Anda di halaman 1dari 12

TAKEHOME UAS TEORI EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL

Nama: Sri Rezeki


NPM: 0806322962
Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional
Kode Soal : ZD

Pertanyaan :
1. Perkembangan sistem ekonomi politik internasional (1944-2000an) sampai pada konklusi tertentu, dan hal itu
disebut oleh Robert gilpin sebagai Vulnerable. Apa implikasinya atas konklusi itu baik secara regional, global
dan terhadap sistem moneter internasional? Jelaskan dengan ringkas, fokus pada pilihan fakta yang anda anggap
relevan, sehingga jawaban punya ciri khasnya masing-masing baik secara regional, global dan terhadap sistem
moneter internasional.

Jawaban:
Sistem moneter internasional adalah sistem kebijakan dalam menciptakan aturan dan mekanisme
terstandardisasi yang dipakai suatu negara untuk menilai dan menukarkan mata uangnya. Ini akan
mempermudah dan memfasilitasi pertukaran nilai mata uang baik digunakan sebagai alat pembayaran sah
dalam bisnis internasional atau pembayaran hutang luar negeri suatu negara maupun komoditas perdagangan
dalam bentuk investasi keuangan seperti di bursa efek.

SEJARAH SISTEM MONETER INTERNASIONAL


Zaman Emas (1876-1913)

Perdagangan yang semakin meningkat membuat kebutuhan sistem pertukaran yang lebih formal menjadi
semakin terasa. Standar emas pada dasarnya menetapkan nilai tukar mata uang negara berdasarkan emas.
Pemerintah atau Negara yang bersangkutan harus menjaga persediaan emas yang cukup untuk menjamin jual-
beli emas. Jika pemerintah negara lain juga menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan, maka kurs antar dua
mata uang bisa ditentukan.
Karena nilai emas terhadap barang lain tidak banyak berubah dalam jangka panjang, stabilitas nilai uang dan
kurs mata uang tidak banyak berfluktuasi dalam jangka panjang. Nilai tukaran emas terhadap dolar adalah
setiap US$35= 28,3496 grm emas = 1 ounce

Periode Perang Dunia 1914-1944


Standar emas hancur waktu perang dunia 1 pecah. Mata uang praktis ditetapkan atas dasar emas atau mata uang
lainnya dengan longgar. Beberapa usaha kembali ke standar emas dilakukan sesudah perang dunia 1 berakhir.
Emas hanya diperdagangkan dengan bank sentral, bukan pribadi. Kurs mata uang ditetapkan berdasarkan emas.
Sesudah tahun 1934 dan sesudah perang dunia kedua, konvertibilitas mata uang yang bisa ditukarkan
(konvertibel) dengan mata uang lainnya.

Periode Kurs Tetap

Periode ini dimulai dengan perjanjian Bretton Woods. Melalui perjanjian ini, semua negara menetapkan nilai
tukar mata uangnya berdasarkan emas, tetapi tidak diharuskan memenuhi konvertibilitas mata uang mereka
dalam emas. Negara anggota diminta menjaga kursnya dalam batas 1% (naik atau turun) dari nilai par, dan
bersedia melakukan intervensi untuk menjaga kurs tersebut. IMF membantu negara anggotanya dalam rangka
menjaga kurs mata uangnya. Tekanan spekulasi menyebabkan sistem kurs tetap tidak layak lagi dipertahankan.
Pasar keuangan dunia sempat tutup selama beberapa minggu pada bulan Maret 1973. Ketika pasar tersebut
dibuka, kurs mata uang dibiarkan mengambang sampai ke kurs yang ditentukan oleh kekuatan pasar.

Post Bretton Woods (1973) - sekarang

Setelah kurs dibiarkan mengambang, fluktuasi kurs mata uang dunia menjadi semakin tinggi dan semakin sulit
diprediksi. Kejadian penting pertama setelah Bretton Woods berakhir adalah embargo minyak negara OPEC
yang cukup sukses (Oktober 1973). Pada tahun 1974 harga minyak cenderung melakukan kebijakan sangat
tajam.
Kurs dollar dan juga kurs mata uang lainnya, di masa mendatang akan berfluktuasi sama seperti sekitar dua
puluh tahun terakhir ini. Selama tidak ada patokan yang pasti, kurs mata uang di masa mendatang akan
mengalami fluktuasi yang tidak bisa diprediksi.

IMPLIKASI DARI VULNERABLE SISTEM MONETER INTERNASIONAL

Vulnerable artinya adalah kerapuhan, dimana satu goncangan di satu bagian dapat menggoncang bagian lain
juga. Suatu goncangan yang sedikit keras bukan tidak mungkin akan menyebabkan terjadinya disequilibrium
yang akhirnya bisa membawa banyak korban.1 Arti kerawanan lainnya adalah bahwa ketika ada sesuatu yang
tidak baik, maka akan segera menyebar secara cepat sehingga hal-hal lain bergerak ke arah yang buruk pula.
Kondisi finansial dan nilai tukar sangat berpotensi menciptakan kerawanan dalam perekonomian. Gilpin juga
1
Diakses dari http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache%3AWOozlLMV2tkJ%3Awinpluscapital.com%2Fwinplus
%2FMerespons%2520Gejolak%2520Moneter%2520Internasional.pdf+sistem+moneter+internasional&hl=id&gl=id pada tanggal 20
Mei 2010 pukul 19.10.
menunjukkan bahwa perekonomian dunia ini rawan dan membutuhkan integritas dari semua pihak, seperti yang
Gilpin uraikan, ”the fragility of a global and integrated economy.” Harus ada integritas ekonomi untuk melawan
kerawanan perekonomian yang terhubung satu sama lain menjadi satu sistem.2
Berikut ini merupakan implikasi dari vulnerable di tingkat regional, global dan terhadap sistem moneter
internasional:

Di Tingkat Regional:

Untuk tingkat regional, tentulah blok perdagangan Uni Eropa yang akan menjadi acuan kita bersama. Blok
perdagangan yang dimulai dari Perjanjian Roma, dimana perjanjian ini adalah landasan terbentuknya
”Masyarakat Batubara dan Baja” yang pada mulanya mengintegrasikan kekuatan Eropa. Regionalisme ekonomi
Eropa cenderung mengundang penentangan dari beberapa negara terutama Amerika Serikat pada mulanya. Hal
ini terjadi karena banyak negara khawatir bahwa blok perdagangan Eropa akan membentuk suatu blok
perdagangan yang eklusif dan cenderung tertutup. Hal ini tentu mengakibatkan akan terjadi diskriminasi
perdagangan dunia yang akan mendiskreditkan usaha pengintegrasian perekonomian dunia. Mengapa
masyarakat Eropa mengingkan pengintegrasian? Hal ini dikarenakan sebagai satu kesatuan yang besar,
masyarakat Eropa menginginkan pertumbuhan ekonomi yang besar pula, namun sayangnya pada saat periode
tahun 1980an yang terjadi adalah stagnansi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, ada faktor lainnya juga yang
menyebabkan masyarakat Eropa menginginkan proses integrasi yaitu karena mereka melihat sepertinya yang
menikmati dominasi perekonomian adalah dua negara saja yaitu Amerika Serikat dan Jepang, padahal mereka
yakin bahwa mereka adalah satu kesatuan yang lebih besar yang seharusnya dapat lebih menikmati surplus
perdagangan dunia dibandingkan Amerika Serikat dan Jepang. Hingga akhirnya momentum penyatuan
masyarakat Eropa datang pada saat berakhirnya perang dingin dan
Momentum penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur.
Pada tahun 1992, disepakati Perjanjian Maastricht yang menjadi tonggak perjanjian yang membentuk Uni
Eropa. Inti dari perjanjian tersebut adalah pembentukan Economic and Monetery Union. Tujuan eksplisit dari
EMU adalah menciptkan satu mata uang Eropa bersama (Euro) dan sebuah bank sentral Eropa yang merupakan
pesyaratan awal penyelesaian integrasi pasar Eropa. Idealnya, pergerakan menuju kesatuan Eropa memiliki
tujuan akhir pada kesatuan tiga aspek yaitu ekonomi, luar negeri dan keamanan, dan kebijakan sosial. Namun
dalam tataran prakterknya, tujuan luar negeri dan keaman; dan kebijakan sosial cenderung sangat lambat.
Setelah Perjanjian Maastricht, urusan politik negara-negara Eropa Barat lebih sering menyangkut masalah
upaya untuk menyelesaikan pembentukan satu mata uang tunggal dan sebuah bank sentral Eropa. Dalam upaya
untuk meng-konkretkan pembentuk satu mata uang tunggal dan sebuah bank sentral Eropa sendiri, tentunya
harus melalui beberapa tahapan proses. Laporan Delors sendiri memperkirakan terdapat tiga tahapan dalam
2
Diakses dari http://press.princeton.edu/titles/6778.html pada tanggal 20 Mei 2010 pukul 19.26
proses pembentukan satu mata uang tunggal dan sebuah bank sentral Eropa. Tahapan-tahapan tersebut adalah :
Tahapan pertama adalah ketika adanya penghapusan kontrol modal, memperkenalkan kerangka kerja
pengawasan dan koordinasi komprehensif kebijakan-kebijakan ekonomi negara-negara anggota; Tahapan kedua
adalah memperkenalkan pembatasan ketat terhadap defisit anggaran nasional, sehingga pada akhirnya
dibentuklah European Monetary Institute (EMI) sebagai upaya untuk mengelola European Monetary System,
mengkoordinasikan kebijakan moneter, dan mempersiapkan jalan bagi pencapaian suatu kebijakan moneter
tunggal; Tahapan ketiga adalah ketika tingkat nilai tukar mata uang-mata uang negara tersebut dikunci, dan
European Central Bank (ECB) mengemban tanggung jawab penuh kebijakan moneter Eropa. Selama tahapan
ini, euro secara perlahan-lahan menggantikan seluruh mata uang nasional, cadangan-cadangan resmi akan
dipindahkan ke ECB dan ECB akan mengelola kebijakan tingkat nilai tukar. Pada akhirnya, setelah melalui
tahapan-tahapan tersebut, pada tahun 2002, Euro diberlakukan sepenuhnya sebagai mata uang daratan Eropa.
Dengan telah terbentuknya suatu kebijakan bersama di bawah payung besar Uni Eropa, tentunya semua
kebijakan akan kembali kepada suatu sistem. Maksudnya adalah saat satu bagian negara di Uni Eropa
mengalami krisis, maka bagian-bagian lain akan terkena dampaknya karena mereka sudah terangkum dalam
satu sistem. Sistem regional dengan satu mata uang menyebabkan tingkat vulnerable antar negara dalam
kawasan regional menjadi semakin tinggi. Hal ini tidak dapat dihindarkan mengingat mereka bernaung di
bawah satu kesatuan bank sentral. Vulnerable di tingkat regional mungkin akan lebih cepat terasa dibandingkan
di tingkat global, namun juga akan lebih cepat teratasi dibandingkan di tingkat global.

Di Tingkat Global:

Peran globalisasi tidak dapat dihindarkan dalam pembentukan vulnerability di tingkat global. Dunia berusaha
diciptakan untuk menjadi pasar dunia, sehingga satu sama lain akan saling terkait. Sekarang tidak bisa lagi kita
menyebutkan pasar negara A atau pasar negara B, namun yang ada adalah pasar dunia. Semua negara bebas
keluar masuk dalam aktifitas perdagangan dunia. Dunia berubaha menjadi satu sistem yang saling terintegrasi.
Salah satu dari bagian sistem jatuh, maka bagian-bagian lain juga akan jatuh. Seperti halnya efek domino yang
biasa kita kenal di zaman perang dingin. Oleh sebab itu juga, seiring dengan perkembangan perdagangan dan
investasi internasional antar negara yang semakin global dan terhubungkan satu sama lain maka mekanisme
dalam pengaturan nilai kurs mata uang suatu negara terhadap negara lain sebagai nilai kurs yang diterima
sangatlah diperlukan. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa setiap negara di dunia memiliki mata uang sendiri
dimana nilai dan daya-gunanya berbeda dengan mata uang negara lain. Tentunya, selain nilai kurs yang beda,
setiap negara memiliki kebijakan yang beragam mengenai moneter mereka masing-masing sehingga berdampak
pada kontinuitas dan spekulasi bisnis dan investasi suatu negara ke negara tersebut.3

3
Diakses dari http://onlinebuku.com/2009/03/16/sistem-moneter-international/ pada tanggal 20 Mei 2010 pukul 19.48.
Vulnerable sistem global akan lebih sulit untuk ditanggulangi dibandingkan di tingkat regional. Hal ini
dikarenakan ada lebih banyak unit yang saling terkait di dalamnya. Contoh paling nyatanya adalah krisis kredit
perumahan berkualitas rendah di AS telah menyeret berbagai perusahaan keuangan besar, seperti Citigroup dan
Merrill Lynch (AS), UBS and Barclays (Eropa), serta Mizuho (Jepang), mengalami kerugian serius. Bahkan,
hingga kini masih banyak lagi perusahaan rugi yang belum terdeteksi. Dana Moneter Internasional (IMF) telah
mengingatkan otoritas keuangan di kawasan Uni Eropa agar lebih transparan tentang perusahaan mana saja
yang terkena dampak subprime mortgage. Krisis yang bersumber pada pasar kredit serta berdampak pada pasar
finansial, masih akan berlanjut di tahun depan. Efek dari vulnerable ini adalah ekonomi balon yang menghantui
dunia. Hal ini diungkapkan oleh A. Prasetyanko, seorang mahasiswa PhD Departemen Ekonomi Ecole Normale
Supérieure (ENS) Lsh-Lyon, Perancis. Prasetyanko mengatakan bahwa pertumbuhan sektor finansial tidak
sebanding dengan pertumbuhan sektor riil, sehingga kita beranggapan bahwa perekonomian sedang tumbuh
padahal yang sebenarnya terjadi adalah pertumbuhan itu semu dan ringan seperti balon. Hal yang paling nyata
terlihat adalah sedikitnya tercipta lapangan pekerjaan yang sebenarnya dapat menggerakkan sektor riil.

