PENDAHULUAN
Cerebrovascular disease atau stroke merupakan keadaan emergensi sehingga akhir – akhir ini
muncul istilah brain attack. Istilah ini harus dikampanyekan dan dimasyarakatkan dengan harapan
timbul kesadaran dalam masyarakat bahwa begitu mengalami atau menghadapi serangan stroke, harus
dengan segera meminta pertolongan kepada yang berkompeten. Sehubungan dengan itu, tentu saja
dituntut kesiapan rumah sakit, terutama sumber daya manusianya (dokter) dalam penanggulangan
emergensi stroke. Pemanfaatan golden period 6 – 8 jam hendaknya semaksimal mungkin dan harus
tepat serta akurat sehingga kerusakan otak lebih lanjut (secondary insult) dapat dicegah.1
Stroke, berdasarkan WHO 1995, didefinisikan sebagai gangguan fungsional otak, yang terjadi
secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung > 24 jam,
atau dapat menimbulkan kematian, yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak. Stroke itu
sendiri terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Stroke iskemik, atau stroke non-hemorragik (SNH)
2. Stroke hemorragik (SH)
- Perdarahan intraserebral (PIS)
- Perdarahan subaraknoid (PSA)
Penelitian stroke bahwa di Asia Tenggara (ASEAN) stroke perdarahan 26%, terdiri dari lobus
10%, ganglionik 9%, serebellar 1%, brainstem 2%, dan perdarahan subarakhnoid 4%. Stroke hemoragik
diperhitungkan kira-kira 15% dari semua jenis stroke tetapi tidak sesuai dengan morbiditasnya. Banyak
pasien dengan intraserebral hematom keadaannya memburuk secara progresif karena terbentuknya
edema sekunder.2,3
Mengenai patofisiologi stroke sendiri juga dijelaskan berbeda pada stroke non-hemorragik dan
stroke hemorragik.
Stroke non-hemorragik. Penelitian tentang patofisiologi stroke dimulai dengan meneliti
perubahan aliran darah otak di tingkat makrosirkulasi, mikrosirkulasi otak, dan aspek perubahan seluler
maupun subseluler akibat iskemi otak. Selain itu perlu dibedakan juga etiologi iskemi otak fokal dan
global.2
Iskemi global aliran darah otak secara keseluruhan menurun akibat menurunnya cerebral
perfusion pressure(CPP) misalnya karena syok irreversibel karena henti jantung, perdarahan sistemik
yang masif, dan fibrilasi atrial berat. Sedangkan iskemik fokal terjadi akibat menurunnya CPP regional.
Keadaan ini disebabkan oleh sumbatan atau pecahnya salah satu pembuluh darah otak di daerah
sumbatan atau tertutupnya aliran darah otak baik sebagian atau seluruh lumen pembuluh darah otak,
penyebabnya antara lain:2
Perubahan patologik pada dinding arteri pembuluh darah otak menyebabkan trombosis yang
diawali oleh proses arteriosklerosis di tempat tersebut. Selain itu proses pada arteriole karena
vaskulitis atau lipohialinosis dapat menyebabkan stroke iskemik karena infark lakunar
Perubahan akibat proses hemodinamik di mana CPP sangat menurun karena sumbatan di bagian
proksimal pembuluh arteri seperti sumbatan arteri karotis atau vertebro-basilar
Perubahan akibat perubahan sifat darah, misalnya: sickle-cell, leukemia akut, polisitemia,
hemoglobinopati dan makroglobulinemia
Tersumbatnya pembuluh darah akibat emboli daerah proksimal, misalnya: “artery-to artery
thrombosis”, dan emboli jantung
Sebagai akibat dari tertutupnya aliran darah ke sebagian otak tertentu, maka terjadi serangkaian
proses patologik pada daerah iskemi. Perubahan ini dimulai di tingkat seluler, berupa perubahan fungsi
dan struktur sel yang diikuti dengan kerusakan fungsi utama serta integritas fisik dari susunan sel,
selanjutnya akan berakhir dengan kematian neuron. 2
Selain itu terjadi pula perubahan-perubahan dalam milliu ekstra seluler, karena peningkatan pH
jaringan serta kadar gas darah, keluarnya zat neurotransmitter (glutamat) serta metabolisme sel-sel
yang iskemik, disertai kerusakan blood brain barrier. Seluruh proses ini merupakan perubahan pada
stroke iskemik.2
Perubahan Fisiologik pada aliran darah otak. Pada fase stroke akut, perubahan terjadi
pada aliran darah otak. Pada daerah yang terkena iskemi, cerebral blood flow menurun (CBF antara 12-
23 ml/100 gram/menit) secara signifikan. Pada level CBF tersebut EEG melambat dan di bawah level ini
terjadi isoelektrik, K+ level meningkat, ATP dan kreatinin fosfat menurun tetapi keabnormalan biokimia
ini bisa reversibel jika sirkulasi kembali ke normal. CBF 6-8 ml/100 gram/menit adalah marker dari ATP
deplesi, peningkatan K+ ekstraseluler, peningkatan Ca2+ intraseluler.2,3
Secara mikroskopik daerah yang iskemik (penumbra) yang pucat ini akan dikelilingi oleh daerah
yang hiperemis di bagian luar yang disebut sebagai “luxury perfusion” karena melebihi kebutuhan
metabolik sebagai akibat mekanisme sistim kolateral yang mencoba mengatasi keadaan iskemia. 2
Usaha pemulihan daerah penumbra dilakukan dengan reperfusi harus tepat waktunya supaya
aliran darah kembali ke daerah iskemia tidak terlambat, sehingga neuron penumbra tidak mengalami
nekrosis. Komponen waktu ini disebut sebagai “therapeutic window” yaitu jendela waktu reversibilitas
sel-sel neuron penumbra terjadi dengan melakukan tindakan resusitasi sehingga neuron ini dapat
diselamatkan.2
Perubahan lain yang terjadi adalah kegagalan autoregulasi di daerah iskemia, sehingga respon
arteriole terhadap perubahan tekanan darah dan oksigen/karbondioksida menghilang. Selain itu, terjadi
mekanisme patologis pada aliran darah otak seperti berkurangnya aliran darah seluruh hemisfer di sisi
yang sama dan juga di sisi hemisfer yang berlawanan dalam tingkat yang lebih ringan. 2
Perubahan aliran darah otak yang bersifat global akibat stroke ini disebut diaschisis, yang
merupakan reaksi global terhadap aliran darah otak, di mana seluruh aliran darah otak menurun.
Kerusakan hemisfer lebih besar pada sisi yang tersumbat (ipsilateral dari sumbatan). 2
Proses diaschisis berlangsung beberapa waktu (hari sampai minggu) tergantung luasnya infark.
Mekanisme proses ini diduga karena perubahan global dan pengaturan neurotransmiter. Perubahan-
perubahan tampak pada pemeriksaan PET Scan, tetapi tidak ada manifestasi klinis akibat dari diaschisis
maupun iskemia pada daerah hemisfer kontralateral. 2
Perubahan pada tingkat seluler. Pengaruh iskemia terhadap integritas dan struktur otak
pada daerah penumbra terletak antara batas kegagalan elektrik otak (electrical failure) dengan batas
bawah kegagalan ionik (ion-pump failure). Aliran darah otak di bawah 17 cc/100 gram otak/menit
menyebabkan aktivitas otak listrik berhenti walaupun kegiatan “ion pump” berlangsung. Neuron
penumbra masih hidup jika aliran darah otak di bawah 20 cc/100 gram otak /menit dan kematian
neuron akan terjadi apabila aliran darah otak di bawah 10 cc/100 gram otak/menit.
Daerah penumbra pada “misery perfusion” ini jika aliran darahnya dicukupi kembali sebelum
“therapeutic window” dapat kembali normal dalam waktu singkat. Sedangkan sebagian lesi tetap akan
mengalami kematian setelah beberapa jam atau hari setelah iskemik otak temporer.
Di daerah “iskemik core” kematian sudah terjadi sehingga mengalami nekrosis akibat kegagalan
energi yang secara hebat merusak dinding sel beserta isinya sehingga mengalami lisis (sitolisis), selain itu
pada daerah penumbra jika terjadi iskemia berkepanjangan sel tidak dapat lagi mempertahankan
integritasnya sehingga akan terjadi kematian sel
Di samping neuron-neuron yang sensitif terhadap iskemia, kematian sel dapat langsung terjadi
pada iskemia berat dengan hilangnya energi secara total dari sel karena berhentinya aliran darah. 2
Edema serebral dan infark otak. Pada infark serebri yang cukup luas, edema serebri
timbul akibat “energy failure” dari sel-sel otak dengan akibat perpindahan elektrolit (Na +, K +) dan
perubahan permeabilitas membran serta gradasi osmotik. Akibatnya terjadi pembengkakan sel disebut
“cytotoxic edema”. Keadaan ini terjadi pada iskemia berat dan akut seperti hipoksia dan henti jantung.
Selain itu edema serebri dapat juga timbul akibat kerusakan sawar otak yang mengakibatkan
permeabilitas kapiler rusak dan cairan serta protein bertambah mudah memasuki ruangan ekstraselular
sehingga menyebabkan edema vasogenik.
