Case Meningitis Awenk
Case Meningitis Awenk
A. LATAR BELAKANG
1
meninggal dunia akibat penyakit tersebut, hanya dalam waktu 48 jam. Angka
kematian terbanyak pada bayi dan orang lanjut usia. Pasien yang terlanjur koma
ketika dibawa ke rumah sakit, sulit untuk bisa bertahan hidup. Infeksi
pneumokokus lebih sering terjadi pada anak dibanding orang dewasa karena tubuh
anak belum bisa memproduksi antibodi yang dapat melawan bakteri tersebut.
Sebanyak 50 persen pasien meningitis yang berhasil sembuh biasanya
menderita kerusakan otak permanen yang berdampak pada kehilangan
pendengaran, kelumpuhan, atau keterbelakangan mental. Komplikasi penyakit
tersebut akan timbul secara perlahan dan semakin parah setelah beberapa bulan.
Penderita meningitis perlu mendapat antibiotik sesegera mungkin.
Perawatan umumnya dilakukan selama 10-14 hari. Pengobatan panjang itu
dianggap perlu untuk mencegah komplikasi atau mencegah infeksi datang
kembali. Pada kasus yang dianggap berat, diperlukan perawatan intensif di UGD
dan ketersediaan ventilasi udara untuk membantu pernapasan.
B. TUJUAN
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah :
1. Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2. Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan yang
terdapat pada kasus.
3. Melatih mahasiswa dalam melaporkan dengan baik suatu kasus yang didapat.
2
BAB II LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : An. NA
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 6 bulan
Alamat : Palaran
Anak ke :1
MRS A. W Sjahranie : 12 September 2010 jam
ANAMNESA
Alloanamnesa (oleh ayah dan ibu kandung pasien)
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengalami demam selama dua hari sebelum kejang, demam
disertai menggigil, pasien sempat diberi obat penurun panas, tapi tidak ada
perubahan dan selama demam pasien rewel dan tidak mau menyusu. Lalu pasien
sempat kejang 1 kali 1 jam sebelum masuk rumah sakit RSU AW Sjahranie
Samarinda. Kejang terjadi selama 5 menit, kejang seluruh tubuh dengan mata
keatas. tanpa disertai muntah, Setelah kejang pasien tampak gelisah dan rewel
(menangis keras) sampai MRS. Lalu pasien kejang lagi 1 kali selama 5 menit saat
sampai di rumah sakit. Riwayat kejang sebelumnya (-), riwayat trauma (-), BAB
(+), BAK (+) normal.
3
Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :
Berat badan lahir : 3000 gr
Panjang badan lahir : 49 cm
Berat badan sekarang : 7,2 kg (saat MRS, 10 januari 2010)
Tinggi badan sekarang : 66 cm
Gigi keluar :-
Tersenyum : 2 bulan
Miring : 5 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Duduk :-
Merangkak :-
Berdiri :-
Berjalan :-
Berbicara 2 suku kata :-
Riwayat Kelahiran :
Lahir di : Klinik bersalin, ditolong oleh : bidan
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan 11 hari
4
Jenis partus : Spontan, bayi langsung menangis
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : tidak pernah (alasan jauh dari puskesmas)
Keadaan anak : sehat
IMUNISASI
Tidak pernah imunisasi.
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 14 September 2010
Kesan umum : Sakit sedang
Kesadaran : E2M4V1
Tanda Vital
Nadi : 136 kali/menit
Suhu badan : 38,3oC
Frekuensi nafas : 36 kali/menit
Kepala
Rambut : Hitam
Lingkar kepala : 40 cm
Ubun-ubun besar : Cembung
Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Sianosis (-/-), Refleks
Cahaya (+/+), Pupil: Isokor (2mm/2mm).
Hidung : Sumbat (-), Sekret (-)
Telinga : Bersih, Sekret (-)
5
Mulut : Lidah bersih, Faring Hiperemis (-), mukosa bibir
basah, pembesaran Tonsil (-/-), sekret (+)
Leher
Pembesaran Kelenjar : (-)
Dada
Inspeksi : Gerakan simetris
Palpasi : Thrill (-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
S1/S2 tunggal reguler
Bising : (-)
Abdomen
Inspeksi : Flat
Palpasi : Soefl, Nyeri tekan sulit dievaluasi,
Hepar/ lien tidak teraba,
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
6
Tonus klonus (-)
Refleks patologis :
Babinski (+)
Chadock (-)
Openheim (-)
Gordon (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 12-09-2010)
Leukosit : 15.400 / mm3
Hb : 10,2 gr/dl
Ht : 25,7 %
Trombosit : 337.000/ mm3
Na : 141
K : 4,1
Cl : 109
Ureum : 49,2
Creatinin : 0,8
7
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 13-09-2010)
APTT : - Kontrol : 30,5 detik
- Pasien : 24,5 detik
PT : - Kontrol : 12,6 detik
- Pasien : 15,5 detik
Urine Lengkap :
BJ : 1030
Warna : Kuning
Kejernihan : keruh
pH : 5
Sel epitel : +
Leukosit : 2-3
Eritrosit : 0-1
Kristal : Uric acid (+)
Feces Lengkap :
Warna : hitam
Konsistensi : lembek
Darah : (-)
Lendir : (-)
Eritrosit : 1-2
Leukosit : 1-2
Amuba : (-)
Kista : (-)
Telur cacing : (-)
8
Pemeriksaan cairan otak: (tanggal 14-09-2010 di Laboratorium A. W. Sjahranie)
A. Makroskopis
− Kejernihan : Agak keruh
− Warna : Putih kekuningan
B. Mikroskopis
a. Hitung sel : 58 sel (normal: 0-6/mm3, abnormal: 10 sel /mm3
untuk orang dewasa)
b. Hitung jenis
− Mononuklear : 30%
− Polinuklear : 70%
C. Protein
− Test Busa : (+) positif
− Test Pandy : (+) positif
− Test Nonne/Apelt : (+) positif
Glukosa : 61 mg/dl
Protein : 122 mg/dl
9
Diagnosis Kerja Sementara :
Suspect Meningoensefalitis
PENATALAKSANAAN :
O2 1-2L/Menit
IVFD KAEN4A 8gtt/menit
Cefotaxim 3x250 mg iv
Dexamethason 3 mg iv (bolus) kemudian setelah 12 jam 3x1 mg iv
Phenytoin 2x17,5 mg iv
Farmadol 100mg / 6jam atau Dumin rectal 125mg
Bila kejang, diazepam 2mg iv
Ranitidin 3x7mg iv
Transamin 3x70mg iv
Nootropil 3x100 mg iv
Puasa, pasang NGT
Prognosa :
Dubia et malam
10
Follow-Up
Tanggal S O A P
12-09-2010 Demam (+), E2M3V1 Meningoencephal O2 1-2L/Menit
Muntah (-), Ubun-ubun tegang itis IVFD KAEN4A 8gtt/menit
BB: 7,2 kg Kejang (+) N: 136 x/menit, Cefotaxim 3x250 mg iv
Kesadaran RR: 36 x/menit, T: Dexamethason 3 mg iv (bolus)
menurun 40ºC. kemudian setelah 12 jam 3x1
Reflek cahaya (+/ mg iv
+), Phenytoin 2x17,5 mg iv
Ronki (-/-) Farmadol 100mg / 6jam atau
− Akral hangat Dumin rectal 125mg
Bila kejang, diazepam 2mg iv
Puasa, pasang NGT
Ranitidin 3x7mg iv
Transamin 3x70mg iv
Observasi
CT-scan brain
Konsul mata
Rencana LP
Nootropil 3x100 mg iv
11
Kejang (-) T: 36,8 ºC.
Penurunan Reflek cahaya (+/
kesadaran +), pupil isokor
2mm/2mm.
