Anda di halaman 1dari 12

REVITALISASI IPTEK BAGI PENINGKATAN KUALITAS

SDM PERGURUAN TINGGI

Oleh: Dr. H. Moh. Alifuddin, MM

Fenomena Ganjil
Sukar disangkal bahwa pelayanan akademik dan administratif di
perguruan tinggi negeri dan swasta jauh dari memuaskan. Fenomena ini antara
lain terlihat dari keluhan mahasiswa yang tanpa putus sepanjang waktu. Dari
urusan akademik yang penting seperti memperoleh pelayanan pengajaran yang
layak, tersedianya referensi yang memadai di perpustakaan, sistem penilaian
yang obyektif, bimbingan karya ilmiah secara memadai, sampai urusan
administrasi yang remeh seperti daftar ulang, masih dikeluhkan mahasiswa. Ini
merupakan ironi yang sukar dinalar. Bagaimana mungkin perguruan tinggi
sebagai produsen sekaligus gudang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
tidak mampu memberikan pelayanan secara paripurna? Alih-alih, persoalannya
terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang kurang memadai. Di
berbagai perguruan tinggi, meskipun bertaburan pakar yang sangat pintar dan
kompeten dalam hal pelayanan misalnya, namun enggan melakukan pelatihan
pelayanan untuk kalangan internalnya. Mereka lebih suka memberikan ilmunya
untuk kalangan luar kampus yang langsung menghasilkan uang daripada
melakukan untuk kalangan internalnya sendiri. Dalam jangka menengah dan
panjang, kecenderungan seperti ini sama sekali tidak menguntungkan,
terutama dalam konteks persaingan.

Pertanyaan Kritis
Fenomena tersebut mengundang satu pertanyaan kritis: Mengapa
manajemen pergururn tinggi enggan memanfaatkan IPTEK untuk meningkatkan
kualitas SDM-nya?

1
Teori
Setiap kegiatan membutuhkan sumber daya manusia (SDM). Demikian
pula penyelenggaraan pruguruan tinggi juga membutuhkan SDM. Sumber daya
manusia atau human resouses mengandung dua pengertian. Pertama, sumber
daya manusia (SDM) mengandung pengertian usaha kerja atau jasa yang
dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal ini SDM mencerminkan
kualitas usaha yang diberikan oleh seseorang dalam waktu tertentu untuk
menghasilkan barang dan jasa. Pengertian kedua dari SDM menyangkut
manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja
tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai
nilai ekonomi, yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Sumarsono, 2009: 2).
Selain itu, SDM juga dapat dipahami sebagai seluruh kemampuan atau
potensi penduduk yang berada di dalam suatu wilayah tertentu beserta
karakteristik atau ciri demografis, sosial maupun ekonominya yang dapat
dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan (http://www.edukasi.net.03.htm).
Jadi, ketika membahas SDM, berarti membahas penduduk dengan segala
potensi atau kemampuannya. Potensi manusia menyangkut dua aspek, yaitu:
kuantitas dan kualitas. Karakteristik demografi merupakan aspek kuantitas SDM
yang dapat digunakan untuk menggambarkan jumlah dan pertumbuhan
penduduk, penyebaran penduduk dan komposisi penduduk. Sedangkan
karakteristik sosial dan ekonomi merupakan aspek kualitas (mutu) SDM.
Keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara, sangat
ditentukan oleh kualitas SDM-nya, baik secara fisik maupun prikis (mental).
Menurut Mangkuprawira (2003: 236), dibandingkan dengan faktor
produksi lainnya, sumber daya manusia (SDM) memiliki keunikan yang dicirikan
oleh beberapa hal sebagai berikut:
a. Instuisi dan emosi; artinya sebagai potensi mahluk hidup, manusia tidak
dapat diperlukan, seperti faktor produksi lainnya yang bersifat pasif.
Manusia dengan potensinya (SDM) memiliki ciri perasaan yang mendalam
jika diperlukan tidak wajar. Dia bisa protes, berkeluh-kesah, puas, dan
sebagainya.

2
b. Kepribadian aktif; artinya tiap manusia cenderung ingin meraih kinerja
semaksimal mungkin. Ini pertanda bahwa manusia memiliki kebutuhan fisik
dan bukan yang tidak statis dan bahkan tidak terbatas. Akan tetapi, di sisi
lain sumber daya yang dimiliki terbatas. Oleh karena itu, diperlukan
beberapa pilihan yang harus dicari dan dipenuhi oleh manusia.
c. Kinerja manusia merupakan fungsi dari tingkat kemampuan, sikap, dan
derajat motivasinya. Berdasarkan formula tersebut, maka SDM tidak dapat
dianggap seragam potensinya. Ada 4 golongan manusia, yaitu (1) orang
yang mampu, tetapi tidak mau, (2) orang yang mau tetapi tidak mampu, (3)
orang yang mau sekaligus mampu, dan (4) orang yang tidak mampu dan
tidak mampu.
d. Manusia memiliki tiga tahap pengembangan individu: (1) tahap
ketergantungan (dependensi) terhadap orang lain. Pada tahap ini menusia
memiliki paradigma “engkau”; (2) tahap kebebasan (independensia) di mana
individu mempunyai kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Pada tahap
ini manusia memiliki paradigma kebebasan “aku”; (3) pada tahap berikutnya
individu berada dalam kondisi saling ketergantungan (interdependensi).
Paradigmanya adalah paradigma “kita”.
Lebih dari itu, menurut Gomez (2001: 26-27), unsur-unsur (variables)
sumber daya manusia meliputi kemampuan-kemampuan (capabilities), sikap
(attitudes), nilai-nilai (values), kebutuhan-kebutuhan (needs), dan karakteristik-
karakteristik demografisnya (penduduk). Unsur-unsur sumber daya manusia
tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, seperti norma-norma
dan nilai-nilai masyarakat, tingkat pendidikan dan peluang-peluang yang
tersedia. Unsur-unsur tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi peran dan
perilaku manajer dalam organisasi. Orang-orang dalam organisasi dapat
dibedakan satu dengan yang lainya berdasarkan variabel-variabel tersebut.
Orang-orang yang terlibat dalam organisasi biasanya memiliki karakter dalam
hal unsur-unsur yang saling berbeda satu dengan yang lainya, termasuk
manajernya. Perbedaan-perbedaan seperti itu sangat penting untuk diketahui
oleh manajer, dan sedapat mungkin mengakomodasikannya. Pengakuan atas
perbedaan potensi-potensi itu juga menuntut adanya penyesuaian manajer

3
terhadap kharakteristik-kharakteristik tersebut. Sebaliknya, peranan dan
perilaku manajer mempengaruhi unsur-unsur sumber daya manusia, dan
seterusnya juga akan berpengaruh terhadap lingkungannya.
Untuk menciptakan SDM yang berkualitas dan dapat bekerja dengan
baik pada organisasi diperlukan pengetahuan dan keterampilan tertentu yang
lazim disebut sebagai kompetensi. Untuk mewujudkan hal itu, maka diperlukan
manajemen sumber daya manusia (MSDM) sebagai penunjang pengelolaan
SDM. Sebagaimana diketahui bahwa komponen dasar organisasi terdiri atas
SDM (people), teknologi (technology), prosedur kerja (task) dan struktur
organisasi (organization tructure). Keempat elemen atau komponen dasar
tersebut saling terkait satu dengan yang lain secara simultan dan sinergis
dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi. Namun, dari keempat komponen
dasar tersebut, SDM (people) yang memiliki peran paling penting. Organisasi
dapat beroperasi karena dioperasionalkan oleh manusia yang ada di dalamnya.
Organisasi berkembang dan maju karena dikembangkan dan dimajukan oleh
peran pelaku organisasi yang terlibat di dalamnya. Manusia menjadi pelaku
utama setiap derap langkah organisasi dalam menjalankan misi untuk
mewujudkan tujuan dan cita-citanya. Peran SDM dalam organisasi begitu
penting dan menentukan, sehingga diperlukan manajemen yaitu cara
pengelolaan secara sistematis-terencana dan terpola agar tujuan yang
diinginkan baik di masa sekarang atau di masa depan dapat dicapai secara
optimal.
Terkait dengan hal itu, Simamora (1997: 68) menyatakan bahwa
manajemen sumber daya manusia (MSDM) merupakan bagian dari manajemen
keorganisasian yang memfokuskan diri pada unsur sumber daya manusia.
Tugas utama MSDM adalah untuk mengelola unsur manusia secara baik agar
diperoleh tenaga kerja yang puas akan pekerjaannya. Oleh karena hal tersebut,
maka tugas MSDM dapat dikelompokkan atas dua fungsi, yaitu: (1) fungsi
manajerial: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian,
dan (2) fungsi operasional: pengadaan, pengembangan, kompensasi,
pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja.