Efek edema jelas menyebabkan peninggian tekanan intrakranial dan akan memperburuk iskemia
otak. Selanjutnya terjadi efek masa yang berbahaya dengan akibat herniasi otak. 2
Stroke hemorragik. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola mengalami perubahan
patologik pada dinding pembuluh darah berupa lipohialinosis dan timbulnya mikroaneurisma tipe
charcot-bouchard. Kenaikan tekanan darah dalam jumlah yang signifikan dapat menginduksi pecahnya
pembuluh darah.3
Perdarahan intraserebral non-traumatik spontan biasanya disebabkan karena arteriosklerosis
atau angiopati amiloid, yang merupakan 78-88% dari hemoragik primer, sementara perdarahan
intraserebral sekunder biasanya berhubungan dengan malformasi arteriovenosus, aneurisma, angioma
cavernosus, neoplasma, dan kesalahan penggunaan obat. Ganglionik hemoragik mungkin berasal dari
hipertensi, sementara lobar hemoragik lebih sering disebabkan oleh angiopati amiloid atau vaskular
malformasi. Kejadian perdarahan intraserebral dapat juga disebabkan karena adanya gangguan vena
yang biasanya terdapat di substansia alba di zona perbatasan antara sistem vena dalam dan sistem vena
superfisial yang memiliki sedikit pembuluh darah kolateral. Perdarahan vena intraserebral berhubungan
dengan kerusakan vena hemodinamik, seperti dalam kasus trombosis vena serebri, kompresi pada vena
cava superior atau gagal jantung kanan. 4
Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan 6 jam
dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik. Jika
perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat merasuk dan menyela di
antara selaput akson subsatansia alba tanpa merusaknya. Pada keadaan ini absorpsi darah akan diikuti
oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi. Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa
otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falx
serebri atau lewat foramen magnum.2
Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan
batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak
terjadi pada 1/3 kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus, dan pons. Selain kerusakan
parenkim otak, volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial dan menurunkan tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak. Takebayashi dan
rekannya pada studi mikroskopik elektron menemukan bahwa perusakan lamina elastik di beberapa
tempat hampir selalu terjadi di bifurkasio dari pembuluh darah kecil, dapat juga disebabkan karena
ruptur sekunder dari hematoma yang meluas. Tetapi perubahan tipe ini dapat juga dijumpai pada
pembuluh darah normal.2,3
BAB II
TATALAKSANA KEGAWATDARURATAN UMUM
Ada beberapa hal yang perlu diberikan perhatian dan dipahami pada penanganan emergensi
dan saat kritis pasien stroke akut, meliputi : 1
1. Penanganan edema serebri (peninggian tekanan intrakranial)
2. Penanganan hipertensi
3. Penanganan hiperglikemia dan hipoglikemia
4. Penanganan kejang
5. Penangan problema respiratorik
6. Kesepakatan indikasi intervensi bedah
Tetapi sebelum penanganan, perlu dipastikan apakah pasien yang datang benar mengalami
stroke, atau mengalami kondisi lain yang menyerupai stroke, seperti unrecognized seizure, confusional
states, sinkop, gangguan metabolik/toksik, termasuk hipoglikemia, tumor otak, dan hematoma subdural.
Jika sudah pasti pasien mengalami stroke, perlu dibedakan juga SNH dan SH karena berbeda dalam
tatalaksana khususnya. Sebuah studi menemukan bahwa kemungkinan PIS meningkat dua kalinya pada
pasien nondiabetik dengan adanya minimal satu dari beberapa keadaan berikut : 5
1. koma saat datang
2. muntah
3. nyeri kepala hebat
4. riwayat terapi warfarin
5. tekanan darah sistolik > 220 mmHg
6. glukosa darah > 170 mg/dL
Tidak adanya gambaran seperti di atas menurunkan kemungkinan perdarahan kurang lebih
sepertiganya. Bagaimanapun juga, akurasi diagnosis berdasarkan penemuan klinis masih kurang
memuaskan. Karena temuan klinis sering saling tumpang tindih, pencitraan otak penting untuk
membedakan SNH dari SH atau lesi struktural otak lainnya yang mirip dengan stroke. 5
Gambaran klinis spesifik dari riwayat perjalanan penyakit saat ini terutama onset penting
diperhatikan untuk tujuan terapi. Onset adalah waktu di mana pasien terakhir diketahui dalam keadaan
tanpa gejala. Tetapi pada stroke iskemik, sering pasien tidak merasa nyeri sehingga pasien tidak
menyadari munculnya stroke awal. Selain itu, informasi medis lain seperti riwayat penyakit dahulu yang
berhubungan ataupun tidak berhubungan dengan neurologi, termasuk trauma, perdarahan, operasi,
infark miokard, atau stroke sebelumnya, juga riwayat penggunaan obat – obatan tertentu seperti
antikoagulan oral dan antiplatelet penting ditelurusi. 5
Perhatian khusus perlu ditekankan pada tanda – tanda vital pasien karena dapat memberi
penjelasan mengenai penyebab dan prognosis stroke. Ritme jantung yang irregular mengarah kepada
fibrilasi atrium. Peningkatan tekanan darah berat mungkin lebih mengarah kepada ensefalopati
hipertensi atau atau meningkatkan kecurigaan PIS. Demam dapat menunjukkan infeksi sebagai
penyebab stroke atau dapat sekunder dari komplikasi akut penyakit neurologis. Bila dari pemeriksaan
ditemukan tanda – tanda perdarahan pada pasien SNH, kontraindikasi diberikan agen trombolitik. 5
Beratnya stroke menentukan prognosis. NIHSS score memberikan informasi prognosis yang
penting. Kurang lebih 60 – 70% pasien dengan SNH akut dan NIHSS score < 10 memiliki prognosis lebih
baik setelah 1 tahun dibandungkan dengan 4 – 16% pasien dengan score > 20. 5
Pemeriksaan kardiovaskular klinis dan EKG 12-lead sebaiknya dilakukan untuk semua pasien
dengan stroke. Abnormalitas jantung sering didapatkan pada pasien – pasien dengan stroke dan pasien
dapat memiliki kondisi jantung akut yang membutuhkan tatalaksana urgensi. Misalnya, pasien dengan
infark miokard akut dapat menyebabkan stroke, dan stroke akut dapat menyebabkan iskemik jantung.
