Anda di halaman 1dari 4

MENGURAI SASTRA DALAM RUANG KEKUASAAN

Oleh: Ade Oktiviyari Ketua Kaderisasi Forum Lingkar Pena Wilayah Aceh ade.oktiviyari@yahoo.com

Membicarakan sastra, dari sastra Indonesia hingga sastra Aceh, selalu menarik. Jika kita membahas sastra Indonesia, kita akan memulai dengan sejumlah nama terkenal, baik dari angkatan Balai Pustaka maupun sesudahnya. Dari yang popular, terkenal hingga ke mancanegara hingga yang namanya tenggelam setelah karya perdana. Membicarakan sastra berarti mengingat banyaknya perdebatan, kisruh, dan kritik terhadap sejumlah karya sastra yang hadir dan mewarnai kebudayaan Indonesia dan dunia. Tak lupa,membicarakan sastra juga identik dengan menyebut nama para pujangga dan sastrawan, dari era pujangga lama, pujangga baru, balai pustaka, hingga era modern. Nama-nama seperti Marah Roesli, Muhammad Yamin, M. Hasjim, dan HB. Jassin pasti tak akan terlewat. Di era modern ini, mungkin kita akan menyebut nama Djenar Mahesa Ayu, WS. Rendra, Helvy Tiana Rosa, Seno Gumira Adjidarma, dan kawan-kawan Komunitas Utan Kayu serta Forum Lingkar Pena. Sastra memang indah, dan memiliki geloranya sendiri sehingga hadir dalam berbagai bentuk: prosa, drama, puisi, syair, pantun, bahkan dongeng. Sastra juga lintas generasi, lintas daerah, suku, agama, dan mampu menembus batas wilayah dan waktu. Namun perlu dipahami, sastra tidak hanya bicara tentang yang indah-indah saja, namun sastra juga bicara tentang salah satu hal yang cukup sensitif bagi manusia: kekuasaan dan politik. Sastra dan kekuasaan memang bukan barang baru. Para penyair Arab, di masa kejayaan Bani Umayyah dan Abbasiyah, hampir 10 abad silam membuktikan bagaimana sebuah syair bisa membawa seorang sastrawan mendekati penguasa atau sebaliknya, mendekati maut. Khalifah Abdul Malik bin Marwan mungkin adalah contoh yang cukup popular. Jika ia menyukai syair seorang penyair, maka ia akan menghujani penyair itu dengan keping-keping emas; jika tidak, semua orang bersiap merapikan baju mereka, agar tidak terciprat darah. Demikianlah. Di Indonesia, tempat dimana sastra lahir sebagai bentuk perekaman budaya, rupanya takdir tetap tak bisa mengelak bahwa sastra punya posisinya di dekat kekuasaan. Jika ditilik di masa lampau, sastra sebagai alat kritik kekuasaan telah ditemukan dalam Nagara Kartagama, gubahan Prapanca. Di sana penyair ini melukiskan bahwa di tengah luas dan berjayanya kerajaan Majapahit, terselip kemiskinan hingga sapi-sapi

