Anda di halaman 1dari 5

Yang Unik Yang Menarik (…Short

Trip to Cirata 2)
OPINI
Pepih Nugraha
|  23 Januari 2009  |  04:30

1035

Nihil.

Warung terapung di Cirata/by Pepih Nugraha

KAMI berempat menumpang perahu bermotor yang dinakhodai Omat,


sanak muda yang tengah beranjak dewasa, setelah sampai di bibir
Waduk Cirata di desa Cipeundeuy. Kami menempuh perjalanan panjang
dari Jakarta, sementara saya bertindak sebagai sopir sebelum sampai
ke Cirata ini. Karena jalannya ribet dan susah membaca peta di
BlackBerry akibat sambil nyetir, akhirnya kami meminta bantuan tukang
ojek sebagai penunjuk jalan. Tidak ada yang naik di motor bodong alias
tanpa nomor polisi itu. Kami hanya mengikutinya saja. Lumayan panjang
dan berliku jalannya, jadi teringat “A long winding road”-nya The Beatles.

Saking panjangnya perjalanan, Abi (Ignatius Sawabi) berkomentar, “Mau


dibawa kemana kita? Jangan-jangan kita dirampok di tempat sepi?”
Jelaslah Mas Abi hanya berkelakar. Maka saya gantian berkomentar
sambil nyetir, “Bagaimana kalau kita berempat mendahului
merampoknya?” Kami tertawa terguncang-guncang di mobil Kijang,
apalagi Mas Sancuk yang kalau tertawa perutnya berguncang-guncang.
Dalam postingan kedua ini saya hanya mengomentari beberapa foto
unik dan menarik yang berhasil saya jepret.

WARUNG TERAPUNG- Umumnya di Cirata hanya ada rumah terapung,


rumah tempat tinggal sekaligus rumah jaga bagi ikan-ikan yang
dipelihara di atas jala. Namun dari puluhan rumah apung di Cirata, ada
satu rumah yang benar-benar dijadikan warung. Komplet, sebagaimana
warung di daratan saja. Mau ngopi pun boleh, asal perahu merapat dulu,
lalu singgah. Jadi eksotis karena membentuk kebiasaan (customs)
sendiri bagi “nelayan” Cirata. Perahu dianggap seperti mobil saja dan
bisa merapat di warung itu. Sayangnya, saya tidak sempat singgah
karena waktu yang tidak mengijinkan. Padahal sejujurnya, saya masih
mau ngopi!

Tak ada layar, sarung pun jadi/byPepih Nugraha


LAYAR SARUNG- Tidak ada yang aneh dari sebuah perahu bermesin
tempel saat melaju di depan rumah dan jala terapung saat kami duduk
santai. Saya bahkan sedang mengetik dan berinternet dengan bantuan
koneksi IM2 yang cukup handal. Saat itu melintaslah sebuah perahu
layar yang dikayuh dua nelayan. Sebentar…. layar biasanya terbuat dari
kain khusus warna putih, sehingga kalau dilihat dari jauh seperti titik
kecil. Tapi ini layar terbuat dari sarung bekas! Saya jadi teringat
tembang Pat Lapat yang sayairnya begini: pat lapat, pat lapat…
katingalna masih tebih keneh pisan, layarna bodas nyengcelat kasurung
kaombak-ombak. Sulit diterjemahkan, tapi artinya kira-kira begini:
samar-samar terlihat, terlihat masih sangat jauh, layarnya putih terlihat
sebagai titik kecil, terdorong-dorong oleh ombak. Nah di Cirata ini, tidak
ada layar sarung bekas pun jadi, yang penting perahu bisa melaju.

Kucing penghuni rumah apung/by Pepih Nugraha

Kandang ayam di atas jala apung/by Pepih Nugraha

HEWAN PIARAAN- Terbayangkah di tengah rumah apung di tengah


Waduk Cirata dua penghuninya, Andre dan Haris, memelihara ayam,
kucing dan anjing? Saya bertanya kepada Haris, darimana kucing ada
dan apa makanannya? “Kami pelihara kucing karena banyak tikus!”
Saya harus memeras otak, darimana datangnya tikus? Haris menjawab,
“Saya pun tidak tahu, tetapi ada aja tikus yang saya lihat!” Mengenai
makanan kucing, Haris menjelaskan, dirinya tak usah repot-repot
memberinya makan. Di jaring apung banyak ikan mati dan
mengambang. “Ikan yang mati diambil kucing untuk dimakan, saya
jarang memberi kucing makan,” katanya. Saya juga melihat ada
kandang ayam yang ditempatkan di pinggir salah satu jaring. Kok bisa-
bisanya memelihara ayam? tanya saya. Haris menjawab enteng, “Ya
bisa saja, Pak.”

Tarzan Cirata, sekadar menunjukkan keakraban dan keramahan/by


Pepih Nugraha

TARZAN CIRATA- Setiap hari ada saja berton-ton ikan diangkut dengan
tong, dibawa bertruk-truk ke jakarta atau Bandung. Semua dikelola oleh
koperasi setempat, mulai pengadaan bibit ikan (nener), pakan ikan,
sampai menjualnya pun harus kepada koperasi itu. Andre menjelaskan,
kalau ikan-ikan serentak mati karena suatu sebab, mungkin kena
penyakit, koperasi biasanya mengganti. “Tapi kalaiu matinya sedikit
demi sedikit (tidak serentak), koperasi juga tidak mau ganti,” katanya.
Nah, saat sedang menuju ke tengah-tengah Waduk Cirata, kami
menjumpai orang-orang yang sedang mengangkat ikan. Ada seseorang
yang dengan lantang menantang difoto. “Lekas saya foto, mumpung
masih seksi,” teriak orang itu dalam bahasa Sunda seraya
merentangkan tangannya lebar-lebar. Saya tidak tahu apakah pria yang
hanya mengenakan celana dalam biru itu seksi atau tidak. Yang jelas
saya main jepret saja meluluskan permintaan orang itu, dan
mempostingkannya untuk Anda. Maaf sebelumnya, jangan dianggap
menyebarkan pornografi ya! (Selesai)
Citizen Journalism Project/by Pepihy

Anda mungkin juga menyukai