Anda di halaman 1dari 4

Ahmadiyah dan Kebebasan Beragama

Febri Nurrahmi, S.Sos*

Penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, yang


menewaskan tiga orang dan melukai enam lainnya pada 6 Februari lalu, sebenarnya
merupakan manifestasi konflik laten yang telah lama tersimpan di masyarakat. Sejak
kemunculannya di Indonesia, sekitar tahun 1920-an, penolakan terhadap Ahmadiyah mulai
bermunculan. Namun, tidak dalam bentuk kekerasan terhadap para pengikutnya. Baru sekitar
1980-an mulai muncul penolakan diikuti dengan kekerasan.

Kontroversi Ahmadiyah semakin mencuat pasca MUI mengeluarkan fatwa sesat kepada
Ahmadiyah pada akhir 2007. Untuk mengantisipasi meluasnya kekerasan, Juni 2008
pemerintah sebenarnya sudah membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) Jaksa Agung,
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Ahmadiyah yang antara lain
memerintahkan penganut Ahmadiyah menghentikan semua kegiatan yang tak sesuai dengan
penafsiran agama Islam, seperti pengakuan adanya nabi sesudah Nabi Muhammad SAW.
SKB juga memerintahkan warga negara tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum
terhadap jemaat Ahmadiyah. Akan tetapi, SKB tersebut belum menyurutkan kontroversi
mengenai Jama’at Ahmadiyah Indonesia (JAI). Puncaknya insiden di Cikeusik, Pandeglang,
Banten lalu.

Insiden berdarah ini kembali mencuatkan isu mengenai kebebasan beragama di republik ini.
Kebebasan beragama adalah sesuatu hal yang mutlak harus dilindungi dalam negara
demokrasi. Negara yang demokratis seyogyanya memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada warga negara untuk menganut dan menjalankan ibadah menurut agama dan
kepercayaan masing-masing. Di Indonesia, jaminan atas kebebasan beragama diatur dalam
konstitusi pada pasal 28 E dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Bahkan dalam Pasal 28I UUD
1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Tidak hanya sebagai hak konstitusional warga negara, kebebasan beragama juga diatur
sebagai hak asasi manusia dalam konvensi internasional. Pasal 18 Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (HAM) yang berbunyi, “Setiap orang mempunyai hak kebebasan berfikir,
berkeyakinan dan beragama; hak ini termasuk hak merubah agama atau
kepercayaan, dan kebebasan untuk melaksanakan agama atau kepercayaan dalam pengajaran,
praktek, beribadah dan upacara (keagamaan) baik secara perorangan atau secara kelompok,
sendirian atau didepan umum.”

Namun harus disadari bahwa hak seseorang tidak berlaku mutlak karena hak seseorang dapat
bertentangan dengan hak orang lain. Oleh karena itu, hak dapat dibatasi oleh hukum yang
dibuat dengan tujuan perlindungan pengakuan dan penghargaan terhadap hak dan kebebasan
orang lain, moralitas, keteraturan publik, dan kesejahteraan umum dalam masyarakat yang
demokratis sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 29 Deklarasi Universal HAM.

Bayangkan jika kebebasan beragama dibuka seluas-luasnya tanpa ada pengaturan, maka akan
mudah terjadi penodaan agama yang dilakukan oleh penganutnya sendiri. Setiap hari
mungkin akan bermunculan orang yang mengaku sebagai nabi atau tuhan. Sebab itu,
Pemerintah berhak mengatur atau membatasi kebebasan beragama melalui undang-undang.
Untuk itu, pemerintah mengeluarkan UU No.1 Tahun 1965 tentang penodaan agama.
Undang-undang ini dianggap perlu untuk mencegah konflik horizontal.

Agama merupakan hal sakral bagi pemeluknya. Sehingga jika ada penodaan maka akan
memancing konflik sosial. Oleh karena itu, penodaan agama perlu diawasi oleh pemerintah.
Bila pengawasan dibiarkan diserahkan pada masyarakat, maka akan terjadi kekacauan
dimana-mana.

Dalam konteks Ahmadiyah, Ahmadiyah telah dinyatakan sebagai aliran yang menyimpang
dari ajaran Islam. Rabithah ‘Alam Islam, organisasi fatwa yang diakui oleh umat Islam se-
dunia telah menyatakan sesatnya ajaran Ahmadiyah. Dua organisasi Islam terbesar di
Indonesia, Muhammadiyah dan NU telah tegas mengemukakan Ahmadiyah bukanlah Islam.
Meskipun ada Gus Dur yang membela Ahmadiyah mati-matian hingga akhir hidupnya,
namun pendapat Gus Dur ini hanya bersifat personal bukan institusi. Dengan kata lain,
Ahmadiyah bukan Islam. Sehingga tindakan Ahmadiyah yang mengakui dirinya sebagai
Islam adalah bentuk penodaan atau penistaan agama Islam. Padahal ajarannya jelas-jelas
telah dinyatakan menyimpang dari ajaran Islam.

Sehingga penggunaan terminologi kebebasan beragama dalam konteks Ahmadiyah, tidak


tepat. Lebih tepat disebut penodaan agama. Kebebasan beragama harus diartikan sebagai
sesuatu yang positif. Berbeda halnya dengan penodaan agama. Penodaan agama bukan
bagian dari kebebasan beragama, tetapi justru melanggar hak beragama orang lain dan
mencederai kebebasan beragama. Tak tanggung-tanggung, penodaan agama dapat dikenakan
ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara mengacu pada pasal 156a KUHP.

Keberadaan Ahmadiyah menjadi duri dalam daging yang membuat umat Islam terus gelisah.
Sebagian umat Islam menganggap penodaan ajaran Islam yang dilakukan oleh Ahmadiyah
tidak bisa ditolerir lagi. Potensi konflik horizontal yang lebih besar memang rentan terjadi
apabila kasus Ahmadiyah terus dibiarkan berlarut-larut oleh pemerintah.

Disinilah seharusnya letak peran pemerintah. Pemerintah harus berani mengambil tindakan
tegas: membiarkan atau melarang Ahmadiyah berkembang di Indonesia. Seandainya
pemerintah memilih untuk membiarkan Ahmadiyah, pemerintah harus memaksa Ahmadiyah
untuk menyatakan diri sebagai agama non Islam agar posisi Ahmadiyah jelas. Bila
Ahmadiyah diakui sebagai agama non-islam di Indonesia, maka hak-hak jamaah Ahmadiyah
untuk menganut dan menjalankan ibadahnya harus dijamin oleh negara. Langkah serupa telah
ditempuh oleh Pakistan, negara asal Ahmadiyah.

Bagaimana jika Ahmadiyah menolak dan bersikeras tetap menyatakan diri sebagai agama
Islam? Pemerintah seyogyanya berani melarang Ahmadiyah di Indonesia. Karena Ahmadiyah
secara terang telah dinyatakan menyimpang dari ajaran Islam.

Langkah-langkah tersebut harus diambil bukan untuk membela kepentingan mayoritas, tetapi
semata-mata untuk menjamin kebebasan beragama dan mencegah potensi konflik horizontal
yang jauh lebih besar. Kita tentu tidak berharap terjadi pertumpahan darah lagi atas nama
agama di negri ini.

*Penulis adalah alumnus ilmu komunikasi FISIP UI. Peneliti di Pusat Kajian Komunikasi
(PUSKAKOM) FISIP UI

Nama : Febri Nurrahmi


Alamat : Jl. Seulanga E-2 Sektor Timur Darussalam Banda Aceh 23111
No HP : 085260215090
Email : febri_mosa@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai