Inilah Analisis AJMI tentang Pembangunan Rumah Korban Konflik Bener Meriah
Paska majelis hakim PN Banda Aceh menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara
tanpa kurungan kepada Ketua AJMI Hendra Budian. Lembaga ini
mengeluarkan sejumlah analisis seputar kasus pembangunan rumah korban
konflik di Bener Meriah yang menjadi pemicu munculnya aksi demontrasi ke
Kejaksaan Tinggi Aceh beberapa waktu lalu. Akibat aksi itu, sempat terjadi
insiden pemecahan kaca oleh Hendra Budian hingga akhirnya dia tuntut
Kejaksaan Tinggi Aceh dan berakhir dengan hukuman. Seperti apa analisis itu?
Berikut petikannya.
KRONOLOGIS
ANALISIS HUKUM
Indikasi kasus terjadinya pemotongan anggaran (baca; korupsi-red) Hak Atas Rumah
bagi korban konflik di Kabupaten Bener Meriah adalah, setidaknya sebagai perbuatan
melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kecurangan pihak pemborong, serta
adanya pihak pegawai negeri yang turut serta dalam pengadaan yang diurusnya, yang
kesemuanya bertujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, perekonomian negara. Dalam kasus
ini para pihak yang terlibat tentunya dapat dikategorikan telah melakukan tindak
pidana korupsi, setidaknya sebagaimana telah diatur pada peraturan perundangan
berikut ini :
1). Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan keuangan
negara Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 :
Berdasarkan fakta hukum dan analisis hukum diatas, maka kami (AJMI)
berkesimpulan bahwa proses pembangunan perumahan korban konflik di Kabupaten
Bener Meriah, terindikasi kuat terjadi penyelewengan anggaran (korupsi). indikasi
kongkrit modus penyelewengan anggaran, dilakukan melalui pemotongan dan
pengurangan anggaran pembangunan untuk setiap rumah dari harga semula yang
dialokasikan senilai Rp.34.500.000,-/unit rumah-sebagaimana telah ditetapkan oleh
Pemerintah Provinsi melalui Dinas Sosial Provinsi NAD di dalam RAB-akhirnya
menyusut menjadi Rp17.189.000,-/unit rumah dan untuk Ruko gandeng 3
Rp.41.461.000 sehingga, telah mengakibatkan pembangunan perumahan masyarakat
korban konflik menjadi tidak layak huni.
***
Leave A Comment »
Pemilu gadungan
Kisruh DPT yang mengancam lahirnya fata morgana politik tersebut, jelas akan
melahirkan pemilu gadungan. Pemilu gadungan adalah pemilu yang lebih diwarnai oleh
berbagai absurditas karena luruhnya garis damarkasi antara realitas dan virtualitas, fakta
dan fiksi, ontologi dan simulasi, kebenaran dan kepalsuan, kejujuran dan kebohongan.
Batas-batas nilai itu akhirnya menjadi kabur karena diselimuti oleh kungkungan citra dan
tanda sebagai hasil rekayasa. Ketika DPT ini tidak terselesaikan dan tetap dibiarkan
absurd semacam ini, maka sama halnya itu akan membuka ruang sebebas-bebasnya
terhadap menyeruaknya kebohongan, kepalsuan, kedustaan dan sebagainya.
Dampak negativ dari tidak jelasnya DPT tersebut, jelas, terjadinya penggelambungan
suara. Pilpres akan dipenuhi oleh suara-suara palsu dan anonim. Jumlah suara nyaris
berada dalam dunia virtual. Dunia virtual, seperti yang dikatakan oleh Michel Hardt dan
Anthony Negri, adalah dunia yang melampoi ukuran. Dalam dunia yang melampoi
ukuran ini tidak lagi dijumpai batas. Jumlah suara yang sudah masuk dalam ruang
virtualitas akan tidak mengalami pembatasan, jumlah itu akan terus menggelembung dan
berkembang secara fiktif. Bahkan bisa jadi ia akan melampoi realitas jumlah suara yang
ada di lapangan. Pemanipulasian dan pemalsuan jumlah suara yang masuk itu tidak lain
adalah cermin dari fatamorgana politik yang berada dalam pemilu gadungan.
Dalam pemilu gadungan itu tergambar jelas bahwa proses sebuah aktifitas politik tidak
lagi berjalan di atas nilai-nilai moral, tetapi justru menggusur dan menjungkirkannya.
Kepalsuan, kebohongan dan kemunafikan akan menjadi penghias dalam proses pemilu
tersebut. Ketika proses pemilu sudah di warnai oleh beragam kebohongan dan kedustaan,
sudah penuh dengan rekayasa dan kepalsuan, sudah tidak legi mencerminkan fakta dan
realitas, tetapi lebih menampakkan fantasi dan halusinasi, maka jangan berharap hasil
pemilu nanti akan membuahkan hasil yang benar-benar riel. Karena diproses melalui
rekayasa, maka hasil pemilu jelas palsu.Kepalsuan tersebut akhirnya dianggap sebagai
sebuah kebenaran. Seolah hasil pemilu gadungan itu benar-benar hasil yang murni dan
riel, padahal itu semua hanya fata morgana.
Kalau memang Pilpres kali ini diharapkan mampu menjadi pintu untuk merubah dan
langkah politik awal untuk menangani semua problem bangsa, maka masalah DPT yang
diliputi oleh kabut absurditas tersebut harus segera diselesaiakan. Kata Matahma Gandhi,
sebaik apapun tujuannya, tetapi cara yang digunakan salah, maka itu tidak bisa
dibenarkan. Hendak mengatasi problem bangsa melalui pemilu gadungan jelas salah.
Sebab, pemilu gadungan seringkali menghasilkan pemimpin yang juga gadungan. Kalau
pemimpinnya gadungan, kebijakannya pun gadungan.
* Muhammad Muhibbuddin adalah Koordiantor studi filsafat “Linkaran ‘06” Fak.
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan direktur Lembaga Kajian Kutub
Yogyakarta (LKKY)
Leave A Comment »