Anda di halaman 1dari 11

Pertusis

I. PENDAHULUAN
Pertusis atau yang lebih dikenal orang awam sebagai “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan
salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab
tersering dari pertusis adalah kuman gram (-) Bordetella pertussis.
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun..
meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh B.pertussis. Insidensi
terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan hanya negara-negara
berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju, seperti Amerika Serikat, Italia, Jerman. Namun
setelah mulai digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian bisa ditekan hingga 10/10.000 populasi.
Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pertusis diharapkan tidak
diketemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan atau kurang.
Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari gejala klinis,foto roentgen, dan pemeriksaan
penunjang lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga
derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut, seperti ensefalopati, Respiratory
distress syndrome, dan penyakit paru-sistemik lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Batasan :
Pertussis artinya batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang dapat
menyerang setiap orang yang rentan seperti anak-anak yang tidak diimunisasi atau pada orang dewasa dengan
kekebalan menurun. Istilah pertussis (batuk kuat) pertama kali diperkenalkan oleh Sydenham pada tahun 1670.
dimana istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”. Selain itu sebutan untuk pertussis di Cina
adalah “batuk 100 hari”. 1,2,3
Pertussis adalah penyakit yang serius pada anak-anak kecil diseluruh dunia. Pada orang dewasa juga
sering terjadi karier yang asimptomatik atau infeksi yang ringan.
Prevalensi pertussis di seluruh dunia sekarang berkurang karena adanya imunisasi aktif.
Etiologi
Penyebabnya adalah Bordetella pertusis. B. pertussis ini merupakan satu-satunya penyebab pertusis
endemis dan penyebab biasa pertusis sporadis, terutama karena manusia merupaka satu-satunya host untuk
spesies ini. Penyakit serupa- disebut juga a mild pertussis-like illness- juga dapat disebabkan oleh B.
parapertussis(terutama di Denmark, Republik Ceko, Republik Rusia, dan Slovakia) dan B.
bronchiseptica (jarang pada manusia karena merupakan patogen yang lazim pada binatang-kucing dan binatang
pengerat-, kecuali pada manusia dengan gangguan imunitas dan terpapar secara tidak biasa pada binatang).
Kadang-kadang sindroma klinik berupa batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh sehingga susah dibedakan,
juga terdapat pada infeksi adenovirus (tipe 1,2,3, dan 5), Respiratory Syncitial Virus, parainfluenza virus atau
influenza virus, enterovirus dan mycoplasma. 1,3
.
Epidemiologi
Pertussis adalah satu dari penyakit-penyakit yang paling menular, dapat menimbulkan “attack rate” 80-
100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari
500.000 meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 192-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari
penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen
adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun.1,2,3
Pertusis terutama mewabah di negara-negara berkembang dan maju, seperti Italian, daerah-daerah tertentu
di Jerman dimana cakupan vaksin rendah atau Nova Scatia dimana digunakan vaksin yang kurang poten,
dengan angka insidensi rata-rata mencapai 200-500/100.000 populasi dengan angka kematian 350.000 pada
anak dibawah 5 tahun.2 Di Amerika Serikat sendiri dilaporkan insidensi tertinggi 4500 kasus sejak tahun 1967.
namun setelah hal tersebut, pertusis jarang sekali kasusnya karena sudah lebih di galakkan vaksinasi . 3
Pertusis adalah endemik, dengan ditumpangin siklus endemik setiap 3-4 tahun sesudah akumulasi kelompok
rentan yang cukup besar. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. 1,3. Pertusis
sangat menular dengan angka serangan 100% pada individu rentan yang terpajan pada aerosol dengan rentang
yang rapat. Penyebaran terjadi melalui kontak langsung atau melalui droplet yang ditularkan selama batuk.
Dahulu dikatakan bahwa Perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1 .
Namun dengan laporan terbaru (Farizo, 1992) perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi
sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi
pertusis naik secara bersama samapai 27% pada tahun 1992-1993.
Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak
yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan. Sedangkan antibodi dari ibu
secara transplasental pada anak tidaklah konsisten mencegah bayi yang baru lahir terhadap pertussis. Pertussis
pada neonatus yang berat dapat ditemukan dengan gejala-gejala pertussis normal. 3
Patogen :
B. pertussis : kecil, tidak bergerak, cocobacillus gram (-). Terbaik dibiak pada “glycerin-potato-blood
agar media (border-gengou)”. Organisme yang didapat umumnya tipe virulen (disebut fase I). Pasase dalam
kultur dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II, III, dan IV). Strain fase I berperan untuk
penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif. 4

Gambar 1. Bordetella pertussis, the agent of pertussis or whooping cough. Gram stain. (CDC)
Hanya B. pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen utama. B.pertussis juga
menghasilkan beberapa bahan aktif, yang banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit
dan imunitas. Aerosol, hemaglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (FIM2-FIM3), dan protein
permukaannonfimbria 69-kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia
saluran pernapasan. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin
trakea, factor dermonekrotik dan adenilat siklase diterima secara dominant menyebabkan cedera epitel local
yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. 2,3,4
TP mempunyai 2 sub unit, yaitu A dan B. TP (B) akan berikatan dengan reseptor pada sel taret dan
mengaktivasi TP(A) pada membran sel yang merangsang pengeluaran enzim. TP akan merangsang pengeluaran
Adenosin Diphosphate (ADP) sehingga akan mempengaruhi fungsi dari leukosit, limfosit, myocardial sehingga
bermanifestasi peradangan saluran napas dengan hyperplasia kelenjar lymph peribronchial dan meningkatkan
produksi mucus yang akan menutupi permukaan silia. Yang pada akhirnya bias mengarah ke komplikasi
bronchopneumonia, infeksi sekunder bakteri lain (ex: Pneumococcus, Haemophilus influenzae, S.aureus,
S.pyogenes), sianosis karena apnea dan ventilation perfusion mismatch. 2,3
Patologi :
- organisme bermultiplikasi pada epitel yang bersilia dan menghasilkan faktor-faktor virulen (termasuk
toksin)
- Ada bendungan dan infiltrasi mukosa oleh sel-sel limfosit dan leukosit PMN, dan hasil hasil peradangan
dalam lumen bronki. Pada awalnya terjadi hiperplasia limfoid peribronkial. Terjadi bronkopneumonia
dengan nekrosis dan deskuamasi epitel permukaan bronki.
- Obstruksi bronkial dan atelektasis terjadi karena penumpukan sekresi mukus. Dapat pula timbul
bronkiektasi.
- Perubahan patologis juga ditemukan pada otak dan hati. Dapat ditemukan perdarahan serebral dan atrofi
kortikal yang kemungkinannya karena adanya anoksia. Pada hati dapat ditemukan infiltrasi lemak.

Gambar 2. Kolonisasi B. pertussis pada sel epitel trakea


Manifestasi klinik :
- masa inkubasi pertusis rata-rata 7 hari (6-20 hari).
- Penyakit dapat dibagi dalam 3 stadium :
kataral
paroksismal
konvalenses
Penyakit umumnya berlangsung selama 6-8 minggu.
- Manifestasi klinik tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi. Penderita-penderita yang
berumur <> 2 tahun. Jarang timbul panas diatas 38,4C pada semua golongan umur.
- Penyakit disebabkan B. parapertussis dan B. bronkiseptika lebih ringan dan juga lama sakitnya lebih
pendek.
- Stadium kataral : 1-2 minggu
Gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas predominan  rinore, “conjuctival injection”,
lakrimasi, batuk ringan, panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertussis belum
dapat ditetapkan.
- Stadium paroksismal  :  2-4 minggu
Jumlah dan berat batuk bertambah. Khas, ada ulangan 5-10 batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti
oleh usaha inspirasi masif yang mendadak yang menimbulkan “whoop” ( udara dihisap secara kuat
melalui glotis yang sempit).
Mukanya merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher
selama serangan.
Episode batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi “mucous plug” pada saluran
nafas menghilang.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva.
Emesis sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas sehingga anak dicurigai menderita pertussis
walaupun tidak ada “whoop”.
Anak tampak apatis dan berat badan menurun.
Serangan-serangan dapat dirangsang dengan menguap, bersin, makan, minum, aktivitas fisik atau
malahan sugesti. Diantara serangan penderita tampak sakit minimal dan lebih enak.
“Whoop” dapat tidak ditemukan pada beberapa penderita terutama bayi-bayi muda.
- Stadium Konvalesens : 1-2 minggu
Episode paroksimal batuk dan muntah sedikit demi sedikit menurun dalam frekuensi dan beratnya.
Batuk dapat menetap untuk beberapa bulan.
Pemeriksaan fisik umumnya tidak informatif.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva.
Pada beberapa penderita terjadi ronki difus. 4

Gambar 3. Pertusis pada infant

Gambar 4. Anak dengan pertusis


Diagnosis dan Diagnosis banding :
- Pertusis dapat didiagnosis selama stadium paroksismal. Sukar pada bayi-bayi yang sangat muda, adolesens,
dan pada orang dewasa oleh karena mempunyai manifestasi yang atipis.
- Riwayat kontak dengan kasus-kasus pertusis sangatlah menolong, tetapi umumnya riwayat ini negatif pada
populasi yang telah banyak mendapat imunisasi.
- Batuk lebih dari 2 minggu dengan emesis sesudah batuk mempunyai nilai diagnostik yang penting.
- Leukositosis (20.000-50.000/mm³ darah) dengan limfositosis absolut khas, pada bayi-bayi jumlah leukosit
tidak dapat menolong untuk diagnosis, oleh karena respon limfositosis terdapat pula pada banyak
infeksi.
- Foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelaktasis atau empiema.
- Diagnostik spesifik tergantung dari didapatkannya organisme, terbaik diperiksa selama fase awalpenyakit
dengan melakukan apus nasofaring yang dibiak pada media Bordet-Gengou. “Direct flourescent
antibody staining” dari spesimen faring dapat membedakan diagnosis spesifik secara tepat. 1,3,4
- Diagnosis serologis dapat dilakukan dengan penentuan antibodi toksin pertussis dari sepasang serum.
- ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap “filamentous hemoaglutinin
(FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan
seropositif oleh karena menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau
vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk
infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi
natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertussis. 4,5
- Tidak ada test tunggal berlaku saat ini yang sangat sensitif dan sangat spesifik untuk menentukan
infeksi B. pertussis selama semua fase penyakit.
- Kultur paling positif pada fase kataral dan awal paroksimal dan seharusnya dilakukan pada semua kasus
yang tersangka. Test serologis berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya
infeksi pada individu dengan kultur negatif.
Komplikasi :
- Terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.
Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak <
style="">B.Pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia,
S.auris, S.piogenes).
- TBC laten dapat juga di aktifer.
- Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan mukus yang kental. Aspirasi mukus atau
muntah dapat menimbulkan pneumonia.
- Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
- Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema interstitiel/subkutan dan
pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
- Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia. Perdarahansubkonjungtiva,
hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia
inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi.
- Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral (asfiksia), perdarahan
subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan oleh temperatur tinggi. 4
- Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap “syndrome of inappropriate secretion of
antidiuretic hormone (SIADH)”. 3,4

Gambar 5. Perdarahan subkonjunctiva dan “bluish”


Pencegahan :
- Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan jarak 8 minggu.
Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi).
 jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2
minggu dengan jarak 4 minggu.
 Anak-anak berumu > 7 tahun : tidak rutin diimunisasi.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens ; infeksi pada
penderita .besar biasanya ringan tetapi berperansebagai sumber infeksi B.pertussis pada bayi-
bayi non imun.
Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang
dewasa yang terpapar.
 Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti eritema, indurasi, dan
rasa sakit pada tempat suntikan , dan sering terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang,
kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam
dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan
setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.
 Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan :
Penyakit panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang
dll.
Riwayat keluarga adanya kejang, “sudden infant death syndrome (SIDS)” atau reaksi berat
terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. 3,4
Kontra indikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari
sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi,
menangis  3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2
hari, suhu yang tidak dapat diterangkan  40.5 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis. 4
- kontak :
 Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu dengan pertussis.
 Kontak intim yang berumur <>

 
Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7
tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan
eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran
pernafasan, dan mengurangi gejala-gejala penyakit. 1,2,3,4
 Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi sebelumnya,
diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat
diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin
selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi
epidemi. 1,4
Pengobatan :
- eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari dapat mengeliminasi organisme pertussis dari nasofaring
dalam 3-4 hari.
Eritromisin biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala jika diberikan terlambat.
- Suportif : terutama menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan
nutrisi
- Oksigen diberikan pada distres pernapasan akut/kronik.
- Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan.
- Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk paroksismal yang berat walaupun
kegunaannya belum dibuktikan melalui penelitian kontrol.
- Penekan batuk (“suppressants”) tidak menolong.
Prognosis :
- angka kematian telah menurun menjadi <10/1000>
- Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.
- Sekuele pernapasan yang lama sesudah infeksi pertussis tidak pasti. Umumnya bayi-bayi yang berumur <>
III. KESIMPULAN
Pertusis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan bagian atas,
disebabkan terutama oleh Bordetella pertussis. Pertusis ditandai dengan batuk lama dan kadang-kadang
terdengar seperti menggonggong (whooping cough) dan episode diakhir dengan ekspulsi dari secret
trakea,silia lepas dan epitel nekrotik.
Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama yang belum diimunisasi
lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12 tahun dan orang dewasa.
Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu kataral, paroxsismal, dan konvalesen. Masing2
berlangsung selama 2 minggu. Pada bayi, gejala menjadi lebih jelas justru pda stadium konvalesen.
Sedangkan pada orang dewasa mencapai puncaknya pada stadium paroxsismal.
Diagnosa pertusis dengan gejala klinis memuncak pada stadium paroksismal, riwayat kontak dengan
penderita pertusis, kultur apus nasofaring, ELISA, foto thorax.
Terapi yang dapat diberikan antibiotic eritromisin 50mg/kgB/hari dibagi 4 dosis selama 14 hari, dan
suportif.
Prognosis baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat. Kematian biasanya terjadi karena ensefalopati
dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Law, Barbara J. Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in
Children. Philadelphia, USA. WB Saunders, 1998. 6th edition. Chapter 62. h :1018-1023.
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk : Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi
Tropik. Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86.
3. Long, Sarah S. Pertussis. Nelson : Textbook of Pediatrics. USA. WB Saunders, 2004. 17th edition.
Chapter 180. h: 908-912,1079.
4. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby
Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.
5. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.
6. http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html
7. www.cdc.gov/nip/publication/pink/pert.
PERTUSIS
Introduction

Background
Pertussis, commonly known as whooping cough, is a respiratory tract infection characterized by a paroxysmal cough. It
was first identified in the 16th century. In 1906, Bordet isolated the most common causative organism, Bordetella
pertussis. Bordetella parapertussis has also been associated with whooping cough in humans. Before the advent of
vaccinations, pertussis was a major cause of morbidity and mortality among infants and children. Reported cases of
pertussis decreased by more than 99% after the introduction of pertussis vaccine combined
with diphtheria andtetanus toxoids in the 1940s. However, despite considerable advances in the control of infectious
diseases in children through global immunization programs, pertussis remains a disease of public health concern.

Pathophysiology
Humans are the sole reservoir for B pertussis and B parapertussis. B pertussis is a gram-negative pleomorphic bacillus
that spreads via aerosolized droplets from coughing of infected individuals. B pertussis attaches to and damages ciliated
respiratory epithelium.

Frequency
United States

Since the early 1980s, pertussis incidence has cyclically increased, with peaks occurring every 2-5 years.1 Most cases
occur between June and September. Neither acquisition of the disease nor vaccination provides complete or lifelong
immunity. Protection against typical disease wanes 3-5 years after vaccination and is not measurable after 12 years.

From 1980-2005, the reported incidence of pertussis in the United States dramatically increased across all age
groups. Although the largest increase in pertussis cases has been among adolescents and adults, the annual reported
incidence remained highest among infants younger than one year, at 55.2 cases per 100,000 population. 2,3

International

The worldwide incidence is estimated to include 48.5 million cases and nearly 295,000 deaths per year. 4 The case-fatality
rate among infants in low-income countries may be as high as 4%.

Mortality/Morbidity
Infants born prematurely and patients with underlying cardiac, pulmonary, neuromuscular, or neurologic disease are at
high risk for complications of pertussis (eg, pneumonia, seizures, encephalopathy, death). Older children, adolescents,
and adults often have mild or atypical illness. Approximately one half of adolescents with pertussis cough for 10 weeks or
longer. Complications among adolescents and adults include syncope, sleep disturbance, incontinence, rib fractures, and
pneumonia.

Compared with older children and adults, infants younger than 6 months with pertussis are more likely to have severe
disease, to develop complications, and to require hospitalization.  From 2001-2003, 69% of infants younger than 6 months
with pertussis required hospitalization.2

Pneumonia, either from B pertussis infection or from secondary infection with other pathogens, is a relatively common
complication, occurring in approximately 13% of infants with pertussis. 5  

CNS complications such as seizures and encephalopathy are less common and are thought to result from severe
paroxysm-induced cerebral hypoxia and apnea, metabolic disturbances such as hypoglycemia, and small intracranial
hemorrhages.
Reported deaths due to pertussis in young infants have substantially increased over the past 20 years. 6,7,8 From 1990-
1999, the case fatality rate was approximately 1% in infants younger than 2 months and less than 0.5% in infants aged 2-
11 months. Pertussis has been reported as a cause of sudden infant deaths.

Race
Data on race were available for 75% of patients younger than 20 years from 1997-2000. 9 Of these patients, 88% were
white, 8% were black, 2% were Asian/Pacific Islander, and 2% were American Indian/Alaska Native. In comparison, the
national population estimates for persons younger than 20 years in 1998 were 79% white, 16% black, 4% Asian/Pacific
Islander, and 1% American Indian/Alaska Native.

Sex
From 1997-2000, among pertussis cases in patients younger than 20 years, males and females were equally affected. 9

Age
From 2001-2003, of patients with pertussis, 23% were younger than 1 year, 12% were aged 1-4 years, 9% were aged 5-9
years, 33% were aged 10-19 years, and 23% were older than 20 years. 5

Clinical

History
Typically, the incubation period of pertussis ranges from 3-12 days. Pertussis is a 6-week disease divided into catarrhal,
paroxysmal, and convalescent stages, each lasting from 1-2 weeks. The 3 stages of disease progression are as follows:

 Stage 1: The initial (catarrhal) phase is indistinguishable from common upper respiratory infections with nasal
congestion, rhinorrhea, and sneezing, variably accompanied by low-grade fever, tearing, and conjunctival
suffusion. Pertussis is most infectious when patients are in the catarrhal phase, but pertussis may remain
communicable for 3 or more weeks after the onset of cough.
 Stage 2: Patients in the second (paroxysmal) phase present with paroxysms of intense coughing lasting up to
several minutes. In older infants and toddlers, the paroxysms of coughing occasionally are followed by a loud
whoop as inspired air goes through a still partially closed airway. Infants younger than 6 months do not have the
characteristic whoop but may have apneic episodes and are at risk for exhaustion. Posttussive vomiting and
turning red with coughing are common in affected children.
 Stage 3: Patients in the third (convalescent) stage have a chronic cough, which may last for weeks.

Older children, adolescents, and adults may not exhibit distinct stages. Symptoms in these patients include uninterrupted
coughing, feelings of suffocation or strangulation, and headaches.

Physical
In patients with uncomplicated pertussis, physical examination findings contribute little to the diagnosis. In all patients with
pertussis, fever is typically absent. Most patients do not have signs of lower respiratory tract disease. Conjunctival
hemorrhages and facial petechiae are common and result from intense coughing.

Causes
B pertussis and B parapertussis are the causative organisms for pertussis infection in humans. Bacteria spread via
aerosolized droplets from coughing of infected individuals. Humans are the sole reservoir for the organisms.

Transmission can occur through direct face-to-face contact, sharing a confined space, or through contact with oral, nasal,
or respiratory secretions from an infected source. Pertussis is highly contagious, with as many as 80% of susceptible
household contacts becoming infected after exposure. Family members or relatives were the suspected source of
infection in 75% of cases.10
Young infants, especially those born prematurely, and patients with underlying cardiac, pulmonary, neuromuscular, or
neurologic disease are at high risk for contracting the disease and for complications.

Other Problems to Be Considered


Other illnesses that mimic clinical pertussis include the following:

 Adenoviral respiratory infection: Children present with fever, sore throat, and conjunctivitis.)
 Mycoplasmal pneumonia: Patients with mycoplasmal infections have more pronounced systemic symptoms, fever
and headache may occur, and rales may be appreciated on chest auscultation.
 Chlamydial pneumonia: Young infants with chlamydial infections present with staccato cough, purulent
conjunctival discharge, tachypnea, rales, and wheezing.
 Respiratory syncytial virus infection: Patients present with predominantly lower respiratory tract signs (eg,
wheezing, rales).

Workup

Laboratory Studies
Laboratory confirmation of pertussis is difficult and delayed. Therefore, clinicians need to make the diagnosis of pertussis
presumptively in patients with a history of intense paroxysmal coughing with or without whooping, color changes,
posttussive vomiting, incomplete or absent pertussis vaccination, and finding of lymphocytosis on laboratory examination.

 A clinical case of pertussis is defined as one of the following:


o An acute coughing illness that lasts at least 14 days in a person with at least one characteristic pertussis
symptom (ie, paroxysmal cough, posttussive vomiting, or inspiratory whoop)
o A cough that lasts at least 14 days in an outbreak setting
 A confirmed case is defined as one of the following:
o Any cough illness in which B pertussis is isolated and cultured
o A case consistent with the clinical case definition confirmed by polymerase chain reaction (PCR) findings
or epidemiologic linkage to a laboratory-confirmed case
 The criterion standard for diagnosis of pertussis is isolation of B pertussis in culture (see image below).

o Obtain the culture specimen by performing deep nasopharyngeal aspiration or holding a flexible swab
(Dacron or calcium alginate) in the patient's posterior nasopharynx for 15-30 seconds or until a cough is
produced.
o Promptly inoculate the sample special media (preferred media include Regan-Lowe or Bordet-Gengou
agar and modified Stainer-Scholte media). B pertussis usually grows after 3-4 days; however, culture
findings cannot be considered negative for pertussis until after 10 days.
o Recovery rates are highest during the catarrhal or early paroxysmal phase and are low after the fourth
week of illness.
o Culture findings can be negative in patients who were previously immunized, have received antimicrobial
therapy, or have been coughing for more than 3 weeks. A negative culture finding does not exclude the
diagnosis of pertussis.
 PCR assay and antigen detection are increasingly used to assist in diagnosing pertussis. Advantages include
greater sensitivity, more rapidly available results, and use later in the disease course or after antimicrobial therapy
because the tests do not rely on the isolation of viable organisms. 11 Their use is limited by lack of standardization
and incomplete understanding of the correlation between test results and the course of the illness.
 Although serologic tests have potential in helping diagnose pertussis, they are currently available for
investigational use only.
 The use of direct fluorescent assay (DFA) of nasopharyngeal secretions is not recommended by the Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) due to its poor sensitivity and specificity.
 Leukocytosis (15,000-50,000 103/µL) with absolute lymphocytosis occurs during the late catarrhal and paroxysmal
phases. It is a nonspecific finding but correlates with severity of the disease. One study showed that among
infants suspected of having pertussis, an absolute leukocyte count of less than 9400/μ L excluded almost all
infants who had a negative pertussis test finding. 12

Imaging Studies
Imaging studies typically add little to the diagnosis of pertussis but should be obtained when clinically indicated, based on
examination or if the patient requires supplemental oxygen.

Chest radiography may reveal perihilar infiltrates or edema with variable degrees of atelectasis. Consolidation is indicative
of secondary bacterial infection or, rarely, pertussis pneumonia. Occasionally, pneumothorax,pneumomediastinum, or air
in the soft tissues may be seen.

Anda mungkin juga menyukai