Rh: -/- , Wh: -/-
16-09-2010 Demam (-), N: 132 x/menit, Meningitis KAEN 4A 8 gtt/menit
kejang (-), RR: 32 x/menit, T: purulenta Neebulizer stop
sadar (+) 37,2 ºC. Aff DC
ASI/PASI 8x50cc (NGT +
oral)
Ranitidine + transamin +
farmadol stop
Dexamethason (kamis-jum’at)
2x1 mg iv, dilanjutkan (sabtu-
minggu) 1x1mg iv
Terapi lain lanjut
17-09-2010 Demam (-), N: 128 x/menit, Meningitis ASI/PASI 8x75cc / oral
kejang (-), RR: 28 x/menit, T: purulenta Aff NGT & O2
sadar (+) 36,8 ºC. Terapi lain lanjut
20-09-2010 Demam (+), N: 132 x/menit, Meningitis Nootropil inj. Ganti oral
kejang (-) RR: 32 x/menit, T: purulenta 3x100mg
38,0 ºC. Phenytoin inj. Ganti oral 2x20
Rh -/-, Wh -/- mg
Konsul bagian kulit:
Advise : betamethason cream
2x/hari
Caladin powder 2x/hari
21-09-2010 Demam (-), N: 128 x/menit, Meningitis Ventolin, nebulasi / 4jam
kejang (-), RR: 28 x/menit, T: purulenta + Terapi lain lanjut
Batuk (+) 37,0 ºC. miliaria
Rh +/+, Wh -/-
12
demam (-), Rh +/+, Wh -/-
kejang (-)
24-09-2010 Demam (-), N: 120 x/menit, Meningitis Terapi lanjut
kejang (-), RR: 28 x/menit, T: purulenta
Batuk (+)↓, 37ºC.
BAB cair ↓ Rh +/+, Wh -/-
Kurva Suhu
13
BAB III PEMBAHASAN
Pembahasan
Dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien
ini di dapatkan diagnosis meningitis purulenta dengan gizi baik.
Dalam teori, meningitis mempunyai pelbagai penyebab, namun gejala klinis
meningitis lebih kurang sama dan khas, sehingga gejala tersebut dapat digunakan
sebagai diagnosis awal. Gejala ini bisa diperoleh dari anamnesa yaitu: suhu tubuh
mendadak naik; seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran dengan cepat
menurun, pada anak agak besar sering mengeluh nyeri kepala sebelum
14
kesadarannya menurun, ada kejang yang dapat bersifat umum, fokal, atau hanya
twitching saja.
Pada meningitis biasanya gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung
dari usia si penderita serta apa yang menyebabkannya. Gejala yang paling umum
adalah demam yang tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu
biasanya penderita merasa sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan
kesadaran serta penglihatan menjadi kurang jelas. Gejala pada bayi yang terkena
meningitis, biasanya menjadi sangat rewel, muncul bercak pada kulit, tangisan
lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi
gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak beraturan. (Japardi,
Iskandar., 2002). Tanda-tanda neurologis setempat tidak ada, tetapi bayi dapat
mengalami stagnasi atau gangguan perkembangan. Hal ini sesuai dengan yang
dialami pasien yaitu demam tinggi selama dua hari sebelum kejang, demam
disertai menggigil, pasien sempat diberi obat penurun panas, tapi tidak ada
perubahan dan selama demam pasien rewel dan tidak mau menyusu. Tanda-tanda
rangsangan meningeal tidak didapatkan serta repleks patologis sulit dievaluasi.
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan antara lain pemeriksaan
darah lengkap, cairan serebrospinal dengan lumbal pungsi dan kultur cairannya.
Diagnosa pasti ditegakkan melalui pemeriksaan lumbal pungsi dan terdapatnya
organisme atau antigennya dalam cairan serebrospinal. Pada pemeriksaan cairan
serebrospinal didapatkan:
1) Warna opalesen atau keruh dapat terjadi pada hari pertama atau kedua
2) Jumlah sel meningkat lebih dari 1000 sel/ml
3) Jenis sel terutama PMN
4) Kadar gula turun antara 0-20 mg/ml
5) Kadar protein meningkat, tergantung lama sakit
6) Pada sediaan gram bakteri (+) hampir pada 80% kasus bila belum mendapat
pengobatan sebelumnya. Menurut McGowan dan kawan-kawan, netter kultur
dari darah (+) pada 65-75% kasus
7) Kadar asam laktat dan pH meningkat
8) Pada sediaan dengan methylen blue (+)
15
9) Pemeriksaan Counter current immunoelektrophoresa sensitif untuk
mendeteksi antigen haemophillus influenza dari cairan serebrospinal dan
darah
10) Adanya pembengkakan kapsul (capsule Swell) pada reaksi antigen antibodi
cepat terbentuk dan merupakan pemeriksaan diagnostik penunjang untuk
haemophillus influenza.
CT/MRI dengan kontras dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di
daerah basal. Serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari pemeriksaan
CT-Scan/MRI kepala pada pasien meningitis adalah normal pada awal penyakit.
Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah
kelainan di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan
6,8,12
tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. sedangkan pada
pasien ini, gambaran CT-Scan kepalanya normal.
Meningitis dapat diterapi, tetapi tergantung dari penyebabnya. Terapi
tersebut bertujuan untuk memberantas penyebab infeksi disertai perawatan
intensif suportif. Terapi pada meningitis purulenta yaitu:
1) Kombinsai antara ampicilin dan chloramphenicol dianjurkan sebagai
pengobatan awal pada meningitis haemophillus influenza. Dosis ampicilin 300
mg/kgBB/hari (maksimal 10 g/hari) selama 10-14 hari, dosis dibagi dan
diberikan setiap 4 jam. Chloramphenicol lebih bakterisit dibanding dengan
ampicilin. Chloramphenicol cepat bersatu dengan lekosit PMN dan dapat
membunuh bakteri intraseluler. Dosis perhari 75 mg/kgBB (maksimal 4g).
Pharmakokinetik dari Chloramphenicol sangat bervariasi, maka kadar dalam
serum harus diawasi untuk memastikan kadar terapi serta menghindari kadar
toksik terutama pada bayi. Kadar terapi berkisar antara 15-25 μg/ml yang
didapat setelah 60-120 menit pemberian intravena atau oral. Bila kadar lebih
dari 30 μg/ml dapat mengakibatkan terjadinya penekanan sumsum tulang dan
kadar 50-80 μg/ml dapat menekan kontraksi miokardial.
2) Dapat ditambahkan campuran trimetoprim 80 mg, sulfametoksazol 400 mg iv.
3) Dapat pula ditambahkan seftriakson intravena 100mg/kgBB/hari.
4) Cairan intravena
16
5) Koreksi gangguan asam-basa dan elektrolit
6) Kortikosteroid . Berikan deksametason 0,6 mg/kgBB/hari selama 14 hari,15-20
menit sebelum pemberian antibiotik
Antibiotik. Terdiri dari 2 fase, yaitu empiric dan setelah ada hasil biarkan
dan uji resistensi. Pengobatan empiric pada neonatus adalah kombinasi ampisilin
dan aminoglikosida atau ampisilin dan sefotaksim.Pada umur 3 bulan sampai 10
tahun kombinasi ampisilin dan kloramfenikol atau sefuroksim / Sefotaksim /
Seftriakson. Pada usia lebih dari 10 tahun digunakan penisilin. Pada Neonatus
pengobatan selama 21 hari, pada bayi dan anak 10-14 hari.
17
intrakranial yang meningkat, adanya defisit neurologis, mencegah perlekatan
araknoidea pada jaringan otak.
Dari alloanamnesa ditemukan kejang pada pasien ini, dimana sebelumnya
didahului dengan demam tinggi selama 2 hari tanpa penyebab yang jelas dan
setelah panas hari ke-2, pasien mengalami kejang yang bersifat umum (seluruh
tubuh), lama kejang ± 5 menit, sebanyak 2 kali selang waktu 2 jam, sebelumnya
belum pernah kejang. Kejang yang berulang pada pasien ini mungkin disebabkan
nilai ambang yang rendah terhadap setiap peningkatan suhu tubuh 10C (proses
ekstrakranial) atau mungkin dapat disebabkan suatu proses intrakranial akibat
infeksi di otak dan ini diperkuat keluhan pasien yang rewel serta tangisannya yang
cukup keras.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan penurunan kesadaran, refleks cahaya (+/
+), pupil isokor (2mm/2mm), Ubun-ubun besar cembung, babinsky (+), kaku
kuduk (-), brudzinski I (-), brudzinski II (-), kernig (-).
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, mengarah pada kecurigaan
meningitis, sehingga kemungkinan diganosa adalah meningitis. Namun,
berdasarkan literatur yang diperoleh, pada pasien ini tidak disertai dengan tanda
rangsang meningeal, hal ini disebabkan karena tanda rangsang meningeal belum
muncul atau sulit didapatkan pada anak usia dibawah satu tahun.
Karena diagnosa mengarah pada kecurigaan meningitis, maka untuk
menegakkan diagnosa, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lumbal punksi dan
kultur cairan serebro spinal. Pada pasien ini, cairan lumbal yang diperiksa di
laboratorium RSU A.W. Sjahranie adalah: cairannya agak keruh berwarna putih
kekuningan, jumlah sel 58 sel/mm3, PMN 70%, MN 30%,. protein: test Busa (+)
positif, test Pandy (+) positif, test Nonne/Apel (+) positif, glukosa 61 mg/dl,
protein 122 mg/dl. Dari hasil peneriksaan cairan lumbal, dapat disimpulkan bahwa
kemungkinan pasien menderita meningitis purulenta, yang didasarkan dengan
cairannya yang keruh, peningkatan sel PMN 70%, none pandy test positif, dan
peningkatan jumlah protein dibandingkan glukosanya. Hasil kultur cairan lumbal
pada pasien ini, ditemukan bakteri Staphylococcus aureus. Jadi dapat dipastikan
bakteri ini sebagai bakteri penyebab dari meningitis yang diderita oleh pasien.
18
Dari hasil uji sensitifitas, antibiotik yang masih sensitive terhadap bakteri yang
ditemukan pada cairan lumbal pasien adalah amikasin (20mm), cefepime (20mm),
meropenem (20mm), ceftizoxim (22mm). setelah adanya hasil uji sensitifitas ini,
antibiotik yang sebelumnya menggunakan cefotaksim, diganti dengan antibiotik
meropenem.
Pada pasien ini tidak dilakukan uji tuberkulin (Mantoux test). Namun tidak
menyingkirkan kemungkinan diagnosa bisa kearah meningitis TB, karena pada
pasien ini memiliki riwayat belum pernah imunisasi BCG, dibuktikan dari
anamnesa pada orang tua pasien, dan pemeriksaan fisik dengan tidak
ditemukannya scarr ( jaringan parut ) pada lengan kanan atas pasien, tapi tidak
ditemukan adanya pembesaran KGB yang mendukung diagnosa menderita
penyakit TB. Pasien ini juga telah dilakukan pemeriksaan CT scan kepala, dan
dari hasilnya diperoleh kesimpulan gambaran yang masih dalam batas normal.
Pada pasien ini tidak didapatkan tanda-tanda klinis kurang gizi yaitu
seperti pasien kurus, kulit kering, dan berat badan pasien saat MRS adalah 7,2 kg
dan tinggi badannya adalah 66 cm. Status gizi pasien ini dapat ditentukan
menggunakan Z-score WHO. Berdasarkan Z-score WHO maka status gizi pasien
termasuk gizi baik.