4
Menurut Simamora Simamora (1997: 38), kemampuan organisasi dalam
mengelola sumber daya manusia dapat terlihat dari terselenggaranya semua
fungsi yang harus diselenggarakannya guna mendukung kegiatan semua
komponen organisasai yang bersangkutan. Fungsi-fungsi dimaksud ialah: (1)
perencanaan sumber daya manusia, (2) rekrutmen dan seleksi, (3) orientasi
dan penempatan, (4) pelatihan dan pengembangan, (5) penilaian kinerja, (6)
penerapan sistem imbalan yang efektif, (7) perencanaan dan pengembangan
karier, dan (8) perlindungan dan pemeliharaan hubungan yang harmonis
dengan karyawan.
Di pihak lain Dessler (2003: 112) menyatakan bahwa MSDM adalah
suatu pendekatan terhadap manusia dengan mengacu pada empat prinsip
dasar, yakni:
1. Sumber daya manusia merupakan aset yang sangat penting dari suatu
organisasi, manajemen yang efektif merupakan kunci bagi keberhasilan
organisasi tersebut.
2. Keberhasilan dari suatu organisasi hanya dapat dicapai jika peraturan atau
kebijakan dan prosedur yang bertalian dengan manusia dari organisasi
tersebut saling berhubungan dan memberikan sumbangan terhadap
pencapaian tujuan organisasi.
3. Kultur dan nilai organisasi, suasana organisasi dan perilaku manajerial
yang berasal dari kultur tersebut akan memberikan pengaruh yang besar
terhadap hasil pencapaian yang terbaik.
4. Manajemen SDM berhubungan dengan integrasi yang menjadikan semua
anggota organisasi terlibat dan bekerjasama untuk mencapai tujuan
bersama.
Lebih lanjut Dessler (2001: 138) menyatakan bahwa konsep-konsep
dasar yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam bertindak dan
merumuskan kebijaksanaan yang menyangkut manusia dalam organisasi dapat
dibagi menjadi tujuh anggapan sebagai berikut:
1. Manusia merupakan sumber daya yang paling strategik.
Hal ini tidak mengurangi pentingnya sumber daya yang lain seperti modal,
mesin, metode kerja, materi, waktu, energi dan informasi. Akan tetapi

5
karena sumber daya selain manusia adalah benda mati yang tidak akan
mempunyai arti apa-apa bila tidak digerakkan oleh manusia, tersedianya
daya dan dana yang melimpah tidak akan dengan sendirinya menjadikan
wahana yang andal untuk mencapai tujuan organisasi. Kalau sumber daya
manusia yang ada dalam organisasi menampilkan perilaku yang positif
maka organisasi tersebut akan produktif, tetapi sebaliknya bilamana sumber
daya manusia yang ada dalam organisasi menampilkan perilaku yang
disfungsional maka manusia pulalah yang merupakan unsur perusak paling
efektif dalam organisasi.
2. Manusia adalah mahluk yang paling mulia di muka bumi ini.
Hal tersebut karena manusia mempunyai banyak kelebihan dibandingkan
mahluk yang lainnya, antara lain adalah kemampuan kognitif dan daya
nalarnya serta berbagai mental intelektual, harkat dan martabatnya untuk
diakui dan dihargai oleh orang lain.
3. Manusia adalah mahluk yang sangat kompleks.
Demikian kompleksnya manusia sehingga diperlukan upaya yang terus
menerus untuk mengenalinya dengan lebih baik, dan salah satu implikasi
dari kenyataan tersebut adalah bahwa dalam mempekerjakan seseorang
maka manajemen harus menggunakan keseluruhan diri orang yang
bersangkutan.
4. Kompleksitas manusia sebagai mahluk yang sulit dipuaskan.
Artinya tidak hanya terbatas pada kebutuhan yang bersifat materi, akan
tetapi juga bersifat sosial, peningkatan harga diri, psikologis, mental,
intelektual dan bahkan juga spiritual.

5. Makin banyak ditinggalkannya penggunaan istilah “manajemen


kepegawaian” yang diganti dengan istilah “manajemen sumber daya
manusia”. Esensinya bukanlah sekedar pergantian istilah dan bukan pula
karena alasan populer, namun dengan menggunakan istilah dan konsep-
konsep manajemen sumber daya manusia, maka para pekerja dalam
organisasi tidak diperlakukan sebagai objek tetapi sebagai subyek, dalam
arti: pengakuan atas harkat dan martabatnya, perlakuan yang manusiawi di
tempat pekerjaan, pemberdayaan yakni dapat menikmati alam

6
kemerdekaan berdemokrasi diperusahaan atau organisasi dan memperoleh
imbalan yang didasarkan pada prinsip keadilan, kewajaran, kesetaraan dan
kemampuan organisasi
6. Apabila satuan kerja yang mengelola sumber daya manusia dalam
organisasi mampu memainkan peranannya dengan baik, maka akan
meningkatkan produktivitas kerja organisasi.
7. Setiap manajer adalah manajer sumber daya manusia.
Meskipun dalam organisasi terdapat satuan kerja yang secara fungsional
mengelola sumber daya manusia yang pemimpin tertingginya adalah salah
satu anggota direksi atau sejenisnya, hal itu tidak mengurangi atau
menghilangkan pentingnya peranan manajer lain selaku manajer sumber
daya manusia. Alasannya adalah bahwa manajer itulah yang akan:
a. Menentukan persyaratan profesional dan teknis dari para karyawan
yang menjadi bawahannya.
b. Memberikan penugasan kepada mereka (karyawan).
c. Membina para karyawan tersebut agar lebih mampu melaksanakan
tugas dengan lebih baik.
d. Memutuskan apakah karyawan bersangkutan sudah pantas untuk
dipromosikan memperoleh kenaikan pangkat atau kenaikan gaji.

e. Memberikan teguran atau tindakan kepada karyawan apabila


bawahannya itu melanggar disiplin organisasi.
Dengan demikian jelas kiranya bahwa posisi SDM dan MSDM sangat
vital bagi organisasi, tidak terkecuali organisasi pendidikan yang antara lain
mempunyai tugas memberikan pelayanan akademik dan administratif demi
tercapainya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Oleh
karena itu, peningkatan kualitas SDM merupakan keniscayaan. Kualitas dalam
artian ini, meminjam konstatasi Stewart (dalam Stoner, Freeman & Gilbert,
1995: 210), merupakan “a sense of appreciation that something is better than
something else.” Intinya adalah “lebih baik dari yang lain”. Jadi, SDM yang
berkualitas adalah SDM yang memiliki kelebihan jauh melampaui SDM yang
lain. Dengan demikian, ia memiliki keungggulan tertentu yang memungkinkan

7
untuk dapat bersaing. Sedangkan MSDM yang berkualitas adalah MSDM yang
mampu mengelola SDM sehingga memiliki keunggulan untuk bersaing.
Salah satu piranti untuk meningkatkan kualitas SDM adalah ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Ilmu adalah pengetahuan yang sudah
diklasifikasikan, disistematisasi, dan diinterpretasikan sehingga menghasilkan
kebenaran yang obyektif serta sudah diuji kebenaranya secara ilmiah,
sedangkan pengetahuan adalah apa saja yang diketahui oleh manusia atau
segala sesuatu yang diperoleh manusia baik melalui panca indra, intuisi,
pengalaman, maupun filsafat (Wahyuddin, dkk., 2009: 82).
Menurut Suriasumantri (2003: 104), pengetahuan pada hakekatnya
merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu,
termasuk kedalamnya adalah ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan
lainnya seperti seni dan agama. Sementara menurut The Liang Gie (2004:
120), pengetahuan adalah keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung
dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala/peristiwa
baik yang bersifat alamiah, sosial maupun kemanusiaan. Terbentuknya
pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa
ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Pemenuhan rasa ingin
tahu itu diawali dengan penalaran atau proses berpikir untuk menarik sesuatu
kesimpulan berupa pengetahuan yang benar dengan ciri-ciri logis dan dapat
dianalisis (ilmiah) (The Liang Gie, 2004: 120).
Crowl et al (1997: 139) membagi pengetahuan dalam tiga tipe, yaitu:
pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan konseptual.
Pengetahuan deklaratitif meliputi ingatan tentang fakta informasi, pengetahuan
dklaratif kadang-kadang juga disebut informasi verbal. Pengetahuan prosedural
meliputi bagaimana mempelajari fakta khusus, belajar tentang hukum-hukum
dan diaplikasikan dalam situasi yang lebih luas. Pengetahuan konseptual
meliputi pengkategorian konsep yang saling berhubungan. Konsep merupakan
klasifikasi dari suatu yang berkaitan dengan gambaran-gambaran atau
kejadian-kejadian.

8
Sedangkan Bloom (1981: 62-77) mengklasifikasikan pengetahuan
menjadi: (1) pengetahuan hal-hal khusus: (a) pengetahuan mengenai istilah, (b)
pengetahuan mengenai fakta khusus; (2) pengetahuan mengenai cara dan
penggunaan alat untuk melakukan hal-hal tertentu seperti: (a) pengetahuan
tentang kebiasaan, (b) pengetahuan tentang kecenderungan, (c) pengetahuan
tentang klasifikasi, (d) pengetahuan kategori, (e) pengetahuan metodologi; (3)
pengetahuan hal-hal yang umum yang meliputi: (a) pengetahuan tentang
prinsip dan generalisasi, (b) pengetahuan teori dan struktur.
Jadi ilmu pengetahuan adalah himpunan pengetahuan manusia yang
dikumpulkan melalui proses pengkajian dan penalaran atau dapat diterima oleh
akal.
Ikhwal teknologi, D. Bell (dalam Besari, 2008: 147-148) menyatakan
bahwa teknologi pada dasarnya adalah instrumen untuk memperbesar
(ekspand) kekuasaan manusia (human powers) dalam menciptakan kekayaan
(wealth). Teknologi adalah ilmu pengetahuan dan seni yang ditransformasikan
kedalam produk, proses, jasa, dan struktur organisasi yang pada dasarnya
merupakan seperangkat instrumen ekspansi kekuasaan manusia sehingga
dapat menjadi sumber daya cara baru untuk menciptakan kekayaan melalui
peningkatan produktivitas.
Dengan demikian, teknologi merupakan bagian dan turunan dari ilmu
pengetahuan. Dengan kondisi seperti ini, maka ilmu pengetahuan dan
teknologi lantas dipersenyawakan dalam satu akronim: IPTEK. Kehadiran
IPTEK, selain merupakan produk nyata manusia, khususnya para penyemai
IPTEK, juga diperuntukkan bagi manusia untuk memperlancar usaha-usahanya
dalam kehidupan riil. Bagi perguruan tinggi, IPTEK adalah produknya, tetapi
juga sekaligus merupakan instrumen untuk menjadikan dirinya tumbuh dan
berkembang, agar mampu memproduksi IPTEK yang lebih canggih lagi, yang
lebih bermanfaat.

Revitalisasi IPTEK
IPTEK jelas-jelas merupakan produk perguruan tinggi namun justru
terasa asing di lingkungan kampus. Seolah-olah IPTEK hanya didedikasikan

9
untuk pihak luar kampus. Padahal, sebelum ”dijual” atau dikontribusikan ke
pihak luar kampus, seharusnya IPTEK di-trial and error-kan dulu di lingkungan
kampus. Baru setelah betul-betul benar, layak, dan memberikan manfaat,
”dijual” ke pihak luar. Ini penting. Jangan sampai perguruan tinggi menjual
”kucing dalam karung”; menjual poduk/jasa yang tidak layak pakai. Dalam hal
ini, perguruan tinggi harus memosisikan dirinya sebagai ”laboratorium” dari
semua produk atau jasa yang akan ”dijual.” Sebagai laboratorium, perguruan
tinggi hanya akan mengeluarkan produk/jasa yang betul-betul layak dan laik
dikonsumsi, bukan laksana ”obat tak berbelas kasihan yang ditemukan dan
diberikan atas nama belas kasihan.” Ketika perguruan tinggi meluluskan alumni
yang tidak bermutu, sehingga alumninya tidak dapat bersaing dalam dunia
kerja, maka perguruan tinggi telah meramu ”obat tak berbelas kasihan yang
ditemukan dan diberikan atas nama belas kasihan.”
Kondisi seperti ini harus dihindari, sehingga kalangan perguruan tinggi
harus berani mengubah orientasi aktivitasnya: menjadi pro peningkatan
kualitas SDM internal. Tidak mungkin perguruan tinggi dapat memproduksi
produk/jasa yang bermutu tanpa kualitas SDM yang bermutu. Daya dukung
fasilitas kampus yang hebat tanpa disokong kualitas SDM yang andal tidak
akan mungkin menghasilkan produk/jasa unggulan. Mustahil kampus dapat
memberikan pelayanan yang baik tanpa didukung oleh SDM yang kompeten
dalam memberikan pelayanan.
Usaha ke arah itu sebenarnya tidak sulit dan juga tidak mahal. Caranya
sangat mudah. Manfaatkan para pakar yang ada dalam lingkungan kampus
untuk menjadi instruktur pelatihan atau workshop bagi kalangan internal
kampus. Libatkan mereka dalam berbagai pelatihan sesuai kebutuhan kampus.
Ajak pakar pelayanan berbagi pengetahuan dan kompetensi dalam sesi
pelatihan pelayanan bagi staf akademik dan administratif. Gandeng pakar
keuangan untuk berkontribusi pada pelatihan untuk staf keuangan. Ringkasnya,
manfaatkan SDM potensial yang dimiliki kampus untuk mengembangkan SDM
yangn lain. Dengan cara ini, SDM yang potensial akan merasa dihargai,
sedangkan SDM yang lain akan berterimakasih. Demikianlah cara indah dalam
berbagi: saling asah, asih dan asuh. Muaranya adalah peningkatan kualitas

10
SDM. Manajemen SDM harus mampu meng-cover ini. Pihak-pihak yang
berperan sebagai manajer SDM harus concern pada urgensi tersebut. Para
pakar MSDM yang ada di kampus dapat dilibatkan untuk ambil bagian, agar
berbagai potensi SDM yang ada kampus dapat bersinergi secara solid dan
harmonis. Inilah kuncinya.
Untuk menunjang hal itu, jangan lupa pula pada unsur teknologi sebagai
penunjang aktivitas kampus. Jika pakar internal kampus misalnya berhasil
memproduksi program aplikasi komputer untuk kegiatan administrasi
keuangan, gunakan aplikasi tersebut secara maksimal untuk menunjang
kelancaran aktivitas administrasi keuangan. Bahkan, karya mahasiswa
unggulan dari program studi sistem informasi dalam bentuk program aplikasi
admnistrasi akademik dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan aktivitas
administrasi akademik. Oleh karena itu, jangan pernah apriori kepada
mahasiswa yang hendak melakukan riset di lingkungan kampus dengan alasan
yang tidak rasional. Berikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk melakukan
penelitian dalam rangka penyusunan skripsi, tesis atau disertasi di lingkungan
kampus agar hasilnya dapat dimanfaatkan oleh kampus.
Inilah hakikat revitalisasi IPTEK bagi peningkatan kualitas SDM
perguruan tinggi. IPTEK yang merupakan produk perguruan tinggi
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan keperluan perguruan
tinggi. Dengan pola ini, perguruan tinggi akan semakin berkualiatas SDM-nya,
sehingga dapat memberikan kontribusi terbaik untuk stakeholders-nya, baik
yang berada di dalam maupun di luar kampus.

Referensi

Besari, M. Sahara, Teknologi Di Nusantara: 40 Abad Hambatan Inovasi


Jakarta: Salemba Teknika, 2008.
Bloom, Benjamin S., Taxonomy of Educational Objectives, New York:
Longman, Inc., 1981.
Crowl, Thomas K., Sally Kaminsky, & David M. Podell, Educational Psychology,
Chicago: A Time Mirror Company, 1997.
Dessler, Gary, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Indeks, 2003.
Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2004.

11
Gomes, Faustino Cardoso, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta:
Andi Offiset, 2001.
Mangkuprawira, Sjafri, Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2003.
Simamora, Henry, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: YKPN,
1997.
Stoner, James A. F., R. Edward Freeman & Daniel R. Gilbert, JR.,
Management, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1995.
Sumarsono, Sonny, Teori Kebijakan Publik Ekonomi Sumber Daya Manusia,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Wahyuddin, Achmad, dkk., Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi,
Jakarta: Grasindo, 2009.

12

Anda mungkin juga menyukai