ISLAM
DISUSUN OLEH
Pada bulan maret 2008 anggota DPR RI telah meloloskan produk hukum yang
baru yaitu Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu legislative. Undang-
undang ini berisi aturan main dalam pemilu 2009 dari awal pendaftaran para peserta
pemilu hingga pemenang pemilu. Dalam hal penetapan calon anggota legislative
dalam UU ini di bahas dalam pasal 214 yang berbunyi sebagai berikut:
kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi
(1) pemilihan.
daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi
diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon
dari BPP;
c. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a
dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan
kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang
BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus)
dari BPP;
d. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari
jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang
e. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan
nomor urut.
Namun pada akhir tahun ini Undang undang tersebut di batalkan oleh mahkamah
konstitusi dalam putusan perkara No. 22&24/PUU-VI/2008 karena tidak sejalan tidak
sejalan dengan asas demokrasi yang harus sesuai dengan rasa keadilan, sesuai dengan
permohonan Mohamad soleh yang merupakan calon anggota legislative nomor urut 7
(tujuh) dimana nomor yang sangat dihindari dalam penetapan calon. Maka dari
putusan itu mengharuskan bahwa pemenang pemilu legislative tetap ditentukan oleh
peraih suara terbanyak dalam pemilu, sehingga pasal 214 huruf a, b, c, d dan e tidak
berlaku. Hal tersebut, menurut MK, merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat
jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam
keadilan, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara
ekstrem, terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang
mendapat suara kecil karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil.
Selain itu, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan
pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus
pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara
terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah
ditetapkan
Putusan tersebut sangat beralasan karena dalam pasal 214 UU Nomor 10 tahun
2008 tersebut sudah bisa di tebak bahwa nomor urut 1 (satu) dalam urutan calon
legislative akan menjadi nomor yang paling faforit, bahkan banyak yang
menyebutkan bahwa nomor tersebut merupakan “nomor jadi” karena nomor tersebut
bisa mencuri suara dari para calon yang lain yang tidak mencapai kuota 30 persen
dari BPP.
Jika di dalam nomor urut bisa menjadi faforit justru persaingan untuk mendapat
“nomor jadi” akan menjadi persaingan yang sangat sengit di dalam internal kalangan
partai bahkan ada rahasia umum nomor urut satu atau nomor urut yang lebih kecil
biasa di perjual belikan oleh para elit politik yang mana harganya bias mencapai
Jika kita melihat asas demokrasi, tentu pemenang dalam suatu pemilihan adalah
yang mendapatkan suara terbanyak dalam sebuah pemilihan, hal yang lucu memang
jika seseorang bisa memenangkan suatu proses pemilihan tapi tanpa ada pemilih, hal
ini bisa kita perkirakan jika aturan pasal 214 huruf a,b c, d, dan e UU No 10 tahun
2008 diberlakukan, seandainya dalam suatu partai dan satu daerah pilih (dapil)
terdapat 10 calon anggota legislative, dimana peserta nomor urut 2 sampai nomor
Urut 10 semuanya mendapat suara, sehingga jika di jumlahkan jumlah suara tersebut
memenuhi persyaratan untuk mendapatkan satu kursi parlemen dalam satu partai
tersebut, namun diantara peserta nomor urut 2 sampai dengan sepuluh tersebut tidak
ada yang mencapai 30 % dari BPP maka sesuai pasal 214 huruf e UU Nomor 10
tahun 2008 penetapan calon terpilih kembali ke nomor urut yang lebih kecil artinya
nomor urut 1 (satu) berhak menduduki kursi parlemen meskipun tidak dipilih oleh
rakyat, karena tidak ada calon yang mendapat suara sampai dengan 30% namun
jumlah suara dalam partai memenuhi syarat untuk mendapat satu kursi. jika hal ini di
lakukan lantas dimanakah aspirasi masyarakat dan demokrasi yang ada bisa di
laksanakan?.