Bank sentral di seluruh dunia sejak beberapa dekade terakhir ini sangat ketat mengontrol inflasi, melalui
kebijakan yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Tujuannya, agar daya beli masyarakat tidak
terganggu. Karena pada dasarnya peningkatan inflasi akan mendorong kenaikan harga yang akan diikuti dengan
melemahnya daya beli masyarakat, dan akhirnya kualitas hidup masyarakat sendiri akan tergerogoti. Padahal,
setiap gejolak di pasar uang yang berdampak pada nilai tukar, selalu berpotensi memengaruhi tingkat inflasi.
Sehingga bank Sentral harus selalu harus siap meredam dampak fluktuasi nilai tukar, agar tidak mendorong
inflasi yang pada gilirannya akan melemahkan daya beli masyarakat. Jadi. sangat jelas bahwa gejolak di pasar
keuangan pastilah memiliki dampak terhadap perekonomian masyarakat banyak.4

Instabilitas finansial dianggap sebagai faktor penting dan dominan yang akhir-akhir ini menggerakkan sejumlah
krisis di berbagai negara di dunia. Secara sederhana kita bisa memahami bahwa instabilitas (finansial) bersifat
permanen, dan krisis tak lain adalah konsekuensi logis dari kondisi instabilitas tersebut.5 Untuk menggambarkan
betapa hebatnya krisis yang terjadi akhir-akhir ini, Lawrence Summer, mantan Menteri Keuangan AS,
mengatakan, “Perkembangan teknologi perangkat finansial modern, bagaikan pesawat jet, dia akan membawa
kita melesat lebih cepat dibanding alat transportasi lainnya. Namun, jika terjadi kecelakaan, dampaknya juga
jauh lebih spektakuler dan mematikan dibandingkan dengan teknologi lain sebelumnya.6

Situasi resesi ekonomi global yang dipicu oleh akumulasi kredit macet di sektor perumahan AS sejak 2007 yang
diakhiri dengan pengumuman bangkrutnya Lehman Brothers pada 15 September 2008 yang lalu telah
menimbulkan multi efek berantai sentimen negatif di berbagai lantai bursa saham terkemuka di dunia. Seketika
4
Sudono Sukirno, Ekonomi Makro, (Jakarta, UI Pers, 2005) hal. 165-168
5
Dikutip dari Majalah Tempo, 23 Agustus 2008
6
Igor Dirgantara, AS dan Krisis Ekonomi Global dalam www.boto.or.id
itu, Pemerintah AS, melalui voting di konggres menyetujui pengguyuran dana talangan $ 700 miliar ke pasar
uang. Kepanikan pun merembet ke sejumlah negara maju dan berkembang. Eropa mengambil keputusan
menurunkan suku bunga untuk menjaga sektor riil tetap bertahan.

Sistem moneter dunia dalam kenyataannya menggunakan dollar AS sebagai mata uang cadangan (reserve
currency), mata uang intervensi dalam sistem yang memerlukannya, sarana transaksi sebagian terbesar
perdagangan barang dan jasa, termasuk transaksi minyak serta untuk sarana investasi. Sebagai mata uang
cadangan dan intervensi penggunaan dollar AS telah berlangsung sejak mulai dianutnya sistem Bretton Woods
bersamaan dengan kelahiran Dana Moneter Internasional (IMF) setelah berakhirnya PD II hampir enam puluh
tahun lalu. Pada waktu PD II berakhir, sistem dan kebiasaan yang mengandalkan dollar AS sangat logis
mengingat kekuatan perekonomian AS memang sangat menonjol sebagai satu-satunya negara besar yang tidak
rusak oleh perang. Sistem moneter dunia dengan dominasi dollar AS ini juga didukung cadangan emas AS yang
memang tidak tertandingi oleh negara manapun waktu itu. Akan tetapi, setelah berlangsungnya pertumbuhan
ekonomi dan perdagangan dunia yang luar biasa selama beberapa dekade, imbangan kekuatan ekonomi antar
negara-negara besar telah berubah. Selain itu, pola hubungan ekonomi keuangan telah sangat berkembang
mengarah pada ekonomi global yang tanpa batas (borderless).7 Bahwa ekonomi AS merupakan yang terbesar
dan terkuat di dunia, dan bahwa perkembangan perekonomian negara-negara di dunia langsung atau tidak
langsung tergantung dari perkembangan ekonomi AS memang tidak bisa dimungkiri. Ini merupakan bentuk
vulnerable yang sesungguhnya dimana dunia tidak bisa lepas dari hegemoni dolar AS.

Terhadap Sistem Moneter Internasional:

