Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM

ARTI BACAAN SHOLAT

DISUSUN OLEH

AHMAD ARDAN ALHAFIS

KELAS XII IPA 2

SMA NEGRI 6 PALEMBANG


2010 / 2011
ATURAN MAIN PERTARUNGAN PEMILU LEGISLATIF

PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pada bulan maret 2008 anggota DPR RI telah meloloskan produk hukum yang

baru yaitu Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu legislative. Undang-

undang ini berisi aturan main dalam pemilu 2009 dari awal pendaftaran para peserta

pemilu hingga pemenang pemilu. Dalam hal penetapan calon anggota legislative

dalam UU ini di bahas dalam pasal 214 yang berbunyi sebagai berikut:

Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi

Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan:

(1) pemilihan.

a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya

30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;


b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak

daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi

diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon

yang memenuhi ketentuan sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus)

dari BPP;

c. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a

dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan

kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang

memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari

BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus)

dari BPP;

d. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari

jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang

belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;

e. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30%

(tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan

nomor urut.

Namun pada akhir tahun ini Undang undang tersebut di batalkan oleh mahkamah

konstitusi dalam putusan perkara No. 22&24/PUU-VI/2008 karena tidak sejalan tidak

sejalan dengan asas demokrasi yang harus sesuai dengan rasa keadilan, sesuai dengan

permohonan Mohamad soleh yang merupakan calon anggota legislative nomor urut 7
(tujuh) dimana nomor yang sangat dihindari dalam penetapan calon. Maka dari

putusan itu mengharuskan bahwa pemenang pemilu legislative tetap ditentukan oleh

peraih suara terbanyak dalam pemilu, sehingga pasal 214 huruf a, b, c, d dan e tidak

berlaku. Hal tersebut, menurut MK, merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat

jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam

penetapan anggota legislatif. Akan benar-benar melanggar kedaulatan rakyat dan

keadilan, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara

ekstrem, terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang

mendapat suara kecil karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil.

Selain itu, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan

pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus

pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara

terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah

ditetapkan

Putusan tersebut sangat beralasan karena dalam pasal 214 UU Nomor 10 tahun

2008 tersebut sudah bisa di tebak bahwa nomor urut 1 (satu) dalam urutan calon

legislative akan menjadi nomor yang paling faforit, bahkan banyak yang

menyebutkan bahwa nomor tersebut merupakan “nomor jadi” karena nomor tersebut

bisa mencuri suara dari para calon yang lain yang tidak mencapai kuota 30 persen

dari BPP.
Jika di dalam nomor urut bisa menjadi faforit justru persaingan untuk mendapat

“nomor jadi” akan menjadi persaingan yang sangat sengit di dalam internal kalangan

partai bahkan ada rahasia umum nomor urut satu atau nomor urut yang lebih kecil

biasa di perjual belikan oleh para elit politik yang mana harganya bias mencapai

jutaan bahkan puluhan juta rupiah.

Jika kita melihat asas demokrasi, tentu pemenang dalam suatu pemilihan adalah

yang mendapatkan suara terbanyak dalam sebuah pemilihan, hal yang lucu memang

jika seseorang bisa memenangkan suatu proses pemilihan tapi tanpa ada pemilih, hal

ini bisa kita perkirakan jika aturan pasal 214 huruf a,b c, d, dan e UU No 10 tahun

2008 diberlakukan, seandainya dalam suatu partai dan satu daerah pilih (dapil)

terdapat 10 calon anggota legislative, dimana peserta nomor urut 2 sampai nomor

Urut 10 semuanya mendapat suara, sehingga jika di jumlahkan jumlah suara tersebut

memenuhi persyaratan untuk mendapatkan satu kursi parlemen dalam satu partai

tersebut, namun diantara peserta nomor urut 2 sampai dengan sepuluh tersebut tidak

ada yang mencapai 30 % dari BPP maka sesuai pasal 214 huruf e UU Nomor 10

tahun 2008 penetapan calon terpilih kembali ke nomor urut yang lebih kecil artinya

