Anda di halaman 1dari 11

Edisi 3 tahun VII | Rabu, 6 Mei 2009 Jam 12:54:52 HUKUM

Inilah Analisis AJMI tentang Pembangunan Rumah Korban Konflik Bener Meriah

Paska majelis hakim PN Banda Aceh menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara
tanpa kurungan kepada Ketua AJMI Hendra Budian. Lembaga ini
mengeluarkan sejumlah analisis seputar kasus pembangunan rumah korban
konflik di Bener Meriah yang menjadi pemicu munculnya aksi demontrasi ke
Kejaksaan Tinggi Aceh beberapa waktu lalu. Akibat aksi itu, sempat terjadi
insiden pemecahan kaca oleh Hendra Budian hingga akhirnya dia tuntut
Kejaksaan Tinggi Aceh dan berakhir dengan hukuman. Seperti apa analisis itu?
Berikut petikannya.

KRONOLOGIS

1. Bahwa berawal dari laporan masyarakat yang menilai pembangunan


perumahan yang dibangun bagi masyarakat korban konflik di Kabupaten Bener
Meriah dan Aceh Tengah sangat tidak layak huni, tidak adanya pondasi,
dinding rumah yang mulai retak, serta pintu rumah dan jendela yang tidak baik
dan mulai tidak dapat digunakan.
2. Bahwa masyarakat telah melakukan upaya laporan tersebut berulang kali sejak
Juli 2007, Desember 2007, sampai dengan Juli 2008 kepada DPRA, BRA, dan
Kejati NAD serta KPK.
3. Kunjungan kerja lapangan bersama antara DPRA dan BRA tanggal 13
Desember 2007 adalah respon para pihak yang bertanggung jawab, berkaitan
dengan laporan masyarakat terhadap pembangunan perumahan masyarakat
korban konflik kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah yang tidak layak
huni. Hasilnya ditujukan kepada Gubernur Aceh, Kepala Kejaksaan Tinggi
Aceh, dan Kepala Kepolisian Daerah Aceh.
4. Pemerintah Indonesia, sesungguhnya mengalokasikan dana bantuan perumahan
bagi Provinsi Aceh pada tahun 2005 sebesar 113.855 miliar untuk
pembangunan 3253 unit rumah, pada tahun 2006 sebesar 60.375 miliar untuk
pembangunan 1725 unit rumah, dengan system pencairan dana untuk seluruh
kabupaten melalui tiga tahap, yaitu 40 %, 40 %, 20 %. Mekanisme penyaluran
dilakukan oleh Dinas Sosial yang mentansfer ke Pemerintah Kabupaten dan
selanjutnya pemerintah Kabupaten, mentransfer ke rekening masing-masing
individu masyarakat penerima manfaat.
5. Khusus pembangunan perumahan untuk Kabupaten Bener Meriah terdata 4000
un it rumah yang akan dibangun, namun pada tahap I akan dibangun 1096 unit
dengan rincian sebagai berikut, Kecamatan Pintu Rime Gayo sejumlah 200
unit, Kecamatan Permata sejumlah 246 unit, Kecamatan Bukit sejumlah 75
unit, Kecamatan Wih Pesam sejumlah 76 unit, Kecamatan Bandar sejumlah
206 unit, Kecamatan Syiah Utama sejumlah 114 unit, Kecamatan Timang
Gajah sejumlah 179 unit, dengan jumlah 1096 unit.
6. Pada Pembangunan rumah tahap I untuk Kabupaten Bener Meriah, Departemen
Sosial mengalokasikan dana Rp. 37.812 miliar atau 34.500/unit rumah, untuk
pembangunan perumahan sebanyak 1096 unit. Ditambah juga untuk
pendamping pelaksana kegiatan rumah sebesar Rp. 546 juta, sehingga total
dana bantuan dana dari Depsos untuk proyek pembangunan rumah korban
konflik tahap I tahun 2005/2006 di Kabupaten Bener Meriah mencapai Rp.
38,36 miliar.
7. Berdasarkan rancangan pembangunan yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan
Umum Pemerintah Kabupaten Bener Meriah spesifikasi bangunan terdiri dari
pondasi batu gunung, pasangan dinding bataco, diplaster dan di cat, atap seng,
lantai cor, dinding dalam dari partisi dari triplek dengan harga per unit rumah
35.000.000,-
8. Berdasarkan Petunjuk Operasional Kerja (POK) BRA dan alokasi bantuan
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Sosial, disebutkan “dana tersebut
langsung ditujukan ke rekening individu masyarakat penerima manfaat.
9. Berdasarkan pengakuan masyarakat pembangunan perumahan justru dilakukan
dengan system tender oleh perangkat pemerintahan kepada pihak ketiga.
10. Berdasarkan dokumen temuan lapangan dan pengakuan tukang di desa Timang
Gajah tertanggal 26 Mei 2007, perincian pembangunan material dilakukan
dengan harga peraturan unit hanya 17.189.000 untuk rumah, dan 41.461.000
untuk ruko gandeng tiga
11. Masyarakat melakukan aksi untuk menuntut pengusutan dan proses hukum
terhadap pemotongan anggaran yang seharusnya mereka terima, serta menunut
untuk rehabiliasi perumahan mereka yang dinilai tidak layak huni karena tidak
sesuai dengan spesifikasi dan berkualitas buruk.
12. Pada Agustus 2008 Pemerintah Aceh melalui Dinas Sosial, akhirnya
menyalurkan dana kepada masyarakat korban konflik di dua kabupaten
tersebut, sebagai respon terhadap tuntutan masyarakat korban yang melakukan
aksi pada Juli 2007, Desember 2008 sampai dengan aksi Juni 2008 dengan
pembagian untuk Kabupaten Bener Meriah sebesar Rp. 10.000.000,-/unit
rumah, dan Aceh Tengah Rp. 12.000.000,-/unit rumah. Sehingga, total dana
anggaran yang dikeluarkan dengan menggunakan alokasi dana dari APBA
tahun anggaran 2008 sebesar Rp.17.000.000.000,- (Tujuh Belas Miliar).
13. Pihak Jaksa mengatakan, dari hasil temuan investgasi mereka tidak terjadi
korupsi, hanya saja terjadi penambahan unit rumah sebanyak 253 unit dari
alokasi unit rumah yang sebenarnya yakni, sebanyak 1096 unit. Sehingga
alokasi dana anggaran awal peraturan unit rumah saja yang mengalami
ketidaksesuaian sebagaimana yang telah dialokasikan yakni
Rp.35.000.000,-/unit rumah menyusut menjadi 17.189.000,-/unit rumah
14. Berdasarkan Petunjuk Opreasional Kerja (POK) tahun 2005 yang dikeluarkan
BRA pada masa Yusni Sabi, dana yang akan disalurkan untuk pembangunan
rumah korban konflik sebesar Rp.34.500.000 (Tiga Puluh Empat Juta Lima
Ratus Ribu Rupiah). Yang akan disalurkan kepada masyarakat dalam III tahap.
Melalui rekening masing-masing penerima bantuan (Swakelola).

ANALISIS HUKUM

Indikasi kasus terjadinya pemotongan anggaran (baca; korupsi-red) Hak Atas Rumah
bagi korban konflik di Kabupaten Bener Meriah adalah, setidaknya sebagai perbuatan
melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kecurangan pihak pemborong, serta
adanya pihak pegawai negeri yang turut serta dalam pengadaan yang diurusnya, yang
kesemuanya bertujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, perekonomian negara. Dalam kasus
ini para pihak yang terlibat tentunya dapat dikategorikan telah melakukan tindak
pidana korupsi, setidaknya sebagaimana telah diatur pada peraturan perundangan
berikut ini :

1). Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan keuangan
negara Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 :

• Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya


diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
• Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

2). Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat


merugikan keuangan negara. Pasal 3 UU No.31 tahun 1999 jo.UU No. tahun 2001:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
3). Pemborong berbuat curang adalah korupsi. Pasal 7 ayat (1) huruf a UU No.31
tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)
pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang:
4). Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya. Pasal 12 huruf I UU
No. 31 tahun 1999 jo.UU No. 20 tahun 2001:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
KESIMPULAN

Berdasarkan fakta hukum dan analisis hukum diatas, maka kami (AJMI)
berkesimpulan bahwa proses pembangunan perumahan korban konflik di Kabupaten
Bener Meriah, terindikasi kuat terjadi penyelewengan anggaran (korupsi). indikasi
kongkrit modus penyelewengan anggaran, dilakukan melalui pemotongan dan
pengurangan anggaran pembangunan untuk setiap rumah dari harga semula yang
dialokasikan senilai Rp.34.500.000,-/unit rumah-sebagaimana telah ditetapkan oleh
Pemerintah Provinsi melalui Dinas Sosial Provinsi NAD di dalam RAB-akhirnya
menyusut menjadi Rp17.189.000,-/unit rumah dan untuk Ruko gandeng 3
Rp.41.461.000 sehingga, telah mengakibatkan pembangunan perumahan masyarakat
korban konflik menjadi tidak layak huni.

Perubahan kebijakan dalam pembangunan perumahan dengan merubah alokasi


pembangunan perumahan tahap I sebanyak 1096 unit menjadi 1349 unit, merupakan
penyalahgunaan kewenangan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 UU No.31
tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2001. karena berdasarkan dokumen Dinas Pekerjaan
Umum bahwa pembangunan perumahan untuk Kabupaten Bener Meriah adalah
sebanyak 4000 unit, yang akan dibangun pada tahap I (pertama)-nya sebanyak 1096
unit rumah.

Sementara untuk pembangunan tahap ke II berikutnya, akan dibangun sekitar 2904


unit. Ini artinya pembangunan tahap II sudah dialokasikan. Maka tidak ada alasan bagi
Pemerintah, untuk mengubah kebijakan dengan menambahkan jumlah unit rumah pada
tahap I dari 1096 menjadi 1349 unit rumah. Akibat dari kebijakan tersebut, telah
membawa dampak yang sangat signifikan, yaitu perumahan masyarakat menjadi tidak
layak huni dan korban sangat dirugikan, sebagaimana telah disampaikan pada hasil
temuan DPR Aceh saat melakukan kunjungan kerja, di Kabupaten tersebut.

Serta, pembangunan perumahan yang seharusnya dibangun dengan swakelola


masyarakat, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Petunjuk Operasional Kerja
Badan Reintegrasi Aceh (POK BRA), ternyata dalam realisasinya ditenderkan oleh
oknum-oknum pemerintah di Kabupaten tersebut. Maka kami menilai semua tindakan
itu, merupakan bahagian dari penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Pemerintah
setempat pada pada periode 2005-2006.
Terakhir, pengembalian sisa dana pembangunan perumahan kepada para pihak korban
konflik yang melakukan aksi sejak bulan Juli 2007- Juli 2008, dan dialokasikan
melalui anggaran daerah Aceh (APBA) tahun 2008-2009 dengan besaran dana Rp.
17.000.000.000,- atau Rp. 10.000.000,- s/d Rp.12.000.000,-/unit rumah bagi
masyarakat yang rumahnya dibangun tidak layak huni, merupakan bukti kuat bahwa
pemerintah Aceh telah mengakui, terjadinya bentuk penyelewengan anggaran dalam
pembangunan perumahan korban konflik dikabupaten Bener Meriah pada tahun 2005-
2006.***

***

Copyright © 2009 Tabloid Berita Mingguan MODUS ACEH.

ANOMALI PERAN POLITIK KIAI


Posted in Uncategorized on July 18, 2009 by moxeeb

Oleh : Muhammad Muhibbuddin*


Sebuah anomali tak lazim terjadi di kalangan para kiai. Kamis (25/6) sejumlah kiai telah
menghadiri silaturrahmi Kiai Kampung Se-DIY yang bertempat di Pesantren Khususi
Krapyak, Yogyakarta. Para sesepuh-sesepuh agama ini berkumpul bukan untuk bahtsul
matsail atau pengajian, melainkan membuat semacam deklarasi untuk mendukung
pasangan capres-cawapres SBY-Boediono. Mereka juga bertekad agar kemenangan
SBY-Boediono cukup dalam satu putaran (Kompas, 26/6/2009). Ini sebenarnya bukan
yang pertama kali terjadi menjelang pilpres 2009. Sebelumnya Rabo (24/6) acara yang
sama juga digelar di pulau garam Madura, tepatnya di Pondok Pesantren Azzubeir, Desa
Larangan Tokol, Tlanakan, Pamekasan, Jawa Timur. Acara ini dihadiri sekitar 5.000 kiai
kampung yang tersebar di seluruh pelosok pulau Madura (Tempo, 25/6/2009).
Peristiwa itu, dalam etika politik kiai ‘salaf’ baik kiai pesantren maupun kiai kampong,
terutama kiai khos, apalagi kiai khowasul khowas, jelas sesuatu yang tak lazim. Sebab,
biasanya kiai lebih diidentikkan dengan sosok yang menjaga jarak dengan para penguasa.
Alasannya, karena posisi dan fungsi elementer kiai adalah sebagai kekuatan moral dan
sekaligus pendamping masyarakat ketika face to face dengan penguasa. Tetapi melalui
pertemuan itu, para kiai justru secara terang-terangan mendukung penguasa.
Obyek kekuasaan
Anomali peran politik kiai yang mengarah pada aksi dukung mendukung terhadap para
capres-cawapres tersebut jelas bisa merontokkan wibawa kiai sebagai kekuatan moral dan
kultural masyarakat. Dengan mendukung salah satu kandidat secara transparan semacam
itu, menunjukkan bahwa para kiai tersebut sudah menjadi obyek kekuasaan. Peran kiai
sebagai check and balance terhadap kekuasaan tidak lagi bisa diharapkan. Sebab, ia sudah
masuk dalam wilayah pragmatisme politik yang seharusnya menjadi ‘zona terlarang’ bagi
para kiai. Ketika zona ini diterjang, para kiai tersebut sama saja telah menjadikan dirinya
sebagai bagian dari kekuasaan. Jelas, ini merupakan disorientasi perjuangan para kiai.
Kekuasaan, seperti yang disimbolkan oleh Gamal Al-Banna (2006), adalah api yang
panas membara, yang akan membakar setiap yang bersentuhan dengannya secara
langsung. Tidak ada jalan keluar kecuali kita kelilingi api ini dengan lautan air, yang
ombaknya akan mampu memadamkan nyala api kekuasaan, atau membatasinya dalam
daerah yang sempit. Disorientasi perjuangan para kiai tersebut akan membawa dampak
pada mandulnya peran kiai sebagai penyeimbang dan pembatas kekuasaan. Karena
orientasinya pada kekuasaan, mereka justru membakar dirinya, membakar idealismenya,
membakar idiologinya dan membakar moralnya dengan api kekuasaan itu sendiri.
Para kiai seharusnya lebih konsisten mengarahkan perjuangannya ke wilayah sosial
kemasyarakatan, bukan ke arah struktur-kekuasaan. Dalam wilayah sosial ini garapan kiai
sebenarnya jauh lebih luas dan besar. Mereka bisa menjadi motor penggerak masyarakat
untuk membangun kekuatan sipil sebagai medium perlawanan terhadap segala macam
kebobrokan sistem politik dan penyelewengan kekuasaan. Bentuk konkritnya misalnya
mengajak masyarakat untuk mengusung isu good governance dan anti korupsi.
Pengembangan agenda ini, sebagaimana dikatakan oleh As’ad Ali Said (2008) ditujukan
untuk mendorong terwujudnya kantong-kantong anti korupsi yang dimotori kalangan
Kiai dan Nyai selaku pemuka agama dan masyarakat. Mereka diharapkan tumbuh
partisipasinya dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan publik. Utamanya,
memantau kebijakan publik dalam penggunaan kekuasaan dan uang negara. Isu –isu lain
yang sifatnya krusial dan substansial menyangkut kehidupan masyarakat juga sangat
membutuhkan kontrol dan pengawasan para kiai.
Dengan menjadi kekuatan kultural- masyarakat tersebut justru akan menjadikan para kiai
sebagai subyek sentral yang sangat diperhitungkan dalam panggung politik. Ia
mempunyai bargaining power dan bergaining position yang kuat di hadapan para
penguasa. Ini sekaligus indikasi bahwa para kiai adalah orang-orang yang tidak mudah di
dipengaruhi dan dijadikan kacung oleh para politisi. Posisi semacam ini akan menjadikan
kiai sebagai figur yang sangat dihormati dan di segani oleh berbagai pihak, terutama oleh
masyarakat dan para penguasa itu sendiri.
Namun harapan semacam itu kini mulai lenyap seiring dengan adanya anomali peran
politik para kiai yang cenderung pragmatis tersebut. Para kiai, dalam hal ini, seolah
merelakan dirinya dijadikan budak politik oleh para politisi. Apalagi aksi dukung
mendukung itu jelas-jelas hasil settingan dan agenda dari partai politik pendukung SBY.
Secara tidak langsung para kiai itu telah diperalat oleh para poltisi.
Hilangnya perekat masyarakat
Dampak negatif dari anomali peran kiai ini bukan hanya menjatuhkan kehormatan para
kiai, tetapi juga menjadikan masyarakat kehilangan sosok pengayom dan pemersatu
anggota masyarakat. Pemilu sering kali menimbulkan ketegangan dan konflik di
kalangan masyarakat yang berbeda pilihan. Hal ini sering menjadikan retaknya kohesi
sosial yang menyebabkan perpecahan dalam masyarakat.
Di tengah konflik dan perpecahan yang mengancam ini, jelas sangat dibutuhkan sosok
yang bijak, sejuk dan bisa mengayomi seluruh masyarakat. Dan sosok itu, di antaranya
adalah para kiai. Sebagai tokoh kultural-masyarakat yang mempunyai wibawa tinggi dan
kharisma besar, kiai mempunyai peluang yang luas untuk netral dan tidak ikut terjebak ke
dalam faksi-faksi politik. Posisi semacam ini jelas sangat potensial dan efektif untuk
meredam konflik di masyarakat.
Tetapi, ketika para kiai sudah ikut-ikutan aksi dukung mendukung, berarti mereka sama
saja masuk ke dalam polarisasi politik. Kondisi ini akan membawa mereka terlibat dan
terjerat konflik. Bagi para kiai pendukung pasangan SBY-Boediono tersebut, tidak
menutup kemungkinan, akan terseret arus konflik dengan para kiai pendukung pasangan
JK-Wiranto maupun pendukung Mega-Prabowo. Ini jelas sangat tidak menguntungkan
bagi para kiai itu sendiri. Dan umatlah (grass root) yang akan menjadi korban. Ketika
para gajah saling sruduk, maka rumputlah yang rusak terinjak-injak. Inikah yang
diinginkan oleh para kiai di balik aksi dukung-mendukungnya tersebut?
* Muhammad Muhibbuddin adalah Koordiantor studi filsafat “Linkaran ‘06” Fak.
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Lembaga Kajian Kutub
Yogyakarta (LKKY).

Leave A Comment »

HINDARI PEMILU GADUNGAN


Posted in Uncategorized on July 18, 2009 by moxeeb

Oleh: Muhammad Muhibbuddin*


Meskipun Pilpres sudah berada di ambang pintu, namun sejumlah persoalan krusial dan
substansial masih belum terselesaikan. Salah satu masalah yang saat ini masih
menggelayuti proses pelaksanaan Pilpres 2009 adalah persoalan Daftar Pemilih Tetap
(DPT). Pilpres kali ini terancam tidak bisa berjalan secara demokratis, karena kekisruhan
DPT di sejumlah daerah. Ditemukan sejumlah fakta di lapangan tentang adanya sejumlah
warga masyarakat yang belum terdaftar sebagai pemilih, penggadaan kartu suara bahkan
yang lebih naïf, masih ada anggota masyarakat yang belum mengetahui kapan pilpres kali
ini dilakukan. Persoalan ini akhirnya semakin komplek. Bukan saja menyangkut tidak
meratanya pendaftaran pemilih, tetapi juga terkait dengan persoalan yang paling
fundamental, yakni tidak meratanya informasi dan sosialisasi pemilu di tengah
masyarakat. Anehnya, kekisruhan ini nampak sengaja didesign untuk memenangkan
capres-cawapres tertentu. Hal ini karena KPU dinilai tidak netral dan tertutup (Kompas,
6/6/2009).

Fata morgana politik


Munculnya persoalan DPT tersebut, menjadikan Pilpres kali ini ternacam jatuh (das
fallen) ke dalam jurang fata morgana politik. Fata morgana politik menurut Yasraf A.
Pilliang (Transpolitika:2005) adalah kondisi ketika politik terjatuh dan terserrap ke dalam
mekanisme citra dan tanda-tanda, yang di dalamnya citra secara ontologism diterima
sebagai bentuk eksistensi dan model realitas politik, yang meskipun demikian bukanlah
lukisan tentang realitas dan kebenaran politik yang sesunguhnya dan autentik, yang
menciptakan relasi politik sebagai relasi yang semu, palsu dan permukaan. Fata morgana
politik menawarkan masyarakat politik sebuah dunia ilusi (tentang demokrasi,
kepahlawanan, kemanuisaan, kejantanan, feminitas, status, prestise dan sebagainya), yang
sebetulnya bukanlah gambaran dari realitas atau kebenaran yang sesungguhnya.
Politik pada dasarnya adalah dunia yang riel. Di dalamnya terkandung berbagai unsur
ontologis yang kongkrit. Salah satu unsur itu adalah aktor politik. Ini meliputi para
pemilih. Karena para pemilih ini merupakan subyek yang sangat menentukan terjadinya
perubahan dalam dunia politik. Tetapi dengan terjerembabnya politik ke dalam jurang
fata morgana, unsur-unsur ontologi di dalamnya, termasuk aktor politik menjadi kabur
dan hilang. Proes perjalanan politik akhirnya menjadi absurd. Ada banyak asap yang
berjubel, tetapi tidak ada apinya.
DPT merupakan sebuah reprsentasi dari kuantitas pemilih. Banyaknya pemilih inilah
yang nantinya menghasilkan jumlah suara yang menjadi tolok ukur siapa yang menang
dan kalah dalam pertarungan Pilpres. Atas dasar itu, keksiruhan DPT itu akan menjadikan
Pilprs kali menuju ketidakpastian dan ketidakjujuran. Sebagai wujud dari fata morgana
politik, kekisruhan DPT ini akan membawa dampak negativ dalam panggung politik
nasional. Absurditas DPT itu akan melahirkan virtualitas politik. Virtualitas politik inilah
yang menyebabkan realitas poltik tercerabut dan tergantikan oleh artifisialitasnya. Hasil
dari proses politik, dalam kontek Pilpres ini, bukan lagi mencerminkan fakta Pilpres yang
sebenarnya, tetapi wujud rekayasanya. Jumlah suara yang terhitung dalam pilpres bukan
lagi mencerminkan jumlah para pemilih, tetapi lebih merupakan ilusi dan fiksi belaka.

Pemilu gadungan
Kisruh DPT yang mengancam lahirnya fata morgana politik tersebut, jelas akan
melahirkan pemilu gadungan. Pemilu gadungan adalah pemilu yang lebih diwarnai oleh
berbagai absurditas karena luruhnya garis damarkasi antara realitas dan virtualitas, fakta
dan fiksi, ontologi dan simulasi, kebenaran dan kepalsuan, kejujuran dan kebohongan.
Batas-batas nilai itu akhirnya menjadi kabur karena diselimuti oleh kungkungan citra dan
tanda sebagai hasil rekayasa. Ketika DPT ini tidak terselesaikan dan tetap dibiarkan
absurd semacam ini, maka sama halnya itu akan membuka ruang sebebas-bebasnya
terhadap menyeruaknya kebohongan, kepalsuan, kedustaan dan sebagainya.
Dampak negativ dari tidak jelasnya DPT tersebut, jelas, terjadinya penggelambungan
suara. Pilpres akan dipenuhi oleh suara-suara palsu dan anonim. Jumlah suara nyaris
berada dalam dunia virtual. Dunia virtual, seperti yang dikatakan oleh Michel Hardt dan
Anthony Negri, adalah dunia yang melampoi ukuran. Dalam dunia yang melampoi
ukuran ini tidak lagi dijumpai batas. Jumlah suara yang sudah masuk dalam ruang
virtualitas akan tidak mengalami pembatasan, jumlah itu akan terus menggelembung dan
berkembang secara fiktif. Bahkan bisa jadi ia akan melampoi realitas jumlah suara yang
ada di lapangan. Pemanipulasian dan pemalsuan jumlah suara yang masuk itu tidak lain
adalah cermin dari fatamorgana politik yang berada dalam pemilu gadungan.
Dalam pemilu gadungan itu tergambar jelas bahwa proses sebuah aktifitas politik tidak
lagi berjalan di atas nilai-nilai moral, tetapi justru menggusur dan menjungkirkannya.
Kepalsuan, kebohongan dan kemunafikan akan menjadi penghias dalam proses pemilu
tersebut. Ketika proses pemilu sudah di warnai oleh beragam kebohongan dan kedustaan,
sudah penuh dengan rekayasa dan kepalsuan, sudah tidak legi mencerminkan fakta dan
realitas, tetapi lebih menampakkan fantasi dan halusinasi, maka jangan berharap hasil
pemilu nanti akan membuahkan hasil yang benar-benar riel. Karena diproses melalui
rekayasa, maka hasil pemilu jelas palsu.Kepalsuan tersebut akhirnya dianggap sebagai
sebuah kebenaran. Seolah hasil pemilu gadungan itu benar-benar hasil yang murni dan
riel, padahal itu semua hanya fata morgana.
Kalau memang Pilpres kali ini diharapkan mampu menjadi pintu untuk merubah dan
langkah politik awal untuk menangani semua problem bangsa, maka masalah DPT yang
diliputi oleh kabut absurditas tersebut harus segera diselesaiakan. Kata Matahma Gandhi,
sebaik apapun tujuannya, tetapi cara yang digunakan salah, maka itu tidak bisa
dibenarkan. Hendak mengatasi problem bangsa melalui pemilu gadungan jelas salah.
Sebab, pemilu gadungan seringkali menghasilkan pemimpin yang juga gadungan. Kalau
pemimpinnya gadungan, kebijakannya pun gadungan.
* Muhammad Muhibbuddin adalah Koordiantor studi filsafat “Linkaran ‘06” Fak.
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan direktur Lembaga Kajian Kutub
Yogyakarta (LKKY)

Leave A Comment »

NIKMATNYA HIDUP BERGOTONG ROYONG


Posted in Uncategorized on July 18, 2009 by moxeeb

Oleh : Muhammad Muhibbuddin*


Ada yang menarik dan inspiratif dari masyarakat Dusun Legundi, Giri Mulyo Gunung
Kidul, Yogyakarta. Seperti yang diberitakan oleh Kompas Yogya (17/6/2009) bahwa
masyarakat tersebut mampu membangun infrastruktur jalan melalui jimpitan. Salah
seorang warga bahkan menyatakan bahwa melalui hasil jimpitan itu bukan hanya
infrastruktur desa semisal jalan yang bisa dibangun, tetapi juga bisa dipinjamkan untuk
pemenuhan kebutuhan warga satu RT. Jimpitan adalah secendok beras yang
disumbangkan oleh warga masyarakat untuk kegiatan sosial. Jimpitan itu biasanya
ditaruh di dalam cangkir atau wadah kecil lainnya dan diambil petugas ronda pada malam
hari.
Secara material, orang bisa menganggap remeh tradisi jimpitan ini.Apa artinya secendok
beras. Namun fakta membuktikan, secendok beras yang terkumpul tiap malam itu
ternyata mampu membuahkan sesuatu yang besar. Para anggota masyarakat dusun
Legundi awalnya barangkali juga tidak mengira bahwa satu sendok beras yang mereka
sumbangkan itu mampu menjadi media untuk membangun infrastruktur dusun dan
membantu sesamanya. Sesuatu yang kecil, namun benar-benar bermanfaat besar.
Gotong royong
Kita lantas bertanya apa sebenarnya kunci dibalik itu semua? Jawabannya tidak lain
adalah gotong royong. Tradisi jimpitan masyarakat dusun Legundi tersebut bukan
sekedar aktifitas sosial yang biasa-biasa saja, melainkan artikulasi dari budaya gotong
royong. Inti budaya gotong royong adalah semangat saling membantu antar anggota
masyarakat. Ketika seorang anggota masyarakat satu mendapatkan masalah atau
mempunyai gawe besar, secara tulus mereka ramai-ramai membantu. Atau apalagi kalau
itu berkaitan dengan urusan sosial kemasyarakatan yang sifatnya lebih umum. Dengan
semangat gotong royong, semua anggota masyarakat tanpa merasa keki, turut ikut
terlibat. Dengan saling melibatkan diri, secara implisit mereka telah bekerja sama, tolong
menolong dan bantu membantu dalam menyelesiakan problematika sosial.
Inilah nilai atau manfaat besar budaya gotong royong. Manusia selamanya tidak bisa
hidup sendiri. Untuk mempertahankan kehidupannya agar tetap eksis, mau tidak mau ia
harus melobatkan pihak lain. Sebab, sangat tidak mungkin setiap indifidu mampu
menyelesiakan problemnya dengan dirinya sendiri tanpa peran orang lain. Melihat
karakter alamiah manusia yang demikian ini, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa
sesungguhnya organisasi kemasyarakatan (ijtima’ insani) merupakan suatu keharusan.
Dengan organisasi ini, manusia tudak boleh tidak, sangat membutuhkan gotong royong.
Selama gotong royong tidak ada, seseorang akan mendapatkan kesulitan dalam mengatasi
berbagai persoalannya. Sebab, persoalan-persoalan yang ada di itu memerlukan banyak
tangan dan peran untuk menyelesaikannya.
Komunitas masyarakat apapun, baik levelnya itu keluarga maupun negara, pada
prinsipnya terwujud oleh kesadaran untuk bergotong royong. Ini membuktikan bahwa
karakter manusia sebagai mahluk sosial tidak bisa dihindari. Untuk apa manusia
membutuhkan keluarga, membutuhkan komunitas, membutuhkan organisasi sosial dan
bahkan negara, tidak lain adalah untuk menjalin kerja sama dan gotong royong antar
sesama anggotanya demi terwujudnya cita-cita yang diinginkannya. Dalam bahasanya
Aristoteles, manusia memerlukan kebersamaan sosial dan politis dengan semua yang
diimplikasikannya untuk memperoleh keuntungan, kesempatan pendidikan, pertumbuhan
asketik, keilmuan dan moral dan pengetrahguan yang luas. Semangat berkomunitas dan
bersosial semacam ini tidak lain adalah usaha untuk menjalin gotong royong. Karena
orientasinya jelas, bahwa masing-masing indifidu ternyata saling membutuhkan yang lain
untuk diajak bersama-sama mengatasi persoalan.
Dengan tradisi gotong royong itu, masing-masing indifidu bisa saling menjinjing dan
menjunjung atas masalah yang mereka hadapi. Masalah satu tidak disangga oleh satu
orang, tetapi ditopang oleh banyak orang sehingga menjadi ringan. Pembangunan
infrastruktur dusun Legundi di atas sulit akan terwujud manakala hanya dipikul oleh satu
anggota masyarakat saja. Mereka bisa “menaklukkan” problematika dusun berkat
kegotong royongan mereka melalui tradisi jimpitan tersebut. Berkat gotong royong, satu
sendok beras bisa membuat mereka membangun infrastruktur dusun. Kalau di dalamnya
tidak ada semangat gotong royong, belum tentu mereka bisa melakukan itu.
Semakin terkikis
Sayangnya, budaya gotong royong yang begitu besar manfaatnya itu, kini perlahan mulai
dilupakan oleh banyak orang. Adanya pergeseran budaya dan perubahan pola pikir
masyarakat modern yang lebih menjunjung tinggi materialisme, menjadi penyebab
utama. Ketika materi atau kapital sekarang bukan lagi menjadi medium, tetapi sudah
menjadi kiblat dan tujuan, maka seluruh relasi sosial tidak lagi didasarkan pada nilai-nilai
dan semangat persaudaraan melainkan pada keuntungan. Semuanya akhirnya harus
dinilai dan diukur dengan uang. Jasa, tenaga dan pikiran seolah tidak ada artinya kalau
sudah dibandingkan dengan uang. Seolah dengan uang semua urusan selesai.Perubahan
budaya ke arah materialisme ini terbukti telah menggerus semangat sosial dan
mendistorsi nilai-nilai kemanusiaan. Orang menghargai sesuatu pun bukan karena
terdorong oleh nilai-nilai moral-kemanusiaan, melainkan lebih disebabkan karena uang
dan keuntungan.
Budaya gotong royong, yang lebih disemangati oleh nilai-nilai sosial-etis akhirnya
sekarang turut terkubur dari peradaban manusia. Nampaknya sudah jarang sebuah
komunitas masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai kegotong royongan seperti
masyarakat Legundi ini. Budaya jimpitan ini nampaknya hanya hidup di sekitar
masyarakat Yogya dan sekitarnya. Di tempat-tenpat lain nampaknya sudah banyak yang
punah. Kalau hanya sekedar mengalami perubahan bentuk atau model tentu tidak ada
masalah. Namun persoalannya kalau budaya tersebut telah mengalami keterputusan garis
kontinyuitasnya. Hal ini jelas sangat membawa kerugian besar terhadap kehidupan kita
sebagai anggota masyarakat.
Saatnya kita perlu merefleksikan kembali untuk menghidupkan budaya gotong royong
yang sekarang mulai termarginalkan dari sistem kebudayaan kita. Melihat prestasi
jimpitan yang dicapai oleh masyarakat Giri Mulyo, Gunung Kidul di atas, jelas terbayang
dalam pikiran kita bahwa betapa nikmatnya hidup bergotong royong.
*Muhammad Muhibbuddin adalah Koordiantor studi filsafat “Linkaran ‘06” Fak.
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan direktur Lembaga Kajian Kutub
Yogyakarta (LKKY).

Anda mungkin juga menyukai