Sistem moneter internasional terkait dengan sistem keuangan internasional. Masalah sistem keuangan
internasional sangat vulnerable. Vulnerable nya sistem keuangan internasional dapat menyebabkan gejolak dan
kekacauan dalam perekonomian. Untuk itu membentu suatu sistem moneter yang stabil adalah suatu keharusan
bagi negara-negara di dunia. Untuk membentuk suatu sistem moneter yang stabil setidaknya diperlukan
beberapa hal, yaitu :8
1. Adanya strong leadership, menurut Gilpin, Leader haruslah menjadi lender of last resort.
2. Faktor kedua adalah adjustment problem. Maksudnya adalah menjaga keseimbangan antara surplus dan
defisit.
3. Sistem moneter yang efisien, maksudnya adalah negara harus punya simpanan, jangan sampai
mengalami problem dalam pembayaran hutang karena tidak memiliki dana.
4. Isu confidence, maksudnya adalah harus mendapatkan kepercayaan dari negara lain.
5. Adanya freedom of capital
7
Budi Winarno, Globalisasi : Wujud Imperialisme Baru, (Yogyakarta : Tajidu Press, 2005) hal 78-83
8
Dikutip dari Bahan Mata Kuliah Zainuddin Djafar dalam Mata Kuliah Teori Ekonomi Politik Internasional FISIP UI
6. Harus berdasarkan pada fondasi kehidupan politik yang aman (maksudnya menjaga keseimbangan
antara 3 mata uang yang dominan yaitu dolar, euro dan yen).
Isu peran Euro dalam sistem moneter internasional tetap menjadi isu yang krusial dalam konteks sistem
moneter. Namun, terlepas dari sulitnya Euro untuk menggantikan peran Dollar, berbagai prediksi akan
konsekuensi ekonomi maupun politik yang mungkin terjadi ketika Euro mampu menggantikan peran Dollar
menjadi permasalahan tersendiri yang mewarnai ruang-ruang diskusi. Untuk aspek ekonomi, pergantian Dollar
oleh Euro akan membaut perpindahan besarnya keuntungan yang selama ini dinikmati oleh AS ke negara-
negara Eropa Barat. Perkiraan perpindahaan portofolio dari AS ke Eropa sendiri mencapai US$ 1 trilyun. Pada
aspek politik, banyak yang berpendapat bahwa digantikannya Dollar oleh Euro akan menambah posisi tawar
Euro ketika berhadapan dengan AS. Namun, Gilpin sendiri yakin bahwa probabilitas dari pergeseran kekuatan
dari AS ke Eropa sangatlah kecil. AS diperkirakan akan mampu mengeluarkan berbagai kebijakan yang
menghalangi pergeseran kekuatan dari AS ke Eropa.
Selain Euro, ada juga nama baru yang diprediksi bisa menggantikan dolar. Nama baru itu adalah Yuan.
Pertumbuhan ekonomi Cina yang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir mulai membuat banyak negara
“menengok” ke arah Cina. Banyak ekonom yang memperkirakan bahwa dalam beberapa dekade terakhir Yuan
mungkin saja dapat menggantikan posisi dolar dalam keuangan internasional. Hal ini dikarenakan kekuatan
dolar terhadap mata uang lainnya terus fluktuatif dan cenderung melemah. Seperti yang diungkapkan oleh
Gubernur Bank Sentral Cina, Zhou Xiaochuan dalam The Economist Edisi 9 Juli 2009, sudah ada usulan untuk
menggantikan dolar dengan SDR (Special Drawing Right), julukan bagi sejumlah mata uang yang
dikomposisikan secara tertimbang berdasarkan kekuatan ekonomi negara, seperti yuan, yen dan euro. Hal ini
dikuatkan dengan beberapa indikator misalnya:9

1. Sebuah mata uang akan menjadi penting seiring dengan meningkatnya besaran ekonomi atau produksi
domestik bruto (PDB). PDB China sekarang ini sekitar 4,42 triliun dollar AS secara nominal. Namun,
berdasarkan kekuatan daya beli, nilai riil PDB China itu sudah mengalahkan Jerman dan Jepang.
2. Kekuatan sebuah mata uang juga ditentukan besaran cadangan devisa, dan China sudah memiliki 2,13
triliun dollar AS per Juni 2009. Kekuatan ekspor juga turut menopang posisi mata uang dan China kini
eksportir barang kedua terbesar di dunia, setelah Jerman, dengan nilai ekspor 1,43 triliun dollar AS di
akhir 2008.

Namun di pihak lain, banyak ekonom yang berargumen bahwa “hari kiamat” untuk dolar masih lama
datangnya, hal ini dikarenakan banyak hutang luar negeri negara-negara dunia yang dikonversikan dalam dolar
sehingga jika dolar tiba-tiba digantikan oleh euro atau yuan misalnya, maka akan terjadi currency missmatch

9
Diakses dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/24/0329186/peran.yuan..makin.penting pada tanggal 21 Mei 2010 pukul
20.10.
karena pada saat peminjaman hutang luar negeri, negara-negara menggunakan dolar sebagai standarnya. 10
Selain itu ada pula beberapa faktor lain yang menghambat pertumbuhan yuan untuk dapat menggantikan posisi
dolar. Menurut Arthur Krober, faktor-faktor teresbut yaitu :11
1. China belum cukup matang secara ekonomi dan politik, sebagaimana telah dicapai Barat. Di samping
itu, yuan belum diperdagangkan secara bebas. Kroeber mengatakan, pembatasan perdagangan yuan di
pasar, termasuk sebagai salah satu hambatan utama bagi yuan untuk meraih posisi sebagai alat tukar
dunia.
2. Walaupun China membebaskan perdagangan yuan, dollar AS masih akan mendominasi dunia sebagai
alat transaksi dunia. Kini PDB AS masih tiga kali lebih besar dari China.

