Anda di halaman 1dari 18

PEREMPUAN TERDIDIK GAGAL BERKARIR

Sebuah Ironi

Oleh: Dr. H. Moh. Alifuddin, MM

Fenomena Absurd

Di Indonesia, emansipasi wanita ditengarai mulai berlangsung sejak era

R. A. Kartini. Namun, hingga kini posisi wanita (perempuan) di berbagai jenjang

karir masih tertinggal jauh dibandingkan pria. Sebagai ilustrasi, pada lingkup

eksekutif, komposisi wanita pada Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014)

hanya 11,76% atau 4 orang (dari 34 orang anggota kabinet). Kemudian dalam

lingkup legislatif, dari 560 anggota DPR RI Periode 2009-2014, hanya 101

(18,04%) orang wanita. Dalam lingkup yudikatif, dari 31 orang hakim agung

(MA), hanya 4 (12,9%) orang wanita. Sedangkan di sektor swasta (non-publik)

juga tidak jauh berbeda. Secara kuantitas perempuan yang berhasil menduduki

tampuk kepemiminan organisasi pada tahun 2001: 41.000 orang (dari total

235.000); 2002: 31.000 orang (dari total 202.000); 2003: 24.000 orang (dari

170.000); 2004: 20.000 orang (dari total 176.000); 2005: 37.801 orang (dari total

290.464); dan tahun 2006: 38.471 orang (dari total 249.788) (BPS, 2006).

Angka ini tidak mengalami perubahan pada tahun-tahun belakangan ini.

Lebih tragis lagi, banyak perempuan terdidik (lulusan diploma/akademi

dan universitas) tidak memiliki posisi sama sekali, menganggur. Bahkan dari

tahun ke tahun kecenderungannya terus meningkat. Pada tahun 2000 jumlah

1
perempuan terdidik sebagai penganggur terbuka adalah 241.000, tahun 2002:

289.000 orang, tahun 2004: 330.000 orang, dan tahun 2006: 349.543 orang.

Malah, untuk kategori setengah penganggur, lebih fantastis lagi. Untuk tahun

2000 mencapai angka: 419.000 orang, tahun 2002: 477.000 orang, tahun 2004:

550.000 orang, dan tahun 2006: 582.147 orang (BPS, 2006).

Para penganggur dari kalangan perempuan terdidik itu, baik sebagai

penganggur terbuka maupun setengah penganggur, sebagian terpaksa berkutat

di dapur, mengurusi segala hal yang berhubungan dengan urusan masak

memasak, kerumahtanggaan, mengasuh anak dan melayani suami. Dapur

dalam artian ini bermakna konotatif-simbolik sebagai suatu area konvensional

yang dijadikan pusat pengendali aktivitas konvensional perempuan sebagai juru

masak, pengasuh anak, pelayan suami, dan pengurus rumah tangga. Meskipun

perempuan yang “berkantor” di dapur ini sangat sibuk melakukan aktivitas

konvensionalnya, namun mereka adalah “penganggur”, setidaknya apabila

dilihat dari aktivitasnya di luar rumah. Predikat ini melekat hanya karena

perempuan tidak beraktivitas di luar sektor konvensional kerumahtanggaan;

tidak bekerja di luar rumah: kantor, pabrik, pasar, atau di manapun yang

penting di luar rumah. Bahkan, termasuk bekerja di rumah-rumah sebagai

pramuwisma; yang penting bukan di rumahnya sendiri. Kondisi ini, bagi

perempuan terdidik, memang terasa menyesakkan, terutama apabila aktivitas

konvensionalnya di dalam rumah tangga dipandang sebelah mata sebagai

karya rendahan yang minim kontribusi terhadap kehidupan rumah tangga

2
(keluarga), termasuk suami dan anak-anak. Padahal pengalaman secara paralel

dan lintas dunia menunjukkan bahwa tugas membesarkan anak menghambat

kemampuan perempuan untuk menemukan dan mempertahankan pekerjaan

yang layak (Heymann, 2006: 114). Lagipula apakah karya konvensional

perempuan di dalam rumah tangga kalah makna dibandingkan karya non-

kenvensional perempuan di luar rumah? Dalam hal sebuah rumah tangga

dimana seorang suami sangat sibuk bekerja di luar rumah dan karena

kesibukannya itu lalu memperoleh penghasilan yang memadai untuk memenuhi

kebutuhan rumah tangga (keluarga), apakah masih diperlukan peran istri untuk

bekerja di luar rumah? Apakah tidak lebih baik kalau sang istri tetap

memerankan fungsi konvensionalnya agar urusan dapur, rumah tangga,

pengasuhan anak, dan pelayanan terhadap suami berlangsung dengan baik?!

