Anda di halaman 1dari 5

Memaknai

Ibadah
ditulis oleh Muhammad Aziz
13/01/2007
Pendahuluan

“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah kepada-
Ku.”(QS. Al-Dzariyat 56)

Kata “ibadah” sudah menjadi sebuah kata yang tidak asing lagi didengar oleh telinga kita.
Bahkan kita sering kali mengaku diri kita sebagai hamba Tuhan yang syarat dengan
ibadah pengabdian kepada-Nya. Pengakuan (klaim) ini pun tidak terasa sering membuat
diri kita “terbang” tanpa ingatan untuk berpijak kembali kepada bumi makna yang asli
dari kata ibadah tersebut.

Kita pun akhirnya tidak kritis untuk menggali lebih dalam lagi hati kita serta melihat
apakah akar keimanan yang mendorong ibadah kita tersebut telah tumbuh menjadi akar
tunggang yang kuat serta mencabang ke seluruh bagian hati kita ataukah hanya akar-akar
serabut yang hanya menyebar ke sebagian kecil hati kita. Kita mungkin termasuk diri
yang telah disindir oleh Allah dalam kitab-Nya, "Ketahuilah bahwa Allah menyekat
antara seseorang dengan hatinya sendiri ..." (QS. Al Anfal 24), dimana tanpa kita sadari
hati kita seakan telah terbagi menjadi beberapa ruangan dimana tiap ruangan tersebut
telah terpenuhi dengan penghuninya sendiri dan keimanan kita mejadi salah satu penghuni
juga dalam ruangan tersendiri yang terpisah dengan ruangan lain. Tiap ruanganpun
terpisah dengan sekat rapat serta tidak adanya asimilasi dan hubungan mutualisme antar
ruang. Betapa sekulernya hati kita, keimanan kita pun dengan egois menutup pintunya
tanpa memberikan kesempatan untuk bersilaturahmi ataupun “ngobrol” dengan penghuni
ruangan lain untuk memberikan wejangan-wejangannya yang mungkin dibutuhkan oleh
penghuni lain. Inilah gambaran mudah ketika keimanan kita hanya menempati sebagian
hati kita dan tidak meresap ke semua bagian hati kita.

Kamus bahasa arab dengan ringannya telah memberikan arti singkat dari ibadah yaitu
“ketaatan” (berasal dari fi’il madzi ‘abada). Kamus Al-Shihah memberikan penjelasan
yang lebih panjang lagi yaitu “asal-usul ‘ubudiyah ialah ketundukan dan kehinaan”.
Sedang Muhammad ‘Abduh dalam bukunya, Al Manar, menyebutkan bahwa ibadah dari
segi syara’ berarti ketaatan dengan puncak ketundukan. Ibnu Taimiyah menambahkan
definisi ibadah dengan makna kecintaan dalam ketaatan. Dari beberapa definisi, baik
definisi literal ataupun maknawi serta eksperimental, kita dapat menyimpulkan bahwa
ibadah memikul makna ketaatan dengan ketundukan serta syarat kecintaan. Ibadah
bukanlah sebuah pemaksaan ataupun kewajiban yang memberatkan seseorang tetapi lebih
kepada perwujudan kesadaran dan kecintaan diri terhadap dirinya sendiri dan kepada
Tuhan. Ibadah : Kebutuhan diri yang fitrah

Pengiringan kata ibadah, seringkali, dengan kata “kewajiban” ternyata sedikit banyak
telah menyita daya kritis kita untuk mendekonstruksi makna serta hubungan antar
keduanya. Di satu sisi, kewajiban mengartikan sebuah perintah atau aturan yang diberikan
oleh pihak lain atas diri pelaku. Tetapi ibadah, dengan melihat definisinya di atas, lebih
menekankan kepada “kerelaan” seseorang untuk melakukan sesuatu yang dipersembahkan
kepada Tuhan. Ibadah yang dihubungkan dengan makna literal kewajiban dapat pula
membimbing kepada bentuk formalitas ibadah tanpa pemaknaan yang dalam. Dengan
tetap memegang kepada makna literal seperti ini, kita akan mendapatkan sedikit banyak
kontradiksi antar keduanya. Ibadah yang dihubungkan dengan keterangan kewajiban
sudah sewajarnya mendapat perhatian kita untuk dikaji dan dianalisis untuk mendapatkan
makna serta hubungan yang sebenarnya.

Allah, sebagai tujuan akhir dari ibadah kita, telah menyebutkan dalam Al Quran tujuan
dari ibadah itu sendiri yang artinya: “Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al
Baqarah 21). Ayat ini memanfaatkan kata “la’allakum” sebagai kata penghubung antar
perintah ibadah serta ketaqwaan. Kata la’allakum disini, menandakan sebuah hubungan
“sebab akibat” serta “aktivitas dan tujuan” antara dua hal yang disebutkan secara
berurutan. Jadi jelas di sini bahwa tujuan dari ibadah adalah ketaqwaan.

Makna ketaqwaan sendiri, sebagaimana kita dengar, sering hanya berhenti kepada definisi
“ketakutan seorang hamba atas Tuhannya”. Ternyata definisi ini terlalu kerdil untuk
mampu menggapai makna sebenarnya dari taqwa yang lebih mulia serta tinggi
kedudukannya. Di sini hanya akan kita bahas secara singkat makna ketaqwaan tersebut
dimana dapat kita perhatikan dari beberapa ayat Al Quran yang menggunakan kata taqwa
ataupun ketaqwaan bahwa kesemuanya menunjukkan sebuah derajat kecintaan serta
keikhlasan yang luhur dari seorang hamba untuk berbuat serta menjaga nilai-nilai luhur
fitrahnya. Sekali lagi, ketaqwaan yang diartikan secara sempit kepada ketakutan dapat
mengalihkan makna sebenarnya karena menunjukkan sebuah perbuatan yang dilandasi
atas ketakutan yang lebih mengarah kepada keterpaksaan.

Derajat taqwa menjadi sebuah derajat tertinggi dalam konteks ibadah manusia kepada
khaliqnya. Taqwa lebih mengarah kepada definisi tercapainya derajat pencapain serta
penjagaan fitrah manusia sebagaimana Tuhan telah menciptakannya. Allah sendiri,
sebagaiamana digambarkan dalam hadits, sangat menyukai seorang hamba yang bertaubat
(kembali ke jalan fitrah dirinya) melebihi kegembiraan seorang hamba yang mendapatkan
kembali untanya setelah hilangnya unta tersebut.

Kembali ke fitrah menjadi kata kunci dalam ibadah karena di situlah makna taqwa
tercakup di dalamnya. Ibadah tidak dipandang lagi hanya sebagai sebuah kewajiban atas
perintah Allah ataupun ditujukan untuk memuji dan meninggikan Allah, tetapi lebih dari
itu adalah sebuah kebutuhan internal tiap diri yang akhirnya menggerakkan diri untuk
mewujudkannya secara praktis (nyata) melalui niat sebelumnya yang penuh ikhlas dan
kecintaan. Kebutuhan internal inilah yang mendorong munculnya kewajiban internal diri
untuk berbuat sesuai yang diniatkan.

Pengertian ibadah yang menekankan atas prinsip “kebutuhan diri” pada akhirnya mampu
melahirkan pengalaman religius yang sangat individual yang mampu dirasakan oleh diri
hamba karena merasa kehadiran dan resonansi fitrah dalam dirinya sendiri. Sifat impressif
inilah yang menjadikan Allah ridla terhadap hamba-Nya serta menunjukkan ke jalan yang
diridlai-Nya.

Ibadah : Amanat

Tidak dapat dielakkan kembali bahwa ibadah menjadi kebutuhan primer yang harus
dipenuhi. Apabila point of view dari ibadah ini sedikit digeser yaitu ke arah eksistensi
manusia di dunia ini, kita pun dapat menyematkan makna amanat atas pengertian ibadah
itu sendiri. Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di dunia (QS. Al Baqarah 30)
yang membawa pesan-pesan spiritual dari Allah serta ditugaskan untuk merealisasikan
pesan-pesan spiritual tersebut secara praktis di bumi. Ibadah, dalam frame eksistensi
manusia, dapat diartikan pula sebagai pemenuhan atas amanat Allah yaitu perwujudan
nilai-nilai kemanusiaan (fitrah).

Pelaksanaan ibadah mejadi syarat layaknya eksistensi manusia di dunia ini. Dengan kata
lain, ibadah menjadi sebuah identitas yang membedakan manusia dengan yang lainnya
yaitu dilihat dari sifat ibadah tersebut. Manusia, dengan bekal akal dan kebebasan,
mempunyai identitas ibadah yang berbeda dengan mahluk lain dimana ia dituntut untuk
mampu memahami, mengolah, mengalisis serta mengaplikasikan nilai-nilai dalam
hidupnya.

Ibadah menjadi sebuah tingkatan kreativitas tertinggi dalam hidup manusia karena di
situlah seluruh tingkatan pemahamannya dimanfaatkan secara maksimal serta di situlah
kondisi sadar dituntut untuk hadir untuk membuka tabir-tabir yang menutupi cahaya
keimanan.

Ibadah juga merupakan sebuah perwujudan syukur (terima kasih) manusia baik kepada
Tuhannya ataupun kepada hamba lain yaitu semangat untuk berbuat yang terbaik dari
dirinya sendiri untuk dapat dimanfaatkan secara komunal dan total. Ibadah tidak
mengenal egoisme yang pada akhirnya menyempitkan jendela hati untuk menerima
kebenaran dan juga mampu membunuh makna dalam dari ibadah tersebut. Allah
berfirman, “Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk
dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya
dan Pemurah.” (QS. Al Naml 40), yang memberikan kesadaran kepada kita bahwa
manfaat syukur (atau yang lebih luas lagi yaitu ibadah) adalah bermanfaat bagi kita
sendiri dan tidaklah kepada Allah. Tanpa ibadah kitapun, kedudukan Allah tetap tinggi
dan ibadah kita pun tidak mampu meninggikan derajat Allah tersebut. Derajat Allah
adalah terbebas dari ibadah dan pujian-pujian kita kepada-Nya.

Ekstrimisme dan Kelalaian dalam Ibadah

Ibadah merupakan sebuah garapan individual yang aplikasinya dapat secara individual
maupun komunal. Di sini faktor-faktor asing pun, baik internal maupun eksternal, dapat
menyelusup masuk tanpa diketahui oleh si individu tersebut. Hal-hal inilah yang kadang
dapat membawa kita untuk lalai atau bahkan berlebihan dalam ibadah kita sendiri.

Ekstrimisme kadang lebih sering disebabkan oleh pemahaman yang tidak dalam dan luas
tentang makna ibadah tersebut. Sikap ekstrimis (berlebihan) pun sering tidak bisa terlepas
dari faktor di luar agama yang akhirnya dibawa ke dalam pembicaraan (frame) agama.
Hal ini dapat menyebabkan kaburnya nilai-nilai agama sendiri serta menjadikan pancaran
nilai agama yang tidak murni kembali. Sikap ekstrimis pada akhirnya menutup kemurnian
niat dan semangat dari hamba dalam beribadah sehingga melahirkan ibadah-ibadah tanpa
buah manfaat yang positif dan juga dapat mengikis daratan keimanan menjadi luntur serta
hanyut meninggalkan diri hamba tersebut.

Sebagaimana ekstrimisme, kelalaian juga mampu membawa manusia ke dalam


permasalahan yang sama yaitu redupnya pancaran nilai agama yang tidak mampu untuk
menembus dinding hati kita sehingga mampu membawa diri menjadi diri yang asing
dengan nilai-nilai fitrahnya sendiri.

Identifikasi sikap ekstrimisme dan lalai ini perlu dilakukan secara dini ataupun preventif.
Islam sangat menekankan akan pelaksanaan ibadah secara bersama (berjama’ah) yang
salah satu manfaatnya adalah agar kita dapat mengidentifikasi serta berbuat secara
preventif atas sikap berlebihan dan lalai dalam ibadah ini. Kebersamaan dengan suasana
hubungan yang erat dan hangat mampu menepis ego kita untuk mementingkan diri kita
sendiri sehingga sifat ekstrimis, yang lebih disebabkan atas faktor eksternal, dapat
dicegah. Jama’ah juga mampu memberikan peringatan kepada diri untuk selalu menjaga
ketinggian derajat ibadah kita dan juga memberikan dorongan agar semangat kita tidak
mudah pudar. Sekali lagi, jama’ah pun mampu mencegah lahirnya bayi kelalaian karena
diri kita yang selalu tersemangati dan terdorong untuk berbuat yang terbaik.

Penutup

Sebagaimana diterangkan di atas bahwa ibadah menjadi sebuah tuntutan internal yang
akhirnya mewujudkan dirinya sebagai kewajiban asasi yang muncul secara internal pula.
Pemaknaan literal ibadah sebagai kewajiban eksternal akan dapat mengaburkan makna
ibadah itu sendiri serta melahirkan keimanan yang premature yaitu keimanan formalitas
tanpa mengakar dalam hati. Ibadah merupakan dua set penting yaitu niat (yang menuntut
atas pemahaman) serta aplikasinya secara nyata. Ibadah menjadi sebuah perwujudan
amanat serta menjadi identitas eksistensi manusia di permukaan bumi ini.

Sikap ekstrimisme dan lalai, meski kecil dan tanpa disadari, seringkali menemani
perjalanan peribadatan kita. Hal ini menuntut kita untuk selalu sadar, terbuka serta
berpengetahuan yang dalam dan luas. Amal jama’i hendaknya dipupuk untuk dapat
menghadirkan ibadah kita yang sesuai dengan makna asli dari ibadah itu sendiri sebagai
kebutuhan internal tiap diri.
“Dia (Allah) mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah S.W.T.”(QS. Al Maidah
54).

“Bahwa sembahlah Allah S.W.T. dan jauhilah Thaghut.”(Surah al-Nahl: 36)

='http://www.pmij.org/components/com_akocomment/images/quotethis.gif' hspace='2'
style='vertical-align:middle;' alt='' />Quote artikel ini 10 Views: 10807 10 Print 10 E-mail

Only registered users can write comments.


Please login or register.

Anda mungkin juga menyukai