Selain itu, aritmia jantung dapat muncul pada pasien = pasien dengan SNH akut. Fibrilasi atrium adalah
penyebab stroke yang potensial.5
Beberapa pemeriksaan darah sebaiknya dilakukan rutin untuk mengidentifikasi kondisi sistemik
yang dapat menyerupai atau menyebabkan stroke. Pemeriksaan tersebut termasuk glukosa darah,
elektrolit, darah lengkap, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial teraktivasi, dan fungsi ginjal
dan hepar. Hipoglikemia dapat memberikan gejala dan tanda menyerupai stroke, dan hiperglikemia
berhubungan dengan prognosis buruk. Screening toksikologi, level alkohol darah, dan tes kehamilan
perlu dilakukan jika ragu – ragu mengenai anamnesis pasien dan atau ada pemeriksaan fisik yang
mendukung dilakukannya screening.5
Radiografi toraks dahulu direkomendasikan untuk semua pasien SNH akut. Tetapi hanya 3,8%
pasien yang memberikan hasil bermakna pada radiografi toraks sehingga pemeriksaan ini tidak banyak
memberikan manfaat bila tidak ada indikasi kuat untuk dilakukan.
Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) diindikasikan bila pasien memiliki gejala mengarah
kepada PSA dan dari CT scan tidak memberikan gambaran adanya darah.
Elektroensefalografi (EEG) mungkin membantu untuk evaluasi pasien yang dicurigai mengalami
kejang sebagai penyebab deficit neurologis atau pada pasien dengan kejang sebagai komplikasi stroke. 5
Tatalaksana umum
1. Mengatur posisi kepala lebih tinggi 20 – 30 ° untuk memperbaiki venous return. Posisi pasien harus
menghindari penekanan vena jugularis.
2. Hiperventilasi
Penurunan pCO2 5 – 10 mmHg dapat menurunkan TIK sebanyak 25 – 30 %. Sebaiknya
hiperventilasi diikuti dengan intervensi lain untuk mengontrol edema otak dan TIK. 5
3. Mengatasi kejang
Kejang paling sering muncul dalam 24 jam stroke dan biasanya parsial dengan atau tanpa
menjadi umum sekunder. Frekuensi kejang pada SNH berkisar antara 4 – 43% pada beberapa penelitian
dengan kejang berulang muncul pada 20 – 80 % pasien. 5 Pada pasien dengan PIS, insidensi kejang dalam
2 minggu pertama sebanyak 2,7 – 17 %. 7 Sedangkan pada pasien dengan PSA, kejang nonkonvulsif dapat
muncul. Pada sebuah studi pada pasien – pasien dengan PSA yang dimonitor dengan EEG, ditemukan
19% pasien yang stupor atau koma mengalami kejang nonkonvulsif rata – rata 18 hari pasca PSA. Terapi
resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak direkomendasikan
secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin timbul kejang, contohnya pada
hematoma yang luas, aneurisma arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Tetapi untuk
menghindari resiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, pemberian antikonvulsan dapat
dilakukan profilaksis.6
Bila kejang, berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgBB IV dengan kecepatan maksimal 50 mg/menit.
Dosis maintainance 300 – 400 mg PO/hari. 6 Pada pasien dengan kejang yang tidak juga teratasi dengan
terapi obat, sebaiknya dirawat di ICU. 1 Pemberian obat antikejang profilaksis pada SNH dan PIS tidak
dianjurkan tetapi dianjurkan pemberian secara cepat pada pasien PSA.
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang tidak kejang
dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-faktor resiko
seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media. 6
Talalaksana khusus
Mengurangi efek massa. Mengurangi massa pada stroke perdarahan samapi saat ini masih
kontroversi karena tindakan evakuasi hematoma ternyata tidak memperbaiki hasil akhir. Pada infark
yang besar sering terjadi efek massa dan peninggian tekanan intrakranial yang menyebabkan terjadinya
infark baru dan herniasi dengan akibat brain death. Pada keadaan ini apabila jelas terlihat adanya
ancaman herniasi, tindakan pembedahan dapat menurunkan mortalitas. 1
Mengurangi volume cairan serebrospinal (CSS). Cara ini biasanya dilakukan apabila didapatkan
hidrosefalus yang berperan dalam peninggian TIK. Ada 3 cara yang dapat dilakukan, yaitu memasang
kateter intraventrikel oleh spesialis bedah saraf, lumbal pungsi, atau kateter lumbal. Pemilihan metode
tergantung penyebab hidrosefalus atau ada tidaknya massa intrakranial. Drainase ventrikular dianjurkan
pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik serebelar. 1
Pengaliran CSS dengan kateter lumbal dapat dikerjakan bila diyakini pada pemeriksaan imaging
tidak didapatkan massa intrakranial atau hidrosefalus obstruktif. Biasanya dipakai kateter silastik 16 G
pada intradural dareah lumbal. Dengan kateter ini di samping dapat mengeluarkan CSS, dapat juga
dipakai untuk mengukur tekanan intrakranial. 1
Mengurangi volume darah intravaskular. Cara lain untuk mengurangi tekanan intrakranial
adalah dengan memanipulasi volume darah intravaskular atau cerebral blood volume (CBV). Metode
yang paling sering digunakan adalah hiperventilasi. Hiperventilasi akan menyebabkan hipokapnea dan
alkalosis respiratori akut. Hipokapnea dan alkalosis di sekitar pembuluh darah ini akan menyebabkan
vasokonstriksi dan mengurangi CBV sehingga menurunkan TIK. Efek hiperventilasi terjadi sangat cepat
dalam beberapa menit. Tindakan ini merupakan tindakan yang paling efektif dalam menangani krisis
hipertensi intrakranial namun akan menyebabkan iskemik serebral. Saat ini dianjurkan mengusahakan
dalam kondisi normokapnea. Apabila akan melakukan tindakan hiperventilasi dianjurkan memakai
monitor EEG untuk menantauan CBF, apabila didapatkan adanya gelombang lambat amplitude tinggi,
tindakan hiperventilasi harus segera dihentikan. Intubasi bisa dilakukan untuk menjaga normoventilasi
(pCO2 35 – 40 mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif. 1
Salah satu mekanisme fisiologis lain yang dapat mempengaruhi CBV adalam penghantaran
oksigen serebral. Hemodilusi dan anemia mempunyai efek menguntungkan terhadap CBF dan
penghantaran oksigenasi serebral. Hematokrit sekitar 30% (viskositas darah rendah) lebih berefek
terhadap diameter vaskuler dibanding terhadap kapasitas oksigen (CaO), sehingga terjadi vasokonstriksi
dan akan mengurangi CBV dan TIK. Namun bila Ht < 30% berakibat menurunnya kapasitas oksigen yang
mengakibatkan vasodilatasi sehingga TIK meningkat. Oleh karena itu strategi yang sangat penting dalam
menjaga TIK adalah mencegah Ht jangan sampai < 30%. 1
Manitol atau cairan osmotik lain juga mempunya efek vasokonstriksi. Manitol menurunkan
viskositas darah dengan cepat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah piamater dan a. basiler.
Pemakaian barbiturat atau obat anestesi menekan metabolisme otak dan menurunkan Cerebral
Metabolism Rate of Oxygen (CMRO2). Penurunan CMRO2 menurunkan CBF dan akhirnya mengurangi
CBV dan TIK. Pemberian barbiturat sendiri telah terbukti menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
serebral.1
Belakangan ini mulai dikenal penggunaan hipotermia untuk menurunkan edema serebri
terutama pada infark yang besar. Hipotermia menyebabkan penurunan CMRO2 sehingga menurunkan
TIK. Pada penelitian didapatkan dengan hipotermia ringan dengan suhu 33 – 35°C didapatkan angka
mortalitas lebih rendah dibandingkan dengan terapi konvensional walaupun hasilnya belum
memuaskan, sehingga masih perlu penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar. 1
Mengurangi edema dan volume cairan interstisial. Manitol sudah dikenal secara luas untuk
menurunkan TIK. Manitol mengurangi cairan otak dengan cepat dan akan diekskresikan melewati ginjal
dnegan cepat pula. yang perlu diperhatikan efek diuresis dari manitl yng berakibatkan dehidrasi.
Kekurangan cairan intravaskular menyebabkan penurunan tekanan darah dan akan terjadi vasodilatasi
sebagai mekanisme autoregulasi dan akibat lanjutnya adalah kenaikan CBV dan TIK. Manitol
sebagaimana halnya cairan osmotic aktif lainnya akan menyebabkan terbukanya blood brain barrier
(BBB), dengan demikian manitol akan masuk ke dalam jaringan otak. Efek ini tentunya berakibat buruk
dan terjaid setelah pemberian manitol beberapa kali. Manitol akan berakumulasi di jaringan otak, akan
menyebabkan peningkatan osmolaritas otak dan akhirnya terjadi peningkatan TIK eksaserbasi.
Akumulasi manitol di jaringan otak ini akan terlihat bila diberikan dalam jangka lama dan dengan infus
kontinu.1,6
Selain manitol dapat juga dipakai cairan salin hipertonis. NaCl tidak dapat secara bebas melewati
sawar darah otak. Hipernatremia intravaskular menyebabkan perpindahan cairan dari ruang interstisial
ke ruang intravaskular. Efek ini terjadi di seluruh tubuh. Dengan demikian, pemakaian salin hipertonis di
samping menurunkan TIK juga meningkatkan volume darah yang beredar sehingga meningkatan
tekanan darah. Pada studi yang dilakukan Vialet dkk, 2003, ternyata salin hipertonis lebih baik
mengatasi hipertensi intrakranial dibandingkan manitol. Tetapi belum ada studi yang membandingkan
antara manitol dengan salin hipertonik dalam penatalaksanaan peninggian TIK. 1
Dosis manitol 0,25 – 0,5 mg/kgBB IV selama 20 menit dapat menurunkan TIK dan dapat
diberikan setiap 6 jam, dengan dosis maksimum 2 g/kgBB/hari. Furosemid 40 mg bolus IV dapat
digunakan pada pasien dengan kondisi yang memburk dengan cepat, tetapi tidak dapat digunakan untuk
terapi jangka panjang. Terapi dengan manitol atau furosemid ini belum terbukti dengan penelitian dapat
memperbaiki prognosis pasca stroke.5
Bagan 1. Manajemen Peningkatan TIK www.ahajournals.org
Pada PIS dengan tekanan darah sangat tinggi (tekanan darah sistolik > 220 mmHg, tekanan
diastolik > 120 mmHg) harus diturunkan sedini mungkin untuk membatasi pembentukan edema
vasogenik akibat robeknya sawar darah otak pada aderah iskemik sekitar perdarahan. Penurunan
tekanan darah akan menurunkan resiko perdarahan ulang atau perdarahan terus menerus, tetapi
daerah otak sekitar hematom bertambah iskemik karena autoregulasi pada daerah ini telah hilang. Atas
dasar ini, obat anti hipertensi diberikan kalau tekanan sistolik > 180 mmHg atau tekanan diastolik > 110
mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) > 145 mmHg. Tekanan darah tidak boleh diturunkan lebih dari
20 – 25% MAP. Bila terdapat fasilitas pemantauan TIK, CPP harus dipertahankan > 70 mmHg. 1
- Pada penderita dengan riwayat hipertensi, penurunan tekanan darah harus dipertahankan di
bawah MAP 130 mmHg
- MAP > 100 mmHg harus dicegah segera pada waktu pasca-operasi dekompresi
- Bila tekanan darah arterial sistolik turun < 90 mmHg harus diberikan obat vasopressor
Bagan 3. Manajemen Hipertensi pada SH Akut menurut PERDOSSI
Tabel 4. Obat Parenteral untuk Terapi Emergensi Hipertensi pada Stroke Akut 1
Tabel 5. Manajemen Hipertensi pada PIS Spontan menurut Guideline Perdarahan Intraserebral
www.ahajournals.org
Manajemen hipertensi pada PSA akan dibahas khusus pada bab selanjutnya.
-
Hipoglikemia bila glukosa darah < 60mg/dL
-
Hentikan insulin drip
-
Berikan dextrose 50% dalam air (D50W) intravena
-bila penderita sadar: 25 ml (1/2 amp)
-bila tak sadar: 50ml(1 amp)
- Periksa ulang glukosa darah tiap 20 menit dan beri ulang 25 ml dari D50W intravena bila <
60mg/dL. Mulai lagi dengan insulin drip bila glukosa 2 kali > 70mg/dL (periksa 2 kali) dan dimulai dengan
algoritma lebih rendah (moving down).
-
Pada pasien hipoksia diberikan suplai oksigen, pada umumnya pada pasien stroke baru datang
berikan 3 l/menit O2 sambil menunggu hasil analisa gas darah, atau bisa juga dengan pulse
oxymetry. Terkadang, pada pasien stroke terjadi napas Cheyne-Stokes dengan penurunan
saturasi oksigen yang dapat diperbaiki dengan suplai oksigen tambahan. 1
-
Intubasi dengan ETT (endotracheal tube) atau LMA (laryngeal mask airway) diperlukan pada
pasien dengan hipoksia (pO2 < 60mmHg atau pCO2 > 50 mmHg), atau syok, atau pada pasien
yang berisiko untuk terjadi aspirasi. Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2
minggu. Kalau lebih dari 2 minggu maka dianjurkan dilakukan trakeostomi. 1 ETT mungkin dapat
membantu pada pasien dengan TIK meningkat sangat tinggi atau mengalami edema otak berat,
meskipun tidak ada penelitian klinis mengenai hal ini. 5
-
Terapi oksigen hiperbarik mungkin dapat berguna untuk beberapa pasien, tetapi data yang
mendukung hal ini masih kurang.5
BAB III
TATALAKSANA KHUSUS STROKE ISKEMIK
TROMBOLISIS INTRAVENA5
Penggunaan rtPA (recombinan tissue Plasminogen Activator) saat ini adalah satu – satunya
terapi trombolisis yang telah disetujui oleh FDA untuk pasien SNH akut. Penggunaan rtPA berhubungan
dengan hasil klinis yang lebih baik pada pemberian dalam 3 jam onset SNH. Pemberian dini dalam 90
menit, memberikan hasil lebih baik. Tetapi bila pemberian rtPA dilakukan pada 90 – 180 menit pasca
onset SNH juga masih bermanfaat. Tetapi perlu diingat, pemberian rtPA berhubungan dengan PIS
simtomatik. Cara untuk mencegah hal ini adalah dengan menyeleksi pasien dengan ketat untuk
pemberian rtPA. Penggunaan obat antikoagulan dan antiplatelet sebaiknya ditunda selama 24 jam
setelah pemberian rtPA.
Rekomendasi penggunaan rtPA adalah 0,9 mg/kgBB, dengan dosis maksimal 90 mg dan
diberikan dalam waktu 3 jam pasca onset SNH. Tetapi pasien dengan score NIHSS > 22 memberikan
prognosis buruk meskipun diterapi dengan rtPA.
TROMBOLISIS INTRAARTERIAL5
Pemberian minimal satu trombolisis intraarterial memberikan manfaat pada SNH karena oklusi
arteri serebri media. Tetapi perbedaan manfaat pemberian intravena dan intraarterial belum diketahui.
Sebuah studi memberikan hasil mengenai manfaat pemberian intraarterial recombinant prourokinase
(r-proUK) dikombinasikan dengan heparin sukses mencapai rekanalisasi tetapi meningkatkan resiko PIS.
Rekomendasinya adalah pemberian trombolisis intraarterial adalah terapi pilihan pada SNH dengan
dirasu < 6 jam yang berhubungan dengan oklusi pembuluh darah besar arteri serebri media. Tetapi
terapi ini belum disetujui oleh FDA.
ANTIKOAGULAN5
Pemberian antikoagulan urgensi dengan tujuan meningkatkan perbaikan neurologis atau
mencegah stroke berulang tidak direkomendasikan untuk pasien dengan SNH. Pemberian pada pasien
SNH berat juga tidka direkomendasikan karena resiko tinggi PIS. Pasien yang diberi terapi rtPA tidak
boleh diberi antikoagulan dalam 24 jam pasca rtPA. Bila hendak diberikan antikoagulan sebaiknya sudah
dilakukan pencitraan otak yang sudah mengeksklusikan kemungkinan PIS primer. Level antikoagulan
juga harus dimonitor ketat.
AGEN ANTIPLATELET5
Penurunan signifikan mortalitas dan stroke berulang telah tercatat dengan penggunaan aspirin
sebagai terapi dalam 28 hari post onset SNH. Resiko PIS juga meningkat tetapi tidak signifikan.
Komplikasi yang ditemukan signifikan adalah perdarahan sistemik.
Aspirin sebaiknya diberikan dalam 24 – 48 jam post onset stroke. Pemberian aspirin sebagai
terapi tambahan agen trombolitik dalam 24 jam tidak direkomendasikan.
TATALAKSANA BEDAH12
Salah satu metode yang digunakan adalah MERCI (Mechanical Embolus Removal in Cerebral
Ischemia) Trial. Sistem MERCI ini meliputi kawat nikel titanium yang fleksibel(nitinol) yang menghasilkan
bentuk heliks saat ia melewati ujung kateter pengontrolnya. Dalam prakteknya catheter / kawat
tersebut berjalan menuju trombus, saat kateter dikeluarkan dan konfigurasi helix diasumsikan sesuai
kawat fleksibel tersebut. Kemudian gumpalan tersebut terperangkap di dalam helix dan ditarik keluar
dari pembuluh darah. Ijin 510 (k) menunjukkan bahwa MERCI retriever dirasakan secara pokok sama
dengan alat-alat yang sudah teruji kualitasnya. Pada kasus ini alat yang sudah teruji tersebut ialah
Retriever Consentric yang juga mendapat ijin 510(k) dari FDA pada Mei 2001 untuk penggunaan pada
“pada penarikan kembali benda asing di perifer, koroner, dan pembuluh darah otak”.
Maksud dari percobaan MERCI ini adalah untuk memperluas indikasi Retriever Consentric yang meliputi
pembersihan trombus dari pembuluh darah serebral pada pasien stroke. Percobaan ini menggunakan
metode non randomize prospektif yang menyertakan pasien dengan stroke iskemik yang dapat diterapi
dalam 8 jam setelah munculnya gejala; hipotesis primer percobaan tersebut adalah Retriever dapat
mengakses dan merevaskularisasi pembuluh darah yang tersumbat (serta meminimalkasn kejadian yang
merugikan). Efek samping yang berhubungan dengan alat tersebut seperti perforasi pembuluh darah,
terpotongnya pembuluh darah, emboli dari gumpalan di bagian lain dari pembuluh darah.
BAB IV
TATALAKSANA KHUSUS STROKE HEMORRAGIK
recombinant activated factor Vii (rF VIIa) merupakan obat hemostasis yang dianjurkan untuk
pasien haemophilia yang resisten terhadap pengobatan faktor VIII dan juga bermanfaat untuk
pasien dengan fungsi koagulasi yang normal
Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya sangat signifikan, tetapi tidak ada
perbedaan bila pemberian dilakukan setelah lebih dari 3 jam
a. Reversal of Anticoagulation7,10
Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan fresh frosen
plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin K. (pada pemberian FFP
sering terjadi overload akan tetapi hasil menunjukan banyaknya komplikasi – masih
akan diteliti untuk mencari dosis yang tepat yang sangat berbahaya pada penderita
dengan gagal jantung dan ginjal)
Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K dependent
coagulation factor II, VII, IX, dan X menormalkan INR lebih cepat dibandingkan FFP dan
dengan jumlah volume lebih rendah sehingga aman untuk jantung dan ginjal.
Dosis tunggal intravena rF VIIa 10µg/kg - 90µg/kg pada pasien PIS yang memakai
warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit. Pemberian obat ini harus
tetap diikuti dengan coagulation-factor replacement dan vitamin K karena efeknya
hanya beberapa jam.
Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated or low moleculer weight heparin diberikan
Protamine Sulfat dan pasien dengan trombositopenia atau adanya gangguan fungsi
platelet dapat diberikan dosis tunggal Desmopressin atau tranfusi platelet atau
keduanya.
Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka pemberian obat
dapat dimulai pada hari ke 7-14 setelah terjadinya perdarahan.
TINDAKAN BEDAH PADA PIS7
Tidak semua pasien dengan PIS dilakukan pembedahan. Menurunt guideline ASA, indikasi untuk
dilakukan pembedahan pada pasien PIS adalah :
Pasien dengan perdarahan serebelar > 3 cm dengan perburukan klinis atau kompresi
batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi ventrikel harus secepatnya di bedah.
PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma, malformasi AV atau angioma cavernosa
dibedah jika mempunyai harapan outcome yang baik dan lesi strukturnya terjangkau.
Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang sampai besar yang memburuk.
Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia muda dengan
perdarahan lobar yang luas (≥50cm3) masih menguntungkan.
Pasien tidak disarankan untuk dilakukan tindakan bedah adalah:
Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm 3) atau defisit neurologis minimal.
Pasien dengan, GCS < 4. Meskipun pasien GCS ≤ 4 dengan perdarahan serebelar disertai
kompresi batang otak masih mungkin untuk life saving.
Rekomendasi untuk terapi bedah atau non bedah pada perdarahan intrakranial. 11
KESIMPULAN
Cerebrovascular disease, atau yang lebih dikenal dengan sebutan stroke merupakan
kegawatdaruratan dalam bidang neurologi dan merupakan salah satu penyebab kecacatan dan
kematian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan kesigapan dari para tenaga
medis untuk menangani kegawatdaruratan ini. Tatalaksana umum, yang mencakup tatalaksana dari
semua jenis stroke mencakup penanganan tingginya tekanan intrakranial, hipertensi, gula darah,
elektrolit, kejang, dan demam. Sedangkan tatalaksana khususnya bergantung pada jenis stroke.
SARAN
Perlunya kesigapan masyarakat dalam mengenali gejala stroke mungkin dapat membantu
mengurangi angka kecacatan dan kematian akibat stroke. Di samping itu pada masyarakat juga perlu
diberikan edukasi mengenai pencegahan stroke.
Bagi tenaga medis, penting untuk menguasai tatalaksana kegawatdaruratan pada stroke. Di
samping itu penting juga untuk mendiagnosis dengan tepat apakah pasien memang mengalami stroke
atau penyakit lain yang menyerupai stroke. Apabila memang pasien mengalami stroke harus dapat juga
dibedakan SNH atau SH.
Penelitian mengenai obat-obatan dan kombinasi terapi pada pasien stroke masih perlu
dikembangkan, misalnya pada pemberian agen trombolitik intra arterial atau teknik MERCI pada SNH.