Sebuah Ironi
Fenomena Absurd
karir masih tertinggal jauh dibandingkan pria. Sebagai ilustrasi, pada lingkup
hanya 11,76% atau 4 orang (dari 34 orang anggota kabinet). Kemudian dalam
lingkup legislatif, dari 560 anggota DPR RI Periode 2009-2014, hanya 101
(18,04%) orang wanita. Dalam lingkup yudikatif, dari 31 orang hakim agung
juga tidak jauh berbeda. Secara kuantitas perempuan yang berhasil menduduki
tampuk kepemiminan organisasi pada tahun 2001: 41.000 orang (dari total
235.000); 2002: 31.000 orang (dari total 202.000); 2003: 24.000 orang (dari
170.000); 2004: 20.000 orang (dari total 176.000); 2005: 37.801 orang (dari total
290.464); dan tahun 2006: 38.471 orang (dari total 249.788) (BPS, 2006).
dan universitas) tidak memiliki posisi sama sekali, menganggur. Bahkan dari
1
perempuan terdidik sebagai penganggur terbuka adalah 241.000, tahun 2002:
289.000 orang, tahun 2004: 330.000 orang, dan tahun 2006: 349.543 orang.
Malah, untuk kategori setengah penganggur, lebih fantastis lagi. Untuk tahun
2000 mencapai angka: 419.000 orang, tahun 2002: 477.000 orang, tahun 2004:
masak, pengasuh anak, pelayan suami, dan pengurus rumah tangga. Meskipun
dilihat dari aktivitasnya di luar rumah. Predikat ini melekat hanya karena
tidak bekerja di luar rumah: kantor, pabrik, pasar, atau di manapun yang
2
(keluarga), termasuk suami dan anak-anak. Padahal pengalaman secara paralel
dimana seorang suami sangat sibuk bekerja di luar rumah dan karena
kebutuhan rumah tangga (keluarga), apakah masih diperlukan peran istri untuk
bekerja di luar rumah? Apakah tidak lebih baik kalau sang istri tetap
Pertanyaan ini menuntun kita untuk hati-hati dalam menyimak peran perempuan
terdidik. Peran perempuan terdidik dalam lingkup rumah tangga tentu tidak
tangga, dan pelayanan terhadap suami. Warna ini tentu saja dibutuhkan.
Namun, yang menjadi masalah (baca: isu kritis) adalah: apakah perempuan
3
mereduksi perempuan terdidik untuk berkarya di luar rumah (sektor publik),
kehidupan pihak lain di luar rumah? Apakah ilmu pengetahuannya tidak muspra
jika tidak diabdikan untuk pihak lain di luar rumah, padahal dalam waktu yang
sama ada pihak lain yang boleh jadi sangat membutuhkan? Di sinilah letak ironi
Pertanyaan Kritis
dan keterampilannya?
Faktor-faktor Penyebab
Paling tidak ada empat hal yang penting dicermati terkait dengan
Dalam hal ini, perlu dipahami dua aspek pokok, sekaligus dilakukan
perbedaan antara keduanya. Dua aspek itu, menurut Arif Budiman (dalam
Widyatama, 2006: 3), adalah seks (jenis kelamin) dan gender. Pengertian
seks sebagai jenis kelamin adalah perbedaan yang didasarkan pada fisik
4
manusia. Perbedaan secara fisik itu melekat sejak lahir dan bersifat
permanen. Ia ditentukan oleh Tuhan dan diterima oleh manusia secara taken
for granted (apa adanya) sehingga disebut sebagai ketentuan Tuhan atau
secara fisik yang antara lain memiliki alat reproduksi seperti rahim dan
Pembagian peran tersebut diatur secara tidak tertulis dalam sistem nilai yang
5
umum, pembagian antara kelamin laki-laki dan perempuan itu cenderung
aktivitas peran apa yang dilakukan. Tempat peran merupakan lokasi, tempat
atau ruang yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Tempat peran
merujuk pada aspek fisik, misalnya dikamar mandi, kamar tidur, dapur, ruang
dilakukan sering dikategorikan dalam kategori yang sama, yaitu publik dan
ruang keluarga, dapur, kamar mandi, ruang tidur, ruang cuci pakaian dan
setrika, beranda rumah hingga batas rumah dengan jalan raya. Sementara di
luar tempat-tempat itu disebut dengan wilayah publik. Misalnya, tempat kerja
(kantor, bengkel, sekolah, salon, studio foto dan sebagainya) dan tempat-
tempat umum seperti pasar, rumah makan, taman, sungai, jalan raya dan
Dalam perspektif jenis aktivitas atau peran yang dilakukan, juga dibagi
dalam dua kategori, yaitu publik dan domestik. Peran publik adalah aktivitas
6
masyarakat luas, sementara aktivitas domestik adalah kegiatan yang
99).
yaitu diberi tempat atau fungsi yang ada kaitannya dengan fungsi
para ibu menganut pemikiran yang telah diasuhkan kepadanya, maka fungsi
ini jugalah yang menjadi nilai-nilai yang diasuhkan kepada generasi berikut
(anak-anaknya).
