Islam adalah agama yang sangat memerhatikan kebersihan dan juga kesehatan. Banyak
permasalahan yang memiliki pengaruh bagi kebersihan dan kesehatan tubuh tak luput diajarkan
dalam agama ini. Satu diantaranya adalah tentang khitan, yang telah diakui secara medis memiliki
manfaat yang besar.
Pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul kita yang mulia –semoga
shalawat dan salam tercurah pada beliau- pernah bersabda sebagaimana tersampaikan lewat
sahabatnya yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
ب
ِ ِر678 9< ا
; َ> ِر َو6َ@ْBC
َ اEُ ْFِGْHَIِ َوJْKL
ِ ُ اMْNَOَا ُد َوQْRِNْS T
ِ ن وَا
ُ 6َNِVْ9 ِة – اXَ ْYِ@ْ9َ اZِ[ ٌ]ْ^َ_ ْ ُة _َ^ْ]ٌ – َأوXَ ْYِ@ْ9ا
“Perkara fithrah itu ada lima –atau lima hal berikut ini termasuk dari perkara fithrah yaitu khitan,
istihdad (menghilangkan rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan), mencabut bulu ketiak,
menggunting kuku, dan memotong kumis. (HR. Bukhari no. 5889, 5891, 6297 dan Muslim no.
597)
Kelima perkara yang disebutkan dalam hadits ini merupakan beberapa perkara kebersihan yang
diajarkan oleh Islam.
Pertama: memotong qulfah (kulit penutup) zakar yang bila dibiarkan (tidak dihilangkan) akan
menjadi sebab terkumpulnya najis dan kotoran di daerah tersebut hingga menimbulkan berbagai
penyakit dan luka.
Kedua: mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, baik di daerah qubul ataupun dubur ,
karena bila dibiarkan rambut tersebut akan bercampur dengan kotoran dan najis (seperti kencing,
kotoran, dsb), serta bisa menyebabkan thaharah syar’iyyah (seperti wudhu) tidak bisa sempurna.
Ketiga: menggunting kumis, bila dibiarkan terus tumbuh akan menperjelek wajah.
Memanjangkannya juga berarti tasyabbuh (menyerupai) dengan Majusi (para penyembah api).
Keempat: menggunting kuku, bila dibiarkan akan terkumpul kotoran di bawahnya hingga
bercampur pada makanan, akibatnya timbullah penyakit. Dan juga bisa menghalangi kesempurnaan
thaharah (wudhu) karena kuku yang panjang akan menutup sebagian ujung jari.
Kelima: mencabut bulu ketiak yang bila dibiarkan akan menimbulkan bau yang tak sedap.
Kesimpulannya, menghilangkan perkara-perkara yang disebutkan ini merupakan mahasin
(kebagusan/keindahan) Islam, yang Islam datang dengan kebersihan dan kesucian, dengan
pengajaran dan pendidikan, agar seorang muslim berada di atas keadaan yang terbaik/terbagus dan
bentuk yang paling indah. (Taisirul `Allam, 1/78)
Makna Fithrah
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaukan dengan fithrah di sini adalah sunnah, demikian
http://asysyariah.com/print.php?id_onlin… 1/7
24/08/2010 Print Preview - Sunnah-sunnah Fithrah …
dikatakan Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu dan selainnya. Maknanya, kata mereka, perkara-
perkara yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk sunnah-sunnah para nabi. Adapula yang
berpendapat makna fithrah adalah agama, demikian pendapat yang dipastikan oleh Abu Nu’aim
rahimahullahu dalam Al-Mustakhraj.
Abu Syamah rahimahullahu berkata: “Asal makna fithrah adalah penciptaan pada awal
permulaannya. Dari makna ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala dinyatakan dalam ayat Al-Qur’an
sebagai:
ض
ِ ْرC
َ ْت َوا
ِ وَا6َ^7n 9 اXُ ِo6َp
Maksudnya adalah Dzat yang mengawali penciptaan langit dan bumi (tanpa ada contoh
sebelumnya, pent.). Demikian pula dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Artinya: Setiap anak yang lahir, ia dilahirkan di atas fithrah. Maknanya: si anak dilahirkan di atas
perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mengawali penciptaan si anak dengannya. Dalam hadits
ini ada isyarat kepada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
6َxْFَGَr س
َ 67z9 اXَ َYَp {ِN79| ا
ِ َة اXَ ْYِp
“Fithrah Allah yang Dia menciptakan manusia di atas fithrah tersebut.” (Ar-Rum: 30)
Maknanya: setiap orang seandainya dibiarkan semenjak lahir hingga bisa memandang dengan
pikirannya (tanpa dikotori dan dinodai oleh pengaruh-pengaruh dari luar) niscaya akan
mengantarkannya ke agama yang benar yaitu tauhid. Yang memperkuat makna ini adalah firman
Allah sebelumnya:
6َxْFَGَr س
َ 67z9 اXَ َYَp {ِN79| ا
ِ َة اXَ ْYِp 6ً@ْFِzَ Z
ِ ْtQ Gِ9
َ َxْْ َوEِ>
َ َp
“Tegakkanlah wajahmu kepada agama Allah yang hanif (lurus, condong kepada tauhid dan
meninggalkan kesyirikan). (Demikianlah) fithrah Allah yang Dia menciptakan manusia di atas fithrah
tersebut.”
Makna di atas juga diisyaratkan oleh kelanjutan hadits, yaitu:
“Maka kedua orang tuanya yang menjadikan anak tersebut Yahudi atau Nasrani (memalingkan si
anak dari fithrahnya, pent.)”
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan fithrah dalam hadits yang menjadi pembahasan kita
adalah perkara-perkara yang disebutkan dalam hadits ini yang bila dikerjakan maka pelakunya
disifati dengan fithrah yang Allah memfithrahkan para hamba di atasnya, menekankan mereka untuk
menunaikannya, dan menyukai untuk mereka agar mereka berada di atas sifat yang paling sempurna
dan bentuk/penampilan yang paling tinggi/mulia.”
Al-Qadhi Al-Baidhawi rahimahullahu berkata: “Fithrah ini merupakan sunnah yang terdahulu yang
dipilih oleh para nabi dan disepakati oleh syariat. Seakan-akan fithrah ini merupakan perkara yang
sudah seharusnya menjadi tabiat/perangai di mana mereka diciptakan di atas tabiat/perangai
http://asysyariah.com/print.php?id_onlin… 2/7
24/08/2010 Print Preview - Sunnah-sunnah Fithrah …
tersebut.” (Lihat Fathul Bari 10/417, Al-Minhaj 3/139, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/234-
235, Nailul Authar 1/161)
Perkara fithrah ini bila dilakukan akan membaguskan penampilan seseorang dan membersihkannya,
sebaliknya bila ditinggalkan dan tidak dihilangkan apa yang semestinya dihilangkan akan
menjelekkan rupa dan memburukkan penampilan seseorang. Dia akan dianggap kotor dan tercela.
(Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/235)
ِ ِد6َ َ ْ َمsَt ُ7Hَ اsُIَ وXَ َ^ْ ِ ِإذَا َأXِ َ^َ ْZِ[ اsُGُآ
“Makanlah buah-buahan hasil panen kalian apabila telah berbuah dan tunaikanlah haknya
(zakatnya) pada hari dipetik hasilnya.” (Al-An`am: 141)
Mengeluarkan zakat tanaman (apabila mencapai nishabnya) hukumnya wajib sementara memakan
hasil tanaman itu tidaklah wajib, wallahu a`lam.” (Al-Minhaj, 3/139)
Kita akan sebutkan hukum masing-masing dari lima perkara tersebut dalam perincian
pembahasannya berikut ini:
1. KHITAN
Al-Imam Malik, Abu Hanifah, dan sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat khitan itu
sunnah, tidak wajib. Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan sebagian Malikiyyah berpendapat
hukumnya wajib. Pendapat yang kedua inilah yang rajih/kuat menurut penulis, dengan dasar ketika
ada seseorang yang baru masuk Islam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kepadanya:
http://asysyariah.com/print.php?id_onlin… 3/7
24/08/2010 Print Preview - Sunnah-sunnah Fithrah …
ْZِNَNْ_ وَاXِ ْ@ُْ9 اXَ َْ
َ ْzَr
ِ ْ9َأ
“Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” (HR. Abu Dawud no. 356, dihasankan
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 2977 dan Irwaul Ghalil no. 79)
Penulis ‘Aunul Ma’bud (syarah Sunan Abu Dawud) menyatakan perintah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas menunjukkan wajibnya khitan bagi orang yang masuk Islam
dan hal itu merupakan tanda keislamannya.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Yang rajih/kuat menurut kami, hokum khitan adalah
wajib. Demikian madzhab jumhur ulama seperti Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad. Pendapat ini yang
dipilih oleh Ibnul Qayyim. Beliau membawakan 15 sisi pendalilan yang menunjukkan wajibnya
khitan. Walaupun satu persatu dari alasan-alasan tersebut tidak dapat mengangkat perkara khitan
kepada hukum wajib namun tidak diragukan bahwa pengumpulan alasan-alasan tersebut dapat
mengangkatnya. Dikarenakan tidak cukup tempat untuk membawakan semua alasan, maka aku
cukupkan dua alasan di antaranya:
Pertama: Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
v
ِ َْْ9 اqَ9 ِإ
; ََْأ ِة َوَأXَ^ْGِ9 qَْ َأ
َ ِ9ن ذ
7 ِ َp ،{َِxْzَI T
َ َأ ِ^{ َو
“Potonglah tapi jangan dihabiskan (jangan berlebih-lebihan dalam memotong bagian yang dikhitan)
karena yang demikian itu lebih terhormat bagi si wanita dan lebih disukai/dicintai oleh suaminya.”
