53
31 0.9857 -0.79803 0.194 0.16354 -0.131 0
32 0.78754 -1.469 0 0 1.7381 0
33 0.78107 -1.4839 0 0 0.24629 0
34 0.95179 -0.85244 0 0 0 0
35 0.91668 -0.8644 0 0 0.06 0.05
36 0.94739 -0.85325 0 0 0.014 0.014
namun tegangan ini berubah sangat drastis apabila terjadi pelepasan saluran.
54
IV.2.1 Pelepasan Saluran Jeneponto-Tallasa
sebagi berikut:
Tabel 4.2 Hasil analisis aliran daya kondisi pelepasan saluran Jeneponto-Tallasa
55
32 0.78754 -1.8868 0 0 1.7381 0
33 0.78107 -1.9017 0 0 0.24629 0
34 0.95179 -1.2703 0 0 0 0
35 0.90629 -1.2678 0 0 0.06 0.05
36 0.94739 -1.2711 0 0 0.014 0.014
bus kritis, yaitu bus Bone (21) Sinjai (22), Bulukumba (23), dan Jeneponto (24)
dengan tegangan yang melebihi batas maksimum (1.05 p.u). Tegangan bus Bone
sebesar 1.0625 p.u, Sinjai sebesar 1.0785 p.u, Bulukumba sebesar 1.0869 p.u, dan
56
Tabel 4.3 Hasil analisis aliran daya kondisi pelepasan saluran Jeneponto-
Bulukumba
57
35 0.90551 -1.2958 0 0 0.06 0.05
36 0.94739 -1.2996 0 0 0.014 0.014
bus kritis, yaitu bus Bone (21), Sinjai (22), dan Bulukumba (23). Tegangan bus
Bone sebesar 1.0554 p.u, Sinjai sebesar 1.0674 p.u, dan Bulukumba sebesar
1.0728 p.u.
Tabel 4.4 Hasil analisis aliran daya kondisi pelepasan saluran Sungguminasa-
Tallasa
58
P gen Q gen P load Q load
No.Bus V (p.u.) Phase (rad)
(p.u.) (p.u.) (p.u.) (p.u.)
1 1.033 0 3.7089 -0.2933 0.013 0.002
2 0.99649 -0.13902 0 0 0.053 0.02
3 0.99411 -0.14628 0 0 0.077 0.007
4 1.0267 -0.2351 0.008 1.2766 0.059 0.022
5 0.97784 -0.32561 0 0 0.078 0.032
6 0.9933 -0.32171 0.53 0.9393 0 0
7 0.93984 -0.37621 0 0 0.021 0.01
8 0.89365 -1.0442 0 0 0.09071 0.04634
9 0.91395 -1.127 0 0 0.316 0
10 0.96 -1.2242 0.35 4.0652 0.06 0.05
11 0.93336 -1.2527 0 0 0.324 -0.025
12 0.95788 -1.2276 0 0 0.408 0.126
13 0.95923 -1.227 0 0 0.101 -0.012
14 0.958 -1.2292 0 0 0.1 0.039
15 1.0763 -0.30228 0 0 0.05568 0.01576
16 0.98862 -0.3046 0 0 0.072 0.05
17 0.97869 -0.33799 0 0 0.039 0.009
18 0.97425 -0.34747 0 0 0.135 0.026
19 1.0358 -0.22573 0 0 0.044 0.024
20 1.04 -0.15048 1.345 -0.10129 0.082 0.035
21 1.0593 -0.25844 0 0 0.08854 0.03766
22 1.0732 -0.28037 0 0 0.06268 0.00209
23 1.0802 -0.28936 0 0 0.0762 0
24 1.0795 -0.29692 0 0 0.04016 0.01163
25 0.90795 -1.1101 0 0 0 0
26 0.90258 -1.1143 0 0 0.156 0.076
27 0.91057 -1.1409 0 0 0.035 0.011
28 0.92457 -1.1825 0 0 0.094 0.018
29 0.9284 -1.1943 0 0 0.222 0.042
30 0.93849 -1.1921 0 0 0 0
31 0.9857 -1.1689 0.194 0.24269 -0.131 0
32 0.78754 -1.8493 0 0 1.7381 0
33 0.78107 -1.8642 0 0 0.24629 0
34 0.95179 -1.2327 0 0 0 0
35 0.90728 -1.2311 0 0 0.06 0.05
36 0.94739 -1.2335 0 0 0.014 0.014
Dari hasil simulasi pelepasan saluran Sungguminasa-Tallasa diperoleh
lima bus kritis, yaitu bus Tallasa (15), Bone (21) Sinjai (22), Bulukumba (23), dan
59
Jeneponto (24). Tegangan bus Tallasa sebesar 1.0763 p.u, Bone sebesar 1.0593
p.u, Sinjai sebesar 1.0732 p.u, Bulukumba sebesar 1.0802 p.u, dan Jeneponto
0.09 p.u, Bone-Sinjai sebesar 0.05 p.u, Bone-Bulukumba sebesar 0.203 p.u,
Jeneponto-Tallasa-Sungguminasa-Tanjung Bunga.
