Anda di halaman 1dari 6

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Nomor 12 /PUU-VII/2009
Tentang
Undang-undang Kepabeanan
(Sertifikat Registrasi Pabean)

I. PEMOHON
Philipus P. Soekirno bertindak untuk dan atas nama diri sendiri, baik selaku pribadi
maupun Ketua Umum ASPEMBAYA dan Direktur PT. Agung Kimia Jaya
Mandiri, selanjutnya disebut Pemohon.

II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI :


Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud menjelaskan, bahwa ketentuan
yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995
tentang Kepabeanan:
⌧ Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”.
⌧ Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi ”menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

III. KEDUDUKAN PEMOHON (LEGAL STANDING)


Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK), agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima
sebagai pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,
maka orang atau pihak dimaksud haruslah;
a. menjelaskan kedudukannya dalam permohonannya, yaitu apakah yang sebagai
perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan
hukum, atau lembaga negara;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kedudukan
sebagaimana dimaksud pada huruf (a), sebagai akibat diberlakukannya undang-
undang yang dimohonkan pengujian
Atas dasar ketentuan tersebut Pemohon perlu terlebih dahulu menjelaskan
kedudukannya bahwa Pemohon adalah badan hukum yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.

IV. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI.


A. NORMA MATERIIL
- Sebanyak 6 (enam) norma, yaitu :

1. Pasal 1 angka 3 berbunyi :


“Kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di
pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk
lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan
Direktorat Jenderal bea dan Cukai”.

1
2. Pasal 6A berbunyi :
Ayat (1) “Orang yang akan melakukan pemenuhan kewajiban pabean
wajib melakukan registrasi ke Direktorat Jenderal bea dan
Cukai untuk mendapat nomor identitas dalam rangka akses
kepabeanan”.
Ayat (2) “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) orang yang melakukan pemenuhan kewajiban pabean
tertentu”.
Ayat (3) “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan
menteri”.

3. Pasal 64A berbunyi :


Ayat (1) “Barang yang berdasarkan bukti permulaaan diduga terkait
dengan tindakan terorisme dan/atau kejahatan lintas negara
dapat dilakukan penindakan oleh pejabat bea dan cukai”.
Ayat (2) “Ketentuan mengenai tata cara penindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan peraturan menteri”.

4. Pasal 76 berbunyi :
Ayat (1) “Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini
pejabat bea dan cukai dapat meminta bantuan Kepolisian
republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan/atau
instansi lainnya”.
Ayat (2) “Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia,
dan/atau instansi lainnya berkewajiban untuk
memenuhinya”.

5. Pasal 86 berbunyi :
Ayat (1) “Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit
kepabeanan terhadap orang sebagaimana dimaksud
dalamPasal 47”.
Ayat (1a) “Dalam melaksanakan audit kepabeanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai berwenang:
a. meminta laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen
yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang
berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data
elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan
di bidang kepabeanan;
b. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari orang
dan pihak lain yang terkait;
c. memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat
untuk menyimpan laporan keuangan, buku, catatan dan
dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan
surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha,
termsuk sarana/media penyimpan data elektronik, dan
barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan
kegiatan usaha yang berkaitan dengan kegiatan
kepabeanan; dan

2
d. melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu
terhadap tempat atau ruangan penyimpanan dokumen
yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan.
Ayat (2) “Orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 yang
menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat
menjalankan kewenangan audit kepabeanan dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar Rp. 75.000.000,00
(tujuh puluh lima juta rupiah)”.
Ayat (3) “Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan audit kepabeanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan peraturan menteri”.

6. Pasal 86A berbunyi :


“Apabila dalam pelaksanaan audit kepabeanan ditemukan adanya
kekurangan pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan
pemebritahuan jumlah dan/atau jenis barang, orang wajib membayar bea
masuk yang kurang dibayar dan dikenai sanksi administrasi berupa
denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 ayat (5)”.

B. NORMA UUD 1945 SEBAGAI ALAT UJI


- Sebanyak 5 (lima) norma, yaitu :

1. Pasal 17 berbunyi :
“Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”.

2. Pasal 18 ayat (2) berbunyi :


“Pemerintahandaerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur danmengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asa
otonomi dan tugas pembantuan”.