Pertanyaan ini menuntun kita untuk hati-hati dalam menyimak peran perempuan

terdidik. Peran perempuan terdidik dalam lingkup rumah tangga tentu tidak

kalah hebat dibandingkan dengan peran perempuan terdidik di sektor non-

konvensional sepanjang yang bersangkutan benar-benar mempunyai andil

besar bagi rumah tangga (keluarga). Keterdidikan perempuan terdidik niscaya

turut memberikan warna pada pola pengasuhan anak, pengelolaan rumah

tangga, dan pelayanan terhadap suami. Warna ini tentu saja dibutuhkan.

Namun, yang menjadi masalah (baca: isu kritis) adalah: apakah perempuan

terdidik cukup hanya mengemban peran konvensional pada sektor domistik

seperti itu? Apakah peran konvensional tersebut tidak membatasi atau

3
mereduksi perempuan terdidik untuk berkarya di luar rumah (sektor publik),

yang memberikan kepadanya peluang untuk menyumbangkan kontribusi pada

kehidupan pihak lain di luar rumah? Apakah ilmu pengetahuannya tidak muspra

jika tidak diabdikan untuk pihak lain di luar rumah, padahal dalam waktu yang

sama ada pihak lain yang boleh jadi sangat membutuhkan? Di sinilah letak ironi

dan sekaligus absurditas perempuan terdidik yang gagal berkarir!

Pertanyaan Kritis

Fenomena absurd tersebut setidaknya mengundang dua pertanyaan

kritis, yaitu: Kenapa perempuan terdidik gagal berkarir? Bagaimana supaya

perempuan terdidik dapat berkarir, berkarya nyata sesuai dengan pengetahuan

dan keterampilannya?

Faktor-faktor Penyebab

Paling tidak ada empat hal yang penting dicermati terkait dengan

kegagalan perempuan dalam berkarir, yakni:

1. Fungsi Perempuan yang Bias Gender

Kegagalan perempuan dalam karir bertalian dengan fungsi gender.

Dalam hal ini, perlu dipahami dua aspek pokok, sekaligus dilakukan

perbedaan antara keduanya. Dua aspek itu, menurut Arif Budiman (dalam

Widyatama, 2006: 3), adalah seks (jenis kelamin) dan gender. Pengertian

seks sebagai jenis kelamin adalah perbedaan yang didasarkan pada fisik

4
manusia. Perbedaan secara fisik itu melekat sejak lahir dan bersifat

permanen. Ia ditentukan oleh Tuhan dan diterima oleh manusia secara taken

for granted (apa adanya) sehingga disebut sebagai ketentuan Tuhan atau

kodrat. Menurut kodratnya, pria mempunyai penis, jakun, dan memproduksi

sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan

saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki vagina, dan

memiliki alat menyusui. Perbedaan fisik tersebut jelas tidak dapat

dipertukarkan begitu saja dan melekat secara permanen, kecuali melalui

operasi. Sedangkan pengertian berdasar gender dibangun berdasar

konstruksi sosial maupun kultural manusia.

Fungsi gender perempuan berhubungan dengan kodrat manusia

secara fisik yang antara lain memiliki alat reproduksi seperti rahim dan

saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki vagina, dan

memiliki alat menyusui.

2. Peran Perempuan yang Bias Gender

Peran (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status).

Dalam sosiologi konvesional, ’peran jenis kelamin’ merupakan peran sosial

yang dialokasikan pada laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin

biologis. Tiap status memiliki peran yang berbeda di tengah masyarakat.

Pembagian peran tersebut diatur secara tidak tertulis dalam sistem nilai yang

dianut oleh masyarakat, maka setiap entitas budaya dapat memiliki

perbedaan dalam pembagian peran berdasar jenis kelamin. Namun secara

5
umum, pembagian antara kelamin laki-laki dan perempuan itu cenderung

bias gender (Humm, 2002: 426).

Membicarakan tentang peran laki-laki dan perempuan, hampir

dipastikan melibatkan masalah tempat dimana peran itu dijalankan dan

aktivitas peran apa yang dilakukan. Tempat peran merupakan lokasi, tempat

atau ruang yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Tempat peran

merujuk pada aspek fisik, misalnya dikamar mandi, kamar tidur, dapur, ruang

keluarga, beranda rumah, halaman, ruang kantor, tempat praktek, toko,

pasar, jalan, dan sebagainya (Widyatama, 2006: 98).

Menurut kajian sosiologi, tempat dan jenis aktivitas peran yang

dilakukan sering dikategorikan dalam kategori yang sama, yaitu publik dan

domestik. Dalam perspektif tempat, wilayah domestik adalah wilayah di

dalam dan di seputar lingkungan rumah. Tempat-tempat tersebut meliputi

ruang keluarga, dapur, kamar mandi, ruang tidur, ruang cuci pakaian dan

setrika, beranda rumah hingga batas rumah dengan jalan raya. Sementara di

luar tempat-tempat itu disebut dengan wilayah publik. Misalnya, tempat kerja

(kantor, bengkel, sekolah, salon, studio foto dan sebagainya) dan tempat-

tempat umum seperti pasar, rumah makan, taman, sungai, jalan raya dan

sebagainya (Widyatama, 2006: 99).

Dalam perspektif jenis aktivitas atau peran yang dilakukan, juga dibagi

dalam dua kategori, yaitu publik dan domestik. Peran publik adalah aktivitas

yang berkait dengan kegiatan produktif yang berhubungan dengan

6
masyarakat luas, sementara aktivitas domestik adalah kegiatan yang

berkisar pada kegiatan reproduktif, misalnya menyiapkan masakan, menjaga

kebersihan rumah, mengasuh anak, dan semacamnya (Widyatama, 2006:

99).

Menurut Ihromi (dalam Mantik, 2006: 1), peranan terbatas perempuan

pada umumnya sejalan dengan pembatasan mengenai tempat perempuan,

yaitu diberi tempat atau fungsi yang ada kaitannya dengan fungsi

pengurusan rumah tangga dan fungsinya dalam proses reproduksi. Karena

para ibu menganut pemikiran yang telah diasuhkan kepadanya, maka fungsi

ini jugalah yang menjadi nilai-nilai yang diasuhkan kepada generasi berikut

(anak-anaknya).

Dalam pandangan Noerhadi (dalam Mantik, 2006: 3), istilah “ibu”

diberikan kepada perempuan sebagai kompensasi dari keterpencilan dan

ketergantungan seorang perempuan secara sosial-ekonomi pada laki-laki.

Keadaan ini dipertahankan secara terus-menerus dan membentuk mitos-

mitos yang mendukungnya. Didalam lingkup sosial yang kecil (rumah

tangga), misalnya, para orang tua bicara sadar atau tak sadar ikut berperan

melestarikan mitos-mitos tersebut. Pemberian perlakuan khusus terhadap

laki-laki dan perempuan merupakan wujud dari sikap mempertahankan

anggapan yang tidak berdasar itu.

Terkait dengan hal itu, Nurrachman-Sutojo (dalam Mantik, 2006: 4)

dalam penelitiannya menemukan bahwa dalam kaitannya dengan suami,

7
perempuan cenderung dilihat sebagai pendamping dan penunjang profesi

suami. Hanya sedikit orang yang memandang perempuan sebagai mitra

sejajar suami (laki-laki). Hal ini dapat ditafsirkan sebagai suatu pernyataan

bahwa perempuan hanya sebagai pelengkap laki-laki.

Di banyak tempat didunia, fisik laki-laki dewasa lebih besar

dibandingkan perempuan dewasa. Terkait dengan hal itu, maka peran dan

hubungan gender berkembang dari interaksi yang terjadi antara berbagai

kendala biologis, teknologi, ekonomis, dan kendala-kendala sosial lainnya.

Sejumlah ilmuwan sosial berpendapat bahwa peran gender pada mulanya

mencerminkan efisiensi strategi untuk bertahan hidup dan pembagian kerja

berdasarkan jenis kelamin, namun dengan semakin berkembangnya

teknologi dan ekonomi dalam masyarakat, asimetri gender ini menjadi tidak

efisien dan membatasi – karena norma-norma gender berubah lebih lambat

dibandingkan faktor-faktor yang membentuknya. Sejumlah bukti penting

menguatkan pandangan bahwa selain tidak adil, kekakuan peran gender dan

ketidaksetaraan yang mengikutinya juga sering menjadi tidak efisien, serta

membebani masyarakat dan pembangunan. Namun, bukti-bukti juga

menunjukkan bahwa meskipun norma-norma gender memakan waktu untuk

berubah, tetapi norma-norma tersebut jauh dari statis. Dalam kenyataan,

norma-norma tersebut dapat berubah cukup pesat sebagai tanggapan

terhadap kondisi-kondisi sosial ekonomi (Laporan Penelitian Kebijakan Bank

Dunia, 2005: 35).

8
Uraian ini dengan gamblang menunjukkan bahwa kegagalan

perempuan dalam karir antara lain terkait dengan masalah peran

perempuan yang berada di wilayah domestik, di dalam dan di seputar

lingkungan rumah, yang meliputi ruang keluarga, dapur, kamar mandi, ruang

tidur, ruang cuci pakaian dan setrika, beranda rumah hingga batas rumah

dengan jalan raya. Stereotipe domistik ini menempatkan perempuan pada

peran konvensional dalam bentuk pengasuhan anak dan pengurusan rumah

tangga; suatu peran yang sebenarnya mungkin diperankan juga oleh laki-

laki.

3. Tugas Perempuan yang Bias Gender

Terkait dengan tugas perempuan, menurut Bronstein (dalam

Widyatama, 2006: 8), sebagian besar masyarakat yang tinggal di negara-

negara dunia ketiga, melakukan pembagian kerja secara seksual. Laki-laki

ditempatkan secara tipikal berada di posisi dominan, pencari nafkah (bread

winner), sebagai pekerja produktif yang menanggung beban sebagai

penghasil pendapatan utama. Sementara perempuan berada di posisi

nyonya rumah (home maker) yang bertanggung jawab atas kegiatan

reproduktif dan pekerja domestik. Kecenderungan ini memperlihatkan bahwa

perempuan diposisikan dan di-setting pada tugas-tugas yang tidak produktif

yang berada di sektor publik. Hal ini pada akhirnya menggiring perempuan

lebih kecil memperoleh akses tugas-tugas produktif, yang memerlukan

pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki perempuan terdidik.

9
Secara umum setiap masyarakat menggambarkan suatu perbedaan

antara pekerjaan laki-laki dan perempuan, namun seberapa besar garis

pembatasnya akan beragam dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Di

satu tempat, perempuan memintal dan mungkin laki-laki tidak. Orang lain

mungkin membalikkan situasi tersebut. Beberapa masyarakat menganggap

seluruh bentuk perburuan sebagai pekerjaan laki-laki secara eksklusif; dalam

masyarakat lainnya, perempuan juga ambil bagian. Perempuan adalah

pedagang di beberapa tempat; di masyarakat lainnya, mereka bahkan tidak

diperbolehkan untuk memasarkan barang bagi kebutuhan rumah tangga.

Apapun peran pekerjaan yang dipilihkan oleh tradisi bagi perempuan, hal ini

cenderung dianggap sebagai hanya satu hal yang mungkin, sesuatu yang

ditetapkan oleh alam perempuan dan laki-laki. Meninggalkan diri dari peran

sepertinya akan berhadapan dengan ketidaksetujuan sosial (Tait, 1954: 48).

Inilah problema klasik yang dihadapi kaum perempuan yang hingga kini

sangat sukar diusik.

4. Warisan Budaya yang Bias Gender

Perbedaan gender (gender differences) berlangsung terus menerus

dalam sejarah yang sangat panjang dan kompleks hingga sekarang. Ia

dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial

sehingga banyak yang dianggap sebagai ketentuan Tuhan (seolah-olah

bersifat biologis dan tidak dapat diubah lagi), sehingga perbedaan gender

dianggap dan dipahami sebagai sebuah kodrat (Tait, 1954: 4).

10
Ideologi gender tersebut hidup dengan didukung oleh sistem

kepercayaan gender (gender believe sistem) yang mengacu pada

serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki dan perempuan

serta tentang kualitas maskulinitas dan feminitas, yang menurut Deaux dan

Kite, mencakup elemen deskriptif dan preskriptif, yaitu kepercayaan

“bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu” serta “bagaimana

seharusnya laki-laki dan perempuan itu” (Tait, 1954: 7).

Di seluruh dunia terdapat kecenderungan yang sama tentang

pandangan manusia terhadap perempuan dan laki-laki. Perempuan selalu di

bawah posisi pria. Dalam perjalanan waktu, hampir seluruh aspek kehidupan

sosial lebih banyak merefleksikan maskulinitas. Hampir dalam semua

kebudayaan di dunia, perempuan menempati posisi paling belakang. Pada

zaman dahulu, ketika fisik menjadi prasyarat bagi penguasaan struktural

sosial, perempuan termajinalisasi di bawah laki-laki. Ketika era persaingan

bebas, kedudukan perempuan masih dianggap sebagai pendukung

eksistensi laki-laki. Domestikasi perempuan menjadi sebuah konsekuensi

logis dari peran-peran yang dilakukannya sekarang ini (Tait, 1954: 7-8).

Sejalan dengan itu maka semua kebudayaan kemudian mengurai

perbedaan yang dibawa manusia sejak lahir ke dalam sejumlah pengharapan

masyarakat tentang perilaku dan tindak kegiatan yang dianggap pantas bagi

perempuan dan laki-laki serta hak, sumber daya dan kekuasaan yang layak

mereka miliki (Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia, 2005: 34). Oleh

11
karena itu, maka kesenjangan gender tertanam dalam kelembagaan,

berbagai keputusan rumah tangga, serta gaya kebijakan ekonomi, yang

terwujud dalam berbagai bentuk hubungan antara perempuan dan laki-laki.

Bahkan institusi kemasyarakatan – norma-norma sosial, adat istiadat, hak,

undang-undang – seperti juga institusi ekonomi, seperti pasar, membentuk

peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dan mempengaruhi

sumber daya apa saja yang dapat diakses oleh laki-laki dan perempuan,

kegiatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan dalam bentuk apa

mereka dapat berpartisipasi dalam perekonomian dan dalam masyarakat.

Institusi-institusi mewujudkan insentif yang dapat meningkatkan maupun

mengurangi prasangka. Bahkan ketika institusi-institusi formal maupun

informal tidak membedakan laki-laki dan perempuan secara eksplisit, mereka

mendapat masukan (secara eksplisit dan implisit) dari norma-norma sosial

yang berkaitan dengan peran gender. Institusi-institusi kemasyarakatan ini

cenderung tidak bergerak dan dapat sangat lambat dan sulit berubah tetapi

mereka jatuh dari statis. Karena ekonomi menentukan banyak kesempatan

yang dimiliki seseorang untuk meningkatkan taraf hidupnya, kebijakan

ekonomi dan pembangunan sangat berpengaruh terhadap ketidaksetaraan

gender (Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia , 2005: 13-14).

Kondisi ini memperlihatkan bahwa kegagalan wanita dalam berkarir

antara lain disebabkan oleh warisan budaya yang bias gender, suatu budaya

yang menempatkan wanita pada posisi lapis dua setelah laki-laki dan kurang

12
memberikan peluang bagi terciptanya kesetaraan gender antara perempuan

dan laki-laki, khususnya dalam hal peran dan tugas – yang nota benne

mungkin untuk saling dipertukarkan dan disetarakan.

5. Kontribusi Pendidikan yang Bias Gender

Kegagalan perempuan dalam berkarir juga tidak terlepas dari bias

gender yang berlangsung dalam proses pembelajaran, baik yang

berlangsung di lingkungan (masyarakat) maupun sekolah. Perbedaan gender

disosialisasikan dan dikuatkan melalui pembelajaran lingkungan.

Pembelajaran tersebut dibentuk, diperkuat, disosialisasikan bahkan

dikonstruksikan secara sosial melalui ajaran keagamaan maupun negara. Inti

pembelajaran sosial adalah menempatkan laki-laki dan perempuan dalam

wilayah yang berbeda, sehingga dicitrakan dalam penampilan berbeda pula.

Pria dicitrakan dalam sifat maskulin, sementara perempuan dalam

penampilan feminin. Pembelajaran sosial tersebut merupakan konstruksi

sosial (social construction) yang secara terus menerus terjadi dalam kurun

waktu yang sangat lama dan terjadi dalam semua bidang kehidupan

(Widyatama, 2006: 3).

Di sekolah-sekolah, cerita-cerita dalam buku bacaan wajib di sekolah-

sekolah juga menggambarkan adanya perbedaan peran antara laki-laki dan

perempuan. Dalam cerita-cerita tersebut, laki-laki pada umumnya disajikan

sebagai tokoh sentral, sedang perempuan hanya sebagai tokoh pelengkap

dan tidak jarang keberadaannya dihilangkan sama sekali. Buku-buku teks

13
yang digunakan di SD misalnya, baik untuk pelajaran bahasa Indonesia

maupun mata pelajaran yang lain, ternyata memuat bias gender, yaitu

memuat pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan. Ayah/laki-laki

digambarkan bekerja di kantor, di kebun, dan sejenisnya (sektor publik),

sedang ibu/istri/perempuan di dapur, memasak, mencuci, mengasuh adik,

dan sejenisnya (sektor domestik). Muatan buku bacaan tersebut menegaskan

ada dan berlangsungnya sosialisasi gender dalam pembelajaran sekolah.

Akibat dari sosialisasi tersebut, gender akhirnya dipandang sebagai

ketentuan Tuhan. Artinya, gender merupakan bagian dari sistem nilai atau

ideologi dalam masyarakat. Karena sudah menjadi sistem nilai, maka gender

merasuk dan berpengaruh pada sistem sosial dan kemudian berpengaruh

pula pada benda atau teknologi yang ada. Kerangka berpikir dalam

pendekatan ideasional kognisi dalam kebudayaan memang seperti itu.

Bahwa bangunan atas kebudayaan (sistem nilai budaya atau ideologi) akan

mempengaruhi bangunan tengah kebudayaan (sistem sosial budaya) dan

akhirnya sistem nilai dan sistem sosial budaya. Berdasarkan kerangka

berpikir tersebut, maka sistem nilai gender berpengaruh pada kehidupan

sistem sosial di sekolah (Muthali'in, 2001: 125-128), yang kemudian

mengristal dalam bentuk pemikiran (kognisi), sikap (afeksi) dan perilaku

(konasi) yang bias gender dalam kehidupan sehari-hari.

Analisis Kritis

14
Kegagalan perempuan dalam berkarir tampaknya tidak terlepas dari

pandangan dan praksis bias gender yang diwariskan lewat budaya dalam

sistem sosial yang terbangun secara sistemik dalam jangka waktu yang lama.

Warisan budaya tersebut diturunkan nenek moyang melalui pandangan

stereotip bahwa perempuan mempunyai kewajiban reproduksi dan mengurus

rumah tangga. Proses pembudayaan perbedaan gender atau ketidaksetaraan

gender itu sebagian berlangsung di lembaga pendidikan secara sistematis dan

seolah-olah tampak logis. Di lembaga-lembaga pendidikan, proses internalisasi

perbedaan dan ketidaksetaraan gender disajikan dalam bentuk materi ajaran

yang terkemas dengan rapi dalam kurikulum dan disampaikan secara

sistematis dengan menggunakan berbagai metode pengajaran.

Warisan budaya ini berlangsung secara turun temurun dan bahkan

sebagian ditularkan sejak dini melalui jalur pendidikan formal. Sistematisasi

dalam bentuk bias gender ini akhirnya secara sempurna terinternalisasi dalam

diri peserta didik, dan kemudian mengristal dalam bentuk pemikiran, sikap, dan

perilaku yang serba bias gender. Bahkan, tanpa disadari, perempuan ikut serta

dalam arus itu, sehingga perempuan serta merta mendudukkan dirinya dengan

manis pada posisinya yang bias gender – yang nota benne tidak

menguntungkan dirinya. Kondisi demikian, sampai batas-batas yang sukar

dinalar secara logis, mengungkung perempuan dalam kubangan domistifikasi

peran konvensional yang hanya memutar-mutar pada urusan dapur, rumah

tangga, pengasuhan anak, pelayanan suami. Alhasil, perempuan kurang punya

15
nyali untuk bisa tampil di luar area konvensionalnya. Tragisnya, perempuan

terdidik juga larut dalam arus ini, sehingga mereka tidak berani tampil penuh

percaya diri di luar area konvensionalnya (domistik): mengabdikan pengetahuan

dan keterampilan yang dimiliki di area publik atas nama kemanusiaan,

kemasyarakatan, kesosialan, keagamaan, keprofesionalan, atau demi tujuan

mulia yang lain. Padahal, dengan pengabdian ini, perempuan akan menjadi

lebih bermakna, baik untuk dirinya maupun untuk pihak lain. Dengan

pengabdiannya itu, perempuan bisa mengaktualisasikan segenap potensi diri

lengkap dengan pengtahuan dan keteranmpilannya sebagai bentuk ungkapan

syukur atas anugerah fisik dan psikis yang diberikan Tuhan. Dengan syukur itu

pula, perempuan menjadi punya credit point di hadapan Tuhan, hanya tabungan

untuk kehidupan kelak (akherat).

Solusi Bijak

Untuk mengatasi problem kegagalan perempuan terdidik dalam berkarir

yang disebabkan oleh difusi budaya secara masif melalui proses pembelajaran

di sekolah-sekolah dan di luar sekolah (masyarakat), paling kurang diperlukan

empat solusi bijak.

Pertama, institusi pendidikan, dari pendidikan dasar sampai pendidikan

tinggi, dibebaskan dari materi ajar yang bias gender, dan disertai pola

pembelajaran yang tidak bias gender. Upaya ini memerlukan political will dari

16
semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan, terutama

pendidik, pengelola institusi pendidikan, dan pemerintah.

Kedua, masyarakat berusaha mengubah pandangan bias gender dalam

berbagai praktik kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan masyarakat,

organisasi non-profit (pemerintah, politik, sosial, kepemudaan, pendidikan,

keagamaan, dll), maupun organisasi yang berorientasi profit (perusahaan),

seraya menjunjung tinggi kesetaraan gender: antara laki-laki dan perempuan.

Ketiga, dalam lingkup keluarga, para orang tua sejak dini melakukan

pola asuh yang tidak bias gender, dengan mendudukkan pandangan, sikap, dan

perilaku sehari-hari yang pro pada kesetaraan gender, khususnya dalam hal

peran dan tugas hidup sehari-hari. Sebagai teladan, misalnya, suami perlu

memberikan peluang kepada istrinya untuk mengaktualisasikan dirinya secara

lebih luas di luar rumah. Peluang beraktivitas di luar rumah ini akan muncul

apabila suami memiliki pandangan yang luas tentang hidup, bahwa istrinya –

sebagaimana dirinya sebagai manusia – juga berhak menunaikan

kewajibannya sebagai manusia atas sesama yang membutuhkan kontribusinya.

Keempat, perempuan terdidik memiliki keinginan kuat untuk mengabdi

pada hidup dan kehidupan dirinya dan orang lain. Spirit ini harus senantiasa

dikobarkan, karena perempuan tidak akan bisa mencapai kesejatian hidup yang

bermakna (bagi dirinya dan orang lain) tanpa berbuat sesuatu untuk pihak lain.

Namun, kobaran spirit ini hendaknya tidak berlebihan, seperti bagaimana

perempuan mengenakan busana yang terlalu minim atas nama emansipasi.

17
Aktualisasi diri atas nama emansipasi hendaknya tidak didasari oleh semangat

menaklukkan kaum pria, melainkan sekadar sebagai upaya untuk memperoleh

kesetaraan gender, supaya pria dan perempuan bisa berkolaborasi dengan

indah: saling asih, asah dan asuh, saling tolong menolong.

Referensi

Biro Pusat Statistik, 2006.


Heymann, Jody, Forgotten Families, New York: Oxford University Press, 2006.
Humm, Maggie, Ensiklopedi Feminisme, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.
Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia, Pembangunan Berperspektif Gender,
Jakarta: Dian Rakyat,2005.
Mantik, Maria Josephine Kumaat, Gender Dalam Sastra, Jakarta: Wedatama
Widya Sastra, 2006.
Muthali'in, Achmad, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2001.
Najlah Naqiyah, Gender di Era Global, http://najlah.blogspot.com/2005/01/ gender-
di-era-global.html.
Tait, Marjorie, The Education of Women for Citizenship: Some Practical
Suggestions, Paris: Unesco, 1954.
Widyatama, Rendra, Bias Gender Dalam Iklan Televisi, Yogyakarta: Media
Pressindo, 2006.

18

Anda mungkin juga menyukai