Anda di halaman 1dari 4

Diabetes mellitus merupakan penyakit sistemik yang dapat mengakibatkan

disfungsi berbagai organ tubuh. Gangguan fungsi saluran cerna ternyata


merupakan masalah yang sering ditemui pada penderita-penderita disbetes
mellitus lanjut, dimana hal ini sebagian disangkakan berkaitan dengan terjadinya
disfungsi neurogenik dari saluran cerna tersebut.
Sering terjdi penderita diabetes mellitus mengeluhkan gejala gangguan
saluran cerna atas tanpa sebab yang jelas. Penderita seperti ini bila dilakukan uji
tertentu dapat menunjukkan adanya keterlambatan pengosongan lambung,
keadaan seperti ini dinamai gastroparesis diabetika. Gastroparesis diabetika
merupakan komplikasi dari diabetes mellitus yang kini semakin dikenal.
Gastroparesis diabetika adalah suatu kelainan motilitas lambung yang
terjadi pada penderita diabetes yang dapat dimanisfestasikan oleh berbagai
macam gejala serta dijumpainya kelainan pada uji pengosongan lambung.
Istilah “gastroparesis diabeticorum” pertama sekali digunakan oleh
Kassender terhadap keadaan retensi lambung yang dijumpai pada penderita
diabetes mellitus yang asimptomatik. Gastroparesis diabetika dapat terjadi pada
penderita IDDM maupun NIDDM. Horowitz dkk memperkirakan keterlambatan
waktu pengosongan lambung dijumpai pada sekitar 50% penderita IDDM maupun
NIDDM.
Selain dapat menimbulkan keluhan yang terkadang sampai berlarut-larut
dan sulit diatasi, Gastroparesis diabetika juga dapat menyulitkan pengendalian
gula darah. Namun dengan ditemukannya berbagai macam obat gastrokinetik
maka pengelolaan gastroparesis menjadi lebih efektif.
Tulisan ini akan menguraikan berbagai aspek dari gastroparesis diabetika.

GAMBARAN PREVALENSI
Suatu studi menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab
kedua tersering dari gastroparesis (24%) setelah isiopatik (33%), sedang
penyakit tersering lainnya adalah paska operasi lambung (19%).
Laporan mengenai prevalensi gangguan motilitas lambung pada penderita
diabetes memberikan hasil yang berbeda-beda, hal ini disebabkan beberapa
factor antara lain : tipe penderita diabetes yang diselidik (IDDM atau NIDDM,
diabetes yang lama dan berat, dengan atau tanpa gejala gastriparesis), criteria
yang digunakan untuk diagnosa gastroparesis (berdasarkan gejala-gejala saja,
berdasarkan adanya kelainan motorik atuapun elektrik lambung, atau
berdasarkan keterlambatan pengosonganlambung), dan metode yang digunakan
untuk menilai, mengosongkan lambung (pemeriksaan barium, radiopaque
marker, USG, ataupun scintigraphy). Dari hasil berbagai laporan disimpulkan
bahwa sekitar 30-60% penderita diabetes mengalami keterlambatan waktu
pengosongan lambung, dan bahwa prevalensi keterlambatan pengosongan
lambung diperkirakan sama pada penderita IDDM maupun NIDDM.
Hasil penelitian Feldman dkk terhadap penderita IDDM menunjukkan adanya
keterlambatan waktu pengosongan lambung solid non digestible pada 62%
penderita, keterlambatan waktu pengosongan lambung liquid pada 25%
penderita, dan tidak ada yang mengalami keterlambatan pengosongan lambung
solid digistibel. Penelitian terhadap 45 penderita IDDM oleh Horowitz dkk
menunjukkanadanya keterlambatan pengosongan solid (persentase retensi pada
100 menit), liquid (T50)atau keduanya pada 58% penderita, presentase retensi
makanan solit pada 100 menit lebih besar dari normal pada 36% penderrita dan
T 50 liquid yang lebih besar dari normal pada 29% pendeerita.
Pada IDDM, uji scintigraphy oleh Chang dkk terhadap 70 penderita
menunjukkan 27,5% mengalami keterlambatan pengosongan liquid dan 58,6%
mengalami keterlambatan pengosongan solid. Pada NIDDM yang baru
terdiagnosa, Festa dkk menemukan adanya keterlambatan pengosongan lambung
semisolid pada 36,6% dari 30 penderita.
Pada kasus IDDM degan neuropati, Keshavarzian dkk secara scintigraphy
menemukan keterlambatan pengosongan solid pada 27% kasus, sedang
laporan dari Rumah Sakit Sutomo Surabaya mengatakan bahwa pemeriksaan
dengan solid radiopaque marker terhadap penderita IDDM dengan neuropati
autonom menunjukkan 52% kasusmengalami gangguan pengosongan lambung.
SISTEM SYARAF SALUTRAN CERNA
Fungsi motorik lambung sangat tergantung kepada keadaan system saraf.
Sistem syaraf saluran cerna terdiri dari syaraf-syaraf intrinsic dan ekstrinsik.
Syaraf intrinsic membentuk system persyarafan yang disebut sebagai enteric
nervous system (system syaraf enteric) yaitu berupa kumpulan neuron-neuron
pada saluran cerna yang dapat berfungsi mandiri walaupun tanpa kendali dari
system syaraf pusat, sehingga disebut juga sebagai “brain of the gut”. Sistem
syaraf enteric, mengatur berbagai fungsi saluran cerna termasuk motilitas,
sekresi eksokrin dan endokrin yang juga mikrosirkulasi . Sistem syaraf enteric
membentuk 2 flexus utama. Flesus myenteric (Auerbach’s) terletak diantara
lapisan otot longitudinal dan sirkuler sepanjang saluran cerna, terutama
memberikan inervasi motorik kepadaa kedua lapisaan tersebut dan intervasi
sekretomotor ke mukosa. Flexus submucosa (Meissner’s) terletak di submukosa
yaitu antara lapisan otot sirkuler dan muskularis mukosa, flesus ini menginervasi
epitel granduler, sel-sel endokrin usus dan pembuluh darah submukosa. Sebagai
amna pada system saraf pusat, maka neuron system syaraf enteric juga
menggunakan berbagai neurotransmitter sebagai mediator, antara lain acetyl-
choline, neuropeptida seperti cholecystokinin (CCK), glanin, calcitonin gene
related peptide (CGRP), gastrin releasing peptide(GRP), enkephalins,
somatostatin, substance P, vasoactive intestinal polypeptide (VIP); purine, nitric
oxide, dan kemungkinan juga asam-asam amino seperti gamma amino
butyric acid (GABA) .
Syaraf eksentrik berupa serabut-serabut sensorik (afferent) dari syaraf
parasimpatis, simpatis maupun somatic. Syaraf-syaraf ini menghubungkan
system syaraf eksentrik dengan sitem syaraf pusat yang berperan penting dalam
penyelarasan berbagai fungsi system syaraf enteric.
Parasympatetic motor pathway yang mengatur fungsi motorik dan
sekretomotorik saluran cerna bagian atas sampai ke colon transversum sebelah
kanan adalah berasal dari nervus vagus. Cabang nervus vagus utama yang
menuju ke lambung adalah berasal dari nervus anterior dari laterjet yang
mempersyarafi permukaan anterior lambung duodenum, serta nervus posterior
dari laterjet yang mempersyarafi permukaan posterior dari lambung (

Serabut-serabut sensorik yang membawa informasi sensorik ke system


syaraf pusat disebut sebagai primary efferent neurons. Primary vagal afferent
neurons berasal dari lapisan otot plos (sensitive terhadap distensi mekanis usus)
dan dari mukosa (sensitive terhadap glukosa, asam amino, asam lemak rantai
panjang dan juga rangsang kimia dan mekanis). Splanchnic primary afferent
neurons berasal dari dinding serosal usus, merupakan suatu nosiseptor, berperan
dalam timbulnya rasa nyeri saluran cerna, dan bereaksi terhadap rangsang
mekanis, termis dan kemis berintensitas tinggi.
FISIOLOGI PENGOSONGAN LAMBUNG
Aktifitas pengosongan lambung mencakup proses penampungan bahan
makanan solid maupun liquid, penghancuran bahan solid serta mencampurnya
dengan asam lambung sehingga partikel-partikel kecil yang optimal bagi
pencernaan, pengosongan bahan liquid dan bahan solid yang telah dihancurkan
ke duodenum pada periode digestive postprandial, dan pengosongan semua sisa
makanan termasuk bahan yang non digestible pada periode interdigestive.Proses
pengosongan lambung tersebut diatur oleh aksi yang berbarengan dengan
fundus,antrum,pylorus dan duodenum.
Lambung proksimal yaitu fundus dan sepertiga atas corpus merupakan
bagian lambung yang tidak memiliki aktivitas listrik miogenik spontan. Lambung
proksimal ikut berperan dalam proses pengosongan liquid karena adanya
perbedaan tekanan fundic-duaodenum akibat kontraksi tonik yang lambat (1-
3menit) yang terjadi di fundus. Kontraksi tonik ini distimulasi oleh excitatory
fibers dari nervus vagus dan neurohormon seperti motilin.
Fungsi lain dari lambung proksimal adalah sebagai penampung makanan.
Pada waktu proses menelan lambung proksimal mengalami fase relaksasi yang
disebut “receptive relaxation”, dimana terjadi peningkatan volume lambung tanpa
disertai peningkatan tekanan lambung sehingga memampukannya berfungsi
sebagai reservoir. Kemampuan relaksasi tersebut dipertahankan oleh inhibitor
fibers dari nervus vagus dan pengaruh inhibisi dari neurohormonal
Penderita yang divagotomy dapat mengalami gastric statis ataupun rasa
penuh epigastric walaupun sedikit makan, diare bahkan dumping syndrome
sebagai akibat terganggunya fungsi lambung proksimal
Berbeda dengan lambung proksimal maka otot-otot lambung distal mulai
dari corpus sampai ke cicncin pylorus memiliki aktivitas listrik spontan
(autorythmicity), namun kontraksi lambung distal ini diatur oleh suatu pacemaker
yang terletak di curvatura mayor yang melepaskan gelombang depolarisasi
spontan (basal electrical rhythm) dengan kecepatan 3 siklus / menit (gambar 2.
Kecepatan ini tidak berubah baik pada waktu puasa, makan, beraktifitas ataupun
tidur. Depolarisasi spontan tersebut akan berubah menjadi sebuah kontraksi
(yang ekivalen dengan sebuah action potential) ataupun tidak, tergantung ada
tidaknya rangsang syaraf atau hormonal tertentu. Lambung akan sangat mudah
berkontraksi selama waktu makan karena adanya distensi akan menstimulasi
afferent vagus yang disertai prlrpasan peptida post prandial dan karena adanya
stimulasi oleh bahan - bahan makanan yang kontak ke mukosa. Pada periode
gigestive kontraksi tersebut berperan penting dalam proses pengosongan
lambung dimana kontraksi tersebut akan mendorong isi lambung ke arah
gastroduodenal junction
Makanan solid sebelum dikosongkan akan mengalami proses pencampuran
dan penggilingan (mixing & grinding) oleh kontraksi otot-otot antrum yang tebal,
sehingga menjadi pertikel-pertikel kecil (<1 mm) agar dapat melewati pylorus.
Waktu yang diperlukan untuk proses tersebut disebut lag phase.
Pada periode intergestive yaitu 2 jam sesudah makan dan pada waktu
tidur, lambung melakukan aktivitas motorik secara siklik yang disebut dengan
“Interdigestive Migrating Motor Complex” (IMMC) dengan waktu 100 menit /
siklus. Fase I dari siklus ini merupakan fase diam kareena jarang terjadi
kontraksi, berlangsung 1 jam. Fase 2 berlangsung 30 menit, lebih aktif dimana
terjadi 1 atau 2 kontraksi setiap beberapa menit yang sifatnya intermitten dan
irregular. Puncak aktivitas dari IMMC adalah fase 3 dimana terjadi rentetan
kontraksi dengan kecepatan 3 kontraksi /, bersifat singkat, ritmik, kuat dan
mendorong ke arah duodenum, berlangsung selama 5 – 10 menit ( gambar 3)
Pada fase ini berlangsung pengosongan terhadap bahan-bahan solid
digestible (seperti serat, biji, sayur ataupun partikel makanan keras yang tidak
dapat dihancurkan oleh lambung) sebab pada saat yang bersamaan terjadi
pembukaan dan relaksasi dari pylorus. Fase 4 merupakan transisi dari fase 3 ke
fase 4. Aktivitas IMMC ini dipengaruhi oleh nervus vagus.
Pylorus dan duodenum berfungsi sebagai pengatur ataupun barier
mekanis terhadap aliran keluar dari lambung, pylorus berbentuk terowongan
berdinding tebal yang dapat secara aktif mengubah ukuran lumennya dibawah
pengaruh neurohumoral akibat stimulasi reseptor-reseptor di duodenum maupun
usus halus lainnya. Sefera setelah makan, kontraksi lambung akan mendorong
makanan ke arah pylorus, namun pylorus akan terbuka sebahagian saja
sehingga hanya bagian liquid atau partikel kecil saja yang dapat lewat,
sedangkan partikel yang lebih besar akan tertahan diantrum untuk menjalani
proses mixing dan grinding oleh konstruksi antrum. Pada fase 3 IMMC pylorus
terbuka lebar sehingga bahan solid non digestible dengan pertikel besar dapat
melewati pylorus oleh dorongan kontraksi antrum yang terkoordinasi dengan
motilitas duodenum.
Di duodenum terdapat reseptor-reseptor sensorik yang kan terstimulasi
oleh bahan-bahan nutrien yang melewati lumen duodenum. Bahan nutrien
dengan kalori tinggi, kandungan lemak tinggi, osmolitas tinggi ataupun PpH yang
lebih tinggi asam akanmemberikan stimulasi yang lebih kuat terhadap reseptor
tersebut yang kan menyebabkan relaksasi fundus, terlambatnya peristaltic
antrum, mengecilnya lumen antrum,pylorus dan duodenum, terangsangnya
kontraksi local di pylorus, berkurangnya aktivitas peristaltikmdi duodenum, serta
berkurangnya koordinasi kontraksi antara antrum dan duodenum, sehinngga
keseluruhan efek ini akan berfungsi sebagai rem terhadap proses pengosongan
lambung.
Karbohidrat selain dapat memperlambat pengosongan lambung melalui
efek stimulasi langsung reseptor-reseptor di usus halus, juga efek peningkatan
gula darah yang diakibatkannya.
PATOFISIOLOGI GASTROPARESIS DIABETIKA
Meskipun belum sepenuhnya dimengerti, yang dianggap sebagaifaktor
patogenetikterpenting dalam terjadinya gastroparesis diabetika dalah terjadinya
neuropati diabetika yang mengakibatkan rusaknya syaraf-syaraf ekstrinsik
lambung. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa adanya gastroparesis pada
penderita-penderita diabetes mellitus sangat berkorelasi dengan keberadaan
autonom dari nervus vagus. Namun demikian, penelitian morfologis
terhadap nervus vagus masih menunjukkan hasil yang bertentangan. Pada
sebagian penderita diabetes dengan atau tanpa gastroparesis dapat ditunjukkan
adanya penurunan densitas serabut myelinated vagus dan degenerasi serabut
unmyelinated. Sedangkan penelitian lain tidak menemukan adanya kelainan
morfologis dari nervus vagus abdominalis pada penderita gastroparesis diabetika,
baik jumlah maupun penampilan dari neuron dan axonnya.
Keadaan hiperglikemia merupakan factor penting lainnya yang
menyebabkan terjadinya gastroparesis Ternyata bahwa peningkatan kadar gula
darah meskipun masih dalam rentang normal dapat menyebabkan keterlambatan
pengosongan lambung pada orang normal maupun penderita diabetes.Burgstaller
dkk mengatakan bahwa pengosongan lambung melambat secara bermagna pada
keadaan hiperglikemia dibandingkan dengan keadaan euglikemia pada penderita
diabetes (pengosongan lambung 1180 menit pada kadar gula darah 5,5 mmol /
1, dan 240 menit pada kadar gula darah 14 mmol / 1).
Diduga mekanisme hiperglikemia memperlambat pengosongan lambung
adalah secara tak langsung yang melibatkan perubahan pada aktivitas vagus,
aktivitas listrik lambung, sekresi hormon-hormon gastrointestinal dan mekanisme
miogenik. Fischer dkk menunjukkan bahwa hipergilemia post prandial pada
penderita diabetes menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik
lambung, pengurangan aktivitas motorik antrum dan keterlambatan pengosongan
lambung . Studi oleh Barnett dan Ow yang menunjukkan bahwa motilitas antrum
puasa akan menurun pada kadar gula darah 7,8 mmol/1 sedangkan motilitas
antrum postprandial akan menurun pada kadar gula darah 9,7 mmol/1.
Adanya korelasi antara kadar gula darah yang tinggi dengan
keterlambatan pengosongan lambung dijumpai pada IDDM maupun NIDDM. Tidak
jelasnya kolerasi antara kadar HbA1c dengan keterlambatan pengosongan
lambung menunjukkan bahwa keterlambatan pengosongan lambung lebih
merupakan efek akut hiperglikemia ketimbang efek kronisnya
Peranan hormon-hormon gastrointestinal dalam mengatur motilitas
lambung telah diketahui, namun kebermaknaan perubahan hormon tersebut
terhadap motilitas yang abnormal masih belum jelas. Tingginya kadar motilin
plasma pada penderita gastroperasis diabetika menunjukkan bahwa kelainan
motilitas yang terjadi kelihatannya tidak berkaitan dengan defisiensi motilin.
Pemberian infus cholecystokinin octapeptida(CCK8) pada penderita baru NIDDM
jelas mengakibatkan keterlambatan pengosongan lambung akan tetapi belum
pernah diteliti begaimana kadar CCK pada penderita gastroparesis diabetika

Anda mungkin juga menyukai