3. Pasal 28D ayat (1) berbunyi :


“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”.

4. Pasal 30 ayat (2) berbunyi :


“Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sebagai kekuatan utama dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung”.

5. Pasal 30 ayat (4) berbunyi :


“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.

V. Alasan-Alasan Pemohon Dengan Diterapkan UU a quo Bertentangan Dengan


UUD 1945, karena :
1. Bahwa Pasal 1 angka 3 UU No. 17 Tahun 2006 bertentangan dengan Pasal 18
ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945. Dengan jelas dan tegas telah memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya berdasarkan otonomi
daerah masing-masing termasuk di antaranya dalam hal pengawasan kawasan

3
pabean, dan tidak sedikitpun memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat
untuk mengatur dan mengurusi urusan pemerintah daerah propinsi, daerah
kabupaten dan kota. Sehingga dengan demikian kawasan pabean, seharusnya
bukan berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai semata
dan eksklusif tetapi seharusnya juga berada di bawah pengawasan pemerintah
daerah, kabupaten dan kota dengan Dinas Perhubungan, karena kawasan
tersebut berada didalam wilayah otonomi daerah.

2. Bahwa Pasal 6A UU No. 17 Tahun 2006 bertentangan dengan Pasal 17 ayat (3)
Perubahan Pertama UUD 1945. Dalam Pasal 17 ayat (3) tersebut secara tegas
dan jelas telah dinyatakan bahwa masing-masing Menteri membidangi urusan
tertentu dalam pemerintahan, yang berbeda-beda antara Menteri yang satu dengan
Menteri yang lainnya, dimana untuk urusan mengenai “registrasi” sebagai syarat
melakukan pemenuhan kewajiban pabean merupakan format hukum yang
mengada-ada karena pemenuhan kepabeanan sudah diwajibkan dan tersirat pada
pengisian dan mengajukan PIB (Pemberitahuan Import Barang) yang tujuannya
adalah untuk menghitung kewajiban kepabeanan bagi importir, sedangkan
registrasi dapat dikategorikan sebagai format hukum administrasi perdagangan
(ijin kegiatan usaha) yang termasuk dalam format hukum melakukan kegiatan
impor yang merupakan kewenangan dari Menteri Perdagangan dan bukan
kewenangan dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai cq Menteri Keuangan RI.

3. Bahwa Pasal 6A UU No. 17 Tahun 2006 bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) Perubahan Kedua UUD. Bunyi Pasal 28D ayat (1) sangat tegas menyatakan
bahwa pemohon baik selaku perorangan warga negara Indonesia/pribadi maupun
selaku Ketua Umum ASPEMBAYA dan Direktur PT. Agung Kimia Jaya Mandiri
sebagai badan hukum publik atau privat, memiliki hak atas kepastian hukum yang
adil, terutama berkaitan dengan ketentuan “registrasi” yang oleh Mahkamah
Agung RI telah dinyatakan melalui sidang terbukanya pada tanggal 29 Maret 2004
bahwa dasar hukum dari ketentuan hukum tentang kewajiban registrasi melalui
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 453/KMK.04/2002 tentang Tata Laksana
Kepabeanan di Bidang Impor, Pasal 12 ayat (5) (Bukti P-15) dan Keputusan
Menteri Keuangan RI No. 454/KMK.04/2002 tentang Registrasi Importir (Bukti
P-16), serta perubahannya yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No. 549/
KMK.04/2002 tentang Registrasi Importir (Bukti P-17), telah dinyatakan tidak sah
dan tidak berlaku untuk umum sejauh registrasi terhadap importir yang format
hukumnya dituangkan melalui Putusan Hak Uji Materiil No. 08 P/ HUM/Th.2003
(Bukti P-18) dan No. 10 P/HUM/Th.2003 (Bukti P-19), tanggal 29 Maret 2004.
Namun meskipun ketentuan registrasi tersebut telah dinyatakan batal oleh
Mahkamah Agung, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai cq Menteri Keuangan tidak
pernah mengakui bunyi Putusan Hukum Mahkamah Agung tersebut dan tetap
memberlakukan ketentuan registrasi tersebut dan bahkan masih tetap diatur
didalam Undang-undang RI No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, tertanggal 15 Nopember 2006,
khususnya Pasal 6 A. Hal ini menghambat dan mempersulit, duplikasi kegiatan
dibidang administrasi impor yang berkaitan dengan kepabeanan yang harus
dipenuhi oleh para pelaku usaha, sehingga kepastian hukum dan tegaknya hukum