Fokus Fakta Implikasi Vulnerability

Di Tingkat Regional:
Seperti yang telah diungkapkan diatas, tingkat vulnerability di tingkat regional dapat dilihat dalam kesatuan Uni
Eropa. Krisis Yunani yang baru-baru ini “menghantam” menyebabkan nilai tukar euro terhadap dolar melemah.
Hal ini menyebabkan melemahnya perekonomian negara-negara yang tergabung dalam kesatuan Uni Eropa
secara langsung dan tidak langsung. Krisis ini kemudian tidak hanya merupakan Krisis bagi Yunani namun juga
krisis bagi semua negara Uni Eropa sebagai suatu kesatuan.12 Dari sinilah kita dapat melihat bagaimana tingkat
vulnerability yang dikonklusikan oleh Gilpin nyata terlihat. Euro terpuruk hingga turun ke beberapa level, pada
akhir hari perdagangan, euro jatuh ke 1,3583 dolar dari 1,3631 akhir Senin di New York. 13 Krisis hutang ini
menghasilkan banyak korban berjatuhan. Negara-negara yang menjadi korban “parah” dari krisis Yunani ini
adalah Portugal, Irlandia dan Spanyol, serta sejumlah negara berdefisit tinggi di zona Euro.14 Menurut Stiglitz,
Uni Eropa harus segera menolong Yunani sebelum dampak dari krisis ini meluas dan nilai tukar euro semakin
melemah. Menurut catatan, nilai tukar euro telah merosot lebih dari 8% terhadap dolar AS sejak 25 November
2009 atau sejak Yunani terlilit masalah defisit dan utang.15 Euro mengalami depresiasi yang ditunjukkan oleh
turunnya indeks Euro secara cukup tajam sekitar 5.63% (-5.63%). Sedangkan terhadap Dollar AS pada pair
EUR/USD, Euro telah mengalami depresiasi sekitar 9.92% (-9.92%).16 Sedangkan mata uang Poundsterling
juga mengalami depresiasi yang cukup tajam, terseret oleh adanya permasalahan krisis utang Yunani tersebut.

10
Diakses dari http://web.bisnis.com/artikel/2id2538.html pada tanggal 21 Mei 2010 pukul 20.47.
11
Peran Yuan Makin Penting, Op.cit.
12
Diakses dari http://bataviase.co.id/node/201637 pada tanggal 21 Mei 2010 pukul 21.03.
13
Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/03/10/106129-krisis-yunani-bikin-euro-terhuyung pada
tanggal 21 Mei 2010 pukul 21.25.
14
Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/1266574966/efek-domino-krisis-utang-yunani pada tanggal 21 Mei 2010 pukul
21.33.
15
Diakses dari http://www.wartaekonomi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=4110:bila-tidak-ditolong-krisis-
yunani-memperburuk-nilai-tukar-euro&catid=53:aumum pada tanggal 21 Mei 2010 pukul 22.01
16
Diakses dari http://vibiznews.com/column/forex/2010/04/09/dampak-krisis-utang-publik-yunani-terhadap-euro-dan-poundsterling/
pada tanggal 21 Mei 2010 pukul 22.18.
Disamping itu kondisi ekonomi Inggris secara makro masih rentan, sehingga Poundsterling ikut terdepresiasi
8.06% (-8.06%) terhadap Dollar AS.17 Krisis Yunani ini juga dikhawatirkan akan memperlambat proses
pertumbuhan perekonomian dunia pasca krisis finansial global di penghujung tahun 2008.18 Walaupun menurut
Fauzi Ichsan (pengamat Ekonomi dari Standard Chartered Bank) mengatakan bahwa krisis Yunani ini hanya
bersifat sementara dan tidak sehebat krisis finansial global di penghujung tahun 2008,19 namun tetap saja, krisis
Yunani ini berdampak sistemik terhadap negara-negara EU lainnya dan membuktikan vulnerability dalam
kawasan regional.

Di Tingkat Global :

Vulnerability di tingkat global dapat kita contohkan dengan krisis ekonomi yang melanda dunia di penghujung
tahun 2008. Krisis finansial global yang pada mulanya berasal dari krisis kredit macet perumahan di Amerika
Serikat membuat banyak negara “tumbang.” Keadaan dunia yang sistemik tidak dapat menghindarkan negara-
negara dunia untuk saling terhubung. Dunia seakan “bersin” saat Amerika Serikat “flu.” Perekonomian dunia
bergejolak. Banyak nilai tukar mata uang asing melemah terhadap dolar. Sektor riil lumpuh, inflasi meningkat,
perekonomian mandeg dan pengangguran meningkat. Mimpi buruk krisis tahun 1930an dan 1970an kembali
melanda dunia. Dunia begitu rapuh. Krisis ini tidak hanya menghantam negara-negara berkembang namun juga
negara-negara maju di Eropa dan Asia seperti Jepang. Akibat dari krisis ini dirasakan hampir di seluruh bagian
dunai. Penurunan sebesar 70% dalam indeks komposit Shanghai dari puncaknya pada Oktober 2007, kegagalan
pelalangan surat hutang Filipina dan Indonesia akhir-akhir ini, tekanan yang memurukkan mata uang Asia yang
bervariasi dari rupiah Indonesia, won Korea, baht Thailand, dong Vietnam dan rupee India hanyalah segelintir
sorotan tentang hancurnya "teori keterpisahan" (decoupling theory). Dan berita tentang penolakan bantuan dana
(bailout) oleh kongres AS membuat pasar-pasar saham Asia merosot, dengan Nikkei 225 Jepang turun lebih
dari 4 persen.20 Pertumbuhan GDP agregrat di Asia Tenggara kini diperkirakan menurun menjadi 5,4% pada
2008, secara signifikan lebih lamban daripada pertumbuhan 6,5% yang dicapai tahun 2007 (ADB pada 2007
memperkirakan "pertumbuhan pesat pada 2007-2008). Proyeksi pertumbuhan di Filipina, Singapura dan
Vietnam secara signifikan direvisi lebih rendah. Inflasi diramalkan mencapai yang tertinggi dalam dekade, dan
tingkatnya diperkirakan secara khusus melambung cepat di negeri-negeri seperti Vietnam.21 Kepanikan investor
dunia pun semakin parah. Bursa saham terjun bebas. Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, India
52%, Indonesia 41% (sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara), dan zona Eropa 37%. Sementara pasar

17
Ibid.,
18
Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/1273843813/pengamat-dampak-krisis-yunani-sifatnya-temporer pada tanggal 21
Mei 2010 pukul 22.35.
19
Diakses dari http://www.detikfinance.com/read/2010/05/24/141200/1363000/6/dampak-krisis-yunani-bersifat-sementara pada
tanggal 21 Mei 2010 pukul 22.53.
20
Diakses dari http://www.nefos.org/?q=node/43 pada tanggal 23 Mei 2010 pukul 17.15.
21
Ibid.,
surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang melemah dan harga komoditas anjlok, apalagi setelah para
spekulator komoditas minyak menilai bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.

Krisis pasar modal (saham dan surat utang) global sebetulnya hanya memengaruhi investor pasar modal. Tetapi
krisis perbankan global bisa mempengaruhi sektor riil ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Intinya, sektor
perbankan AS sedang terpuruk, kekurangan modal, dan (melihat banyaknya lembaga keuangan yang bangkrut)
enggan meminjamkan dolarnya, termasuk ke bank-bank internasional di Eropa dan Asia. Akibatnya, perbankan
internasional kekurangan dolar untuk memberi pinjaman ke para pengusaha dunia, yang membutuhkan dolar
untuk investasinya (untuk impor mesin, bahan baku, dan sebagainya), termasuk di Indonesia.

Suka atau tidak dolar AS tetap merupakan mata uang inti dalam dunia usaha. Akibatnya, walaupun suku bunga
bank sentral AS (atau Fed Funds Target Rate) sudah diturunkan ke 1,5%, suku bunga London Inter-Bank Offer
Rate (LIBOR), sebagai patokan suku bunga yang digunakan oleh pelaku ekonomi, melonjak tajam. Danpak dari
krisis finansial global yang mulanya dari AS dan dengan cepat menjalar ke negara-negara lain merupakan
bentuk vulnerable sistem perekonomian dunia saat ini. Hegemoni dolar sebagai mata uang utama dunia semakin
membuat tingkat vulnerable itu semakin tinggi. Jika terjadi sesuatu terhadap dolar, maka yang terkena
dampaknya bukan hanya AS sebagai negara pemilik mata uang dolar namun juga seluruh dunia yang aktifitas
ekonominya menggunakan dolar. Mungkin pengaruh krisisnya akan berbeda terhadap masing-masing negara,
tergantung dari penganggulangan krisis negara tersebut. Namun tetap saja akan ada pengaruhnya terhadap
masing-masing negara jika dolar mulai tidak stabil. Kerawanan ini merupakan dampak dari sistem keuangan
dunia dewasa ini yang saling terhubung dalam satu sistem.

Terhadap Sistem Moneter Internasional :

Sistem Moneter Internasional (SMI) atau International Monetary System (IMS) adalah suatu sistem di dunia
atau secara internasional yang diciptakan berdasarkan kesepakatan atau konvensi antar negara-negara di dunia
dalam penetapan 2 (dua) hal :22

1. Uang Internasional (International Money), yang menjadi “hard currency” yaitu valas yang
diterima dimana-mana, karena memenuhi 4 (empat) fungsi uang :
1. HC sebagai alat tukar atau alat pembayaran (the medium of exchange), yaitu HC diterima
sebagai alat pembayaran untuk Transaksi Ekonomi Internasional
2. HC sebagai alat penyimpan nilai atau kekayan (the store of value).
3. HC sebagai unit of account.
4. HC sebagai standar pembayaran di kemudian hari (the standard of deferred payments).

22
Diakses dari http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=557&coid=2&caid=2&gid=4 pada tanggal 23 Mei 2010 pukul 17.31.
2. Kurs secara internasional antar semua mata uang di dunia.23

Sistem moneter internasional juga saling terkait satu sama lain. Sistem moneter AS misalnya secara tidak
langsung terkait dengan sistem moneter Jepang karena transaksi perdagangan dunia masih menggunakan dolar.

Sistem moneter internasional yang saling terkait ini secara tidak langsung mengancam negara berkembang
karena negara-negara berkembang ini harus menyesuaikan dengan standar perekonomian negara-negara maju.
Belum lagi masalah IMF yang memberikan hutang kepada negara berkembang sehingga membuat negara
berkembang semakin terikat kepada IMF khususnya negara maju. Kita ambil contoh krisis yang terjadi di
Amerika Latin. Menurut mantan chief economist Bank Dunia sekaligus penerima hadiah Nobel ekonomi tahun
2001, Joseph Stiglitz, selama ini Argentina bisa dikatakan 'murid paling patuh' (A-plus student) IMF. Negara ini
melakukan apa saja yang disuruh IMF, termasuk meliberalisasi pasarnya dan memprivatisasi sebagian besar
BUMN-nya. Karena dianggap sebagai "murid yang patuh", Argentina dengan mudah bisa mengutang ke pasar
modal AS atau negara-negara Barat lainnya. Akibatnya, karena tidak terkontrol, utang membengkak mencapai
144 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, dengan meningkatnya suku bunga, Argentina menjadi
kesulitan membayar utang luar negerinya yang mencapai 141 milyar dollar AS. 24

Karena situasi sudah memburuk sedemikian rupa, IMF pun masuk dan seperti dilakukan di negara-negara lain,
IMF memaksa Argentina menerapkan kebijakan fiskal yang kontraktif. Dengan angka pengangguran yang
mencapai dua digit, konsekuensi pengetatan anggaran itu sudah bisa diduga. Perekonomian yang mengalami
resesi sejak empat tahun terakhir itu terus memburuk dan pengangguran melonjak hingga 20 persen lebih,
belum termasuk pengangguran terselubung yang sekitar 10-15 persen, sehingga akhirnya memicu gejolak
politik. Apa yang terjadi di Argentina, membuat investor, kreditor dan negara-negara tetangganya ikut nervous,
karena jika Argentina yang "murid paling patuh" IMF saja bisa mengalami itu, bagaimana dengan yang lain?
Akibatnya, seperti yang terjadi di Asia tahun 1997, investor beramai-ramai menarik dananya dari kawasan dan
kreditor memutus pendanaannya dan minta utang segera dibayar.25

Ricardo Haussman, profesor ekonomi pembangunan dari Harvard University, tidak melihat adanya perbedaan
antara apa yang terjadi di Amerika Latin dewasa ini dengan krisis utang yang dialami negara-negara lain tahun
1980-an. Krisis yang terus berulang dan berulang ini, menurut dia, menunjukkan bahwa ada yang salah dalam
sistem finansial global. Pendapat serupa dilontarkan Stiglitz. Menurut Stiglitz, sebagaimana diungkapkan dalam

23
Diakses dari http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:crvILYBdYTwJ:elearning.esaunggul.ac.id/mod/resource/view.php%3Fid
%3D24115+bank+sentral+dunia+terhadap+sistem+moneter+internasional&cd=7&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a pada
tanggal 23 Mei 2010 pukul 19.03.
24
“Krisis Ekonomi Negara Berkembang,” Opcit.,
25
Ibid.,
artikel berjudul The Disastrous Consequences of Instability, apa yang terjadi di Amerika Latin dan Turki,
sebenarnya membuktikan bahwa IMF telah gagal mengatasi problem mendasar penyebab krisis.

Bahkan, dalam banyak kasus resep kebijakannya justru memperparah krisis, seperti di Indonesia tahun 1998. Di
Amerika Latin, setelah satu dekade reformasi di bawah IMF, pertumbuhan ekonomi negara-negara selama
dekade 1990-an justru merosot menjadi hanya separuh level pertumbuhan sebelum adanya program IMF. Pada
saat yang sama, upah juga turun, sementara pengangguran membengkak. Problem mendasar yang dimaksud
Stiglitz itu sendiri antara lain berupa ketidakseimbangan ekonomi global, risiko fluktuasi nilai tukar, dan suku
bunga. Dalam bukunya Globalization and Its Discontent, Stiglitz menuding globalisasi sebagai penyebab
meningkatnya volatilitas dan terpaparnya negara-negara berkembang pada risiko tinggi untuk mengalami krisis.

Mantan ketua dewan penasihat ekonomi pemerintahan AS semasa Bill Clinton ini juga menganggap IMF, Bank
Dunia, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Departemen Keuangan AS, memiliki andil besar dalam
mencetuskan krisis di emerging market. Adanya relasi antara krisis yang terjadi di banyak negara dengan IMF
sebagai badan moneter peminjam hutang dunia membuktikan bahwa dalam sistem moneter Internasional,
kerawanan atau vulnerability itu tidak dapat terelakkan. Hubungan yang erat dari satu negara terhadap badan-
badan peminjam hutang ini akan membuat negara tersebut sulit lepas dari lingkaran sistem yang menjeratnya.

Anda mungkin juga menyukai