Anda di halaman 1dari 4

Shalat di Masjid yang Ada Kuburannya

Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini


Syariah, Problema Anda, 02 - Maret - 2005, 05:33:21

Jawab:
Oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad
Berkaitan dengan permasalahan ini maka perlu dibahas dari dua sisi:
1. Shalat di area pekuburan.
2. Shalat menghadap ke kuburan.
Masalah shalat di atas area pekuburan, hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim (hal. 467):
“Para fuqaha telah berbeda pendapat mengenai shalat di area pekuburan, (hukumnya) haram
atau makruh? Jika dikatakan haram maka apakah shalatnya tetap sah (meskipun pelakunya
berdosa) atau tidak? Yang masyhur di kalangan kami1 bahwa hukumnya haram dan
shalatnya tidak sah (batal).”
Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata di dalam kitab yang sama pada hal. 460 berkenaan
dengan masjid yang dibangun di atas kuburan2: “Aku tidak mengetahui adanya khilaf
(perselisihan pendapat) tentang dibencinya shalat di masjid tersebut dan menurut pendapat
yang masyhur dalam madzhab kami shalat (tersebut) tidak sah (batal) karena adanya larangan
dan laknat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perkara itu.”
Jadi shalat di area pekuburan (tanpa masjid) begitu pula di masjid yang dibangun di atas
kuburan hukumnya haram menurut pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah mengikuti
pendapat Al-Imam Ahmad sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hazm darinya dan
dibenarkan (dirajihkan) oleh Ibnu Hazm. (Lihat Ahkamul Janaiz karya Al-Albani
rahimahullah hal. 273-274). Dan pendapat ini dirajihkan (dipilih) pula oleh Syaikhul Islam
rahimahullah sebagaimana dalam Al-Ikhtiyarat Al-’Ilmiyyah hal. 25, Asy-Syaukani
rahimahullah dalam Nailul Authar (2/134), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam
Asy-Syarhul Mumti’ (2/232-236) dan Syarh Bulughul Maram (kaset).3 Begitu pula Ibnul
Qayyim rahimahullah menegaskan batalnya shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan
dalam Zadul Ma’ad (3/572) dan Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah dalam
Ijabatus Sail hal. 200.
Para ulama rahimahumullah mengatakan haram dan shalatnya batal berdasarkan 3 dalil:
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad,
Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim,
Adz-Dzahabi, Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim hal. 462-463,
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 270, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/277-278), bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
‫ اََْْ َ َة وَاَْ َم‬
 ‫ض آَُ ٌَِْ ِإ‬
ُ ْ‫اَْر‬

“Bumi itu semuanya merupakan masjid (tempat shalat) kecuali kuburan dan kamar mandi.”
2. Hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ ِ‫َ"ِِ!ْ ََﺝ‬#ِْ$‫َرَى ا*)َ(ُوا 'ُُ&ْ َر َأ‬,-‫َُ&ْ َد وَا‬#ْ‫ ا‬/


ُ ‫ا‬0
َ َ1َ

“Allah melaknat Yahudi dan Nashara dikarenakan mereka menjadikan kuburan nabi-nabi
mereka sebagai masjid.” (HR. Al-Bukhari no. 435 dan Muslim no. 529) Syaikhul Islam
rahimahullah dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim hal. 462 berkata: “Termasuk di
antaranya shalat di pekuburan meskipun tidak ada bangunan masjid di sana, karena hal itu
juga masuk dalam kategori menjadikan kuburan sebagai masjid sebagaimana kata ‘Aisyah
radhiallahu 'anha4: “Kalau bukan karena hal itu maka sungguh kuburan Rasulullah akan
ditampakkan5, akan tetapi beliau khawatir (takut) kuburannya akan dijadikan masjid.” Dan
bukanlah maksud ‘Aisyah radhiallahu 'anha pembangunan masjid semata, karena para
shahabat radhiallahu 'anhum tidak akan melakukan pembangunan masjid di sisi kuburan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi maksud Aisyah radhiallahu 'anha adalah
kekhawatiran bahwa orang-orang akan melakukan shalat di sisi kuburan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Setiap tempat yang dimaksudkan untuk shalat padanya berarti telah dijadikan masjid. Bahkan
setiap tempat shalat maka itu dinamakan masjid meskipun tidak ada bangunan masjidnya,
sebagaimana kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam6: “Telah dijadikan bumi bagiku
sebagai masjid (tempat shalat) dan alat untuk bersuci (dengan tayammum).”
3. Alasan bahwa shalat di area pekuburan dimungkinkan sebagai wasilah yang menyeret
kepada penyembahan kuburan atau tasyabbuh (menyerupai) para penyembah kubur.
Kemudian perlu diketahui bahwa tidak ada perbedaan antara area pekuburan yang penghuni
(kuburan)nya baru satu, atau dua, dan seterusnya. Yang jelas kalau suatu area tanah tertentu
telah disediakan untuk pekuburan maka jika telah ada satu mayat yang dikuburkan berarti
telah menjadi pekuburan. Ini menurut pendapat yang kuat (rajih) yang dipilih oleh
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (2/134), Syaikhul Islam dalam Al-Iqtidha (hal. 460) dan
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/235)7. Dan hukum ini berlaku
sama saja selama dia shalat di area pekuburan, baik kuburannya di hadapan orang yang
shalat, di sampingnya atau di belakangnya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Ikhtiyarat hal.
25 dan Syarh Bulughul Maram (kaset).
Begitu pula halnya dengan shalat di masjid yang dibangun di atas satu kuburan atau lebih,
sama saja baik kuburannya di depan orang yang shalat atau tidak. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
dalam Syarh Bulughul Maram (kaset) berkata: “Demikian pula hukumnya kalau suatu masjid
dibangun di atas suatu kuburan karena masjid itu masuk dalam kategori area pekuburan,
mengingat bahwa ketika kuburannya dalam masjid maka berarti masjid itu telah menjadi
tempat pekuburan.
Adapun jika suatu mayat dikuburkan dalam masjid (yang telah dibangun lebih dulu) maka
wajib hukumnya untuk membongkar kuburan tersebut kemudian dipindahkan ke pekuburan
kaum muslimin dan tidak boleh dibiarkan tetap dalam masjid. Namun shalat di dalam masjid
tersebut tetap sah selama kuburannya bukan di depan orang yang shalat, karena jika demikian
(kuburannya di depan orang yang shalat –red) maka shalatnya batal.”
Apa yang ditegaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas bahwa shalat menghadap ke
kuburan8 tidak sah merupakan pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni (2/50), Syaikhul
Islam dalam Al-Ikhtiyarat hal. 25, Ibnu Hazm dan ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad
sebagaimana diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hazm sebagaimana dalam Ahkamul Janaiz hal.
273-274. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/247)
setelah beliau menegaskan haramnya shalat menghadap ke pekuburan dan pendapat yang
mengatakan makruh adalah marjuh (lemah), kemudian beliau berkata: “Kalau dikatakan
bahwa shalatnya tidak sah maka sungguh sisi kebenarannya kuat, karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits Abi Martsad Al-Ghanawi
radhiallahu 'anhu:

َْ#َ‫َ&ا ِإ‬,ُ* 
َ ‫ اُُْ&ْ ِر َو‬2
َ َ3 ‫ *َُِْ&ْا‬
َ

“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya.” (HR.
Muslim)
Hadits ini menunjukkan haramnya shalat menghadap ke area pekuburan atau ke
kuburan-kuburan atau ke satu kuburan (sekalipun). Dan juga karena alasan dilarangnya shalat
di area pekuburan terdapat pula pada shalat menghadap ke kuburan. Maka selama seseorang
masuk dalam kategori shalat menghadap ke kuburan atau ke area pekuburan berarti dia telah
masuk dalam larangan. Jika demikian maka shalatnya tidak sah berdasarkan hadits (di atas):
“Janganlah kalian shalat menghadap ke kuburan.” Jadi larangan menghadap ke kuburan
khusus ketika shalat, maka barangsiapa shalat menghadap ke kuburan berarti terkumpul pada
amalannya antara ketaatan dan maksiat, dan tidak mungkin seseorang mendekatkan diri
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan cara demikian.
Jika ditanyakan apa yang dianggap batas pemisah antara dia dengan kuburan? Kami katakan:
Dinding merupakan pemisah, kecuali jika itu dinding pekuburan maka ada sedikit keraguan
dengannya. Namun jika ada dinding lain yang memisahkan antara kamu dan pekuburan maka
tidak ada keraguan lagi bahwa itu tidak masuk dalam larangan. Demikian pula jika antara
kamu dan pekuburan ada jalan, atau antara kamu dan pekuburan ada jarak pemisah, yang
sebagian ulama menyatakan seperti jaraknya pembatas shalat. Berdasarkan ini berarti
jaraknya dekat. Namun ini tetap menyisakan keraguan, karena seseorang yang melihat
engkau shalat sementara di depanmu ada pekuburan sejarak 3 hasta tanpa dinding pemisah,
dia akan menyangka engkau shalat menghadap ke kuburan. Jika demikian berarti butuh jarak
yang cukup, yang dengannya diketahui bahwa engkau shalat tidak menghadap ke kuburan.”
Jika demikian maka apabila ada masjid yang dikelilingi oleh kuburan dari luar dinding
masjid (termasuk di depannya) maka shalat di dalamnya sah, dan hal ini telah ditegaskan oleh
Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sail hal. 200. Sementara itu sebagian
ulama Hanabilah dan dinukilkan dari Al-Imam Ahmad (berpendapat) bahwa tidak boleh
shalat di masjid yang di depannya ada kuburan hingga ada dinding lain selain dinding masjid
sebagai pemisah (lihat Al-Ikhtiyarat hal. 20). Dengan demikian, sebaiknya menghindari
shalat di masjid tersebut jika ada masjid lain, meskipun shalat di situ tetap sah sebagaimana
kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Asy-Syaikh Muqbil rahimahumallah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Maksudnya kalangan fuqaha Hanabilah (pengikut madzhab Al-Imam Ahmad).
2 Dalam arti kuburannya di dalam masjid.
3 Syarah hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang akan disebutkan nanti.
4 Setelah Aisyah radhiallahu 'anha meriwayatkan hadits di atas: “Allah melaknat …. dst.”
5 Artinya beliau akan dikuburkan di luar rumah, di pekuburan Baqi’ misalnya, bersama para
shahabat radhiallahu 'anhum. Lihat Al-Qaulul Mufid syarah Kitabut Tauhid (1/347) karya
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah.
6 HR. Al-Bukhari no. 330 dan Muslim no. 520 dari Jabir radhiallahu 'anhu.
7 Karena ada sebagian ulama menganggap bahwa yang dilarang adalah bila sudah ada 3
kuburan atau lebih.
8 Dalam arti dia di luar area pekuburan.

Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini


dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Anda mungkin juga menyukai