Anda di halaman 1dari 2

Eksplorasi Rasa Melalui Olah Tubuh

Oleh : Putri Sarinande / herlinda putri, s.si

Bermula dari menonton pementasan dari Bengkel Mime Theatre di STSI (Sekolah Tinggi
Seni Indonesia) Bandung pada 7 Oktober 2010 silam, saya bertanya-tanya apa dan kenapa
pantomim.
Mengapa saya perlu bertanya demikian? Sederhana saja. Dua dari total tiga karya yang saya
saksikan, saya terkagum-kagum dengan gerakan setiap pemain yang tampak begitu alami.
Berhubung saya telat, maka saya langsung menyaksikan tanpa sempat membaca penjelasan
pementasan mereka.
Dalam “Potret Terakhir”, saya menyaksikan tiga tokoh yang kadang saling berinteraksi dan
kadang tidak. Bahkan mungkin, adakalanya mereka tampak saling mencari satu sama lain.
Setelah membaca penjelasan pementasan mereka, saya menggarisbawahi kalimat “Mereka
datang dari perasaan-perasaan yang menyusun petualangannya sendiri, petualangan yang
membuat perempuan, lelaki dan bocah bajang itu saling bercerita di tengah kesendirian.”
Menurut saya, karya itu menunjukkan realitas keseharian kita. Orang-orang dapat datang
dan pergi dalam hidup kita. Masing-masing, membawa cerita tersendiri. Adakalanya, kita tak dapat
saling berjumpa karena sesuatu hal. Adakalanya kita berjumpa tanpa direncanakan. Apa yang
membawa kita pada perjumpaan, hanya diri sendiri yang mengetahui, sebenarnya. Namun,
tampaknya ritme hidup menenggelamkan rasa ingin tahu manusia untuk menemukan jawaban,
mengapa semua itu terjadi.
Dalam “Aku Malas Pulang Ke Rumah” saya menangkap pesan kecenderungan realitas
sebagian besar di antara kita. Realitas bahwa kita bergerak mengikuti ritme aktivitas komunal. Apa
yang kita lakukan, adalah berdasarkan apa yang sebaiknya kita lakukan. Apa yang sebaiknya kita
lakukan, adalah berdasarkan apa yang umumnya dilakukan lingkungan sekitar kita.
Kembali saya menggarisbawahi teks penjelasan. Ada dua potongan, yaitu “… rumahnya
seperti kedatangan ‘orang asing’ …” dan “… tikus-tikus berlintasan mengkerikiti rumahnya.”
Mungkin kita perlu bertanya, apa yang sebenarnya kita lakukan. Mengapa di akhir
pementasan, para tokoh berubah menjadi tikus, menurut saya merupakan penjelasan bahwa
kecenderungan dengan apa yang saya sebut ‘aktivitas komunal’ menjadikan kita kurang tampak
seperti manusia. Kita menjadi asing satu sama lain, dan bahkan asing dengan diri sendiri. Lalu kita
sibuk mencari jawaban ke luar dan kerap luput mencarinya ke dalam. Luar dan dalam itu sejatinya
ada pada diri sendiri.
Rumah secara harfiah berarti tempat tinggal. Akan tetapi, dalam pertunjukkan ini saya
menerima kata rumah sebagai diri sendiri. Terlepas dari status dan keadaan kita, apakah kita ini
anak atau orangtua, istri atau suami, pekerja atau pelajar, rajin atau malas, apa saja.
Oleh sebab itu, karya “Aku Malas Pulang Ke Rumah” saya anggap sebagai sebuah ajakan
untuk kembali menengok ke dalam diri sendiri. Ajakan itu merupakan bagian dari mengurangi
kecenderungan kita untuk menengok ke luar diri terus-menerus.
Lantas, apa itu pantomim?
Secara sederhana pantomim berasal dari Bahasa Latin, pantomimus, yang berarti meniru
segala sesuatu. Entah itu mimik wajah, atau gerak tubuh. Sebelum suara atau bahasa lisan manusia
berkembang, gerak tubuh berfungsi sebagai cara berkomunikasi.
Namun, apakah sesederhana itu? Saya mengutip teks penjelasan pertunjukkan tari “Selamat
Datang Dari Bawah” karya koreografer Fitri Setyaningsih. Menurut saya, tari dan pantomim
memiliki benang merah dalam hal gerak dan tubuh. Teks itu berbunyi, “Fitri percaya bahwa tari
tidak semata-mata peristiwa tubuh. Tari merupakan peristiwa media yang melibatkan banyak
disiplin”.
Merujuk pemahaman saya sendiri, saya yakin pantomim pastilah melibatkan banyak
disiplin. Disiplin ini berupa dua hal, disiplin dalam olah tubuh melalui gerak dan mimik, dan
disiplin dalam eksplorasi rasa.
Kalau begitu, mengapa pantomim?
Para pemain dalam pertunjukkan pantomim hanya berusaha menyampaikan sesuatu melalui
gerak-gerak bisu ekspresif. Ada begitu banyak gerak di sekitar kita. Baik gerakan alami, atau pun
gerakan yang disengaja. Gerak-gerak di sekitar kita umumnya diiringi bunyi dari yang melakukan
gerak itu sendiri. Pantomim memberi kita kesempatan untuk memaknai setiap gerak, tanpa
pengaruh bunyi dari gerak yang disajikan. Dengan demikian, kita dapat memiliki kesempatan untuk
mendengar apa yang diri kita sendiri rasakan saat menyaksikan setiap gerak.
Berpikir dan merasakan, adalah hal yang menjadikan kita manusia. Pantomim, dengan gerak
bisu ekspresifnya, ikut andil memberikan kita kesempatan menjadi manusia.

Catatan kaki yang ditulis oleh tangan:


Tulisan ini merujuk pada berbagai sumber untuk melengkapi pembacaan penulis, dalam upayanya
mengapresiasi pertunujukkan oleh Bengkel Mime Theatre di STSI Bandung pada 7 Oktober 2010.

Anda mungkin juga menyukai