Sejenak kita mencoba melirik Pulau Morotai dari sisi lain, dimana sejak Pulau
Morotai ditetapkan sebagai daerah otonom berdasarkan Undang-Undang No : 53
Tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten Pulau Morotai, yang mengantarkan
Kabupaten Pulau Morotai sebagai Kabupaten ke-9 di Provinsi Maluku Utara, ternyata
bukan hanya aspek historis yang menjadikan nama Morotai melambung dan dikenal
dunia, namun ada potensi di sektor lain yang begitu besar, tengok saja betapa
besarnya potensi pengembangan di Sektor Kelautan dan Perikanan yang telah
berpuluh tahun tidur terlelap tanpa ada yang berani membangunkan. Pembentukan
Pulau Morotai sebagai sebuah Kabupaten menjadi momen bersejarah yang dilatar
belakangi atas kesedaran kita sebagai bangsa Indonesia akan pentingnya
kemadirian. Saat itulah mulai sadar bahwa pulau mungil nan eksotis ini ternyata
mempunyai potensi dan nilai strategis nasional jika dimanfaatkan dan dikelola
secara optimal dan berkelanjutan.
Kabupaten Pulau Morotai mempunyai luas wilayah 4.301,53 km², dengan luas
daratan seluas 2.330,60 km² dan luas wilayah laut sejauh 4 mil seluas 1.970,93
km². Jumlah pulau-pulau kecil terdapat di Kabupaten Pulau Morotai berjumlah 33
pulau dengan rincian pulau yang berpenghuni berjumlah 7 pulau dan yang tidak
berpenghuni berjumlah 26 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 354,14
km². Adapun jumlah desa pesisir sebannyak 60 desa pesisir, dengan jumlah
penduduk 56. 462 jiwa dimana 80% terdistribusi dikawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil sedangkan 20% berada di perkotaan dan desa pedalaman.
Kita tahu bahwa selama hampir 50 tahun proses pembangunan yakni mulai
periode orde lama (20 tahun) dan orde baru (32 tahun), pendekatan pembangunan
ekonomi hanya terpusat pada pengembangan wilayah daratan, kondisi ini
menyebabkan pengembangan wilayah perbatasan yang nota bene merupakan
wilayah pulau-pulau kecil hampir terabaikan. Fenomena ini sangat ironis mengingat
Indonesia merupakan negara kepulauan dan memiliki banyak sekali pulau-pulau
kecil terluar sebagai wilayah perbatasan. Mempertimbangkan hal tersebut, maka
saat ini pemerintah mulai fokus dengan merubah paradigma konsep pembangunan
yaitu melalui pendekatan kawasan khususnya pada pembangunan kawasan-kawasan
strategis nacional yang secara umum berada pada kawasan kepulauan.
Dengan terbentuknya Kabupaten Pulau Morotai sebagai Daerah otonom, telah
mendorong pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap Pulau Morotai untuk
dikembangkan menjadi kawasan pengembangan ekonomi nasional salah satunya
melalui penetapan kebijakan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) .
Kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pulau Morotai dengan mengacu
pada pertimbangan faktor geostrategis yaitu melalui pemanfaatan potensi sektor
Kelautan dan Perikanan, Pariwisata, Alur Laut Kepulauan Indonesia (AKLI) dan
Industri maritim. Posisi geostrategic dan geografis Morotai sebagai pintu gerbang
menuju Pasifik, yang potensial menjadi sentra kegiatan perdagangan global,
membuat kawasan Kabupaten Pulau Morotai berpeluang besar menjadi sentra
ekonomi baru di Indonesia bagian timur. Selain itu potensi besar yang dimiliki
Kabupaten Pulau Morotai adalah pada sektor kelautan dan perikanan serta pulau-
pulau kecil yang dapat dikembangkan sebagai kawasan parawisata kelautan dan
industry perikanan terpadu (fisheries integrated industry)
A. Budidaya Laut
Karakteristik perairan pesisir dan laut pulau Morotai secara teknis sangat
layak dan memungkinkan untuk pengembangan kegiatan budidaya laut terutama :
Rumput laut, Ikan Kerapu, Lobster, dan Mutiara. Wilayah yang potensial untuk
kegiatan ini adalah daerah sekitar teluk di pulau-pulau kecil sekitar Pulau Morotai.
Secara spasial kawasan potensial untuk pengembangan kegiatan usaha budidaya
laut terbagi 9 (sembilan) zona namun dengan pertimbangan beberapa aspek
pendukung, maka kawasan yang paling potensial untuk pengembangan budidaya
laut ada sebanyak 6 (enam) zona/kawasan yang berada kawasan selatan dan barat
daya Pulau Morotai antara lain :
Zona budidaya I meliputi Pulau zum-zum, Pulau Lunglung, Pulau Ruberube,
Pulau Rukiruki dan Pulau Bobongono
Zona budidaya II meliputi Pulau Kokoya, Pulau Kolorai, Pulau Dodola Kecil
dan Pulau Dodola Besar
Zona budidaya III meliputi Pulau Pelo, Pulau Galogalo Besar, Pulau Galogalo
Kecil, Pulau Loleba Besar, dan Pulau Loleba Kecil
Zona budidaya IV meliputi Pulau Ngelengele Besar, Pulau Ngelengele kecil,
dan Pulau Tuna (pulau Burung)
Zona budidaya V meliputi Dowongikokotu di selatan hingga Pulau Kacuwawa
di utara
Zona budidaya VI meliputi Pesisir Wayabula, sejak Tanjung Wayabula hingga
Pulau Kacuwawa
Total potensi pengembangan budidaya laut pada ke-enam zona tersebut
mencapai 6639,7 Ha (Sumber : Penyusunan Master Plan Kawasan Transmigrasi
Mandiri Terpadu Pulau Morotai, tahun 2006).
B. Budidaya Air Payau
Tipe pantai yang landai pda beberapa kawasan dan tersedianya suplai air tawar
yang berkualitas merupakan salah satu kesesuaian lahan untuk pengembangan
budidaya payau. Potensi ini antara lain udang Windu, udang Putih, ikan Bandeng,
dan jenis Kepiting. Wilayah yang potensial untuk kegiatan ini adalah daerah sekitar
teluk di Morotai Utara. Sebagai wilayah kepulauan, potensi sumberdaya ikan
(standing stock) yang terdapat diperairan Maluku Utara diperkirakan mencapai
644.482,48 ton dengan jumlah potensi lestari yang dapat dimanfaatkan (Maximum
Suistainable Yield) sebesar 347.191,24 ton / tahun, untuk ikan pelagis sebesar
211.590 ton / tahun dan ikan demersal 135.005,24 ton / tahun (sumber : Rencana
Detail Pengembangan Kawasan Kelautan dan Perikanan Pulau Morotai). Potensi
sumberdaya perairan laut Maluku Utara ini cukup besar, apalagi jika dikelola secara
efisien dan berkelanjutan akan mempunyai nilai tambah tersendiri.
Melihat potensi besar di Sektor Kelautan dan Perikanan Pulau Morotai, kalimat
yang pantas untuk menggambarkan kondisi ini adalah bahwa pulau Morotai saat ini
sebagai “Raksasa Tidur (The Sleeping Giant)” yang harus segera kita bangunkan.
Ya,.. The Sleeping Giant julukan tersebut memang pantas disandang mengingat
besarnya potensi sub sektor perikanan budidaya khususnya budidaya laut belum
dimanfaatkan secara optimal. Betapa tidak, dari total potensi untuk pengembangan
sebesar 6.639,7 ha tidak lebih dari 5 %-nya saja yang baru termanfaatkan dan
itupun terkonsentrasi pada beberapa kawasan saja. Inilah yang menjadi peluang
sekaligus tantangan ke-depan bagaiamana elemen bangsa ini untuk memberikan
kontribusi positif dalam mengembangkan dan menggali “Mutiara” yang terpendam di
bibir pasifik ini.
