Anda di halaman 1dari 5

MENGAPA TIDAK MAU ANTRI?

Markus Dominggus Lere Dawa

Peristiwa kematian seorang tunanetra demi memperoleh kesempatan masuk menyalami


presiden di hari raya Idul Fitri di Istana Negara adalah kejadian yang sungguh memilukan
hati. Namun kasus seperti ini, dengan macam korban yang berbeda, tidak sekali ini
terjadi. Ia sudah berulang kali terjadi di berbagai tempat. Pembagian BLT, zakat,
sedekah, sembako kerap menjadi peristiwa yang memakan korban. Faktor penyebabnya
tentu bisa bermacam-macam. Wacana yang selama ini mengemuka lebih banyak
mengedepankan kesiapan yang empunya acara, aparat dan sistem ‘pembagian’ yang tidak
tepat. Tidak bisa dipungkiri bahwa faktor-faktor ini telah memberi kontribusinya sendiri
terhadap jatuhnya korban demi korban ini. Namun, yang jarang tampil ke depan adalah
suatu analisis tentang bagaimana sampai orang-orang sampai harus berdesak-desakan
memperoleh sesuatu?

Di sini muncul persoalan yang lebih mendasar mengenai antri. Jikalau disepakati bahwa
antri adalah sebuah cara yang aman, santun dan terbaik untuk semua orang yang ingin
memperoleh sesuatu dari yang ditawarkan, mengapa tidak mau antri? Apa yang membuat
antri, berbaris tertib menunggu giliran tidak dilakukan? Tulisan ini coba membuat sebuah
analisis sederhana tentang bagaimana antri belum menjadi sebuah pilihan yang diambil
oleh banyak orang di dalam negeri ini.

Alasan paling mudah yang dilontarkan untuk menjelaskan persoalan ini adalah
kemiskinan. Alasan ini dibangun di atas logika sederhana bahwa kemiskinan membuat
orang lapar. Karena lapar maka segala jalan orang akan ambil demi menghapuskan rasa
laparnya. Menurut saya kesimpulan semacam ini lebih banyak dibangun di atas asumsi-
asumsi daripada benar-benar di atas suatu pengamatan yang nyata atas perilaku orang.
Menyamakan kemiskinan dengan perilaku tidak tertib terlalu dangkal karena
mengabaikan banyak fakta bahwa masih banyak orang miskin yang tetap berperilaku
tertib dan santun. Lebih daripada itu, kesimpulan semacam ini harus ditolak karena di sini
martabat orang miskin lebih direndahkan lagi.

1
Kalau demikian lantas bagaimana menjelaskan perilaku yang tidak mau antri ini?
Menurut saya, penjelasannya tidak bisa dipisahkan dari pengalaman-pengalaman
kongkrit orang dengan posisi-posisi depan dan belakang serta makna-makna apa yang
timbul dari pengalaman-pengalaman itu dan diterima sebagai nilai yang mengatur
perilaku sosial.

Apa itu depan? Makna apa yang dibawa oleh posisi depan dalam pengalaman sosial kita?
Depan adalah posisi muka, karena itu yang paling terlihat; posisi pertama, juara dan
karena itu terutama, terhormat, terpenting. Bagaimana makna semacam ini dapat
terbentuk? Jawabannya dapat dengan mudah dijumpai pada konstruksi rumah tempat
tinggal kita. Sebagian besar rumah tinggal orang Indonesia memberi nilai yang sangat
signifikan kepada ruangan yang ada di depan. Depan rumah dipandang sebagai cermin
orang yang tinggal di dalam rumah. Karena itu penampilannya harus diperlihatkan
seistimewa mungkin. Dibanding dengan bagian tengah dan belakang, bagian depan
rumah orang Indonesia umumnya sangat berbeda, penuh ornamen, aksesoris, warna dan
benda-benda yang diharap mengirim pesan tertentu kepada orang luar tentang orang yang
tinggal di rumah tersebut. Sementara bagian belakang tidak demikian. Beralih dari depan
ke belakang seperti melalui dua dunia yang berbeda, yang benar-benar sangat bertolak
belakang.

Bila rumah adalah tempat orang dilahirkan, dibesarkan dan menerima sebagian besar
pendidikan kehidupan, maka dari konstruksi ruang material semacam ini sudah
disediakan struktur yang menggiring orang untuk memberi depan makna yang spesial.
Karenanya berada di depan diinginkan sebab di situ adalah tempat yang istimewa.

Dalam pergaulan sehari-hari di kampung dan desa, makna depan yang semacam ini
mendapatkan pengerasan. Dalam acara-acara kenduri, hajatan atau pesta bahkan acara-
acara yang bersifat keagamaan, depan menjadi sebuah posisi yang istimewa. Tidak
semua orang bisa sembarangan duduk atau berdiri di depan. Depan adalah posisi yang
khusus yang diberikan untuk orang-orang terhormat. Orang biasa, yang tidak punya

2
kedudukan sosial apa-apa di kampung atau desa, tidak bisa berada di sana. Orang-orang
terakhir ini tempatnya di belakang.

Dalam konstruksi sosial seperti ini depan menjadi sebuah posisi yang diidamkan.
Apalagi, mereka yang di depan disaksikan mendapatkan pelayanan khusus, sajian yang
khusus, hiburan yang khusus maka lengkap sudah depan menjadi sebuah posisi yang
sedemikian dicari dan dikejar.

Kalau depan seperti itu, lalu bagaimana dengan belakang? Kembali kepada konstruksi
fisik rumah, belakang memang bukan bagian favorit. Daripada menyebut ruang belakang,
ungkapan yang lebih banyak dipergunakan dalam percakapan adalah ruang dalam.
Belakang adalah ruang yang terpisah dari bangunan induk. Pergi ke belakang identik
dengan pergi ke kamar mandi atau kakus; sebuah ruangan tempat orang membuang
kotoran. Sebelum orang mengenal rumah dengan kamar mandi yang terintegrasi dengan
bangunan induk, sebagian besar jamban berada jauh di belakang rumah induk. Atau,
kalau tidak ada jamban maka sungai adalah jambannya. Belakang adalah tempat yang
ditaruh sejauh mungkin atau disembunyikan sejauh mungkin dari penglihatan orang
sebab di sana orang membuang segala yang tak dipakai, mulai dari sampah sampai
kotoran. Dengan susunan seperti ini belakang dimaknai sebagai tempat yang gelap, kotor
dan bau. Sehingga ketika tamu hendak memakai kamar mandi atau WC, bukan tamu
yang minta maaf melainkan pemilik rumahlah yang minta maaf lebih dulu.

Kembali, dengan konstruksi fisik dan perlakuan sosial yang seperti itu, belakang menjadi
tempat yang tidak diinginkan. Namun ia tambah dihindari lagi karena berada di belakang
erat terkait dengan kalah dan malu, hilangnya kehormatan dan harga diri, tidak mendapat
apa-apa bahkan kehilangan semuanya. Terlepas dari nilai kerja sama yang diajarkan oleh
sejumlah besar permainan-permainan tradisional kepada anak-anak, kekalahan bukanlah
sebuah pelajaran yang diajarkan untuk diterima dengan mudah. Kalah dalam suatu
permainan diikuti pula dengan hinaan dan ejekan yang didapatkan dari pihak lawan
bermain. Bahkan tidak jarang suatu label tertentu ditempelkan kepada seorang anak atau
tim yang kalah dalam suatu permainan.

3
Lebih jauh lagi, penghargaan yang eksesif kepada sang nomor satu dan kecilnya atau
bahkan tiadanya penghargaan untuk mereka yang kalah telah membuat menjadi bukan
nomor satu, di belakang sang juara menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan.
Meski demikian, ketika sang nomor satu kemudian menjadi nomor dua, nomor tiga dan
seterusnya maka seluruh penghargaan yang selama ini dinikmatinya dapat hilang lenyap.
Dan ia dapat menjadi orang yang terlupakan sama sekali oleh masyarakat yang dahulu
begitu menyanjung dan memberinya segala-galanya.

Kembali kepada persoalan antri, antri menjadi tidak mudah dipraktikkan bila konstruksi
makna tentang depan dan belakang semacam ini masih menguasai alam pikir masyarakat.
Antri mensyaratkan bahwa harus ada yang berdiri di depan, tengah dan belakang.
Namun, bila orang-orang yang hendak diminta berderet ini masih berpikir bahwa yang di
depan itulah yang mendapat sesuatu dan yang di belakang tidak; atau bila masih ada
persepsi bahwa yang berdiri atau duduk di belakang tidak terhormat dan memalukan
sementara yang di depan yang dihormati; atau bila yang mendapat itu menang dan yang
tidak dapat itu kalah dan kehilangan muka, maka sulit rasanya menjadikan antri sebagai
sebuah cara hidup yang dipilih.

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam menjelaskan mengapa antri bukan pilihan
adalah memori kolektif bangsa ini tentang antri. Bila persepsi dominan masyarakat
tentang antri adalah sebuah krisis dan apa yang dibutuhkan tersedia dalam jumlah yang
terbatas sehingga hanya bisa diperoleh oleh mereka yang cepat dan kuat saja maka antri
sukar menjadi sebuah pilihan hidup. Antri dihindari karena dipahami tidak akan memberi
orang kesempatan untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Lebih jauh lagi, antri
dihindari karena di sana diri dipersepsi sebagai orang yang tidak berdaya, tidak sigap dan
sergap.

Kalau demikian makna yang dipersepsi tentang antri maka yang dibutuhkan untuk
membuat antri menjadi sebuah kultur hidup bersama di negeri ini adalah menciptakan
makna yang tepat tentang antri. Antri bukan cara hidup orang hina. Antri bukan cara

4
hidup orang kalah. Antri bukan menghindarkan orang dari memperoleh apa yang
dibutuhkannya. Antri justru adalah cara hidup yang terhormat. Antri adalah cara hidup
orang berbudi luhur. Dengan antri kehidupan bersama akan dibuat lebih nyaman dan
indah serta menjamin setiap orang untuk memperoleh apa yang ia butuhkan. ♣

Anda mungkin juga menyukai