Anda di halaman 1dari 4

Menurut David Easton :

Lingkungan mempunyai peranan penting berupa input, baik tuntutan ataupun dukungan.
Kemampuan anggota sistem politik dalam mengelola dan menanggapi desakan ataupun pengaruh
lingkungan bergantung pada pengenalannya pada lingkungan itu sendiri. Lingkungan merupakan
semua sistem lain yang tidak termasuk dalam sistem politik. Secara garis besar, lingkungan
dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan dalam (intra societal) dan lingkungan luar (extra societal).

 Hubungan antara sistem politik dengan lingkungan dalam (intra societal) yaitu :

Lingkungan intrasocietal merupakan bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak “di
luar” batasan sistem politik tetapi masih di dalam masyarakat yang sama. .” Lingkungan
intrasocietal tidak harus bersifat politik “murni” akan tetapi memiliki pengaruh sedemikian rupa
sehingga memaksa sistem politik untuk menyesuaikan dirinya.

David Easton menyebutkan ada sejumlah lingkungan intrasocietal yaitu : Sistem ekologi, sistem
biologi, sistem psikologi, dan sistem sosial.

-          Sistem ekologi adalah sistem yang bersifat fisik dan nonmanusia, yang mempengaruhi
alur kerja sistem politik. Misal dari sistem ekologis adalah kondisi geografis, sebaran wilayah
daerah, dan iklim.

-          Sistem biologis adalah suatu sistem yang bercorak genetis dan mempengaruhi kehidupan
manusia. David Easton menyatakan bahwa sistem biologi memiliki derajat pengaruh yang tidak
boleh diabaikan begitu saja dalam proses politik. Ia merujuk pada pendapat psikoanalis Sigmund
Freud bahwa di dalam diri manusia terkandung unsur id, suatu unsur yang agresif. Unsur-unsur
ini harus diperhatikan di dalam mengkaji pengaruh sistem biologi terhadap sistem politik. Ciri-
ciri genetik pada suatu masyarakat mengimplikasikan pengaruh tertentu terhadap sistem politik.
Misal dari sistem biologi adalah aspek ras dan keturunan penduduk di suatu negara seperti
melayu, arya, semit, anglo-saxon, mongoloid, austronesia, dan sejenisnya.

-          Sistem psikologis berkisar pada aspek internal dari individu-individu yang ada di suatu
negara seperti kepercayaan, emosi, pengetahuan dan sejenisnya. Sistem psikologi merupakan
unsur yang signifikansinya terlihat semakin kuat setelah dikenalnya pendekatan behavioralisme
dalam ilmu politik. Pendekatan ini melihat motif-motif individual psikologis dalam perilaku
politik. Sistem psikologi ini meliputi bagaimana nilai, perilaku, identitas sosial, emosi, dan
pengetahuan akan politik mempengaruhi pandangan individu terhadap sistem politiknya. Sistem
psikologi ini kemudian dapat dijelaskan melalui teori psikologi politik. Psikologi ini banyak
berguna dalam menganalisis kondisi politik di suatu negara seperti ekstrimisme, konflik suku,
nasionalisme, dan sejenisnya.

-          Sistem sosial meliputi sistem-sistem seperti budaya, struktur sosial, ekonomi, dan
demografis. Sistem-sistem ini berasal dari lingkungan intrasocietal dan berpengaruh, baik
langsung maupun tidak langsung, terhadap suatu sistem politik. Sistem budaya tentunya contoh
sistem yang secara jelas berpengaruh terhadap sistem politik. Budaya, khususnya budaya politik,
adalah bagaimana penduduk di suatu wilayah memandang negaranya, pemimpinnya, serta proses
pemerintahan sehari-hari.

 Hubungan antara sistem politik dengan lingkungan luar (extra societal) yaitu :

Lingkungan extrasocietal diyakini memiliki dampak yang juga signifikan bagi keberlangsungan
suatu sistem politik. Dampak ini jadi semakin mengemuka di suatu era yang umum disebut
globalisasi. Dalam globalisasi, suatu kejadian di level internasional secara mudah langsung
memberi dampak di tingkat sistem politik suatu negara.

Lingkungan extrasocietal terdiri atas sistem politik internasional, sistem ekologi internasional,
dan sistem sosial internasional. Sistem politik internasional adalah kondisi terbaginya pusat-
pusat kekuasaan politik dunia. Sistem ekologi internasional adalah kondisi geografis persebaran
negara yang menciptakan suatu isu. Sistem sosial international adalah kondisi struktur sosial di
tingkat internasional yang berakibat pada terpengaruhnya kinerja sistem politik suatu negara.

Kepribadian (Politik) Paranoid


  Oleh: Herry Tjahjono

GEORGE Orwell, yang bernama asli Eric Arthur Blair (penulis Inggris kelahiran India), pernah
menulis sebuah karya istimewa berjudul 1984. Dalam novel itu, dengan gamblang ia
memaparkan sebuah tatanan masyarakat yang disebutnya dystopia.

Dikisahkan, tentang sebuah negara dengan sistem pemerintahan totaliterian, manipulatif, penuh
dusta. Dalam sistem itu partai yang berkuasa mengendalikan, menekan, setiap tapak kaki
kehidupan individu di masyarakat.

Sang penguasa-Big Brother-bahkan mengendalikan berbagai dimensi kehidupan, mulai dari


jaringan bisnis dan ekonomi, buruh, dan jaringan kehidupan masyarakat lain. Bahkan, bahasa,
pikiran, kehidupan seks, pendeknya-segenap aspek kepribadian individu di masyarakat
dikendalikan Big Brother. Berbagai teknik represi, teror, koersi, manipulasi, manajemen konflik,
dan seterusnya-diterapkan untuk mendapatkan legitimasi serta kelanggengan kekuasaannya.

Dalam 1984, Big Brother mengejawantah pada sosok Soeharto dalam "Orba". Baiklah, Soeharto
telah lewat secara fisik. Tetapi sistem dystopia yang diterapkan secara nyaris sempurna selama
lebih tiga puluh tahun, ternyata melahirkan berbagai "gangguan kepribadian" pada segenap
individu di masyarakat kita.

Dalam psikologi, proses semacam itu disebut kondisioning. Ekses gangguan kepribadian itu
paling mengena pada individu-individu yang hidup, berkancah, berkecimpung, dan bernapas
dalam lingkar-lingkar sistem politik nasional.

Celakanya, para individu yang saat itu masih remaja atau dewasa awal-sadar atau tidak-telah
masuk lingkaran sistem dystopia (politik) yang dijalankan Soeharto. Secara psikologis, salah satu
ekses penerapan sistem dystopia adalah terbentuknya gangguan kepribadian yang disebut
kepribadian paranoid.

Para remaja itu, kini telah tumbuh dan matang sebagai pribadi-pribadi (usia sekitar 60 tahun).
Namun, sistem dystopia (politik) yang dikondisikan puluhan tahun itu justru membentuk pribadi-
pribadi pemimpin dewasa yang mengalami (gangguan) kepribadian paranoid (politik). Pribadi
atau individu paranoid itulah yang kini menghuni (institusi) kepemimpinan nasional bangsa kita.

Kepribadian paranoid, berhubungan dengan sifat dasar "curiga", yang dimiliki manusia. Kadar
sebuah (sifat) curiga dianggap normal, jika masih dapat diterima lingkungan. Tetapi jika sifat
curiga seseorang begitu kuat sehingga merugikan individu itu sendiri, khususnya masyarakat,
maka kondisi itu disebut sebagai (gangguan) kepribadian paranoid.

MENGUTIP WF Maramis (dalam Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, 1998), ada beberapa ciri
kepribadian paranoid. (1) Cenderung agresif dan menganggap orang lain agresor terhadap
dirinya; (2) cenderung angkuh untuk sebuah harga diri; (3) sering mengancam orang lain sebagai
proyeksi rasa permusuhan yang kuat; (4) suka melempar tanggung jawab kepada orang lain.

Sifat curiga berlebihan yang pada gradasi tertentu menjadi waham (delusi) serba berprasangka,
ketakutan, serta beberapa ciri pokoknya, itulah buah atau hasil dari "pendidikan politik" (baca:
kondisioning) Soeharto sekian lama.

Beberapa fenomena kepribadian paranoid (politik) di level kepemimpinan nasional itu, misalnya,
ramainya kasus Indosat yang katanya berbau "agen asing", akan menjebol rahasia negara, dan
seterusnya-yang akhirnya berbuntut saling somasi antara Amien Rais vs Laksamana Sukardi.
Atau kecurigaan dan prasangka berlebihan Megawati sehingga secara gebyah uyah pers
njomplang dan sebagainya. Masih banyak kasus dan isu yang merefleksikan kepribadian
paranoid pada institusi kepemimpinan nasional kita.

Bukankah itu semua mengarah pada nuansa waham ketakutan pribadi paranoid? Secara teknis,
semuanya berisi ciri-ciri pokok kepribadian paranoid; cenderung agresif satu sama lain, angkuh
dan tak mau kalah, suka mengancam satu sama lain, tetapi saat sebuah esensi persoalan harus
dipertanggungjawabkan, semuanya saling lempar satu sama lain (ingat kasus kenaikan harga
BBM, TDL, dan telepon, DPR dan pemerintah saling lempar dan merasa benar sendiri).

Kepribadian (politik) paranoid, pada tataran, skala, dan versi berbeda, juga menghinggapi
Presiden Bush (Paranoia, R William Liddle, Tempo, 24/2-2/3 tahun 2003). Saya tak tahu, apakah
Bush juga mengalami suasana kondisioning sistem dystopia masa kecil dan remaja, baik oleh
ayahnya (Bush senior). Yang jelas, paranoia Bush ternyata mendasari berbagai kebijakan negara
adidaya itu.

Kepribadian (politik) paranoid yang menghinggapi kepemimpinan nasional juga mengalir pada
aneka kebijakan dan dinamika politik . Itu sebabnya, proses demokratisasi, reformasi dan
pemulihan, cenderung jalan di tempat, going nowhere, kalau tidak cenderung setback.
Seperti disebutkan di awal tulisan, juga disebutkan oleh Maramis, kepribadian (politik) paranoid
ini selain merugikan (dan menyakiti) diri sendiri juga terutama merugikan dan menyakiti
masyarakat. Jujur saja, itulah yang terjadi dengan masyarakat kita akibat kepribadian (politik)
paranoid kepemimpinan nasional yang ada.

Kini menjelang Pemilu 2004, bisa diprediksi, gangguan kepribadian (politik) paranoid akan
menjadi-jadi. Saling agresif, curiga, mau menang sendiri, bersikap arogan, saling ancam, mulai
bermunculan.

Begitu kuatnya lingkungan kepribadian (politik) paranoid, yang ditakutkan dinamikanya kian
intens, sehingga menjadi semacam paranoia (politik), yang jika mengadaptasi kamus Webster
berarti semacam penyakit mental (secara politik) yang bercirikan rasa takut berlebihan kepada
musuh yang dianggap ada di mana-mana.

Tampaknya secara tak sadar kecenderungan ke arah itu makin jelas, sehingga tiap perilaku
politik mereka serba saling bermusuhan satu sama lain. Bayangkan, kita mulai sering menerima
berbagai perilaku politik, kebijakan, atau banyak out put politik yang implikasinya justru tidak
memihak rakyat dan masyarakat (baca: "bermusuhan" dengan rakyat).

Kepribadian (politik) paranoid atau paranoia politik itu bahkan muncul dalam kasus bom
Bhayangkari. Secara tersirat, seorang Da’i Bachtiar, dalam dengar pendapat dengan anggota
DPR dari Komisi Pertahanan dan Keamanan, mengatakan: "Ada pesan politik yang ingin
disampaikan pelaku peledakan!" Ternyata meleset, sebab pelakunya Anang Sumpena, seorang
anggota polisi. Tak ada pesan politik di sana, yang ada cuma paranoid atau paranoia politik.

TULISAN ini sekadar menyiratkan dua buah pesan. Pertama, kepada kita semua sebagai rakyat,
bahwa mozaik politik seperti itulah yang akan kita hadapi sebagai pemilih pada pemilu
mendatang. Sulit memang, mengingat pentas politik kita tampaknya masih akan didominasi
pribadi-pribadi hasil "pendidikan politik" Soeharto yang produknya berupa kepribadian (politik)
paranoid.

Kedua, kepada para pemimpin, atau elite politik, yang didera kepribadian (politik) paranoid-tak
ada salahnya petuah seorang Albert Einstein berikut dipertimbangkan. Kebesaran jiwa terletak
pada (cara, sikap) memandang hal-hal kecil sebagai tidak terlalu kecil, dan hal-hal besar sebagai
tidak terlalu besar! Esensi dari ungkapan itu jika direnungkan dengan jiwa yang tenang akan
menjadi mekanisme kontrol diri yang mampu mengendalikan kecenderungan politik paranoid
dalam keseharian

Anda mungkin juga menyukai