimalisir. Namun memang ada
banyak dilema yang terjadi untuk pengajuan rencana kontinuitas ini, terutama terkait dengan penyesuaian antara
aturan yang berlaku di masing-masing states dengan peraturan negara secara keseluruhan. Namun sepertinya
memang dalam hal ini yang ditekankan adalah masalah kepemimpinan, staf dan infrastruktur untuk juga dapat
menguatkan fungsi pemerintahan.

2
Congress, the Bush Administration and Continuity of Government Planning—The Showdown, diakses dari
http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=8864 pada tanggal 18 September 2010 pukul 16.38.
3
Bush Changes Continuity Planning, diakses dari http://www.washingtonpost.com/wp-
dyn/content/article/2007/05/09/AR2007050902719.html pada tanggal 18 September 2010 pukul 19.10.
3
Untuk saat ini, masalah teorisme memang merupakan ancaman transnasional yang paling menakutkan.4 Terutama
untuk Amerika Serikat sendiri yang sering menjadi target operasi dari para teroris ini. Untuk itulah continuity
planning memang sangat dibutuhkan seperti yang diungkapkan dalam Executive Order 12656, Section 202,
“Continuity of Government. The head of each Federal department and agency shall ensure the continuity of
essential functions in any national security emergency by providing for: succession to office and emergency
delegation of authority in accordance with applicable law; safekeeping of essential resources, facilities, and
records; and establishment of emergency operating capabilities.”5

Seperti yang telah diungkapkan diatas, continuity planning mengandung beberapa dilemma di dalamnya karena
isu ini kemudian menyangkut masalah apakah jika memang harus diadakan continuity planning dimana di
dalamnya di bahas adanya temporary appointment akan dapat dijelaskan makna dari temporary itu sendiri. Term
temporary ini sangat ambigu sehingga menimbulkan makna dimana sampai seberapa lama kongres dapat
ditangguhkan fungsinya hingga dapt berfungsi secara aktif kembali. Respon pimpinan kongres untuk masalah
kontinuitas ini memang agak buruk, terutama menyangkut dari kepentingan para pimpinan kongres untuk
mempertahankan integritas kongres yang mereka yakini tidak dapat dipertahankan jika mereka melakukan special
election ataupun pemerintah bayangan. Respon buruk dari kongres ini kemudian tidak membuahkan hasil yang
cukup memuaskan dalam hal reformasi konstitusional. Solusi yang berhasil ditawarkan hanya dalam bentuk
hearing ataupun working group. Beberapa orang yang ikut aktif dalam proses hearing dan working group agar
draft dari continuity planning ini dapat diterima adalah former speaker dari kongres terdahulu, Newth Gingrich
dan Tom Foley.

Alasan pimpinan kongres seperti J. Sensenbrenner untuk menolak continuity planning memang mungkin ada
benarnya, karena pada saat isu mengenai continuity planning ini dibuka ke public, dikhawatirkan akan terjadi
instabilitas karena masyarakat merasa insecure. Menurut reviewer, memang sedikit banyak, isu continuity
planning ini mengisyarakatkan bahwa negara dalam kondisi ”sangat gawat”. Masyarakat dapat menarik mundur
alasan kenapa pada masa Eissenhower dibentuk adanya continuity planning ini. Pada saat itu memang ketakutan
atas serangan nuklir dari Uni Soviet memang membuat status negara dalam keadaan darurat. Akibat yang terjadi
adalah masyarakat merasa negara sedang tidak aman sehingga instabilitas pun dapat terjadi. Sementara itu,
kongres sendiri sedang mengadakan debat terbuka antara Repubilkan Brian Baird dan Dana Rohrabacher
mengenai pengajuan draft amandemen konstitusi untuk menemukan jalan yang paling baik.6 Dilema isu continuity
yang sebenarnya adalah isu bersama negara untuk menyelamatkan kongres kemudian beralih menjadi isu
kepartaian, hal ini yang kemudian menyebabkan draft dari amandemen konstitusi ini berjalan sangat alot dalam