Saat masuk rumah sakit, berat badan pasien adalah 7,2 kg dan setelah
menjalani perawatan di rumah sakit, berat badan pasien menjadi 7,5 kg. Hal ini
menunjukkan bahwa ada peningkatan berat badan setelah di rawat di rumah sakit.
Hal ini perlu menjadi perhatian khusus bagi kita bahwa, sangat penting untuk
memperhatikan kebutuhan gizi pasien terutama yang dirawat dalam jangka waktu
yang lama. Sehingga pada pasien ini diberikan ASI/PASI 2x75cc melalui selang
NGT, hasilnya pasien mengalami perbaikan gizi ditandai dengan peningkatan
berat badan 0,3 kg selama perawatan di RSU A.W Sjahranie.
Dengan demikian berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang ditandai dengan cairan lumbal yang keruh,
peningkatan sel PMN 70%, none pandy test positif, dan peningkatan jumlah
protein dibandingkan glukosanya, dan peningkatan leukosit darah dari
15.400/mm3 menjadi 25.100/mm3 sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien
19
menderita meningitis purulenta. Namun diagnose pasti hendaknya ditegakkan
dengan kultur cairan serebro spinal.
Pengobatan yang diberikan pada pasien ini adalah: O2 1-2L/Menit, IVFD
KAEN4A 8gtt/menit, Cefotaxim 3x250 mg iv, Dexamethason 3 mg iv (bolus)
kemudian setelah 12 jam 3x1 mg iv, Phenytoin 2x17,5 mg iv, Farmadol 100mg / 6
jam atau Dumin rectal 125mg, Bila kejang berikan diazepam 2mg iv, dipuasakan,
dipasang NGT, Ranitidin 3x7mg iv, Transamin 3x70mg iv.
Penatalaksanaan pada pasien ini sudah memenuhi standar pengobatan,
dimana selain memperbaiki keadaan umum dan nutrisinya, juga diberikan
pengobatan berdasarkan penyebabnya dengan pemberian antibiotik dan
pemberian kortikosteroid (deksamethasone 3 x 1 mg, iv) untuk mencegah
perlekatan araknoidea pada jaringan otak, tekanan intrakranial yang meningkat,
dan adanya defisit neurologis.
Prognosis pada pasien ini buruk berdasarkan oleh usia pasien kurang dari 1
tahun, Hb kurang dari 11gr/dl dan disertai penurunan kesadaran.
Tindak lanjut (follow up) untuk kasus ini antara lain, observasi tanda vital,
pencegahan kejang dengan pemberian phenytoin 4-5mg/KgBB/hari, monitor efek
penggunaan obat-obatan yang digunakan seperti penggunaan antibiotik
Gentamisin yang bersifat nefrotoksik sehingga perlu dipantau diuresisnya serta
dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti ureum kreatinin untuk mengetahui
fungsi ginjalnya. Selain itu juga di observasi apakah ada komplikasi yang terjadi
pada pasien ini.
Sebagai tindakan pencegahan selanjutnya, pasien dianjurkan untuk segera
melengkapi imunisasinya. Pasien juga harus dijaga hygiene-nya terutama dari
ibunya yang merawat pasien ini.
20
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pasien di diagnosa meningitis purulenta. Diagnosa meningitis purulenta ini
dibuat dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2. Pasien mendapat terapi meningitis sesuai dengan penyebabnya yaitu adanya
dugaan infeksi bakteri pada SSP (susunan saraf pusat) nya.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Prober, G.P. 2000. Central Nervous System Infections. Nelson Text Book
of Pediatrics, 16th editions.
22
Bagian Ilmu Penyakit Anak Laporan Kasus
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Mulawarman
MENINGITIS PURULENTA
Disusun Oleh :
Awang Heriady
01.30302.00050.09
Pembimbing :
dr. H.M. Adnan Sp.A
23