tangga), misalnya, para orang tua bicara sadar atau tak sadar ikut berperan
7
perempuan cenderung dilihat sebagai pendamping dan penunjang profesi
sejajar suami (laki-laki). Hal ini dapat ditafsirkan sebagai suatu pernyataan
dibandingkan perempuan dewasa. Terkait dengan hal itu, maka peran dan
teknologi dan ekonomi dalam masyarakat, asimetri gender ini menjadi tidak
menguatkan pandangan bahwa selain tidak adil, kekakuan peran gender dan
8
Uraian ini dengan gamblang menunjukkan bahwa kegagalan
lingkungan rumah, yang meliputi ruang keluarga, dapur, kamar mandi, ruang
tidur, ruang cuci pakaian dan setrika, beranda rumah hingga batas rumah
tangga; suatu peran yang sebenarnya mungkin diperankan juga oleh laki-
laki.
yang berada di sektor publik. Hal ini pada akhirnya menggiring perempuan
9
Secara umum setiap masyarakat menggambarkan suatu perbedaan
satu tempat, perempuan memintal dan mungkin laki-laki tidak. Orang lain
Apapun peran pekerjaan yang dipilihkan oleh tradisi bagi perempuan, hal ini
cenderung dianggap sebagai hanya satu hal yang mungkin, sesuatu yang
ditetapkan oleh alam perempuan dan laki-laki. Meninggalkan diri dari peran
Inilah problema klasik yang dihadapi kaum perempuan yang hingga kini
bersifat biologis dan tidak dapat diubah lagi), sehingga perbedaan gender
10
Ideologi gender tersebut hidup dengan didukung oleh sistem
serta tentang kualitas maskulinitas dan feminitas, yang menurut Deaux dan
bawah posisi pria. Dalam perjalanan waktu, hampir seluruh aspek kehidupan
logis dari peran-peran yang dilakukannya sekarang ini (Tait, 1954: 7-8).
masyarakat tentang perilaku dan tindak kegiatan yang dianggap pantas bagi
perempuan dan laki-laki serta hak, sumber daya dan kekuasaan yang layak
mereka miliki (Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia, 2005: 34). Oleh
11
karena itu, maka kesenjangan gender tertanam dalam kelembagaan,
sumber daya apa saja yang dapat diakses oleh laki-laki dan perempuan,
kegiatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan dalam bentuk apa
cenderung tidak bergerak dan dapat sangat lambat dan sulit berubah tetapi
antara lain disebabkan oleh warisan budaya yang bias gender, suatu budaya
yang menempatkan wanita pada posisi lapis dua setelah laki-laki dan kurang
12
memberikan peluang bagi terciptanya kesetaraan gender antara perempuan
dan laki-laki, khususnya dalam hal peran dan tugas – yang nota benne
sosial (social construction) yang secara terus menerus terjadi dalam kurun
waktu yang sangat lama dan terjadi dalam semua bidang kehidupan
13
yang digunakan di SD misalnya, baik untuk pelajaran bahasa Indonesia
maupun mata pelajaran yang lain, ternyata memuat bias gender, yaitu
ketentuan Tuhan. Artinya, gender merupakan bagian dari sistem nilai atau
ideologi dalam masyarakat. Karena sudah menjadi sistem nilai, maka gender
pula pada benda atau teknologi yang ada. Kerangka berpikir dalam
Bahwa bangunan atas kebudayaan (sistem nilai budaya atau ideologi) akan
Analisis Kritis
14
Kegagalan perempuan dalam berkarir tampaknya tidak terlepas dari
pandangan dan praksis bias gender yang diwariskan lewat budaya dalam
sistem sosial yang terbangun secara sistemik dalam jangka waktu yang lama.
dalam bentuk bias gender ini akhirnya secara sempurna terinternalisasi dalam
diri peserta didik, dan kemudian mengristal dalam bentuk pemikiran, sikap, dan
perilaku yang serba bias gender. Bahkan, tanpa disadari, perempuan ikut serta
dalam arus itu, sehingga perempuan serta merta mendudukkan dirinya dengan
manis pada posisinya yang bias gender – yang nota benne tidak
15
nyali untuk bisa tampil di luar area konvensionalnya. Tragisnya, perempuan
terdidik juga larut dalam arus ini, sehingga mereka tidak berani tampil penuh
mulia yang lain. Padahal, dengan pengabdian ini, perempuan akan menjadi
lebih bermakna, baik untuk dirinya maupun untuk pihak lain. Dengan
syukur atas anugerah fisik dan psikis yang diberikan Tuhan. Dengan syukur itu
pula, perempuan menjadi punya credit point di hadapan Tuhan, hanya tabungan
Solusi Bijak
yang disebabkan oleh difusi budaya secara masif melalui proses pembelajaran
tinggi, dibebaskan dari materi ajar yang bias gender, dan disertai pola
pembelajaran yang tidak bias gender. Upaya ini memerlukan political will dari
16
semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan, terutama
Ketiga, dalam lingkup keluarga, para orang tua sejak dini melakukan
pola asuh yang tidak bias gender, dengan mendudukkan pandangan, sikap, dan
perilaku sehari-hari yang pro pada kesetaraan gender, khususnya dalam hal
peran dan tugas hidup sehari-hari. Sebagai teladan, misalnya, suami perlu
lebih luas di luar rumah. Peluang beraktivitas di luar rumah ini akan muncul
apabila suami memiliki pandangan yang luas tentang hidup, bahwa istrinya –
pada hidup dan kehidupan dirinya dan orang lain. Spirit ini harus senantiasa
dikobarkan, karena perempuan tidak akan bisa mencapai kesejatian hidup yang
bermakna (bagi dirinya dan orang lain) tanpa berbuat sesuatu untuk pihak lain.
17
Aktualisasi diri atas nama emansipasi hendaknya tidak didasari oleh semangat
Referensi
18