4
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations and World Politics; Security, Economy, Identity (New Jersey: Pearson
Prentice Hall, 2009) p. 274.
5
Executive Order 12656--Assignment of emergency preparedness responsibilities, diakses dari http://www.archives.gov/federal-
register/codification/executive-order/12656.html pada tanggal 19 September 2010

6
Congressional Succession Debate Back On, diakses dari http://www.rollcall.com/issues/53_38/news/20330-1.html pada tanggal 19
September 2010 pukul 20.10.
4
setiap sesi perundingan dalam kongres. Dalam hal ini misalnya Demokrat mencoba untuk lebih peduli terhadap isu
kontinuitas ini dimana pada saat Republikan yang memimpin, Republikan dianggap kurang peduli terhadap isu
ini.7

Kesimpulan

Bentuk kejahatan yang terjadi di era ini bukan lagi merupakan kejahatan tradisional dimana ada sinyal-sinyal
penyerangan sebelum pihak lawan menyerang, namun bentuk kejahatan di era ini adalah transnational crime
dimana serangan dilakukan secara tiba-tiba dan dapat mengakibatkan kematian massal misalnya saja terorisme
ataupun penyebaran virus-virus penyakit. Dalam hal ini, Amerika Serikat memiliki pengalaman yang tentu sulit
dilupakan pada saat terjadi insiden teroris menabrakkan pesawatnya di gedung WTC dan Pentagon. Banyak
korban berjatuhan termasuk di dalamnya para anggota kongres yang sedang melakukan sesi persidangan. Masalah
kemudian muncul, jika banyak anggota kongres yang inkapasitas dalam menjalankan fungsinya dengan baik,
maka fungsi legislatif di Amerika Serikat pun akan terhambat. Sementara fungsi legislatif sangat penting karena
merupakan lembaga pembuat peraturan selain juga untuk menahan dominasi kekuasaan eksekutif. Hal inilah yang
dipikirkan oleh Ornstein dan Mann hingga membawa isu ini ke kongres untuk dibahas dan dicari penyelesaiannya.
Namun niat Orstein dan Mann ini tidak sepenuhnya berjalan dengan mulus karena hampir tiga tahun setelah
penyerangan respon dari House masih buruk. Salah satu pimpinan di kongres, Sensenbrenner misalnya
menganggap bahwa isu ini dapat menurunkan integritas kongres sehingga tidak terlalu penting untuk dibicarakan.
Dilema kemudian juga menyangkut isu seberapa besar kuorum yang ingin diredefinisi, penjelasan dari sampai
seberapa lama temporary appointment berlaku, dilema antara peraturan federal states dengan White House
mengenai lamanya special elections, hingga perseteruan antara anggota kongres dari Republikan sendiri dalam
pengajuan draft amandemen konstitusional menyebabkan draft pengajuan isu continuity planning ini hanya sampai
pada tahap hearing, working group, dan debat tanpa menghasilkan satu alternatif penyelesaian masalah
penyelamatan kongres saat terjadi keadaan darurat. Menurut Reviewer apa yang terjadi disini memang sulit untuk
disederhanakan, walaupun memang kelihatannya isu continuity planning ini terlihat sederhana karena hanya
merupakan rencana penyelamatan dari ancaman keadaan darurat seperti natural disaster, terorisme, dan lain-lain.
Namun, tidak dapat kita pungkiri setiap isu yang dibicarakan dalam satu kongres tentu saja akan menyangkut
masalah kepartaian, walaupun secara umum kita dapat mengkategorikannya sebagai isu bersama negara. Di setiap
kongres tentu ada pihak mayoritas dan pihak minoritas, pihak mayoritas tentu tidak ingin masalah ini mengganggu
”kekuatan” mereka, sedangkan pihak minoritas mencoba untuk ”lebih didengar” dengan menggunakan sistem one
man one vote. Masalah kepartaian ini yang diyakini oleh reviewer menjadi penyebab continuity planning belum
mencapai satu alternatif penyelesaian masalah yang disetujui kongres.

7
Democrats Need to Get Moving on Continuity Issues, diakses dari http://www.rollcall.com/issues/52_126/ornstein/18499-1.html pada
tanggal 19 September pukul 20.19.
5

Anda mungkin juga menyukai