Oleh :
Cocon, S.Pi
Direktorat Produksi
Peningkatan produksi rumput laut masih cukup optimis untuk bisa dicapai
mengingat tingginya daya dukung teknis dan potensi kawasan pengembangan
yang masih terbuka luas untuk dimanfaatkan. Hanya saja , sampai saat ini siklus
aquabisnis rumput laut masih menyisakan masalah yang cukup kompleks antara
lain jaminan kualitas produksi DES (dried eucheuma seaweed) di tingkat
pembudidaya yang secara umum masih belum memenuhi standar eksport,
stabilitas harga yang masih fluktuatif dimana 2 (dua) faktor ini yang menjadi
momok bagi keberlangsungan Industri rumput laut. Sebagai gambaran, menurut
pengakuan beberapa trader/eksportir rumput laut di Surabaya secara umum
mereka mengeluhkan kondisi tersebut dan berdampak terhadap cash flow yang
ada. Terjadinya loading stock DES di gudang eksportir dengan kualitas rendah
memaksa mereka mengeluarkan biaya operasional untuk melakukan sortir ulang.
Tidak dipungkiri bahwa 80% raw material rumput laut dalam bentuk DES kita
eksport salah satunya ke China, dimana saat ini China menerapkan standar
cukup ketat terhadap produk import DES bukan hanya kadar air tapi juga umur
panen dan SFDM (salt free dry matter). Posisi industri China yang mulai selektif
inilah yang menjadi masalah tersendiri bagi para eksportir mengingat rendahnya
kualiitas DES dari pembudidaya, tidak jarang terjadi loading stock yang berimbas
pada penghentian pembelian sementara dari para pembudidaya. Sudah barang
tentu kondisi ini berdampak pula pada kegiatan usaha para pembudidaya, inilah
yang mengakibatkan fluktuasi harga dan rendahnya posisi tawar DES di tingkat
pembudidaya. Menurut analisa saya ada beberapa hal yang menyebabkan
permasalahan di atas :
1. Belum terbangun kesadaran di tingkat pembudidaya maupun pengepul
lokal terhadap jaminan mutu produk rumput laut yang dihasilkan.
Sudah menjadi hal biasa bahwa posisi tawar produksi rumput laut pada sentra
pengembangan yang sulit dijangkau akan mengalami penurunan dibanding
kawasan lain. Kondisi ini biasa terjadi di Wilayah Indinesia bagian Timur seperti
Maluku, Papua dan Maluku Utara. Siklus pasar yang begitu melelahkan
menyebabkan harga di lokasi menjadi turun drastis, karena memaksa pembeli
mengeluarkan biaya tambahan yang cukup tinggi untuk transportasi. Fenomena
ini yang kadang-kadang dikhawatirkan menurunkan animo masyarakat
pembudidaya terutama bagi mereka yang mempunyai pola pikir yang bersifat
instan (un-visible). Padahal kawasan-kawasan tersebut mempunyai potensi
pengembangan yang sangat besar. Sejalan dengan kondisi tersebut, maka
klaster aquabisnis rumput laut merupakan upaya untuk membangun kawasan
budidaya terintegrasi dimana pada kawasan tersebut memugkinkan terjadinya
suplly chain dari hulu ke hilir yang efektif dan efisien sehingga akan terjadi
peningkatan posisi tawar produk di tingkat pembudidaya.
Dalam mewujudkan klater aquabisnis rumput laut, maka beberapa hal yang perlu
ditindaklanjuti, adalah sebagai berikut :
Harus diakui bahwa secara umum konsep klaster aquabisnis rumput laut sebagai
kunci sukses belum menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan masih
dalam tataran wacana. Padahal potensi pengembangan rumput laut sangat besar
dan sangat memungkinkan untuk ditingkatkan. Pemerintah daerah perlu segera
Potensi SDA rumput laut seharusnya menjadi unggulan daerah dan bisa
ditawarkan dengan menggandeng semua pihak. Disamping itu peran Perusahan
Daerah (BUMD) sudah saatnya melirik terhadap peluang-peluang bisnis pada sub
sector perikanan budidaya khususnya rumput laut sehingga daya tawar
(bargaining position) hasil produk akan mampu ditingkatkan. Pemerintah Daerah
perlu segera melakukan implementasi akselerasi pembangunan perikanan
budidaya secara nyata demi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan
pembangunan ekonomi daerah dan nasional.
Peran kontrol pada semua tahapan produksi mutlak harus dilakukan baik oleh
pemerintah daerah melalui peran penyuluhan, pengepul maupun pihak mitra
usaha dengan menurunkan langsung field advisor yang berperan dalam quality
control proses budidaya, pengelolaan pasca panen maupun pergudangan di
lokasi budidaya. Jika kondisi tersebut telah terbangun dengan baik, maka upaya
pemerintah pusat untuk membangun industri pengolah nasional di sentra-sentra
produksi tidak akan mengalami permasalahan yang berarti.
Perlu diakui bahwa terhambatnya siklus bisnis rumput laut karena mata rantai
produksi maupun pasar yang tidak berjalan semestinya bahkan terputus pada
tahapan tertentu (tidak ada keberlanjutan). Salah satu penyebabnya karena
belum terbangun persamaan persepsi, komitmen, tanggungjawab dan kerjasama
sinergis diantara stakeholder yang terlibat dalam usaha pe-rumputlaut-an di
Indonesia mulai dari pemerintah pusat dan daerah, pelaku utama, pelaku usaha,
lembaga/instansi teknis serta lembaga keuangan. Fenomena yang terjadi
seringkali masih muncul “ego-sektoral” sehingga implementasi kebijakan dari
pemerintah pusat tidak didukung secara penuh, inilah yang mengakibatkan siklus
usaha selalu berhenti dalam suatu tahapan tertentu.
Jika kata “Sinergitas” diimplementasikan secara nyata oleh seluruh stake holder,
maka sangat optimis Indonesia akan menjadi sentral produksi rumput laut
terbesar bukan hanya dari sisi kapasitas produksi melainkan didukung oleh
jaminan mutu hasi produk yang berdaya saing tinggi.