Sesuai dengan putusan mahkamah konstitusi maka pemenang calon anggota
terpilih tentulah merupakan anggota dewan yang terpilih, baru bisa dikatakan calon
terpilih jika memang dipilih oleh rakyat bukan karena nomor urutnya lebih kecil dari
Upaya untuk mendongkrak suara yang biasa dilaksanakan oleh para petinggi
partai yang duduk di nomor urut lebih kecil mulai sekarang sudah bisa dihilangkan
karena hilangnya mekanisme nomor jadi tanpa harus mengambil nomor bawah, yang
Putusan MK tersebut menuai reaksi yang cukup beragam, namun tentunya banyak
kalangan yang seharusnya mendukung penetapan tersebut karena jika memang bisa
merebut hati rakyat pastilah dia terpilih. Aturan main dalam pemilihan legislative
sekarang sudah di ubah maka para calon anggota legislative yang akan berjuang tentu
tanpa harus takut meskipun telah mengumpulkan suara terbanyak tidak akan diambil
lain untuk diberikan kepada petinggi partai, karena meskipun seorang petinggi partai
menempati nomor urut 1 (satu) namun dia tidak dapat mengumpulkan suara
sekali hilang yaitu tradisi “nomor jadi”. Prioritas ketua yang biasanya mendapat
nomor urut satu harus berjuang sendiri tanpa bisa mengambil kemenangan dari para
anggota sehingga meskipun dia seorang ketua dan telah mendapatkan jatah
menduduki nomor urut 1 (satu) bukan berarti bisa menang memetik dari nomor urut
yang dibawahnya, tardisi yang kedua yaitu tradisi politik dinasti, seorang elite politik
yang menempatkan keluarga dalam nomor urut 1(satu) dalam satu daerah pilih (dapil)
tetap harus berjuang sendiri tanpa harus mengandalkan kebesaran partai yang
memang sudah dikenal, meskipun partai yang menjadi perahu politiknya di kenal dan
merupakan partai besar namun dia tidak bisa mendapatkan suara maka tidak akan
dipilih mengingat nomor urut bukan lagi menjadi unsure penentu melainkan hanya
sekedar angka.
Upaya yang di dimohonkan oleh Muhammad Sholeh dkk patut diaancungi jempol
dan itu juga bisa merupakan senjata politiknya dalam merebut hati rakyat agar bisa
memilih, tanpa takut suaranya diambil oleh petinggi partai yang menduduki nomor
Praktek money politik dalam tubuh partaipun bisa dihilangkan karena merupakan
hal percuma duduk di nomor urut satu apabila tidak dapat meraih simpati para
pemilih untuk memilih dirinya, hal ini mebuat budaya korupsi bisa dihilangkan mulai
dari tingkat penyusunan calon anggota legislative dan juga budaya politik dinasti
pesta demokrasi yang sangat besar, sikap golput seharusnya sudah bisa sedikit
dihilangkan karena suara yang diberikan kepada calon yang merupakan jagoannya
tidak akan di ambil oleh calon lain, demikian juga ketakutan para calpn yang
menduduki nomor bawah tidak akan perlu ditakuti lagi jika suara yang didapatnya
Tradisi nomor sepatu juga akan hilang dalam penetapan nomor urut caleg, karena
nomor urut tidak akan pernah berpengaruh lagi seperti yang sudah penulis sebutkan
bahwa itu hanya sekedar angka untuk mengenal urutan, jika hal ini dilakukan pada
setiap pemilu tentu pemilu-pemilu yang akan dating akan ramai di masuki oleh caleg-
dalam penetapan nomor urut, hal ini bisa kita ketahui pada saat pengumuman Daftar
calon sementara dan Daftar Calon tetap anggota legislative banyak para kandidat
yang kecewa meskipun telah banyak berjuang dalam partai namun tidak dihargai.
Namun putusan MK ini juga menjadi kekecewaan bagi merka yang telah
menggunakan jalan tikus untuk mendapat nomor urut yang sangat kecil karena
dilakukan para elite politik, jika dari awal saja sudah mulai banyak melakukan
kecurangan dan politik yang tidak baik maka bagaimana keputusan yang akan
diambilnya nanti saat keputusan itu merupakan nasib jutaan rakyat Indonesia, jika
mereka terpilih karena nomor urut itu merupakan suatu alasan tersendiri dalam diri
mereka bahwa mereka di pilih oleh partai dan bukan oleh rakyat lantas dimanakah
suara rakyat di salurkan, karena jika merasa dipilih dan dibesarkan oleh partai tentu
Pemilu di depan mata pemenang tentulah yang berhasil dalam merebut hati
rakyat, maka para kandidat caleg harus mulai lagi dari nol dalam merebut hati rakyat
tanpa mengandalkan sepenuhnya perhu politik mereka, persaningan dalam satu partai
akan lebih sengit lagi, karena dipastikan dalam satu parati dan dalam satu daerah pilih
akan dikuti lebih dari 5 orang calon yang akan bersaing dalam satu perahu politik
maka sudah bisa di tebak sejak putusan ini diberlakukan akan terjadi persaingan yang
cukup sengit karena mereka harus mengalahkan teman-teman mereka sendiri bahkan
nomor 10 tahun 2008 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi hal ini harus segra
dilakukan sebagai payung hukum bagi para calon legislative yang akan bertarung
untuk merubah aturan main pertarungan politik di negri ini sudah di dapatkan dan
Tugas KPU semakin berat karena ketelitian harus dilakukan demi menjalankan
demokrasi yang jujur dan adil demi kelancaran nasib bangsa ini kedepan, jika para
elite politik saja sudah tidak bisa bertindang jujur dan adil maka bagaimana aspirasi
rakyat bisa disalurkan, untuk menjaga ketertiban itulah menjadi keharusan yang harus