nomor urut 1 (satu) berhak menduduki kursi parlemen meskipun tidak dipilih oleh

rakyat, karena tidak ada calon yang mendapat suara sampai dengan 30% namun

jumlah suara dalam partai memenuhi syarat untuk mendapat satu kursi. jika hal ini di

lakukan lantas dimanakah aspirasi masyarakat dan demokrasi yang ada bisa di

laksanakan?.
Sesuai dengan putusan mahkamah konstitusi maka pemenang calon anggota

terpilih tentulah merupakan anggota dewan yang terpilih, baru bisa dikatakan calon

terpilih jika memang dipilih oleh rakyat bukan karena nomor urutnya lebih kecil dari

ada calon-calon yang lain.

Upaya untuk mendongkrak suara yang biasa dilaksanakan oleh para petinggi

partai yang duduk di nomor urut lebih kecil mulai sekarang sudah bisa dihilangkan

karena hilangnya mekanisme nomor jadi tanpa harus mengambil nomor bawah, yang

telah berjuang tapi tidak mencapai jumlah suara 30 % dari BPP.

Putusan MK tersebut menuai reaksi yang cukup beragam, namun tentunya banyak

kalangan yang seharusnya mendukung penetapan tersebut karena jika memang bisa

merebut hati rakyat pastilah dia terpilih. Aturan main dalam pemilihan legislative

sekarang sudah di ubah maka para calon anggota legislative yang akan berjuang tentu

akan berupayya sekeras mungkin untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya

tanpa harus takut meskipun telah mengumpulkan suara terbanyak tidak akan diambil

oleh calon yang mempunyai nomor urut yang lebih kecil.

Dalam Putusan MK ini juga menghilangkan upaya mengambil kemengan orang

lain untuk diberikan kepada petinggi partai, karena meskipun seorang petinggi partai

menempati nomor urut 1 (satu) namun dia tidak dapat mengumpulkan suara

terbanyak maka dia akan dikalahkan oleh calon yang lain.


Ada beberapa 2 (dua) tradisi yang dihilangkan dalam putusan ini yang pertama

sekali hilang yaitu tradisi “nomor jadi”. Prioritas ketua yang biasanya mendapat

nomor urut satu harus berjuang sendiri tanpa bisa mengambil kemenangan dari para

anggota sehingga meskipun dia seorang ketua dan telah mendapatkan jatah

menduduki nomor urut 1 (satu) bukan berarti bisa menang memetik dari nomor urut

yang dibawahnya, tardisi yang kedua yaitu tradisi politik dinasti, seorang elite politik

yang menempatkan keluarga dalam nomor urut 1(satu) dalam satu daerah pilih (dapil)

tetap harus berjuang sendiri tanpa harus mengandalkan kebesaran partai yang

memang sudah dikenal, meskipun partai yang menjadi perahu politiknya di kenal dan

merupakan partai besar namun dia tidak bisa mendapatkan suara maka tidak akan

dipilih mengingat nomor urut bukan lagi menjadi unsure penentu melainkan hanya

sekedar angka.

Upaya yang di dimohonkan oleh Muhammad Sholeh dkk patut diaancungi jempol

dan itu juga bisa merupakan senjata politiknya dalam merebut hati rakyat agar bisa

memilih, tanpa takut suaranya diambil oleh petinggi partai yang menduduki nomor

urut lebih kecil.

Praktek money politik dalam tubuh partaipun bisa dihilangkan karena merupakan

hal percuma duduk di nomor urut satu apabila tidak dapat meraih simpati para

pemilih untuk memilih dirinya, hal ini mebuat budaya korupsi bisa dihilangkan mulai

dari tingkat penyusunan calon anggota legislative dan juga budaya politik dinasti

yang sekarang marak terjadi di mana-mana.


Pemilu tinggal hitungan bulan, tak sampai 5 bulan lagi kita akan menghadapi

pesta demokrasi yang sangat besar, sikap golput seharusnya sudah bisa sedikit

dihilangkan karena suara yang diberikan kepada calon yang merupakan jagoannya

tidak akan di ambil oleh calon lain, demikian juga ketakutan para calpn yang

menduduki nomor bawah tidak akan perlu ditakuti lagi jika suara yang didapatnya

akan hilang percuma dan tidak mendapat apa-apa.

Tradisi nomor sepatu juga akan hilang dalam penetapan nomor urut caleg, karena

nomor urut tidak akan pernah berpengaruh lagi seperti yang sudah penulis sebutkan

bahwa itu hanya sekedar angka untuk mengenal urutan, jika hal ini dilakukan pada

setiap pemilu tentu pemilu-pemilu yang akan dating akan ramai di masuki oleh caleg-

caleg yang tadinya ketakutan suaranya diambil.

Putusan MK juga mengobati kekecewaan sebagian caleg yang merasa di curangi

dalam penetapan nomor urut, hal ini bisa kita ketahui pada saat pengumuman Daftar

calon sementara dan Daftar Calon tetap anggota legislative banyak para kandidat

yang kecewa meskipun telah banyak berjuang dalam partai namun tidak dihargai.

Namun putusan MK ini juga menjadi kekecewaan bagi merka yang telah

menggunakan jalan tikus untuk mendapat nomor urut yang sangat kecil karena

pengorbanyannya untuk mendapat nomor urut sekecil-kecilnya menjadi sia-sia dan

harus memmulai perjuangannya dari awal.


Masyarakat Indonesia telah lama menantikan pertarungan yang adil yang

dilakukan para elite politik, jika dari awal saja sudah mulai banyak melakukan

kecurangan dan politik yang tidak baik maka bagaimana keputusan yang akan

diambilnya nanti saat keputusan itu merupakan nasib jutaan rakyat Indonesia, jika

mereka terpilih karena nomor urut itu merupakan suatu alasan tersendiri dalam diri

mereka bahwa mereka di pilih oleh partai dan bukan oleh rakyat lantas dimanakah

suara rakyat di salurkan, karena jika merasa dipilih dan dibesarkan oleh partai tentu

akan berkorban demi partai dan bukan demi rakyat.

Pemilu di depan mata pemenang tentulah yang berhasil dalam merebut hati

rakyat, maka para kandidat caleg harus mulai lagi dari nol dalam merebut hati rakyat

tanpa mengandalkan sepenuhnya perhu politik mereka, persaningan dalam satu partai

akan lebih sengit lagi, karena dipastikan dalam satu parati dan dalam satu daerah pilih

akan dikuti lebih dari 5 orang calon yang akan bersaing dalam satu perahu politik

maka sudah bisa di tebak sejak putusan ini diberlakukan akan terjadi persaingan yang

cukup sengit karena mereka harus mengalahkan teman-teman mereka sendiri bahkan

ada yang akan bersaing dengan ketua partai mereka.

KPU sebagai lembaga penyelnggara Pemilu harus segra mengeluarkan keputusan

KPU sebagai implementasi putusan Mahkamah Konstitusi karena Pasal 214 UU

nomor 10 tahun 2008 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi hal ini harus segra

dilakukan sebagai payung hukum bagi para calon legislative yang akan bertarung

pada Pemilu 2009.


Keputusan MK merupakan hal yang final dan mengikat sehingga payung hukum

untuk merubah aturan main pertarungan politik di negri ini sudah di dapatkan dan

harus sesegra mungkin dilaksanakan untuk mengurangi berbagai macam alasan

kecurangan yang dilakukan oknum yang tidak bertanggung jawab.

Tugas KPU semakin berat karena ketelitian harus dilakukan demi menjalankan

demokrasi yang jujur dan adil demi kelancaran nasib bangsa ini kedepan, jika para

elite politik saja sudah tidak bisa bertindang jujur dan adil maka bagaimana aspirasi

rakyat bisa disalurkan, untuk menjaga ketertiban itulah menjadi keharusan yang harus

dilakukan oleh lembaga KPU Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai