Anda di halaman 1dari 8

SKIZOFRENIA

Jessica Wangke

I. DEFINISI
Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis dengan variasi psikopatologi (genetik, fisik, sosial
budaya) dan perjalanan penyakit yang luas, biasanya berat, berlangsung lama dan ditandai
oleh penyimpangan dari proses pikir, persepsi, gerakan, afek (tidak wajar atau tumpul),
tingkah laku, serta emosi2,4,6. Walaupun demikian, kesadaran serta intelektual penderita
skizofrenia tetap terpelihara4.

II. EPIDEMIOLOGI
- Prevalensinya sama baik pada laki-laki maupun perempuan, akan tetapi onsetnya lebih awal
ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan. Lebih dari 1/2 kasus skizofrenia
ditemukan pada pria < 25 tahun, sedangkan pada wanita hanya 1/31 (onset untuk laki laki 15
sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35 tahun). Prognosisnya adalah lebih buruk pada laki
laki dibandingkan wanita2,3.
- Beberapa penelitian menemukan bahwa 80% semua pasien skizofrenia menderita penyakit
fisik dan 50% nya tidak terdiagnosis. Bunuh diri adalah penyebab umum kematian diantara
penderita skizofrenia2.

III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


- faktor psikososial dan stresor lingkungan, serta orang dengan diatesis stress yang tinggi5
- faktor biologis
a. komplikasi kelahiran (mis. hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang
terhadap skizofrenia)
b. infeksi (Perubahan anatomi pada SSP akibat infeksi virus pernah dilaporkan pada orang
orang dengan skizofrenia. Selain itu, penelitian mengatakan bahwa terpapar infeksi virus
pada trimester kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang menjadi skizofrenia)
c. dopamin (gejala-gejala skizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas sistem dopaminergik)
d. struktur otak (daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan
ganglia basalis. Otak pada pendenta skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan orang
normal, ventrikel teilihat melebar, penurunan massa abu abu dan beberapa area terjadi
peningkatan maupun penurunan aktifitas metabolik. Pemenksaan mikroskopis dan jaringan
otak ditemukan sedikit perubahan dalam distnbusi sel otak yang timbul pada masa prenatal
karena tidak ditemukannya sel glia, biasa timbul pada trauma otak setelah lahir)
e. genetik (Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan
kembar dizigotik 12%. Anak dari kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu
orang tua 12%)2

IV. KLASIFIKASI1,5
a. Tipe Disorganisasi (afek tumpul, sering inkoheren, waham tidak sistematis;
manerisme dan menyeringai aneh sering ditemui)
b. Tipe Katatonik
Pasien mempunyai satu (atau kombinasi) dari beberapa bentuk katatonia berikut:
i. stupor katatonik/mutisme -> pasien tidak berespon terhadap orang dan lingkungan
sekitarnya, walaupun ia menyadarinya.
ii. negativisme katatonik -> pasien melawan semua perintah atau usaha fisik yang
ditujukan untuk menggerakan dirinya.
iii. rigiditas katatonik -> pasien sangat kaku secara fisik.
iv. postur katatonik -> pasien mempertahankan posisi tubuh yang aneh/ tidak biasa.
v. kegembiraan katatonik -> pasien sangat aktif dan gembira (mungkin dapat
mengancam jiwanya mis. karena kelelahan)
c. Tipe Paranoid (pasien sering tidak kooperatif dan sulit diajak kerja sama, dapat
menjadi agresif; marah; atau ketakutan; tetapi jarang sekali menunjukkan perilaku
inkoheren)
d. Tipe Tidak Terdiferensiasi (tidak terdapat gambaran spesifik dari 3 subtipe
sebelumnya)
e. Tipe Residual (penarikan diri dari sosial, afek datar, asosiasi longgar, pikiran tidak
logis)

V. MANIFESTASI DAN PERJALANAN KLINIS


* Dibagi menjadi 3 simptom:
a. Simptom positif (waham, kekacauan proses pikir, halusinasi, gelisah, kecurigaan, dan rasa
permusuhan)
b. Simptom negatif (afek tumpul, penarikan emosional, rapport kurang baik, apatis dan
penarikan diri dari lingkungan sosial, kesulitan berpikir abstrak, kurangnya spontanitas pada
arus percakapan, dan pemikiran stereotipik)
c. Simptom psikopatologis umum (kekhawatiran somatis, ansietas, rasa bersalah, depresi,
retardasi motorik, tidak kooperatif, terdapat isi pikiran yang tidak biasa/gangguan isi pikir),
disorientasi, perhatian buruk, serta kurangnya daya nilai dan tilikan).

* Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal, fase aktif dan fase residual.
Pada fase prodromal biasanya timbul gejala gejala non spesifik yang lamanya bisa
minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala
tersebut meliputi : hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang
dan fungsi perawatan diri. Perubahan perubahan ini akan mengganggu individu serta
membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang
dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.
Pada fase aktif gejala positif / psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik,
inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang
berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala gejala tersebut dapat hilang
spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan.
Fase aktif akan diikuti oleh fase residual dimana gejala gejalanya sama dengan fase
prodromal tetapi gejala positif / psikotiknya sudah berkurang. Disamping gejala gejala yang
terjadi pada ketiga fase diatas, pendenta skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif
berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif
(atensi, konsentrasi, hubungan sosial).2

VI. DIAGNOSIS
 Pedoman Diagnostik PPDGJ-lll2,4
• Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. - thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda ; atau
- thought insertion or withdrawal = isi yang asing dan luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal); dan
- thought broadcasting = isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
b. - delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk
kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus);
- delusional perception = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifatmistik atau mukjizat;
c. Halusinasi auditorik:
i. suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
ii. mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
iii. jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan
dunia lain)
• Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
b. arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
c. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme, dan stupor;
d. gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
• Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal)
• Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu
sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

VII. TATALAKSANA3
a. Terapi Psikofarmaka
 Pemilihan obat
- Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang
sama pada dosis ekivalen, perbedaan utama pada efek sekunder ( efek samping: sedasi,
otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala
psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis
ekivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis dalam
dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat
antipsikosis lain (sebaiknya berasal dari golongan yang tidak sama) dengan dosis
ekivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat antipsikosis sebelumnya sudah
terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk
pemakaian sekarang. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya
adalah obat antipsikosis atipikal, begitu juga pasien-pasien dengan efek samping
ekstrapiramidal. Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala
negatif pilihannya adalah tipikal.
Obat antipsikotik yang beredar dipasaran dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi ke dua (APG II).
APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal
dan tuberoinfundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi
pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal,
tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi
seksual / peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun kognitif.
Sedangkan APG I menimbulkan efek samping antikolinergik seperti mulut kering
pandangan kabur gangguaniniksi, defekasi dan hipotensi.
APG I dapat dibagi lagi menjadi (a) potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang
atau sama dengan 10 mg diantaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol
dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan
gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi; (b) potensi
rendah bila dosisnya lebih dari 50 mg, yang diantaranya adalah Chlorpromazine dan
thiondazine; digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah,
hiperaktif dan sulit tidur.
APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau antipsikotik
atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin
di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif
mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine,
olanzapine, quetiapine dan risperidon.

b. Terapi psikososial
1. Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam pengobatan
skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah membantu dan menambah efek
terapi farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia
adalah perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien sebagai aman.
Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak emosional
antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan
oleh pasien. Menegakkan hubungan seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia
seringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan
kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika seseorang
mendekati.
2. Terapi suportif
o Sosial skill training
o Terapi okupasi
o Terapi kognitif dan perilaku (CBT)  menggunakan hadiah, hak istimewa, dan
pujian untuk meningkatkan kemampuan sosial, pemenuhan diri sendiri, dan
komunikasi interpersonal Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan
postur tubuh aneh dapat diturunkan.
3. Psikoterapi kelompok
Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa
persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia.
4. Psikoterapi keluarga
5. ECT (Electro-Convulsive Therapy) Mekanisme penyembuhan penderita dengan terapi
ini belum diketahui secara pasti. Alat yang digunakan adalah alat yang mengeluarkan
aliran listrik sinusoid sehingga penderita menerima aliran listrik yang terputus putus.
Tegangan yang digunakan 100-150 Volt dan waktu yang digunakan 2-3 detik.

VIII. PROGNOSIS
- Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang
mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25% individu
sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami perburukan.
- Prognosis baik1,5 pada:
a. onset gejala psikotik aktif terjadi akut
b. onset setelah usia 30 tahun, terutama pada perempuan
c. fungsi pekerjaan dan sosial pada premorbid baik.
d. tidak ada riwayat keluarga dengan skizofrenia
e. tidak ada bukti kelainan SSP
f. gejala positif
g. dukungan sekitar yang suportif

IX. DIAGNOSIS BANDING5


a. stadium awal khorea Huntington
b. stadium awal penyakit Wilson
c. epilepsi lobus temporal/frontal
d. stadium awal multiple sklerosis dan SLE
e. penyalahgunaan obat secara kronis
f. halusinasi alkoholik kronis
g. paresis umum

Bahan Bacaan :
1. Saddock, Benjamin J and Virginia Saddock. Kaplan & Saddock’s Synopsis of
Psychiatry 10th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
2. A, Luana N. Skizofrenia dan Gangguan Psikotik Lainnya. Simposium Sehari
Kesehatan Jiwa dalam Rangka Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Jakarta.
2007.
3. Loebis, Bahagia. Skizofrenia: Penanggulangan Memakai Antipsikotik. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan. 2007.
4. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa : Ringkasan Ringkas dari PPDGJ III.
Jakarta: PT Nuh Jaya. 2003.
5. Tomb, David A. Skizofrenia. Buku Saku Psikiatri Ed. 6. Jakarta: EGC. 2004.
6. Africa B, Freudenrich O, and Schwartz SR. Shizophrenic Disorders. Review of
General Psychiatry 5th Ed. Boston : McGraw Hill. 2000.

Anda mungkin juga menyukai