Anda di halaman 1dari 2

 

Jum'at, 20 Agustus 2010 , 09:26:00


Kaltim Tuntut Otonomi Khusus
Ajukan Judicial Review UU Nomor 33 Tahun 2004

Bagi berita/artikel ini kepada rekan atau kerabat lewat Facebook

KALTIM  --  Sebagai daerah penyumbang devisa terbesar di Indonesia tentu sudah selayaknya
jika pembangunan di Kaltim harus menjadi prioritas, terutama di daerah pedalaman dan
perbatasan. Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Syaparuddin berpendapat, belum tersentuhnya
pembangunan di daerah perbatasan sungguh hal yang sangat ironis.

Tuntutan pemerataan terhadap hasil pembangunan itulah yang salah satunya melandasi
pengajuan judicial review terhadap undang-undang (UU) nomor 32 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. “Judicial review ke MK karena adanya pasal
dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang dianggap merugikan Masyarakat Kaltim,” ungkap
Syaparuddin.

Lebih lanjut dia menjelaskan, pasal 14 ayat e yang menyebutkan bahwa penerimaan
Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah
dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dibagi dengan imbangan 84,5 persen untuk pemerintah dan 15.5 persen untuk daerah.

“Hal ini jelas, bahwa Pembagian Pertambangan Minyak Bumi menggunakan pola 84,5 persen
pusat dan 15,5 persen daerah tersebut telah merugikan provinsi Kaltim dan membuat
pembangunan menjadi lambat,” kritiknya. Padahal, ia menekankan, Kaltim merupakan provinsi
penyumbang PDRB (Produk Domestik Regional Bruto, Red) yang besar dari sektor
Pertambangan Minyak Bumi.

Sementara pembagian dana bagi hasil (DBH) berdasarkan UU 21 Tahun 2001 Otonomi Khusus
(Otsus) Papua, Pembagian Pertambangan Minyak Bumi menggunakan pola 70 persen untuk
daerah dan 30 persen untuk pemerintah pusat. “Begitu pula pada UU 11 Tahun 2006
Pemerintahan Aceh,” ujar Syaparuddin.

Masih menurut dia, Kaltim sebagai salah satu dari empat provinsi terkaya seperti Aceh, Riau,
dan Papua berhak mendapat keistimewaan berupa DBH seperti yang diberlakukan di ketiga
provinsi tersebut, serta Otsus. “Sebab jika kita lihat secara karakteristik layaknya Papua, Aceh
dan Riau, Kaltim memiliki karakteristik yang sama.

 Bahkan Kaltim lebih lengkap potensi Sumber Daya Alam-nya. Namun mengapa Aceh dan
Papua mendapatkan Otsus sementara Kaltim tidak hanya karena adanya separatismu di kedua
provinsi tersebut,” ucapnya. Lebih jauh dikatakannya, berdasarkan UUD 1945 separatisme
adalah sesuatu yang tidak boleh ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
pemerintah tidak boleh memberikan Otsus karena alasan separatisme.

“Bila pemerintah mengakui separatisme sebagai penyebab adanya Otsus di Aceh dan Papua
maka pemerintah dengan sendirinya melanggar UUD 1945, karena UUD 1945 tidak
membenarkan separatisme dan separatisme di jadikan landasan pemberian Otsus. Dan ini
merupakan bentuk ketidakadilan bagi Kaltim,” jelas dia.

Untuk itu, sambung dia, Kaltim akan mengajukan Judicial Review UU Nomor 33 Tahun 2004
sebagai upaya meminta keistimewaan sebagai daerah penghasil devisa terbesar di Indonesia dan
mengubah besaran dana perimbangan pusat dan daerah. Sebab hingga saat ini, Kaltim belum
merasakan manfaat yang adil akan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan juga belum
merasakan kesejahteraan yang proporsional baik di kota, pedalaman dan perbatasan.

“Agar mendapatkan hasil yang maksimal, maka kami akan terus melakukan koordinasi dengan
berbagai pihak serta elemen masyarakat untuk mendapatkan dukungan agar perjuangan menuju
masyarakat Kaltim yang sejahtera dapat tercapai,” tutupnya.

Anda mungkin juga menyukai