(HR. Abu Dawud no. 5271, dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud dan Ash-Shahihah no. 721)
2. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
v
ُ ْn ُْ9 ا
َ َْ َوQَHَp ن
ِ 6َO6َNِVْ9 اqَHَNْ9إِذَا ا
“Apabila bertemu dua khitan , sungguh telah wajib mandi .” (HR. Ahmad 6/239, dishahihkan Asy-
Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1261)
http://asysyariah.com/print.php?id_onlin… 4/7
24/08/2010 Print Preview - Sunnah-sunnah Fithrah …
3. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
v
ُ ْn ُْ9 ا
َ َْ َوQَHَp ن
َ 6َNِVْ9ن ا
ُ 6َNِVْ9] ا
7 َ[َ و،ِِ َKْرC
َ ْ ا6َxَُِ Z
َ ْFَK ]
َ َGَ ِإذَا
“Apabila seorang laki-laki duduk di antara empat cabang seorang wanita dan khitan yang satu
menyentuh khitan yang lain maka sungguh telah wajib mandi.” (HR. Muslim no. 349)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Ketahuilah, khitan wanita adalah perkara yang
dikenal di kalangan salaf, berbeda halnya dengan apa yang disangka oleh orang yang tidak berilmu.
Beberapa atsar berikut ini menunjukkan hal tersebut”. Kemudian beliau rahimahullahu menyebutkan
tiga atsar:
1. Al-Hasan berkata: ‘Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu diundang untuk menghadiri jamuan
makan. Lalu ditanyakan, “Tahukah engkau undangan makan untuk acara apakah ini? Ini acara
khitan anak perempuan!” ‘Utsman berkata:
v
َ َُ
ْآt ْ َأنqَK
َ َp ،َE7GَS ِْ َوFَGَr |
ُ اq
7 Gَ |
ِ لا
ِ ْsُS َرQِ ْxَr qَGَr ُ َاXَO 67zُ آ6َ[ ٌَا َ{ْء£َه
“Ini perkara yang tidak pernah kami lihat di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ‘Utsman
pun menolak untuk menyantap hidangan .
2. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.1245 (dan didhaifkan oleh Al-Albani
dalam Dha’if Adabul Mufrad), Ummul Muhajir berkata, “Aku dan para wanita dari kalangan
Romawi menjadi tawanan perang. Maka ‘Utsman menawarkan agar kami mau masuk Islam, namun
tidak ada di antara kami yang berislam kecuali aku dan seorang wanita lainnya. ‘Utsman pun
memerintahkan, “Khitanilah kedua wanita ini dan sucikanlah keduanya”. Setelah itu jadilah aku
berkhidmat kepada ‘Utsman.
3. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.1247 (dan dihasankan oleh Al-
Albani dalam Shahih Adabul Mufrad), Ummu ‘Alqamah mengabarkan:
“Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ‘Aisyah dikhitan, maka ditanyakan kepada ‘Aisyah,
“Bolehkah kami memanggil seseorang yang dapat menghibur mereka?” ‘Aisyah mengatakan, “Ya,
boleh.” Maka aku mengutus seseorang untuk memanggil ‘Uday, lalu dia pun mendatangi anakanak
perempuan itu. Kemudian lewatlah ‘Aisyah di rumah itu dan melihatnya sedang bernyanyi sambil
menggerak-gerakkan kepalanya, sementara dia mempunyai rambut yang lebat. ‘Aisyah pun
berkata, “Hei, setan! Keluarkan dia, keluarkan dia!” (Lihat Ash-Shahihah, 2/348-349)
Yang perlu jadi perhatian, ada perbedaan hukum khitan lelaki dengan hokum khitan bagi wanita,
walaupun ada pendapat di kalangan ulama yang menyamakan (sama-sama wajib). Tampak
perbedaan hukum tersebut dalam hadits Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
Faidah
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan, pelaksanaan khitan itu
seharusnya dilakukan oleh seorang dokter yang ahli (atau tenaga kesehatan lainnya, pent.) yang
mengetahui bagaimana cara mengkhitan. Bila seseorang tidak mendapatkannya maka ia bisa
mengkhitan dirinya sendiri jika memang mampu melakukannya dengan baik. Nabi Ibrahim
‘alaihissalam mengkhitan dirinya sendiri. Orang yang mengkhitan boleh melihat aurat yang dikhitan
walaupun usia yang dikhitan telah mencapai sepuluh tahun, kebolehan ini dikarenakan adanya
kebutuhan. (Asy-Syarhul Mumti`, 1/110)
Waktu Khitan
http://asysyariah.com/print.php?id_onlin… 6/7
Waktu Khitan
24/08/2010 Print Preview - Sunnah-sunnah Fithrah …
Ada perbedaan pendapat tentang kapan waktu disyariatkannya khitan. Jumhur ulama berpendapat
tidak ada waktu khusus untuk melaksanakan khitan. (Nailul Authar, 1/165)
Al-Imam Al-Mawardi rahimahullahu menjelaskan, untuk melaksanakan khitan ada dua waktu,
waktu yang wajib dan waktu yang mustahab (sunnah). Waktu yang wajib adalah ketika seorang
anak mencapai baligh , sedangkan waktu yang sunnah adalah sebelum baligh. Boleh pula
melakukannya pada hari ketujuh setelah kelahiran. Juga disunnahkan untuk tidak mengakhirkan
pelaksanaan khitan dari waktu yang sunnah kecuali karena ada uzur. (dinukil dari Fathul Bari,
10/421)
Ibnul Mundzir rahimahullahu mengatakan, “Tidak ada larangan yang ditetapkan oleh syariat yang
berkenaan dengan waktu pelaksanaan khitan ini, juga tidak ada batasan waktu yang menjadi
rujukan dalam pelaksanaan khitan tersebut, begitu pula sunnah yang harus diikuti. Seluruh waktu
diperbolehkan. Tidak boleh melarang sesuatu kecuali dengan hujjah dan kami juga tidak mengetahui
adanya hujjah bagi orang yang melarang khitan anak kecil pada hari ketujuh.” (dinukil dari Al-
Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 1/352)
Namun Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyebutkan dua hadits yang menunjukkan adanya
pembatasan waktu khitan:
Pertama: Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, ia menyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengaqiqahi cucu beliau Al-Hasan dan Al-Husain, dan mengkhitan keduanya pada hari
ketujuh.
Kedua: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Ada tujuh perkara yang sunnah
dilakukan pada hari ketujuh seorang bayi, yaitu diberi nama, dikhitan…”
Kemudian beliau menyatakan bahwa walaupun kedua hadits di atas memiliki kelemahan , namun
kedua hadits ini saling menguatkan karena makhraj kedua hadits ini berbeda dan tidak ada dalam
sanadnya rawi yang tertuduh berdusta. Kalangan Syafi’iyyah mengambil hadits ini, sehingga mereka
menganggap sunnah dilakukan khitan pada hari ketujuh dari kelahiran seorang anak, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Majmu’ (1/307) dan selainnya. Batas tertinggi dilakukannya khitan adalah
sebelum seorang anak baligh. Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Tidak boleh bagi si wali
menunda dilakukannya khitan anak (yang dibawah perwaliannya) sampai si anak melewati masa
baligh.” (Tamamul Minnah, hal. 68)
Lebih afdhal/utama bila khitan ini dilakukan ketika anak masih kecil, karena lebih cepat sembuhnya
dan agar si anak tumbuh di atas keadaan yang paling sempurna. (Ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadil
Mustaqni’ 1/35, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Asy-Syaikh Shalih Fauzan 1/34)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
http://asysyariah.com/print.php?id_onlin… 7/7