Anda di halaman 1dari 3

SETELAH 10 TAHUN Oleh: Ade Oktiviyari*

Pada suatu hari, orang-orang di Kota Bandar dikejutkan oleh kehadiran sekelompok besar manusia. Mereka datang dari berbagai penjuru Ada anak-anak, ustadz muda berkopiah dengan tasbih melingkar di sela-sela jari, muda mudi yang bergandengan, balita yang masih mengunyah permen, ibu yang bersiap pergi kondangan dengan lipstik yang belum lagi rata, bapak berseragam PNS yang sedang menyeruput kop, serta orang-orang yang entah siapa lagi. Ramai sekali, mereka datang dari berbagai penjuru dan berkumpul di pusat Kota Bandar, berdekatan dengan mesjid raya kebangaan masyarakat Kota Bandar, Mesjid Kutabandar. Awalnya muncul dua, lalu lima, lalu banyak, lalu semakin tidak terhitung. Jumlah mereka semakin membengkak hingga menutupi seluruh jembatan simpang utama Kota Bandar, terus bertambah hingga jalan dari pangkal jembatan, pasar di sekitar mesjid Bandar, taman kota semua penuh sesak oleh manusia-manusia itu. Orang-orang ini, meski berbeda-beda, tapi anehnya tampak sama. Meski bingung juga mendeskripsikan kesamaannya. Mereka jelas dari usia yang berbeda, dengan penampilan yang berbeda, wajah yang berbeda, kulit... ah! Ini dia! Kulit mereka sama, berwarna kelabu. Aneh, ada manusia di jaman ini yang memiliki kulit kelabu. Dan yang lebih anehnya, jika diamati baik-baik akan ketahuan bahwa bukan hanya kulit mereka yang berwarna kelabu. Tapi juga baju yang mereka kenakan, rambut, mata, sampai pada permen lolipop yang digenggam seorang gadis kecil berseragam TK. Semua yang melekat pada orang-orang ini berwarna kelabu. Entah bagaimana mereka bisa berwarna kelabu. Awalnya aku ingin menanyakannya, tapi lalu kupikir lebih baik aku menerka-nerka saja. Atau mungkin karena cuaca? Mereka menyatu dengan mendung di langit Kota Bandar, atau setidaknya kupikir begitu. Manusia-manusia tidak kelabu di dekat mereka, juga biasa-biasa saja. Mobil dan motor tetap melaju dengan kecepatan tetap. Tidak ada orang yang heboh menunjuk-nunjuk atau menonton massa kelabu ini. Semua orang tetap melaju dengan kecepatan konstan di jalan, yang berjalan kaki sambil mengunyah permen tetap melanjutkan kegiatannya, polisi yang sedang menilang dua orang anak muda yang tidak memakai helm tetap meminta ganti rugi 200 ribu semua tetap seperti biasa. Hanya aku mungkin, yang harusnya merekam berita sehari-hari yang mengamati mereka. Jadinya aku ingin menyapa salah seorang dari mereka. Aku ingin bertanya dimana tempat tinggal atau kampung mereka, mengapa mereka ada di sini saat gerimis, mengapa mereka tidak pulang ke rumah saja untuk berkemul di balik sarung, mengapa mereka bisa kelabu, mengapa... Ah, betapa banyak yang ingin kutanyakan. Saat aku ingin mendekati kerumunan itu, mendadak langkah kakiku urung. Kerumunan itu yang tadinya diam mendadak mulai bergerak menuju mesjid raya kebanggaan masyarakat Kota Bandar. Wah, mau apakah mereka? Jangan-jangan mereka adalah wisatawan yang ingin berfoto di halamannya, atau mereka ingin naik ke menara Mesjid Kota Bandar yang terkenal itu. Kuraba tustel dalam tas pinggangku. Kukira-kira jumlah orang-orang dalam kerumunan itu. Mungkin ada lebih dari 200.000 orang. Berarti 5000 dikali 200000... bayangan uang yang bisa kudapatkan

dari menjadi fotografer gadungan membuatku hampir terlonjak. Maka dengan bergegas, kuikuti rombongan besar itu, bergabung ke dalamnya. Hei, sekilas dari luar, gerombolan ini terlihat sangat diam dan sunyi. Namun di dalamnya, aku bisa mendengar mereka saling berbisik satu sama lain. Awalnya bisikan mereka samar, seperti rintihan daun tergesek angin. Namun lamban laun semakin terdengar. Kusimak bisikan 2 orang ibu-ibu berkebaya yang sepertinya bersiap pergi ke acara kondangan, dengan kipas besar dan tas tangan kecil berkilap, yang juga kelabu. "Kota Bandar telah berubah." "Ya, jauh dari sebelumnya." "Ada anak-anak berambut paku di jalan-jalan." "Mereka sepertinya telah melupakan kita." "Tidakkah mereka belajar?" Aku semakin bingung. Ah, dialog abstrak. Maka aku berkonsentrasi pada kerumunan itu dan bergegas mengikuti langkah mereka. Anehnya lagi, meski mereka seolah bergerak sangat lamban, hanya kurang dari setengah menit, mereka sudah tepat berada di depan mesjid raya Bandar. Aku melihat orang-orang yang tidak kelabu duduk di beranda mesjid raya tidak menunjukkan keterkejutan akan kehadiran orang-orang kelabu dalam jumlah sangat besar tersebut. Mereka hanya menatap kosong ke arah gerimis. Satu orang dari kerumunan kelabu maju ke depan. Dia terlihat sangat tinggi, sehingga aku yang berada di barisan paling belakang mampu melihatnya. Sosok itu berkopiah, dengan janggut menjuntai dan baju jubah panjang. Sosoknya agak bungkuk. Kuperkirakan dia pasti semacam tengku atau setidaknya seorang ulama besar. Dia berdiri dan mengucapkan salam, yang terdengar hingga jauh meski tidak memakai mikrofon atau alat bantu semacam itu. Lalu ia memulai pidato, dengan suara lirih yang tak ada bedanya dengan gesekan pinsil pada kertas, "Wahai masyarakat Bandar yang saat ini berkumpul di sini! Sesungguhnya masa telah berlalu, zaman telah berubah. Adat istiadat Kota Bandar telah musnah. Baju kurung telah lama tiada, keasusilaan merebak, kebejatan jadi kebanggaan. Sungguh, tidak ada lagi sedikit pun rahmat dan ampunan Allah pada kota ini lagi. Wahai ruh-ruh yang malang! Ketahuilah bahwa saat ini semua dari kalian telah dilupakan. Tidak ada lagi masyarakat Bandar yang akan mengingati kalian, berduka untuk kalian, ataupun menangis untuk kalian. Ingatan tentang kalian telah menjadi abu. Maka berdoalah untuk diri kalian sendiri. Berdoalah untuk kebahagiaan diri kalian sendiri." Lalu sang ulama kelabu itu menengadahkan tangannya. Semua di sekitarku juga ikut menengadahkan tangan. Aku terlongo-longo dibuatnya, otakku mandek. Maka aku memutuskan untuk melakukan satu-satunya tindakan waras: memotret mereka. Memotret wajah-wajah kelabu yang menunduk dalam doa, memotret anak kecil yang menengadahkan tangan sambil menjilat lolipop, memotret kakek yang mengepit koran pagi dan masih berbalut handuk yang juga sedang menengadahkan tangan. Aku memotret semuanya.

Tiba-tiba langit terang. Aku mengangkat wajah. Ah, hujan telah reda rupanya. Dan aku tersadar, bahwa aku tinggal sendiri di halaman mesjid raya ini. Satu dua orang lewat di dekatku, mereka tidak kelabu. Pusing dan bingung, aku putuskan beranjak, duduk di warung kopi dekat Mesjid Kutabandar. Kupesan kopi dan kubuka koran pagi. Isinya sesak dengan berita artis-artis Kota Bandar yang go internasional. Kulirik tanggal di pinggirnya: 26 Desember 2014. *Penulis adalah Ketua Kaderisasi FLP Aceh **Pasca tsunami Aceh:7 tahun saja sudah banyak yang melupakannya, apalagi 10 tahun?

Anda mungkin juga menyukai