Anda di halaman 1dari 10

Dinar Dan Dirham VS Fiat Money: Bahaya Mata Uang

Kertas (Fiat Money) (1)

HTI-Press. Rupiah terus anjlkok hingga menembus 12 ribu


rupiah per dollar. Bahkan Bank Indonesia selaku otoritas moneter yang bertanggungjawab
menjaga kestabilan rupiah mengaku kesulitan menjaga nilai tukar rupiah. Intervensi pasar
yang dilakukan lembaga tersebut tidak membantu memperkuat nilainya. Berdasarkan data
BI cadangan devisa BI per 31 Oktober telah merosot US$ 6,528 miliar atau Rp 71 triliun
(dengan kurs 11 ribu) dibandingkan cadangan devisa per akhir September sebesar US$
57,108 miliar.[1] Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/ 28 /PBI/2008 yang membatasi
transaksi pembelian dollar untuk tujuan spekulasi yang dikeluarkan beberapa waktu lalu tak
banyak menolong.

Indonesia tidak sendirian ditimpa fluktuasi nilai tukar akibat pergerakan capital yang liar
pasca meledaknya krisis finasial AS. Seluruh mata uang negara-negara emerging market
seperti krona Islandia, rand Afrika hingga won Korsel mengalami hal serupa. Di sejumlah
negara bahkan penurunannya telah mencapai 80 persen sejak awal tahun. [2]

Fluktuasi nilai rupiah terhadap dollar yang sangat tajam ini tak pelak menjadikan pelaku
ekonomi yang berhubungan dengan ekspor impor menjadi tidak menentu. Bagi perusahaan
termasuk pemerintah yang memiliki utang ke pihak asing dengan kurs mengambang maka
nilai utangnya semakin tinggi. Demikian pula impor bahan baku produksi, barang modal dan
konsumsi semakin tinggi. Sejumlah industri yang masih bergantung pada bahan impor
terseok-seok. Bahkan di sejumlah daerah sejumlah industri sudah tutup.

Ketidakpastian juga dialami oleh eksportir. Meski menanggguk untung di tengah


melemahnya rupiah dimana nilai ekpor mereka naik, namun dalam jangka panjang fluktuasi
nilai tukar rupiah tetap saja tidak sehat bagi perkembangan usaha mereka. Ekspektasi
bisnis sulit dipredisi dengan tepat. Ketika pendapatan mereka naik tajam akibat pelemahan
rupiah maka mereka akan terdorong meningkatkan investasi untuk meningkatkan skala
produksi dengan harapan keuntungan akan semakin berlipat. Namun ketika nilai tukar
rupiah kembali menguat investasi mereka malah menghasilkan kerugian.

Akhir Bretton Woods

Persoalan ekonomi akibat tidak stabilnya nilai tukar yang bergerak fluktuatif telah
berlangsung sejak sistem moneter yang diterapkan di dunia ini adalah fiat currency, dimana
mata uang kertas yang tidak ditopang emas dijadikan sebagai alat tukarnya. Pada era
sebelumnya hingga hancurnya Bretton Woods Agreement, peredaran mata uang masih
dikaitkan dengan emas. Pada perjanjian tersebut ditetapkan bahwa mata uang suatu
negara harus ditopang oleh cadangan dolar, sementara dollar sendiri yang diedarkan oleh
AS juga ditopang oleh emas. Dengan demikian pertumbuhan supply dollar akan ditentukan
seberapa besar cadangan emas AS.

Namun sistem tersebut dibubarkan oleh AS. Pasalnya AS terus mencetak dollar untuk
meningkatkan belanja fiskalnya diantaranya untuk membiayai perang Vietnam. Defisit
anggarannya makin membesar sementara rasio antara supply dollar dan cadangan emasnya
terus merosot. Pada periode tersebut stok emas AS merosot dari 20 milar dollar menjadi
hanya 9 miliar Dollar. AS kemudian mengalami defisit cadangan emas.[3]

Negara-negara lain khususnya negara-negara Eropa Barat dan Jepang sebagaimana yang
ditetapkan dalam perjanjian tersebut diwajibkan menjaga cadangan dollarnya dan
menggunakannya sebagai dasar untuk meningkatkan supply mata uang dan kredit di dalam
negeri. Padahal semakin hari nilai dollar terus merosot (undervalue) sementara nilai mata
uang mereka terus menguat (overvalue). Keadaan ini merugikan mereka sebab nilai ekspor
mereka menjadi lebih mahal sehingga pertumbuhan ekonomi mereka merosot.

Akibat beban tersebut negara-negara Eropa secara massif kemudian menukarkan cadangan
Dollar mereka dengan emas. AS kemudian tidak berdaya mempertahankan paritas nilai
dollar pada emas, sebesar 35 dollar per ons emas. Pada awal 1971, kewajiban dollar telah
mencapai lebih dari 70 miliar dollar sementara cadangan emasnya hanya 12 miliar Dollar.
[4]

Puncaknya pada tanggal 15 Agustus 1971, secara unilateral dan tanpa berkonsultasi dengan
negara-negara aliansi dan IMF, AS menghentikan berlakunya Bretton Woods Agreement
yang telah digagas sejak tahun 1942. Sejak saat itulah emas tidak lagi menjadi backing
mata uang dunia. Era tersebut selanjutkan dikenal dengan era mata uang kertas (fiat
money) dimana dollar sebagai panglimanya.

Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhany, secara politis langkah yang dilakukan oleh AS
untuk menghentikan pengkaitan Dollar dengan emas adalah didorong oleh keinginan AS
untuk memposisikan dollar sebagai standar moneter internasional hingga menguasai pasar
moneter internasional. Oleh karena itu standar emas kemudian dianggap tidak lagi dapat
dipergunakan di dunia. Standar moneter Bretton Woods kemudian hancur dan kurs
pertukaran mata uang terus berfluktuasi. Dari sinilah muncul berbagai kesukaran dalam
mobilitas barang, uang dan orang. [5]

Sejak saat itu mata uang dunia menjadi tidak stabil. Mata uang AS dan seluruh dunia terus
bergolak. Fluktuasi tingkat nilai tukar menjadi sulit untuk diprediksi bahkan kadangkala
bergerak secara ekstrim. Belum lagi inflasi terus membumbung akibat percetakan mata
uang kian tak terkendali. Suatu keadaan yang sangat meresahkan para pelaku ekonomi.
Inilah diantara konsekuensi yang ditimbulkan oleh mata uang fiat.

Masalah Mata Uang Kertas (Fiat Money)

Secara sederhana kemunculan uang kertas mulanya adalah sebagai representasi dari
komoditas khsususnya emas. Hal ini dilakukan akibat sulitnya untuk melakukan transaksi
dengan membawa emas khususnya pada barang-barang yang bernilai tinggi. Orang akan
menerima uang representasi tersebut sebab ada jaminan dari pihak yang mengeluarkan
kertas tersebut dalam hal ini pemerintah bahwa kertas tersebut dapat ditukar emas senilai
dengan yang dinyatakan dalam kertas tersebut. Pemegangnya dapat menukar uang
tersebut kapanpun dan berapapun ia mau. Namun perlahan-lahan negara justru
mengeluarkan kertas jauh lebih banyak dari emas yang mereka miliki. Akibatnya kertas-
kertas tersebut tak lagi cukup untuk dikonversi dengan emas. Akhirnya masyarakat dipaksa
untuk menggunakan kertas tersebut sebagai alat transaksi.

Dalam sejarah moneter dunia dijumpai bahwa penggunaan mata uang kertas yang tidak
ditopang (backed) oleh komoditas seperti emas menyebabkan sejumlah masalah yang
sangat serius dalam perekonomian. Diantara masalah tersebut adalah:

Pertama, mata uang kertas menyebabkan inflasi yang tinggi. Akibatnya nilai uang terus
merosot.
Sebagai contoh, pada awal abad ke-9, Cina mengedarkan uang kertas—sekaligus sebagai
negara pertama yang menggunakan uang kertas—untuk mengganti tembaga yang saat itu
mengalami kelangkaan. Cina telah memproduksi mata uang kertas yang sama sekali tidak
ditopang oleh emas atau komoditas lainnya. Namun alih-alih membenahi perekonomiannya,
pada tahun 1051 justru Cina terjerembab pada tingkat inflasi yang sangat tinggi akibat
produksi uang kertas yang terus berlangsung.[6]

Hal yang sama juga terjadi di Inggris tahun 1914 ketika Bank of England menerbitkan uang
kertas yang sama sekali tidak ditopang oleh emas. Uang tersebut kemudian digunakan
untuk membiayai angkatan perang pemerintah. Pertumbuhan uang (money base) Inggris
pada masa perang tersebut naik hingga 41,2 persen. Dampaknya mudah ditebak. Inflasi
membumbung hingga mencapai 13,5 persen. Kondisi tersebut memaksa Inggris dan
sejumlah negara lainnya kembali pada standar emas (gold exchange rate)

Demikian pula pasca berkecamuknya Perang Dunia I, dunia modern menyaksikan bahaya
dari fiat money yang dikeluarkan tanpa ditopang oleh emas. Beberapa saat sebelum perang,
Bank Sentral Jerman membuat keputusan untuk menghentikan konvertibilitas mark dengan
emas. Uang kertas mark selanjutnya dapat diterbitkan tanpa batas untuk membiayai
angkatan perang Jerman. Akibat emas tidak dijadikan jangkar (anchor) membuat nilai mata
uang negara tersebut paling rendah di dunia. Pada akhir tahun 1923 harga di negara
tersebut dapat melonjak dua kali lipat hanya dalam hitungan jam. Harga sepotong roti
misalnya bisa mencapai 200 miliar mark. Bahkan ibu-ibu rumah tangga menjadikan uang
kertas mark sebagai kayu bakar karena nilainya jauh lebih rendah dari kayu bakar itu
sendiri!

Indonesia pun pernah merasakan dampak buruk dari penggunaan mata uang kertas. Pada
tahun 1965 akibat tingginya defisit anggaran pemerintah Indonesia dan hyperinflasi yang
mencapai 635,3 %, pemerintah melalui bank Indonesia melakukan pemotongan nilai uang
(sanering) dari Rp. 1.000,- menjadi Rp.1,-. Kebijakan ini didasarkan pada Penetapan
Presiden No.27 tahun 1965 yang diberlakukan pada tanggal 13 Desember 1965. Bisa
dibayangkan kekayaan orang saat itu terpangkas hampir 1.000 kali lipat (Singgaling dkk,
2004).

Tak heran jika Robert Mundell (1997) seorang ekonom yang pernah meraih Nobel,
mengatakan bahwa terus membanjirnya uang kertas tanpa didukung oleh likuiditas akan
memicu terjadinya resesi ekonomi. Alasannya hingga saat ini Bank Sentral AS terus
meningkatkan pertumbuhan supply dollar. Dengan membanjirnya uang kertas dan kredit,
maka harga barang dan jasa (inflasi) akan semakin tinggi dan sangat mungkin suatu saat
berubah menjadi hyperinflasi.

Kedua, legitimasi mata uang kertas sangat rapuh sebab ia sama sekali tidak disandarkan
pada komoditas yang bernilai seperti emas dan perak. Ia hanya ditopang oleh undang-
undang yang dibuat pemerintahan suatu negara. Jika keadaan politik dan ekonomi negara
tersebut tidak stabil maka tingkat kepercayaan terhadap mata uangnya juga akan menurun.
Para pemilik uang akan beramai-ramai beralih ke mata uang lain atau komoditas yang
dianggap bernilai sehingga nilai uang tersebut terpuruk.

Sebagai contoh ketika terjadi kegoncangan pasar modal (market crash) yang
mengakibatkan depresi pada tahun 1929, orang-orang di seluruh dunia mulai
menampakkan ketidakpercayaannya terhadap uang kertas sehingga mereka berlomba-
lomba menimbun (hoarding) emas dan meninggalkan mata uang mereka. Di AS, nilai dolar
makin kritis sehingga Presiden Rosevelt tidak memiliki pilihan kecuali menghentikan
produksi mata uang emas dan memenjarakan orang yang menyimpan emas dan
mengenakan denda dua kali dari emas yang disimpan.[7]

Ketiga, uang kertas telah menjadi sumber pemasukan peerintah yang paling mudah.
Dengan biaya produksi yang sangat rendah dibanding nilai nominal yang dikandungnya,
mereka dengan mudah mencetak uang-uang kertas (di sejumlah negara dilakukan oleh
Bank sentral). Uang tersebut kemudian ‘dipaksakan’ kepada rakyat untuk diterima sebagai
alat tukar. Dengan menukarkan menukarkan uang tersebut dengan barang dan jasa yang
diproduksi oleh rakyatnya, pemerintah dapat menikmati hasil keringat rakyatnya dengan
mudah. Dengan kata lain mata uang kertas telah menjadi alat pemerasan negara terhadap
rakyatnya. Rakyat kemudian menjadi korban dengan inflasi yang tinggi.

Penerimaan pemerintah Argentina misalnya dari pencetakan uang baru pada tahun 1985-
1990, diperkirakan mencapai 54 persen dari total pendapatannya. Bahkan pada tahun 1987
mencapai 86%. Akibatnya nilai peso terus melemah dan menjadi tidak stabil. Rakyat
Argentina kemudian enggan menggunakan peso dan lebih memilih menggunakan dollar AS
yang nilainya dianggap lebih stabil (Abdullah, 2006).

Hal yang sama juga dirasakan oleh rakyat Afganistan ketika berada di bawah rezim
Rabbani. Pada masa sebelumnya nilai tukar resmi mata uang Afganistan adalah 50 afgani
per dollar AS dengan pecahan terbesar 1.000 afgani. Pada musim panas 1991 nilai tukar
tersebut telah mencapai 1.000 afgani per dollar. Pemerintah kemudian mengeluarkan
pecahan uang baru yang bernominasi 5.000 afgani dan kemudian 10.000 afgani. Hasilnya
setiap kali mata uang tersebut diterbitkan maka nilai mata uang tersebut terus melorot.
Pada bulan September 1996 ketika Kabul jauh di tangan pasukan Taliban, mata uang afgani
diperdagangkan dengan nilai 17.800 per dollar. Bahkan di pusat pemerintahan Mazari Sharif
—daerah yang dikuasi oleh Abdul Rasyid Dostum yang berpisah dengan Rabbani pada tahun
1994—nilai afgani mencapai 25.600 per dollar.

Rakyat Pakistan juga menjadi korban dari penggunaan fiat money ini. Pada tahun 1991-
1996 pertumbuhan jumlah uang beredar di negara tersebut mencapai 10,6 persen. Selama
periode tersebut pemerintah Pakistan diperkirakan memperoleh penerimaan sebesar 97,173
miliar rupee hanya dari pencetakan uang kertas dan pecahan logam (Abdullah, 2006).

Keempat, penggunaan mata uang kertas menciptakan ketidakadilan dalam kegiatan


ekonomi.

Hal ini dirasakan setelah berakhirnya Bretton Woods, dimana negara-negara kuat yang
memiliki mata uang yang dperdagangkan secara internasional dengan mudah memperoleh
kekayaan negara-negara lain hanya dengan mencetak uang. Dengan mencetak lembaran-
lembaran kertas dengan ukuran dan gambar dan tanda tertentu, mereka daapt mengambil
keutungan berlipat-lipat dengan membeli apa saja yang nilai barangnya (intrinsic value)
jauh lebih tinggi dari uang biaya produksi uang mereka. Mekanisme ini dikenal dengan
istilah seignorage uang fiat. Seignorage berarti keuntungan yang diperoleh dalam
memproduksi uang akibat perbedaan antara nilai nominal (face-value) suatu mata uang
dengan biaya memproduksi uang tersebut (intrinsic value).

Sebagai contoh biaya untuk memproduksi uang kertas 100 dollar adalah 20 sen maka
seignorage-nya sebesar 99.80 dollar. Dengan kata lain setiap kali AS mencetak satu lembar
uang 100 dollar, maka ia akan mendapatkan keuntungan 99,80 dollar. Federal Reserve,
bank sentral AS telah menikmati seignorage yang sangat besar dengan mengeluarkan dollar
sejak mata uang tersebut menjadi cadangan mata uang internasional yang paling dominan.
Dollar memiliki daya beli yang kuat di luar AS sehingga dengan leluasa AS memanfaatkan
kesempatan ini untuk terus mencetak Dollar.[8]

Dengan kemampuan mencetak dollar pemerintah AS dapat membeli dari seluruh dunia
apapun yang mereka inginkan.[9] Sebagai mata uang internasional dollar dapat terus
dicetak oleh AS berapapun yang ia kehendaki untuk membiayai kebijakan fiskalnya
termasuk membiayai politik luar negerinya. Untuk Perak Irak misalnya sebagaimana yang
dinyatakan oleh Joseph E Stiglitz di dalam bukunya The Three Trillion Dollar War nilainya
lebih dari 3 triliun dollar.

Barang dan jasa yang diproduksi oleh negara-negara lain terus mengalir ke negara tersebut
jauh diatas nilai ekspornya. Akibatnya defisit neraca perdagangan AS bulan Agustus 2008
misalnya telah mencapai lebih dari 66 miliar dollar. Pada bulan Agustus 2008 defisit
pemerintah federal telah mencapai 706,9 miliar dollar. Defisit tersebut kemudian dibayar
dengan utang dalam nominasi dollar. Kini utangnya telah mencapai 10,024 tiliun dollar.[10]

Di sisi lain negara-negara lain khususnya negara-negara berkembang justru mengalami


kerugian yang luar biasa akibat praktek seignorage ini. Salah satu contoh yang paling nyata
adalah pembelian minyak oleh AS sebesar 12 juta barrel per hari untuk menutupi defisit
produksinya. Sebagian besar minyak tersebut dibeli dari Arab Saudi dengan hanya
mencetak Dollar baru yang kemudian ditransfer ke rekening pemilik perusahaan minyak
Arab Saudi. Meski Arab Saudi dapat membeli barang lain dengan lembaran-lembaran dollar
tersebut namun pada faktanya tetap saja biaya yang dikeluarkan untuk melakukan investasi
dan penambangan minyak jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya pembuatan Dollar
AS.

Kelima, mata uang kertas telah mendorong gelembung ekonomi yang dapat berujung pada
ledakan ekonomi.

Setiap tahunnya AS harus menjual sekitar 1,5 miliar dollar surat utang untuk menutupi
defisit anggarannya. Bank-bank sentral asing, korporasi dan individu selanjutnya membeli
instrumen utang dari The Fed, Bank sentral AS. Sementara sekuritas berharga (treasury
security) tersebut diciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Tidak berlebihan sejumlah
kalangan menyatakan cepat atau lambat dollar pasti mengalami kebangkrutan.[11]

Bahaya kerapuhan dollar sebagai mata uang kertas paling kuat saat ini juga telah diwanti-
wanti oleh Samuelson sebagaimana yang ditulis dalam The Washington Post (17/11/004).
Menurutnya pada tahun 2004 saja, investor swasta telah memborong saham dan obligasi
AS. Secara keseluruhan investor asing telah memegang 13 persen dari total saham AS, 24
persen obligasi korporasi dan 43 persen surat-surat berharga pemerintah AS (treassury
securities). Sturuktur kepemilikan aset tersebut sangat berbahaya. Alasannya, saat ini
dunia telah menerima dollar lebih banyak daripada yang dia inginkan. Jika terdapat
momentum krusial sewaktu-waktu saham-saham dan obligasi tersebut akan dilepas oleh
pemiliknya dan resesi global yang akut akan terjadi. Orang-orang beramai ramai menjual
dollar dan beralih ke mata uang kuat lainnya seperti Euro dan Yen dan nilai dollar dipastikan
turun signifikan. Anjloknya dollar berarti nilai dari saham dan obiligasi yang dipegang oleh
investor asing tersebut juga akan terjun bebas. Mereka berlomba menjual aset-aset yang
mereka memiliki. Pada saat itulah pasar-pasar saham akan anjlok secara tajam dan dollar
AS akan kehilangan nilainya.[12]

Bahaya ini kian mengancam tatkala dunia telah dibanjiri dolar. Di pasar-pasar uang saja,
terdapat gelembung-gelembung dollar AS yang berjumlah 80 triliun Dollar AS pertahun.
Jumlah ini 20 kali lipat melebihi nilai perdagangan dunia, yang jumlahnya sekitar 4 triliun
Dollar AS pertahun. Artinya, gelembung itu bisa membeli segala yang diperdagangkan
sebanyak 20 kali lipat dari biasanya. Gelembung semakin lama semakin membesar dan
secara pasti gelembung itu suatu saat akan meledak yang menyebabkan keruntuhan
ekonomi global yang jauh lebih buruk dari depresi ekonomi tahun 1929.[13]

Keenam, Akibat nilainya yang tidak stabil mata uang kertas khususnya dengan rezim bebas
mengambang telah menjadi sarana spekulasi yang ganas. Uang tidak lagi difungsikan
semata untuk menjadi alat tukar, alat untuk menyimpan dan menghitung kekayaan riil,
namun justru lebih banyak digunakan untuk kegiatan spekulasi.

Krisis moneter yang menimpa negara-negara Asia, Argentina dan Rusia pada tahun 1998
diakibatkan oleh sistem nilai tukar yang tidak stabil. Episentrum krisis yang bermula di
Thailand tersebut dimulai dari derasnya uang spekulatif yang panas (hot money) yang
mengalir deras ke negara tersebut untuk membeli saham-saham properti. Akibatnya
nilainya terus menggelembung (bubble) jauh melebihi nilai riilnya. Ketika terjadi goncongan
modal spekulatif yang liar tersebut berbalik arah dan mengakibatkan nilai tukar bath jatuh.
[14] Efeknya kemudian menjalar kemana-mana termasuk ke Indonesia. Rupiah bahkan
sempat menyentuh 16 ribu per dolar.

Para spekulan sangat diuntungkan dengan adanya pergerakan (fluktuasi) nilai tukar satu
mata uang terhadap mata uang lainnya. Sementara pemerintah (dalam hal ini bank sentral)
dipaksa untuk terus menjaga nilai tukar mata uangnya. Diantaranya melalui intervensi
dengan ikut menjual dan membeli devisa, meski devisa itu kadang diperoleh diperoleh dari
utang LN. Sebagai contoh pada akhir 1998 IMF memberikan utang kepada pemerintah
Brazil senilai 50 miliar dollar untuk menjaga nilai tukarnya yang mengalami overvalued.
Namun sayang intervensi pemerintah tersebut sia-sia, sementara uang utangan tadi seakan
hilang ditelan angin. Uang tersebut sebagian besar mengalir ke kantong-kantong para
spekulan. Beberapa spekulan merugi namun secara umum para spekulanlah yang
memperoleh seluruh uang yang dikucurkan pemerintah tersebut.[15] Akan lain ceritanya
jika dana tersebut digunakan untuk membiaya sektor riil yang dapat menggerakkan
perekonomian Brazil.

Adanya peluang spekulasi di pasar uang plus pasar modal, justu membuat uang yang
diperoleh dari sektor riil (main street) mengalir deras sektor non riil tersebut (wall street).
Dana-dana hasil penjualan minyak Timur Tengah misalnya yang lazim dikenal dengan
Sovereign Wealth Fund (SWF) kini lebih banyak diinvestasikan di portofolio (saham,
obligasi, atau surat-surat berharga lainnya) baik yang dterbitkan pemerintah ataupun
swasta. Abu Dhaby Investment Authority (ADIA) misalnya, milik pemerintah Uni Emirat
Arab, kini memiliki SWF sebesar US$ 1,32 triliun. Dana-dana tersebut kini digunakan
membeli sejumlah saham perusahaan kelas dunia baik yang tengah yang tengah kolaps
maupun yang sedang booming termasuk membeli saham klub sepak bola Inggris
Manchaster City.[16] Dana-dana tersebut tentu akan sangat berguna bagi jutaan manusia
jika diinvestasikan pada sektor riil yang produktif seperti pembangunan infrastruktur,
bantuan kemanusiaan kepada orang-orang miskin yang jumlah jutaan di negeri-negeri
Islam.

Tinggalkan Uang Kertas

Inilah beberapa bahaya mata uang kertas yang tidak di back-up oleh emas. Gelembung
uang yang terus tumbuh tanpa batas dan membuat ekonomi global menjadi tidak stabil.
Krisis finansial saat ini dan sejumlah krisis sebelumnya semakin memperjelas bahwa sistem
moneter saat ini yang menggunakan mata uang kertas (fiat money) sangat rapuh dan tidak
layak diadopsi bagi mereka yang masih berfikir dengan jernih.

Dunia membutuhkan sistem moneter yang lebih adil dan stabil. Dan mata uang emas yang
jejak rekamnya telah teruji di pentas moneter internasional selama ratusan tahun
merupakan standar moneter paling layak diperhitungkan. [bersambung] (Muhammad
Ishak – Lajnah Tsaqafiyyah).

[1] Lihat situr resmi BI, www.bi.go.id

[2] Harian Kompas, 31/10/08


[3] www.the-privateer.com/1933-gold-confiscation.html.

[4] Hammes and Wills. Black Gold: The End of Bretton Woods and the Oil-Price Shocks of the 1970s, The
Independent Review, v. IX, 2005

[5] An-Nabhany. An Nidzamu al-Iqtishady fi Islam hal. 271 . Dârul Ummah (1999)

[6] Davies, Glyn. A History of money from ancient times to the present day, 2005

[7] Idem

[8] Ahamed Kameel Mydin Meera. Theft of Nations Returning to Gold, hal. 37

[9] lihat lebih lanjut Robert Mundell, Currency Areas, Exchange Rate Systems and International Monetary Reform,
2007

[10] Bureau of Economic Analysis, www.bea.gov

[11] Robert Blumen, The Dollar Crisis, http://mises.org/story/1386

[12] Robert J. Samuelson, Is the Global Economy Unstable? http://www.washingtonpost.com/wp-


dyn/articles/A38568-2005Mar15.html

[13] Ibrahim Vadilo, Dinar Dirham Solusi Krisis Moneter, edit. Yusanto dkk. hal.

[14] Joseph Stiglizt, Globalization and Its Discontent, hal. 199

[15] ibid, hal 199.

[16] Harian Investor Daily, 8/10/08.

Anda mungkin juga menyukai