mereka kurus-kurus seumpama kambing. Ini jika ditinjau sebagai alat penyampai kebenaran. Sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan, sastra juga digunakan pada tiap jaman. Kisah Nyi Roro Kidul mungkin bisa termasuk dalam contoh yang paling termasyhur. Raja Mataram menyebarkan sebuah mitos tentang adanya penguasa Laut Selatan yang bernama Nyi Roro Kidul, yang bersuamikan semua raja-raja Mataram, tepat saat Belanda sukses merebut wilayah ini. Dengan demikian, rakyat yang percaya akan menganggap bahwa kekuasaan Raja tetap ada dengan dukungan Nyi Roro Kidul, tak peduli siapakah yang mengklaim daerah tersebut. Terbukti, warisan sejarah itu tetap ada hingga sekarang. Penduduk Yogyakarta, terutama penduduk sekitar pesisir tetap setia melarungkan sesajen ke Laut Selatan pada saat tertentu, dan tetap takut memakai baju hijau, yang konon warna kesukaan Nyi Loro Kidul. Pada masa Orde Baru, pemerintah enggan menggunakan sastra, sebab beras dan militer menjadi hal yang lebih penting bagi pemerintah. Namun sastra masih unjuk gigi melalui tangan dan mulut para sastrawan dan budayawan idealis. Kita kenal W.S Rendra yang gemar mengkritik penguasa melalui sajak-sajaknya yang gelap, kita tahu sejumlah tokoh dengan karyakaryanya yang terang-terangan menyebut nama penguasa Orde Baru, Soeharto dalam bahasa yang nyaris eksplisit: Menembak Banteng (F Rahardi); Diam (Moes Loindong); Tembok Pak Rambo (Taufik Ikram Jamil); Saran Groot Majoor Prakosa (YB Mangunwijaya); Bukan Titisan Semar (Bonari Nabonenar); Kaki Druhun (Bonari Nabonenar); Masuklah ke Telingaku, Ayah (Triyanto Triwikromo), Paman Gober (Seno Gumira Adjidarma), dan lainnya. Setidaknya ada 17 cerpen yang masuk dalam dalam buku Soeharto dalam Cerpen Indonesia (M Shoim Anwar). Jelaslah bahwa dalam sejarah Indonesia, penggunaan sastra sebagai alat kontrol kekuasaan selalu diperlukan. Seno Gumira Adjidarma, menulis buku Ketika Jurnalisme Dibungkam, Maka Sastra Bicara juga dengan semangat ini. Sebab menurutnya sastra mampu menyampaikan kebenaran yang tak bisa diterabas, dibrendel, dan tidak bisa didiamkan. Sepotong berita dalam koran akan terlupakan dalam sekejap, tapi sastra akan menembus waktu dan jaman hingga sampai pada masa yang tak terhingga. Lalu, bagaimana dengan Sastra Aceh? Tentu saja, membicarakan tentang sastra Aceh selalu menarik. Ini mungkin, karena pada dasarnya orang Aceh adalah bangsa penutur, bangsa pencerita. Itulah mungkin satu alasan mengapa rekam jejak Aceh jauh lebih kaya dalam bentuk cerita daerah dan syair yang turun temurun ketimbang terangkum dalam gulungan lontar. Sebab bangsa Aceh adalah bangsa penghafal yang menurunkan melalui cerita dan kisah ketimbang tulisan.

Pada masa itu, penulisan sastra Aceh yang paling terkenal adalah hikayat. Beberapa hikayat yang masih terdokumentasi diantaranya adalah Syair perahu (Hamzah Fanshuri), Bustanul as salatin (Nuruddin Arraniry), dan Hikayat Prang Sabil (Tgk Chik Pante Kulu). Selain itu juga ada Hikayat Malem Dagang, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Putroe Bungsu dan beberapa hikayat yang tidak diketahui penulisnya. Lalu apakah sastra di Aceh bergandeng dengan kekuasaan? Tentu saja. Sastra di Aceh, sejak jaman pra-kemerdekaan telah dipenuhi dengan berbagai sindiran-sindiran, bertaburan humor khas Aceh dalam penuturannya. Hikayat Perang Sabil misalnya, kental dengan nuansa perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Lantas, pada jaman sesudahnya, sastra Aceh tetap diwarnai dengan kentalnya perlawanan terhadap ketidakadilan. Karya-karya sastrawan Aceh yang lebih modern, seperti Arafat Nur, Azhari, Ayi Jufridar, dan belakangan ini Rahmatul Fitriadi, ikut mewarnai kancah kesustraan Aceh. Karya Arafat Nur misalnya, novelnya yang berjudul Lampuki memotret kondisi ketidakadilan yang menimpa Aceh sekian lama, sekaligus kritik pada kekuasaan yang zalim dengan bahasa yang indah dan metafora-metafora penuh sindiran. Rahmatul Fitriadi juga, yang belum lama ini menerbitkan novel Marwah di Ujung Bara, menggambarkan ketidakadilan dalam masa darurat konflik dengan tokoh mahasiswa dan bahasa yang lebih eksplisit. Pendeknya, sastra di Aceh masih belum lepas dari jeratan konflik dan upaya untuk merebut keadilan serta kritikan bagi penguasa yang masih belum menyelesaikan tugasnya untuk mengembalikan semua yang telah dirampas dari Aceh ini. Setelah semua pembahasan yang panjang di atas, maka tentu kita dapat menyimpulkan bahwa sastra dan kekuasaan selalu berkaitan. Dalam segala bentuk, sastra bisa saja melawan, memihak, bahkan menjadi alat dari kekuasaan itu sendiri, tergantung si pemakainya. Dan sekarang, menjelang Pemilukada Aceh, tidak adakah pihak yang ingin menggunakan kekuatan sastra ini, sekali lagi, untuk melakukan suatu perubahan? Akan kita lihat, karena sejarah sudah membuktikan, bahwa sastra bisa menyampaikan, dan juga menembus ruang batin manusia yang terdalam. BIODATA PENULIS Nama Alamat 23111 : Ade Oktiviyari :Jalan Seulanga Sektor Timur E-2 Darussalam Banda Aceh

No. Telepon : 085260221957 Email : ade.oktiviyari@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai