Anda di halaman 1dari 13

OPTIMALISASI PELAYANAN PERGURUAN TINGGI

Oleh: Dr. H. Moh. Alifuddin

Istilah pelayanan semakin populer seiring dengan perkembangan

peradaban umat manusia di berbagai lapangan kehidupan dan

pertumbuhan industri terutama dalam bidang jasa. Populeritas pelayanan

tersebut antara lain terkait dengan perkembangan kebutuhan, keinginan

dan harapan manusia yang terus berkembang hingga tiba pada suatu titik

optimal, yakni: cepat, tepat, aman, dan menyenangkan.

Sekarang, hampir setiap orang tidak suka lagi dengan pelayanan

yang birokratis, lama, minim atensi dan empati. Mereka menginginkan

pelayanan yang cepat, tepat, aman tetapi juga sekaligus paripurna

(memuaskan). Mereka menghendaki semua keinginan dan kebutuhannya

terpenuhi dalam waktu singkat, tanpa perlu merasa kawatir dan cemas.

Keinginan-keinginan tersebut memang tidak sederhana, tetapi tidak

mungkin untuk diabaikan, terutama oleh organisasi-organisasi yang tidak mau

ketinggalan zaman, tak terkecuali organisasi kependidikan. Oleh karena itu,

tidak dapat dihindari, bahwa pihak manajemen perlu mengevaluasi kembali:

apakah pelayanan yang sudah diberikan selama ini telah sesuai dengan

keinginan, kebutuhan atau harapan orang-orang yang dilayani, atau justru

sebaliknya: masih terjadi kesenjangan (gap) antara pelayanan yang diberikan


dengan pelayanan yang diharapkan orang-orang yang dilayani. Apabila yang

terjadi adalah gap, maka hal itu menunjukkan kualitas pelayanan yang kurang

prima, sehingga berpotensi menurunkan kinerja organissai secara

keseluruhan.

Sebagian besar perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak

dalam bidang jasa sudah menyadari betul akan pentingnya pelayanan bagi

pelanggan atau konsumennya. Bagi mereka, pelayanan merupakan pilar

utama untuk memelihara usahanya agar tetap eksis dan berkembang.

Kesadaran itulah yang kemudian mendorong mereka berusaha esktra dan

berlomba-lomba memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan atau

konsumennya. Namun sebaliknya, organisasi-organisasi kependidikan

belum menunjukkan upaya serius ke arah itu. Pengelola perguruan tinggi

pada umumnya masih menggunakan style lama, yakni dengan

memposisikan dirinya seolah-olah sebagai majikan. Dengan posisi seperti

itu, yang cenderung ditampilkan adalah pola pelayanan top-down, dari atas

ke bawah, sehingga aspirasi (kebutuhan, keinginan, harapan) dari bawah

(mahasiswa) kurang diperhatikan, bahkan dinafikan. Dalam tataran ini,

mahasiswa ditempatkan sebagai pelanggan/konsumen pasif, yang tidak

diberi hak untuk turut menentukan kualitas pelayanan, padahal mereka

mengeluarkan biaya pendidikan yang mahal dan karena itu semestinya

layak memperoleh pelayanan pendidikan yang betul-betul prima.


Kecenderungan seperti itu, terutama dalam konstelasi persaingan

antarperguruan tinggi yang semakin kompetitif, jelas membahayakan

kelangsungan hidup perguruan tinggi yang nyata-nyata mengabaikan aspek

pelayanan sebagai pilar utama untuk membangun eksistensi, citra diri, dan

reputasinya. Lebih dari itu, kondisi tersebut juga mencerminkan kegagalan

perguruan tinggi dalam mengemban amanahnya sebagai penyemai ilmu

untuk kepentingan publik (khususnya mahasiswa). Konotasinya, perguruan

tinggi bukan hanya sekedar sebagai penyemai ilmu dan teknologi, tetapi

juga berusaha mengimplementasikan hasil dari penyemaiannya itu di

kalangan internalnya dulu, agar dirasakan oleh mahasiswa sebagai peserta

didik dan sekaligus pelanggan/konsumen.

Pertanyaan

Terkait dengan fenomena tersebut, ada pertanyaan yang

menggelitik: mengapa perguruan tinggi sampai terjebak dalam kondisi

seperti itu, dalam arti kurang memperdulikan aspek pelayanan dalam

menyelenggarakan pendidikan tinggi? Padahal, bukankah Tridarma

Perguruan Tinggi telah nyata-nyata menandaskan: darma pengajaran,

penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, dan semua itu terutama

didedikasikan untuk kepentingan mahasiswa.


Teori

Untuk sampai pada analisis atas pertanyaan tersebut ada baiknya

disajikan sedikit teori yang relavan dengan pelayanan, yakni teori pelayanan

dan TQM (Total Quality Management) atau manajemen mutu terpadu.

Mengenai pelayanan, Gibson, Ivancevich & Donnelly (1992)

mengatakan bahwa pelayanan adalah kegiatan yang dikehendaki

konsumen atau klien, atau pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain.

Sedangkan bagi Kotler & Amstrong (1997), pelayanan adalah kegiatan atau

manfaat yang ditawarkan oleh satu pihak kepada yang lain yang pada

dasarnya tidak kasat mata dan tidak mengakibatkan kepemilikan.

Zaithaml, Parasuraman & Barry (1990) mengemukakan lima dimensi

pelayanan yang perlu diperhatikan, yaitu: reliability, assurance, tangibles,

emphaty dan responsiveness. Reliability merupakan kemampuan untuk

memberikan pelayanan yang telah dijanjikan secara handal dan akurat.

Assurance, meliputi pengetahuan dan kesopanan karyawan atau pegawai

dalam melayani pelanggan serta kemampuan mereka untuk menjaga

kepercayaan pelanggan. Tangibles, mencakup penampilan fasilitas fisik,

peralatan, tenaga kerja dan alat komunikasi. Emphaty, yaitu kepedulian,

perhatian individual yang disediakan oleh organissai kepada pelanggan.

Sedangkan responsiveness merupakan kemauan untuk membantu pelanggan

dan menyediakan layanan dengan segera.


Mengenai TQM, Hensler & Brunell (dalam Tjiptono & Diana, 2001)

mengemukakan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Kepuasan pelanggan

Dalam TQM, konsep mengenai kualitas dan pelanggan diperluas. Kualitas

tidak lagi hanya bermakna kesesuaian dengan spesifikasi-spesifikasi

tertentu, tetapi kualitas tersebut ditentukan oleh pelanggan, pelanggan itu

sendiri meliputi pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Kebutuhan

pelanggan diusakan untuk dipuaskan dalam segala aspek, termasuk di

dalamnya harga, keamanan, dan ketetapatan waktu. Oleh karena itu

segala aktivitas perusahaan harus dikoordinasikan untuk memuaskan para

pelanggan.

b. Respek terhadap setiap orang

Dalam perusahaan yang kualitasnya kelas dunia, setiap karyawan

dipandang sebagai individu yang memiliki talenta dan kreativitas tersendiri

yang unik. Dengan demikian karyawan merupakan sumber daya organisasi

yang paling bernilai. Oleh karena itu setiap orang dalam organisasi

diperlakukan dengan baik dan diberik kesempatan untuk terlibat dan

berpartisipasi dalam tim pengambil keputusan.

c. Manajemen berdasarkan fakta

Perusahaan kelas dunia berorientasi pada fakta. Maksudnya bahwa setiap

perusahaan selalu didasarkan pada data, bukan sekedar pada perasaan

(feeling). Ada dua konsep pokok berkaitan dengan hal ini. Pertama,
prioritas yakni suatu konsep bahwa perbaikan tidak dapat dilakukan pada

semua aspek pada saat yang bersamaan, mengingat keterbatasan sumber

daya yang ada. Oleh karena itu dengan menggunakan data, maka

manajemen dan tim dalam organisasi dapat memfokuskan usahanya pada

situasi tertentu yang vital. Kedua, variasi atau variabilitas kinerja manusia,

data statistik dapat memberikan gambaran mengenai variabilitas yang

merupakan bagian yang wajar dari setiap sistem organisasi. Dengan

demikian manajemen dapat memprediksi hasil dari setiap keputusan dan

tindakan yang dilakukan.

d. Perbaikan berkesinambungan

Agar dapat sukses, setiap perusahaan perlu melakukan proses secara

sistematis dalam melaksanakan perbaikan berkesibabungan. Konsep yang

berlaku di sini adalah siklus PDCA (plan-do-check-act), yang terdiri dari

langkah-langkah perencanaan, pelaksanaan rencana, pemeriksaan hasil

pelaksanaan renacana, dan tidakan korektif terhadap hasil yang diperoleh.

Pendekatan TQM dilakukan berdasarkan enam konsep dasar,

yaitu: (1) Suatu manajemen yang mempunyai komitmen dan terlibat

penuh untuk memberi dukungan organisasi dari atas ke bawah; (2)

Suatu fokus terus-menerus ke konsumen internal dan eksternal; (3)

Melibatkan dan memberdayakan seluruh SDM organisasi secara efektif; (4)

Perbaikan kontinu/terus-menerusdari seluruh bisnis dan proses produksi; (5)


Melibatkan para pemasok sebagai mitra kerja; (6) Menentukan sistem

pengukuran untuk semua proses (Tjiptono & Diana, 2001).

Dalam prakteknya, TQM tidak hanya diaplikasikan di perusahaan-

perusahaan yang memproduksi barang-barang, namun juga diaplikasikan di

lingkungan akademik. Istilah mutu terpadu dalam pendidikan sering disebut

sebagai Total Quality Education (TQE). Aplikasi konsep manajemen mutu

terpadu dalam pendidikan ditegaskan oleh Sallis (1993):

Total quality manajement is a philosophy improvement, which can


provide any educational institution with a set of practical tools for
meetings and exceeding present and future customers need, wants,
and expectations.

Definisi tersebut menjelaskan bahwa manajemen mutu terpadu

menekankan pada dua konsep utama. Pertama, sebagai suatu filosofi dari

perbaikan terus-menerus (continous improvement); dan kedua, berhubungan

dengan alat-alat dan teknik seperti “brainstorming” dan “force field analysis”

(analisis kekuatan lapangan), yang digunakan untuk perbaikan kualitas dalam

tindakan manajemen untuk mencapai kebutuhan dan harapan pelanggan

(peserta didik).

Aplikasi TQM dalam satuan pendidikan dapat pula disebut Total Quality

School (TQS) sebagaimana dikemukakan oleh Arcaro (dalam Syafarudin,

2002) dengan lima pilar, yaitu: (1) fokus pada pelanggan baik eksternal

maupun internal, (2) adanya keterlibatan total, (3) adanya ukuran baku mutu
lulusan sekolah, (4) adanya komitmen, dan (5) adanya perbaikan yang

berkelanjutan.

Pendapat lain tentang mutu terpadu dalam pendidikan dikemukakan

oleh Schargel (1993) yang menegaskan:

Total Quality Education is a process which involves focussing on


meeting and exceeding customer expectations, contionous
improvement, sharing responsibilities with employees, and reducing
scrap and rework.

Pengertian tersebut menjelaskan bahwa manajemen mutu terpadu

pendidikan sebagai suatu proses yang melibatkan pemusatan pada

pencapaian kepuasan harapan pelanggan pendidikan, perbaikan terus

menerus, pembagian tanggung jawab dengan para pegawai, dan

pengurangan pekerjaan tersisa serta pengerjaan kembali.

Dalam mengadopsi manajemen terpadu dalam pendidikan, menurut

Field (1994), setidaknya ada empat alasan yang menjadi pertimbangan dalam

rangka penerapannya, yakni:

a. Para pendidik harus bertanggung jawab terhadap urusan pekerjaan

mereka secara proaktif. Mereka harus membangun penyelesaian masalah

yang masuk akal (reasonable) dengan mengidentifikasi dan menunjukkan

penyelesaian akan persoalan yang dihadapi.

b. Pendidikan membutuhkan proses penyelesaian malasah yang bijaksana

dalam rangka mengidentifikasi dan memberikan penyelesaian masalah.


c. Organisasi sekolah harus menjadi model organisasi pengajaran yang tepat

untuk semua, baik tingkat dasar, mencegah, dan tinggi. Persekolahan

telah dikalahkan oleh lembaga-lembaga rumah tangga yang memberi

latihan, kelompok konsultan pengajaran privat dengan berbagai praktik

pekerjaan khusus, sehingga telah menggantikan sekolah umum.

d. Untuk mengatasi hal-hal yang dikemukakan hanya mungkin dilaksanakan

dengan mengintegrasikan “Total Quality” (mutu terpadu) ke dalam

sekolah, terutama bila disadari bahwa sistem yang ada sekarang belum

bekerja dengan baik. Karena itu, aplikasi mutu terpadu melahirkan sistem

terbaik.

Menurut Sallis (1993), pendidikan adalah jasa yang berupa proses

pembudayaan. Pengertian ini berimplikasi pada adanya pemasukan (input)

dan keluaran (output). Masukan adalah peserta didik, sarana, prasarana, dan

lingkungan. Sedangkan keluaran adalah lulusan, atau alumni, mungkin hasil

penelitian pelayanan profesional dari perguruan tinggi yang kemudian menjadi

ukuran mutu, dan produk yang diberikan lembaga pendidikan adalah jasa

pelayanan. Mutu jasa pelayanan pendidikan sangat bergantung pada sikap

pemberi pelayanan di lapangan dan sikap serta harapan pemakai jasa

pendidikan. Hal ini berarti jasa pelayanan pendidikan tidak berwujud benda

(intangible) secara langsung. Namun secara kualitatif mutu jasa pelayanan

pendidikan dilihat dari indikator lunak (soft indicators) seperti rasa kepedulian
dan perhatian terhadap keinginan, harapan dan kepuasan pelanggan jasa

pendidikan.

Analisis: Teori dan Alikasi Timpang

Teori pelayanan dan TQM sama sekali bukan hal baru, apalagi bagi

kalangan perguruan tinggi, khususnya para pengelola dan dosen. Bahwa

pelayanan terkait dengan usaha memenuhi keinginan, kebutuhan dan harapan

konsumen (pelanggan), dan TQM sebagai upaya perbaikan mutu secara terus

menerus, sudah sangat dipahami. Artinya, pada tataran teoretik sudah tidak

ada masalah. Yang terasa kurang adalah pada tataran empirik atau aplikasi.

Tegasnya, kalangan perguruan tinggi baru bekerja pada level teori dan kurang

menyentuh area aplikasi. Bagaimana konsep-konsep pelayanan dan TQM

diaplikasikan pada pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan tinggi belum

dilakukan dengan baik. Upaya ke arah aplikasi konsep (teori) pelayanan dan

TQM baru setengah hati. Hal ini misalnya dapat dilihat dari pelayanan

akademik (termasuk pengajaran, penelitian, laboratorium, perpustakaan) yang

masih jauh dari memadai. Demikian pula pelayanan administratif, kecuali

disiplin dalam hal menagih uang kuliah yang telat bayar, secara umum juga

masih jauh dari memadai.

Kalau dicermati, intinya adalah pengelola perguruan tinggi tidak

sepenuhnya memberikan hak-hak atas pelayanan kepada mahasiswa. Hak-

hak tersebut sejatinya melekat pada kewajiban perguruan tinggi untuk


memberikan pelayanan atau jasa pendidikan dengan sebaik-baiknya kepada

mahasiswa sebagai peserta didik. Kewajiban ini merupakan konsekuensi logis

dari keberanian perguruan tinggi ”menjual” jasa pendidikan kepada

masyarakat (mahasiswa), sehingga mau tidak mau perguruan tinggi harus

melaksanakan kewajibannya dengan baik, karena kewajiban itu sudah ”dibeli”

oleh masyarakat (mahasiswa) dengan biaya yang mahal. Artinya, apabila

perguruan tinggi lalai melaksanakan kewajibannya tersebut, berarti perguruan

tinggi telah mengingkari komitmennya sendiri sebagai ”penjual” jasa

pendidikan.

Pelaksanaan kewajiban atas hak-hak pelayanan kepada mahasiswa

yang jauh dari maksimal tersebut dilatarbelakangi oleh cara pandang yang

keliru atas posisi pengelola perguruan tinggi versus mahasiswa. Pengelola

perguruan tinggi cenderung memandang mahasiswa sebagai ”anak bawang”

yang butuh pengasuhan esktra sehingga layak diperlukan ”sesuka hati” oleh

pihak pengasuh (perguruan tinggi). Dalam hal ini, konsep andragodi

(pendekatan pendidikan dan pengajaran yang mengganggap peserta didik

sebagai individu dewasa yang perlu diperlakuan layaknya orang dewasa)

diabaikan, atau terabaikan. Kondisi ini pada gilirannya memungkinkan

terjadinya perlakuan-perlakuan pelayanan yang kurang sedap dan jauh dari

layak terhadap mahasiswa.

Selain itu, pengelola perguruan tinggi juga kurang tepat dalam

memaknai konsep pelayanan pendidikan dalam spektrum kompetisi antar


perguruan tinggi. Pelayanan pendidikan seharusnya dimaknai sebagai usaha

untuk memuaskan peserta didik (mahasiswa) secara keilmuan dan

”pengalaman”. Pemuasan secara keilmuan dapat dilakukan melalui proses

pembelajaran, sedangkan pemuasan atas pengalaman dapat dilakukan

melalui teladan-teladan baik yang dilakukan oleh para pengelola perguruan

tinggi. Termasuk dalam hal ini adalah aplikasi konsep pelayanan dan TQM

secara baik dan memadai dalam penyelenggaraan pendidikan dan

pengajaran. Pengalaman ini merupakan modal berharga bagi mahasiswa

setelah lulus untuk terjun di tengah-tengah masyarakat. Apabila para

pengelola perguruan tinggi dapat menunjukkan dan meneladankan cara-cara

melayani orang lain dengan baik dan penuh empati, maka setelah terjun ke

masyarakat para alumni perguruan tinggi juga akan dapat melakukan hal yang

sama. Inilah yang selama ini kurang disadari, atau setidaknya kurang

meperoleh porsi, dari kalangan pengelola perguruan tinggi.

Optimalisasi

Alangkah indahnya kalau perguruan tinggi bukan hanya sekadar

sebagai penyemai teori, tetapi juga sekaligus sebagai praktisi atas teori-teori

yang dikembangkan, minimal di lingkungannya sendiri. Dari sini mahasiswa

dapat belajar, dan masyarakat tak lagi melihat perguruan tinggi sebagai

menara gading.
Oleh karena itu, penting dan urgent bagi kalangan pengelola perguruan

tinggi untuk segera mengubah orientasi penyelenggaraan pendidikan tinggi,

dari sekedar berorientasi pada penguasaan dan pengembangan teori, hingga

aplikasi pula. Ini diperlukan bukan sekedar sebagai bentuk kewajiban atau

representasi dari komitmen perguruan tinggi, melainkan lebih dari itu,

mahasiswa butuh teori dan aplikasi sekaligus sebagai bekal hidup di masa

depan.

Referensi

Gibson, J.L., J. M. Ivancevich, and J. A. Donnely, Fundamentals of


Management, Boston: Irwin, 1992.

Kotler, Philip and Gary Armstrong, Marketing an Introduction, New Jersey:


Prentice Hall International, 1997.

Sallis. Edward, Total Quality Management in Education. London: Kogan Page


Educational Management Series. 1993.

Syafarudin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Strategi,


dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002.
Schargel, Franklin P., Transforming Education Through Total Quality
Management: A Practitioner’s Guide. New york: EYE on Education, 1993.

Tjiptono, Fandy & Anastasia Diana, TQM: Total Quality Management,


Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001.

Zeithaml, Valarie A., A. Parasuraman, dan Leonard L. Berry, Delivering Quality


Service: Balancing Customer Perceptions and Expectation, New York:
The Free Press, 1990.

Anda mungkin juga menyukai