PT. Morotai Marine Culture merupakan investor yang masuk ke Pulau Morotai
dan telah melakukan pengembangan budidaya laut untuk komoditas ikan kerapu
dan tiram mutiara. Kegiatan budidaya kerapu dilakukan secara terintegrasi mulai
dari pembenihan dan pembesaran di KJA serta telah dilakukan ekspor langsung ke
Hongkong dengan menggunakan kapal milik perusahan tersebut. Perusahaan yang
mempekerjakan sebanyak 500 orang tenaga kerja lokal ini sampai saat ini mampu
memproduksi benih kerapu mencapai 20.000 – 30.000 ekor/bulan,dan telah
memiliki induk produktif sebanyak 200 ekor. PT. MMC telah melakukan kegiatan
ekspor perdana ikan kerapu sebanyak 2 kali (ekspor I sebanyak 12 ton, ekspor II
sebanyak 10 ton). Budidaya tiram mutiara telah mulai dilakukan, bisa dilihat
dengan hamparan budidaya yang hampir mengelilingi perairan pulau Ngele-ngele
besar dan kecil. Walaupun usaha budidaya tiram mutiiara masih tergolong baru
dilakukan, namun demikian melalui kegiatan riset dan uji coba secara terus
menerus, sampai saat ini PT. MMC telah berhasil melakukan ekspor mutiara
sebanyak 20 kg (20.000 gram). Sejauh ini tenaga ahli spesialis didatangkan
langsung dari negara China.
Hasil wawancara kami dengan menajer produksi PT. MMC bahwa kendala
yang dihadapi secara teknis yaitu kurangnya ketersediaan pakan segar (ikan rucah)
secara kontinyu disamping itu harga pakan tersebut sudah mulai tinggi sehingga
menyebabkan biaya opersional yang tinggi. Saat ini kebutuhan pakan ikan rucah
mencapai 7 ton per hari dan sebagian besar didatangkan dari luar daerah.
Tidak dipungkiri bahwa secara umum faktor utama tidak berjalannya sebuah
konsep kebijakan adalah karena belum terbangun persamaan persepsi, komitmen,
tanggungjawab dan kerjasama sinergis diantara stakeholder. Kata “sinergis”
menjadi faktor penting karena Kebijakan pengembangan megaminapolitan tidak
hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kelautan dan Perikanan, tapi harus
disepakati sebagai kebijakan yang harus didukung penuh oleh
lembaga/kementerian lain yang terkait. Sikap “ego-sektoral” yang seringkali
muncul sejak dini harus mulai dihapus dalam pola pikir elemen bangsa ini, demi
kemajuan dan kemandirian ekonomi nasional.
Jika kata “Sinergitas” diimplementasikan secara nyata oleh seluruh stake holder,
maka sangat optimis “Mutiara yang terpendam dibibir Pasifik” tersebut akan
terkuak dan menjadi nilai yang sangat berharga bagi perkembangan ekonomi
nasional dan akan mampu membangun kepercayaan diri sebagai Negara yang
mampu bersaing ditataran ekonomi gobal.
Menurut pemerintah Maluku Utara, membangun Kawasan Strategis Pulau Morotai
berbasis IPTEK yang dapat memegang peranan penting dalam perdagangan bebas
skala internasional, seperti membangun fasilitas pelabuhan laut transit antar benua,
bandar udara internasional, PLTN, dan fasilitas kawasan industri strategis yang
sesuai dengan daya dukung, fungsi dan peranan Pulau Morotai ke depan.
Melihat kondisi saat ini, menurut Luky, usulan perlu dikaji lebih lanjut. Penetapan
sebuah KSN pada hakekatnya didasarkan pada pertimbangan seksama.
“Pertimbangannya adalah kawasan yang bersangkutan telah berkembang kegiatan
yang skala dan karakteristiknya dipandang memiliki dampak yang strategis secara
nasional”, imbuhnya. Sementara itu, untuk kawasan yang dipandang memiliki
potensi sebagai KSN di masa yang akan datang, kota utamanya ditetapkan sebagai
PKSN.
Selanjutnya, dalam hirarki tata ruang, penetapan Kota Daruba sebagai PKSN ini
harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi melalui pengembangan kapasitas
pelayanannya, sehingga dapat secara optimal berfungsi sebagai pusat kegiatan bagi
wilayah-wilayah sekitarnya, khususnya Pulau Morotai.
Usulan untuk menetapkan Pulau Morotai sebagai KSN akan memiliki konsekuensi
mengubah PP No.26/2008 tentang RTRWN. “Akan lebih baik jika hal tersebut
diusulkan pada waktu revisi RTRWN di masa yang akan datang setelah dilakukan
evaluasi terhadap perkembangan skala maupun karakteristik kegiatan di Pulau
Morotai sampai saat itu,” tandas Luky.