Anda di halaman 1dari 5

Is Nama Pacarku

“Is siapa lengkapnya, syekh”?. Tanya Toying.

“Ya Is, terserah kamu mau menafsirkan, menambahi namanya, pokoknya aku menyebutnya Is
saja!”. Jawab Gentho dengan lagak khasnya, sambil merokok. Tapi muridnya, Toying, terus menerus
mbacot, tanya terus. Dia berlagak mirip densus yang terus merangsek, nyerbu buronnya. Tapi Syekh
Gentho tetap tak bergeming, bIsu, tak merespon Toying. Mungkin sedang kontemplasi, mengingat Is
yang kini tak ada. Ya bersama kepulan asap rokok, Syekh Gentho mencoba merajut wajah gadIs itu.
Di kiranya: siapa tahu kepulan asap rokok bIsa menggambarkan bentuk tiga dimensi gadIs itu, meski
samar, sesamar rumitnya asap rokok mempertahankan bentuknya dari tiupan angin.

Is, sebetulnya bukan siapa-siapa syekh, bukan pacar, anak, Istri atau keponokan. Juga bukan
seorang TKI yang sampai sekarang tak pernah jelas nasibnya. Ya..Is adalah gadIs yang pernah
diceritakan temannya kepada dirinya beberapa waktu yang lalu.

Temannya menuturkan jika selama ini terus dibayangi bahkan merasuk ke dalam mimpinya. Is,
kata temannya itu, dulunya merupakan pacarnya. Tepatnya saat mereka masih sama-sama di
bangku SMP sampai SMA.

“wah, dapurmu ke yo duwe pacar toh, tak kiro wong ra Iso pacaran?”. Tanya Syekh Gentho.
Yang ditanya Cuma mesam-mesem. Di batinnya bergemuruh untuk menutup mulut temannya yang
kini jadi syekh yang aneh itu, Gentho.

“ya bisa, lha mung pacaran saja masak gak bisa!”. Jawab temannya.

“yo koyo cah enom-enoman sak iki pacaranmu?” tanya Gentho lagi. Entah maksud Gentho
dengan gaya pacaran anak sekarang. Mosok pacaran duwe gaya, aneh.

“ya enggak, biasa ra nganggo endok”. Ra nganggo endok, apalagi ini? Masak pacaran bawa
endok segala.

“aku pacaran ya Cuma pacaran bahkan tak bisa disebut dengan pacaran”. “lha piye, wong
pacaran yen ketemu malah jadi malu”. Istilah pacaran mungkin teman-temanku saja yang ngasih ya,
aku sendiri tak tahu apakah aku pacaran atau tidak, Is itu pacarku atau tidak, dan kata pacar
sebetulnya apa? sampai sekarang aku tidak mudeng”.

“aku tak begitu suka dengan Istilah-Istilah”. Temannya melanjutkan.” Soalnya sering membuat
bingung, kalau aku seneng yo seneng, biar kata hati yang memberikan definisi untuk rasanya,
mulutku tak suruh diam”.

“yang jelas aku tak mau disebut pacaran dan Is itu pacarku syekh”.

“kenapa? Apa kamu memang tak suka pacaran, lha wong aku kalau melihat anak sekarang
pacaran wuih mesra pool..kayak sudah suami Istri”. Selidik syekh.

“persoalannya panjang, bukannya aku gak suka atau anti pacaran tapi aku sampai sekarang
tak tahu makna pacaran itu apa, lha kalau saya tak tahu istilahnya buat apa aku memakai?”. Aku
Cuma.. ya mencoba menjalin hubungan batin, menguatkan sinyal mahabbah untuknya, menikmati
kerinduan untuknya di saat Is tak ada, jika pun bertemu dengannya aku akan malu, tak bisa berkata
apa-apa, mulut seolah terkunci, tak kuasa untuk berkata. Hanya tatapan mata yang beradu pandang
dan mencoba berkomunikasi. Entahlah apakah ini yang dinamakan bahasa rasa, aku tak tahu. Hanya
dengan bertemu yang tanpa kata itu, karang rasa rindu ini luluh lantak terkena deburan ombak sorot
mata tadi. Kami tak perlu ke sana ke mari, bergandengan tangan, boncengan, berduaan untuk
menerjemahkan kesetiaan, love u...ya cukup sorot mata yang mewakili. Aku tak pernah mengajak ke
tempat sepi untuk mengungkapkan bahwa aku mencintaimu, menumpahkan rasa rindu. Bukannya
aku takut syetan yang jadi pihak ketiga disaat kami berdua, bagi kami disaat sepi: aku, Is, yang
ketiganya tetap gusti Allah.

Temannya terus bercerita. Bagiku, ditengah keramaian itu aku bisa merasakan hanya aku dan
dia yang ada. Tapi aku juga tak melakukan apa-apa, ya itu tadi Cuma beradu pandang. Biarlah foton-
foton cinta yag dipancarkan mata ini menembus relung hati kami masing-masing, saling berekstasi,
menari-nari dalam hati, menciptakan nada-nada cinta yang sebenarnya.

Aku juga heran dengan cara anak sekarang pacaran. Pola pacaran telah bergeser jauh bahkan
mendekati wilayah orang yang diikat dengan kalimat suci. Artinya begini: cobalah lihat bagaimana
anak-anak muda sekarang berpacaran. Ngalor ngidul boncengan, pegangan tangan seolah-olah
suami Istri, tanpa rasa malu: lha jajan wae seh nyadong orang tua. Tapi anehnya orang tua juga
semakin bangga , tapi tidak semua lho, jika anaknya dibonceng orang lain. Sambil menepuk dada:
kae lho anakku, ora ketinggalan jaman. La dala kalau sudah begini kan yo jadinya gak karuan.

Ah mungkin aku saja yang ketinggalan zaman, tidak tahu arti orang pacaran. Anak SD saja
sudah ada yang pacaran, sudah punya pacar. Anak SMP, SMA lebih ngerti lagi dan mempunyai gaya
pacaran tersendiri. Aku mendengarkan request-request di radio pun, aku semakin terasing sebagai
anak zaman. Anak kuliahan...wuih lebih keren, lebih aneh, lebih embuhlah..pokoknya lebih, lebih
dan lebih. Ya anak kulihan itu merasa sebagai anak intelek, mahanya siswa jadi tak ingin jika gaya
pacarannya masih mirip siswa. Ra tirmo goncengan ngalor ngidul tapi sudah ngetan ngulon
gendongan.

Ya..ya mereka merasa sudah bisa bertanggung jawab, katanya, tapi gaya bertanggung
jawabnya itu seperti apa aku juga gak dong. Katanya, ingin merintis masa depan sebuah rumah
tangga: rumah tangga model seperti apa yang dikehendaki jika prototipe awalnya seperti ini.

Sekarang zamannya yuyu kangkang, semua sudah dikangkangi. Aku bukan ande-ande lumut
yang bisa menyelamatkan para Pleting dari kangkangannya yuyu kangkang tadi, la kepiye wong para
Plething juga asyik dikangkangi.

“aku Cuma bisa berdo’a syekh kalau melihat mereka bermesraan. Semoga Gusti Allah
menjodohkan dan segera menikahkan mereka”. “jika ternyata mereka tak jadi nikah yo kasihan yang
lainnya: mung entuk tipete, Cuma dapat bekasnya”.

“hhhmmm...lha terus bagaimana Is yang kamu sebut tadi, kamu ke sini cua mau ngomongin
gaya anak pacaran anak sekarang atau mau berdiskusi tentang Is tho?”. Tanya Syekh.

“ya saya lanjutkan”. Begini lho: sebetulnya kami sudah berpIsah hampir delapan tahun. Tapi
entahlah bayangannya kadang hadir dalam mimpiku. Perlu diketahui, Is sekarang sudah menikah dan
dengar-dengar sudah punya anak pula. Aku pun tak pernah mengharap ia kembali lagi. Aku
mengikhlaskan sejak awal kami berpisah. Aku pamitan saat hendak bekerja jauh di tanah seberang.
Aku pun tak pernah berpikir untuk menikahi soalnya aku sendiri baru lulus SMA masak sudah mau
nikah, apa kata dunia?. Ya cintaku kucupkan sekian saja dan aku tak pernah melihat dari sorot
matanya kalau Is ingin menjalin ikatan suci denganku tapi lebih mirip pamitan.

“terus kamu sendiri?”

“Yo ra piye-piye, masak mau melarangnya, biarlah kalu mau menikah ya menikahlah:
barakallahlaka wa baraka’alaika wajam’a baina kuma filkhoir, itu saja. Kadang cinta memang tak
harus memilki.”

“yang jadi persoalan dia kadang hadir begitu saja dalam benakku...asem tho”.

“asem piye..yo malah gula, manIs”. Sahut Gentho.

“yo asem...”

Is selalu mengusik pikiranku: sebetulnya dia itu cinta aku, apakah perkawinannya atas dasar
perjodohan orang tua dan sebenarnya dia tak mencintai suaminya?. Jika itu yang terjadi celaka tho,
mereka bukan menikah, tidak ada pernikahan di antara mereka melainkan persetubuhan, karena
yang bersatu Cuma tubuh mereka, yang disatukan bukan hatinya. Kalau pernikahan seharusnya ada
peleburan, penyatuan jiwa raga.

“ah ini Cuma dugaanku kok”. Teman Gentho mencoba menepis hipotesa yang sedang
dibangunnya. Sebetulnya ada ketakutan yang terpancar dari wajah ketika dia mencoba merumuskan
tentang mantan kekasihnya itu.

Gentho melihat wajah temannya itu memang sudah ikhlas merelakan Is menikah dengan pria
lain dan mencoba melupakan, tetapi mimpi itu terus mengusiknya. Dia bercerita, saat di tanah
seberang tiap malam gadis itu terus menghiasi mimpinya. Ternyata mimpinya itu sebagai sinyal,
tanda bahwa gadis itu sedang melangsungkan akad pernikahan. Kadangkala mimpinya memang
seperti berita yang tak tertulis atau wangsit misalnya: setiap malam dia mimpi didatangi kyai yang
dulu mengajarnya ngaji. Eh ternyata memang sang kyai itu lagi gerah, sakit. Ya kadang begitulah
mimpi memang sebagai pertanda (bukankah mimpi bagian dari pertanda kenabian) tapi juga
memang bunga tidur semata.

Temannya juga menceritakan semasa kuliah gadis itu masih terus membayangi meski jarang.

“ya.. dia hadir dengan khasnya: senyum, memakai jilbab putih dengan seragam SMAnya”. Aku
tak mengerti dengan mimpi itu semua; apa mempunyai makna atau sekedar mimpi. Semasa kuliah
temannya sebetulnya sudah berusaha menjalin kasih tapi belum cocok, tak ada geteran dari gadis-
gadis yang dia taksir. Ada satu, katanya, gadis yang selama kuliah juga terus bersemayam dalam hati
meski ada rasa tak percaya untuk mencintai. Katanya: “terlalu sempurna buatku.”

“setiap melihat gadis cantik aku selalu ingin mencintainya syekh”. Kata teman itu. Tapi tak ada
bahasa rasa yang bisa menjalinnya.
“itu bukan cinta tapi sebuah keterpesonaan saja, dan wajar. Manusia mana yang tak tertarik
dan ingin mencintai jika ada manusia yang elok. Tapi cinta itu bahasa rasa, kata Rumi dia ruh Tuhan
yang ditiupkan disetiap ciptaan-Nya dan dia akan menyatu dengan cinta lain yang sederajat, cocok,
klop”. Kata Gentho.

“apakah Is cinta pertamaku syekh?”. Tanya temannya itu.

“ya jika memang dia yang pertama kamu cintai dan kamu lebih senang membuat urut-urutan
tentang siapa cintamu” jawab Gentho.

“akankah aku akan menemukan cinta pertama selain Is?”.

“ tidak!.”

“kenapa?.”

“lha tadi kamu bilang Is cinta pertamamu, jadi yang lain ya cinta kedua, ketiga dan seterusnya.
Bukankah kamu sendiri yang membahasakan ada cinta pertama, bukankah kamu tadi yang membuat
urut-urutan, bilangan dalam masalah cinta?” tanya Gentho.

“lalu?”.

“mungkin yang kamu maksud: apakah kamu akan menemukan cinta sejati”. Gentho

“ya”.

“nah kalau begitu kamu akan menemuinya, pasalnya sampai sekarang kamu belum
menemukan pasangan yang kamu lebur dalam bahtera rumah tangga dan menemani kamu sampai
izroil menyapamu dengan lembut”. “sebetulnya kamu tidak dapat mencintai dengan sejatinya cinta
kecuali dengan Sang Maha Sejati. Karena yang ada di dunia bukanlah sejati, adanya Cuma semu,
maya. Tapi orang lebih suka mecintai yang maya ini karena dikiranya dialah yang sejati. Tapi itu hal
wajar, Gusti Allah pun tetap tersenyum karena merasa ciptaan-Nya berusaha untuk menirunya: Sang
Maha Cinta. Allah akan tersenyum melihat manusia yang berusaha menemukan Dia lewat mencintai,
mengasihi sesama ciptaan-Nya.

“carilah cinta sejati itu lewat mencintai sesama ciptaan-Nya. Jangan kamu sakiti perasaan
orang-orang yang kamu cintai karena akan jadi hijab, penghalang yang menutup dirimu untuk
menggapai-Nya”.

***********

“terus bagaimana cerita selanjutnya syekh, apakah teman syekh kini menemukan cinta
sejatinya dan gadis itu apa masih membayangi tidur teman syekh?”. Tanya Toying

“ yo embuh..takono dewe sama temanku itu”.

“halaaaah..gak seru”. Kata Toying

“kamu sendiri, apa sudah punya pacar?”.tanya Gentho.


“wah, gek sopo seng gelem sama aku syekh?, aku pun tak mau pacaran. Takut jadi yuyu
kangkang. Bukankah aku ini lebih mirip yuyu kangkang? Kalau ada gadis yang mau langsung ku ajak
nikah. Biar gak ada cerita: angge-angge orong-orong, ra melu gawe tapi melu ngemong. Tetapi yo
gawe yo ngemong, itu baru Toying..hahaha”.

Mereka terkekeh menertawakan dirinya masing-masing yang sama-sama masih hidup sendiri.
Tapi mereka menikmatinya. Mereka selalu mengatakan: kesendirian itu kudus, bukankah Gusti Allah
juga sendirian dan itu menunjukkan bahwa Dia maha Kuasa.

“ya itu kalau Tuhan, tapi kalau kamu berkata demikian sebetulnya Cuma untuk mengelak saja:
mergo ra payu-payu..hahaha”.

Anda mungkin juga menyukai