60
Berikut kondisi-kondisi yang terjadi pada saat pelepasan saluran:
Bone, dan Soppeng (diurut dari tegangan tertinggi) dimana bus paling hilir
pada bus Bulukumba, Sinjai, Bone, dan Soppeng (diurut dari tegangan
tegangan tertinggi.
Tallasa terputus sehingga bus Tallasa menjadi bus receiving murni. Diperoleh
tegangan bus tertinggi bukan bus hilir (Tallasa) melainkan bus Bulukumba.
Hal ini disebabkan oleh arus dari saluran Jeneponto-Tallasa bersifat induktif
Dari ketiga hasil ini diperoleh bahwa pelepasan saluran paling berbahaya apabila
61
pelepasan saluran Jeneponto-Tallasa untuk memperoleh kemungkinan kenaikan
tegangan tertinggi.
Power Flow (CPF) dimana dari metode ini diperoleh karakteristik pembebanan
1.2
1.1
VBAKARU
0.9
VBARRU
VBLKMB
VBNTLA
0.8
VBONE
VBRLOE
VBSOWA
0.7
0.6
0.5
0.5 1 1.5 2 2.5
(p.u.)
Loading Parameter
1.05
Gambar 4.5 Kurva pembebanan bus Bakaru, Barru, Bulukumba, Bontoala, Bone,
Borongloe, dan Bosowa
1
0.95
V
BWJA
V
DAYA
0.9 V
JNPTO
V
MAJENE
V
MAKALE
0.85
V
62
MANDAI
V
MAROS
0.8
0.5 1 1.5 2 2.5
Loading Parameter (p.u.)
Gambar 4.6 Kurva pembebanan bus Barawaja, Daya, Jeneponto, Majene, Makale,
Mandai, dan Maros
1.05
0.95
VPALOPO
0.9
VPANGKEP 150
VPANGKEP 70
VPARE
VPKANG
1.05
0.85 VPOLEWALI
VPRNG
0.8
0.5 1 1.5 2 2.5
0.95 (p.u.)
Loading Parameter
0.85 VSKANG
VSMNSA
0.8
VSPENG
0.75 VSUPPA
VTBNGA
63
0.7
VTELLO150
0.65
0.5 1 1.5 2 2.5
(p.u.)
Loading Parameter
Gambar 4.8 Kurva pembebanan bus Sidrap, Sengkang, Sungguminasa, Soppeng,
Suppa, Tanjung Bunga, dan Tello 150
1.15
1.1
1.05
0.95
V
TELLO30 A
0.9
V
TELLO30B
V
0.85 TELLO70
V
TLAMA 150
0.8
V
TLAMA70
V
TLASA
0.75
0.5 1 1.5 2 2.5
V Loading Parameter (p.u.)
TNSA3
Gambar 4.9 Kurva pembebanan bus Tallasa, Tonasa3, Tello lama 150, Tello lama
70, Tello 70, Tello 30A, dan Tello 30B
Dari grafik diperoleh bahwa untuk sistem interkoneksi Sulseltrabar, bus
yang memiliki kestabilan tegangan yang paling rendah adalah bus Bone. Bus
Bone memiliki bentuk kurva yang paling curam pada saat terjadi penambahan
64
beban. Bus Bone memiliki nilai collapse tegangan yang terendah yakni sebesar
0.625 p.u pada saat loading parameter sebesar 3.0 p.u. Dari hasil ini maka bus
Bone merupakan bus yang paling ideal sebagai letak pemasangan TCR.
65
25 0.90416 -1.1462 0 0 0 0
26 0.89878 -1.1505 0 0 0.15558 0.07579
27 0.90748 -1.1782 0 0 0.035 0.011
28 0.92279 -1.2216 0 0 0.094 0.018
29 0.92701 -1.2338 0 0 0.222 0.042
30 0.93739 -1.2319 0 0 0 0
31 0.9857 -1.2093 0.194 0.25235 -0.131 0
32 0.78754 -1.89 0 0 1.7381 0
33 0.78107 -1.9049 0 0 0.24629 0
34 0.95179 -1.2735 0 0 0 0
35 0.90613 -1.271 0 0 0.06 0.05
36 0.94739 -1.2743 0 0 0.014 0.014
bcv_Svc_1 -0.46923
Jeneponto-Tallasa diperoleh tegangan pada empat bus kritis yakni bus Bone (21),
Sinjai (22), Bulukumba (23), dan Jeneponto (24) turun drastis menuju kisaran 1
p.u dan berada di bawah ambang toleransi (1.05 p.u). Tegangan bus Bone sebesar
66
1 p.u karena merupakan letak pemasangan TCR, bus Sinjai sebesar 1.0147 p.u,
bus Bulukumba sebesar 1.0226 p.u, dan bus Jeneponto sebesar 1.0239 p.u.
Diperoleh Suseptansi TCR sebesar 0.46923 p.u. Dari nilai suseptansi ini
bisa diperoleh besarnya daya reaktif yang diserap dari sistem oleh TCR dengan
rumus:
Besarnya daya reaktif yang diserap oleh TCR dapat dijadikan acuan untuk
menentukan kapasitas dari reactor TCR. Nilai Q yang diperoleh dari simulasi
dapat dijadikan sebagai kapasitas dari reactor dengan asumsi kondisi tegangan
untuk kondisi aman kapasitas reactor yang dipasang sebaiknya sebesar >0.46923
Berikut perbandingan tegangan empat bus kritis (21,22,23, dan 24) sebelum dan
Tabel 4.6 Perbandingan tegangan empat bus kritis sebelum dan setelah
pemasangan TCR
Sebelum % Setelah %
Nama Bus
Pemasangan TCR Kestabilan Pemasangan TCR Kestabilan
Bone 1.0625 p.u 0% 1 p.u 100 %
Sinjai 1.0785 p.u 0% 1.0147 p.u 98.5513 %
Bulukumba 1.0869 p.u 0% 1.0226 p.u 97.7899 %
67
Jeneponto 1.0883 p.u 0% 1.0239 p.u 97.6658 %
sistem dari tegangan referensinya sebesar 1 p.u (150 KV) dan dibatasi pada range
toleransi tegangan yang telah ditentukan oleh PLN yaitu +5% dan -10% dari
tegangan referensi atau 0.9 p.u ≤ Vbus ≤ 1.05 p.u. Dalam penelitian ini kasus
dibatasi pada kenaikan tegangan berdasarkan hasil yang diperoleh dari simulasi
sehingga secara garis besar persentase kestabilan hanya dihitung pada range atas
toleransi tegangan yaitu dari 1 p.u sampai 1.05 p.u, sementara range bawah 0.9
p.u sampai 1 p.u tidak diperhitungkan. Kestabilan 100% diperoleh pada tegangan
1p.u dan tiap kenaikan tegangan terjadi penurunan persentase kestabilan. Sistem
dianggap tidak stabil pada tegangan >1.05 p.u dengan persentase kestabilan
sebesar 0%.
dianggap tidak stabil (persentase kestabilan 0%) karena terdapat beberapa bus
dengan tegangan yang melebihi 1.05 p.u. Sementara setelah pemasangan TCR
sistem menjadi stabil dengan range kesatabilan dari 100% sampai 97.6658%
68