4
tidak akan pernah dirasakan oleh para pelaku usaha khususnya pengguna jasa
kepabeanan termasuk Pemohon.

Bahwa Pasal 64 A dan Pasal 76 UU No. 17 Tahun 2006 bertentangan dengan


Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (4) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 30 ayat (2) dan ayat (4)
Perubahan Kedua UUD 1945 telah dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa
yang memiliki kewenangan dan yang berperan sebagai kekuatan utama serta
sebagai alat negara dalam rangka usaha pertahanan dan keamanan serta
menjunjung keamanan dan ketertiban masyarakat termasuk didalamnya
melakukan penindakan dan penyidikan atas suatu tindak pidana (penindakan atas
barang yang terkait dengan terorisme dan/atau kejahatan lalu lintas negara)
sebagai upaya untuk memberantas tindak pidana penyelundupan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah Kepolisian Negara RI dan tidak sedikitpun
memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk
melakukan upaya penindakan sebagaimana tersebut di atas. Sehingga dengan
demikian sangat jelas bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak memiliki
kewenangan sedikitpun untuk melakukan penyidikan dan penindakan atas tindak
pidana di kepabeanan, tetapi Kepolisian Negara Republik Indonesialah yang
memiliki kewenangan yang luas dalam rangka melakukan penindakan dan
penyidikan dibidang kepabeanan tersebut dan bukan hanya sekedar diperbantukan
atau dimintakan bantuannya untuk melaksanakan tugas tersebut di atas. Oleh
karena itu bunyi dari Pasal 64 A dan Pasal 76 UU No. 17 Tahun 2006
bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) dan ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945.

4. Bahwa Pasal 86 dan Pasal 86 A UU No. 17 Tahun 2006 telah bertentangan


dengan Pasal 28 D ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945. Pasal 86 dan Pasal 86 A
tersebut telah menimbulkan duplikasi pengaturan bagi para pelaku usaha
termasuk pemohon, karena “sistem audit” juga dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak, yang mana dua direktorat tersebut yaitu Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak berada di dalam satu atap di Departemen
Keuangan yang seyogyanya tidak perlu dua direktorat itu melakukan audit dengan
obyek yang sama yaitu pembukuan/administrasi pembukuan, sistem audit cukup
dilakukan oleh satu direktorat saja yaitu Direktorat Jenderal Pajak.
Hal ini telah menyebabkan para pelaku usaha termasuk pemohon merasa sangat
dirugikan dan merasa beban yang dipikulnya semakin berat bahkan sangat berat,
karena bukan saja rugi waktu, tetapi juga rugi tenaga, pikiran serta ekonomi biaya
semakin tinggi. Sehingga dengan demikian, kepastian hukum tidak akan pernah
terwujud dan dirasakan oleh para pelaku usaha termasuk pemohon. Oleh karena
itulah sistem audit yang diatur di dalam Pasal 86 dan Pasal 86A UU No. 17
Tahun 2006 bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) Perubahan Kedua UUD
1945.

5
VI. PETITUM
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan isi Pasal 1 angka 3, Pasal 6A, Pasal 64A, Pasal 76, Pasal 86 dan
Pasal 86A Undang-undang RI No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, tertanggal 15
november 2006 beserta penjelasannya adalah bertentangan/tidak sesuai dengan
Pasal 17 ayat (3) Perubahan Pertama Undang-UNdang Dasar Negara republic
Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 30 ayat (2)
dan ayat (4) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. Menyatakan bahwa Pasal 1 angka 3, Pasal 6A, Pasal 64A, Pasal 76, Pasal

Anda mungkin juga menyukai