Anda di halaman 1dari 3

PETANI…O..

PETANI

Hari Rabu minggu yang lalu (16/2/2011) saya menumpang kereta dari
Surabaya menuju Semarang. Dengan tubuh yang penat karena kurang tidur
saya mencoba tidur sebisanya dalam kereta. Namun mata rasanya tidak mau
terpejam dengan baik. Berkali-kali saya harus bangun untuk mengatur posisi
tubuh yang nyaman di kursi kereta. Pada suatu ketika saya sudah tidak bisa
lagi tidur dengan nyaman, saya lalu bangun dan mencoba mengarahkan
pandangan ke luar melalui jendela kereta yang bening. Di kanan-kiri rel
terbentang lahan sawah yang luas, yang sudah berubah warna kekuningan. Di
beberapa tempat malah sudah selesai dipanen dan mulai ditanami lagi.

Saya tidak tahu persis di wilayah mana waktu itu ketika mata dan pikiran saya
mulai bersinergi. Yang jelas waktu itu sudah lewat Bojonegoro karena
beberapa waktu sebelumnya, antara tidur dan bangun, saya sempat
mendengar seseorang di gerbong saya menelpon seseorang dan menyebut-
nyebut “sudah lewat Bojonegoro.” Yang saya saksikan di momen ini dan
sempat membuat saya lama tercenung adalah menyaksikan sejumlah besar
petani yang sedang memanen padi di hamparan sawah yang luas. Beberapa di
antara mereka sedang menaruh karung demi karung gabah ke atas beberapa
sepeda, sementara yang lain yang sudah selesai sedang mendorong sepeda
bermuatan karung itu menyusuri pematang sawah yang sempit.

Pemandangan yang amat menyentuh hati dan pikiran saya adalah ketika
menyaksikan beberapa kelompok petani yang berhenti sejenak dari
pekerjaannya, berdiri dan memandang kereta yang sedang lewat tidak jauh
dari tempat mereka berdiri. Seakan menemukan sebuah hiburan di tengah
kerja keras yang penuh peluh di bawah terik matahari yang panas, mereka
memandangi kereta yang sedang melaju cepat ke arah Semarang—Jakarta.
Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, kereta melaju melewati rumah-rumah
petani yang ada di sekitar daerah persawahan itu. Tidak banyak. Namun, dari
bentuknya rumah itu adalah rumah-rumah khas Jawa yang sudah tua.
Setidaknya lebih dari 20 tahun. Rumah-rumah itu dikelilingi oleh pekarangan

1
yang ditanami dengan beberapa tanaman yang saya tidak tahu persis
semuanya. Yang jelas ada pohon pisang di situ dan rumpun bambu di
kejauhan. Selain pohon-pohon ini saya tidak tahu.

Yang membuat pikiran dan hati bertemu adalah ketika memikirkan usia rel
ini dan menyadari kereta macam apa yang sekarang sedang melintas di depan
mata para petani dan di depan rumah-rumah mereka. Jika tidak salah hitung
rel yang menghubungkan Surabaya—Semarang—Jakarta ini setidaknya
hampir berusia 100 tahun. Artinya, dalam kurun waktu ini para petani ini dan
orang tua-orang tua mereka sudah bolak-balik melihat kereta lalu lalang dan
mendengar derunya yang beraneka ragam. Lalu, dalam kurun waktu itu
mereka pun sudah menyaksikan bermacam model dan bentuk kereta yang
lewat. Beberapa jam sebelumnya saya sempat menyaksikan sebentar loko tua
di depan Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Mungkin loko semacam itu yang
dahulu disaksikan oleh ayah-ibu mereka lalu lalang di dekat lahan sawah
mereka. Tetapi sekalipun dalam kurun waktu ini sudah terjadi “revolusi”
besar dalam teknologi perkeretapian namun para petani ini tetap saja begitu-
begitu saja hidupnya.

Zaman sudah berubah dan kereta sudah berubah—baik kecepatan maupun


bentuknya—namun para petani ini tetap tidak banyak berubah kehidupannya.
Rumah-rumah mereka tetap sederhana dan alat transportasi yang mereka
pakai masih saja sepeda—yang usianya lebih tua dari pada kereta api.
Sementara di dekat mereka lewat kereta yang dalam waktu kurang dari 8 jam
dapat membawa padi mereka ke pusat negeri ini—Jakarta—namun dengan
tertatih-tatih mereka harus mendorong sepeda tua melewati jalan pematang
yang sempit ke suatu tempat yang jauh dari Jakarta.

Dalam kereta api ini kami dapat memesan sepiring nasi goreng yang harganya
bisa lebih dari Rp 20.000,- namun di tempat mereka membawa gabah itu
harga gabah itu mungkin tidak bisa mencapai Rp 3.000,- saja. Ah ... sudah
kerja capek-capek di bawah terik matahari yang panas, namun ongkos sebesar
itu tidak mampu membuat mereka memperoleh upah yang lebih baik. Pantas
saja setelah hampir 100 tahun kereta lewat di dekatnya nasib dan derajat

2
hidupnya tidak naik-naik juga. Rumah mereka, penampilan mereka dari
kejauhan dan suasana kehidupan yang mengitari mereka tampak tidak
memberi banyak cerita bahwa telah terjadi peningkatan dalam hidupnya.

Saya coba membayangkan bagaimana dulu kakek-nenek atau ayah ibu mereka
memandang kami yang sedang berada di kereta dan bagaimana kami yang
berada di kereta memandangi mereka. Kami yang berada di dalam kereta
sudah banyak berubah. Tetapi mereka yang memandangi kami itu tidak
banyak berubah taraf hidupnya. Meski menjadi pemberi makan anak-anak
bangsa namun kehidupan mereka seperti terlupakan oleh anak-anak yang
diberinya makan.

Seiring dengan berlalunya kereta dari dekatnya, mereka kembali


membungkuk dan bekerja lagi. Memotong, menyabit, mengikat lalu
memasukkan ke dalam karung demi karung. Terus begitu selama bertahun-
tahun. Seperti kereta yang cepat meninggalkan mereka...begitulah hidup
dengan cepat meninggalkan mereka!

Petani ... oo... petani. Betapa susahnya hidupmu!

Anda mungkin juga menyukai