Anda di halaman 1dari 70

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (KPA)

1. Pendahuluan

Anak sebagai generasi penerus dan pengelola masa depan bangsa perlu
dipersiapkan sejak dini melalui pemenuhan hak-haknya yakni hak untuk
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.

Kebijakan pembangunan KPA pada dasarnya mengacu pada ketentuan


perauran perundang-undangan yang berlaku yakni UUD 1945 pasal 28B dan
28C, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, PNBAI 2015, CRC,
MDGs, dan WFFC serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan
dengan anak.

Sebagaimana diamanatkan dalam UU. No. 23 tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak bahwa penjaminan dan pemenuhan hak-hak anak
menjadi tanggung jawab bersama orang tua, keluarga, masyarakat, dan
Negara. Peraturan perundang undangan yang mengatur tentang anak
jumlahnya adalah cukup banyak namun implementasinya belum
sebagaimana yang kita harapkan. Selain itu dengan keluarnya PP No. 41
tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah maka tatanan
kelembagaan di daerah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini
berdampak pula terhadap pelaksanaan program dan kegiatan di bidang
pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak. Satu segi penangnan
perlindungan anak harus ditangani secara holistik dan berkelanjutan. Oleh
karena itu untuk mempermudah para pemangku kepentingan dalam
penyusunan program dan kegiatan kesejahteraan dan perlindungan anak,
maka perlu adanya kebijakan yang jelas yang dapat dijadikan sebagai
acuan dalam rangka pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak di
daerah.

2. Kebijakan pembangunan kesejahteraan dan perlindungan anak

2.1. Definisi anak.


Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (ps 1 UU No.
23/2002).

2.2. Mengapa penting membangun dan melindungi anak.

 Dasar pemikiran:
Anak: - merupakan amanah dan karunia dari Allah SWT Tuhan
Yang Maha Esa yang harus dijaga dan dilindungi
- merupakan investasi bagi orang tua, bangsa dan negara.
- merupakan potensi kekayaan dan kesejahteraan

1
bangsa di masa kini dan masa depan.
Kualitas sumber daya manusia:
- indikator utama keberhasilan suatu bangsa dalam melakukan
pembangunan, yang dimulai sejak usia dini.

Bagaimana suatu bangsa memberikan prioritas kepada


pembangunan anak?
- Menunjukkan apakah bangsa tersebut adalah bangsa
yang visioner atau tidak.

Upaya melakukan pembangunan anak:


- perlu dimulai dengan memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangan anak.

Perencanaan pembangunan yang peduli anak


- Perlunya perubahan pendekatan pembangunan menjadi
peduli anak
- Upaya peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak anak
perlu diintegrasikan ke dalam seluruh program pembangunan yang
terkait, utamanya pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan
hukum.

 Argumentasi pentingnya membangun anak


Argumentasi Hak Asasi Manusia
- Anak memiliki hak untuk hidup dan berkembang sampai kepada
potensi penuhnya

Argumentasi Nilai Moral


- Melalui anak-anak, nilai moral ditumbuh-kembangkan

Argumentasi Ekonomi dan Sosial


- Pembangunan anak merupakan investasi untuk meningkatkan
produktivitas bangsa dan masyarakat
- Kesiapan anak memasuki kehidupan mandiri
- Kesetaraan gender

2.3. Tahap pertumbuhan anak:


- Masa pralahir, yaitu sejak pembuahan sampai dengan full term.
- Masa bayi, yaitu masa sejak lahir sampai dengan usia 1 tahun.
- Masa batita, yaitu bayi berusia 1-3 tahun.
- Masa prasekolah, yaitu anak yang berusia 4-5 tahun.
- Masa sekolah dasar, yaitu anak yang berusia 6-12 tahun.
- Masa remaja, yaitu masa pada saat anak berusia 12,5-18 tahun
(laki-laki) dan 10,5-18 tahun (perempuan).

2.4. Hak-hak anak:

Hak-hak dasar anak:

2
- Bertahan hidup: standar hidup yang layak; papan, sandang,
makanan bergizi, pelayanan kesehatan,
penghidupan yang layak, perlindungan dari
segala bentuk kekerasan.

- Tumbuh kembang: segla hal yang memungkinkan anak tumbuh dan


berkembang secara penuh sesuai dengan
potensinya  pendidikan, bermain dan
memanfaatkan waktu luang, aktivitas sosial
budaya, akses terhadap informasi, dll.

- Perlindungan: semua yang diperlukan untuk melindungi mereka


dari kekerasan, perlakuan salah, dan
penelantaran.
- Partisipasi: memungkinkan anak untuk memainkan peran
aktif
dalam komunitasnya sesuai dengan kelebihan
dan keterbatasan mereka terutama dalam
berbagai hal yang menyangkut kepentingan
mereka.

Hak-hak partisipasi:

Setiap anak berhak untuk menguatarakan pikiranya secara bebas.


Untuk itu, maka anak harus ditanya pendapatnya dan pendapat
tersebut harus dihormati serta diperhitungkan dalam semua
keputusan yang menyangkut hidup anak tersebut, baik dalam
keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat bahkan sampai ke
pengadilan sekalipun.

Hal yang sering terjadi dalam lingkungan keluarga, orangtua


menganggap anak yang berani bicara dengan orangtua sebagai
anak yang kurang ajar, apalagi bila anak berbeda pendapat
dengan orang tua. Begitu juga dengan guru sekolah. Masih banyak
guru yang tidak bisa menerima pendapat anak. Anak hanya
mendengarkan saja selama belajar di kelas dan tidak ada diskusi
atau upaya untuk mendorong anak berpikir dan mengeluarkan
pendapatnya.

Anak masih dalam proses belajar sehingga orang dewasa perlu


membimbing dan memperbaiki cara anak mengemukakan
pendapatnya. Sesungguhnya banyak manfaat ketika orang dewasa
berbicara dengan cara baik kepada anak, antara lain :
• Melatih anak berpikir kritis, mampu memecahkan
masalah, dan mandiri karena terbiasa melatih pikirannya;
• Mendorong anak untuk terus giat belajar dan
mengembangkan sikap percaya diri
• Membina hubungan yang akrab dan menyenangkan
diantara orangtua dan anak

3
• Mengembangkan sikap sopan santun dan toleransi
kepada orang lain karena anak yang dihargai pendapatnya
juga akan belajar menghormati pendapat orang lain.

Termasuk didalam hak partisipasi anak adalah hak anak untuk


mengungkapkan pandangan dan perasaannya terhadap situasi
yang mempunyai dampak pada anak. Selain itu juga
memungkinkan anak berperan aktif dalam berbagai hal yang
menyangkut kepentingan mereka.
Pasal tentang hak partisipasi dalam KHA :
• Pasal 12
• Pasal 13
• Pasal 15

Kebebasan dalam menyatakan pendapat dan berekspresi adalah


hak partisipasi anak. Tetapi kebebasan tersebut senantiasa diikuti
dengan tanggungjawab untuk menghargai hak orang lain. Artinya
selama anak hidup dan berada dalam lingkungan bersama orang
lain, maka selalu ada hak-hak orang lain yang harus dihargai.
Kebebasan bertindak dan berekspresi tidak boleh dengan
melanggar hak orang lain.

Pengertian partisipasi anak sebetulnya sangat luas dan memiliki


tingkatan-tingkatan, seperti yang dikemukakan oleh Hart (1997)
yang mempopulerkan konsep tangga partisipasi anak. Namun
demikian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dalam hal ini
Deputi Perlindungan Anak, berdasarkan literatur yang ada telah
mencoba menterjemahkan partisipasi anak sebagai keterlibatan
anak dalam proses pengambilan keputusan dan menikmati
perubahan yang berkenaan dengan hidup mereka baik secara
langsung maupun tidak langsung yang dilaksanakan dengan
persetujuan dan kemauan semua anak berdasarkan kesadaran dan
pemahaman (buku Panduan Pelaksanaan Rencana Aksi Partisipasi
Anak, Kementerian PP, tahun 2008).

Hak-hak anak secara umum meliputi hak untuk:


1. bebas beragama
2. bebas berkumpul secara damai
3. bebas berserikat
4. berekreasi
5. bermain
6. berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seni budaya
7. hidup dengan orang tua
8. kelangsungan hidup dan berkembang
9. tetap berhubungan dengan orang tua, bila dipisahkan
dengan salah satu orang tua
10. mendapatkan perlindungan dari penangkapan yang
sewenang-wenang
11. mendapatkan identitas
12. mendapatkan informasi dari berbagai sumber
4
13. mendapatkan kewarganegaraan
14. mendapatkan nama
15. mendapatkan pelatihan keterampilan
16. mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma
17. mendapatkan standar hidup yang layak
18. mendapatkan perlindungan dari perampasan kebebasan
19. mendapatkan perlindungan dari perlakuan kejam, hukuman
dan perlakuan tidak manusiawi
20. mendapatkan perlindungan dari siksaan
21. mendapatkan perlindungan hukum jika mengalami
eksploitasi seksual dan kegunaan seksual
22. mendapatkan perlindungan khusus dalam situasi yang
genting
23. mendapatkan perlindungan khusus dari penculikan,
penjualan, dan perdaganan anak
24. mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami
eksploitasi sebagai anggota kelompok minoritas atau kelompok
adat
25. mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami konflik
hukum
26. mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami
eksploitasi dalam penyalahgunaan obat-obatan
27. mendapatkan perlindungan khusus sebagai pengungsi
28. mendapatkan perlindungan khusus, jika mengalami
eksploitasi sebagai pekerja anak
29. mendapatkan perlindungan khusus dalam konflik bersenjata
30. mendapatkan perlindungan pribadi
31. mendapatkan perlindungan standar kesehatan yang paling
tinggi

2.5. Situasi anak di Indonesia:

Di bidang Kesehatan:

Berdasarkan komitmen MDGs Indonesia telah menetapkan target


untuk menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23 per 1.000
KH dan Angka Kematian Balita (AKBA) menjadi 32 per 1.000 KH pada
tahun 2015.
Sedangkan menurut data SDKI 2007 menunjukkan AKB di Indonesia
telah berhasil turun menjadi 34 per 1.000 KH dan AKBA tercatat
sebanyak 44 per 1.000 KH.

Angka kematian bayi dapat dilihat juga dalam tabel berikut:

5
.
Gizi buruk juga menjadi salah satu permasalahan pada kesehatan
anak. Menurut KOMNAS PA pada tahun 2006 terdapat sejumlah
744.698 anak penderita malnutrisi dengan rincian 55,9% menderita

80
kurang gizi yakni 42,7% menderita gizi buruk dan 1,3% menderita
busung lapar. Selain itu anak-anak juga banyak terserang berbagai
penyakit seperti diare (5.645 anak), demam berdarah (5.127 anak),
polio (324 anak), lumpuh layu (451 anak), campak (1.652 anak), dan
flu burung 43 anak.

Hasil survei Garam Yudium 2005 mencatat bahwa prevalensi gizi 6


70
kurang meningkat menjadi 28,0% terdiri dari balita gizi buruk 8.8% dan
balita gizi kurang 19,2%. Selain kurang gizi juga banyak balita yang
menderita anemia pada tahun 2005 terdapat 8,1 juta balita yang
menderiat anemia (Depkes: 2007)

Menurut Komnas PA tahun 2006 terdapat 199 anak yang terserang


hidup

HIV/AIDS dan sekitar 144 bayi tertular HIV/AIDS dari ibunya.

60
Berdasarkan data dari Dit IV/Narkoba, Bareskrim, Mabes POLRI, 2008
mencatat jumlah kasus narkoba di Indonesia dengan usia tersangka

6
< 16 tahun sebanyak 110 kasus, usia 16-19 tahun sebanyak 2.627
kasus (2007).

Kematian balita dan bayi. pada tahun 1960, angka kematian bayi
(AKB) masih sangat tinggi yaitu 216 per 1.000 kelahiran hidup. Dari
tahun ke tahun, akb ini cenderung membaik sebagai dampak positif
dari pelaksanaan berbagai program di sektor kesehatan. pada tahun
1992 akb tercatat 68 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian menurun
menjadi 57 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1994, turun lagi
menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997, dan pada
tahun 2002-2003 penurunannya sudah mencapai 35 per 1000
kelahiran hidup (sDki 2002-2003). Menurut proyeksi bps (bps-unDp-
bappenas, 2005), pada tahun 2003 angka akb terus membaik hingga
mencapai 33,9 per 1.000 kelahiran hidup. Dengan kecenderungan
perkembangan pencapaian akb secara nasional seperti ini,
pencapaian target mDgs pada tahun 2015 diperkirakan sudah akan
tercapai pada tahun 2013.

Meskipun terus menurun, akb di indonesia masih tergolong tinggi jika


dibandingkan dengan negara-negara anggota asean, yaitu 4,6 kali
lebih tinggi dari malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali
lebih tinggi dari thailand. indonesia menduduki ranking ke-6 tertinggi
setelah singapura (3 per 1.000), brunei Darussalam (8 per 1.000),
malaysia (10 per 1.000), vietnam (18 per 1.000), dan thailand (20 per
1.000).

Perkembangan pencapaian AKB nasional tahun 1989-2005

Sumber: SDKI 1994,1997, 2002-2003. SKRT 1992, SUPAS 2005

Sementara itu, angka kematian balita (AKBA) juga menunjukkan


perkembangan yang membaik. Jika pada tahun 1992 akba masih
berada pada angka 97 per 1.000 kelahiran hidup, maka pada tahun
1994 angka ini telah turun menjadi 81 per 1.000 kelahiran hidup. pada
tahun 2002-2003 akba sudah mencapai angka 46 dan tahun 2005
mencapai 40 per 1.000 per kelahiran hidup. artinya, sepanjang
dekade 1990-an telah terjadi perbaikan rata-rata 7 persen per tahun,
lebih tinggi dari dekade sebelumnya sebesar 4 persen per tahun.
Pada tahun 2000 indonesia telah mencapai dan melampaui target

7
yang ditetapkan dalam World summit for children (Wsc) yaitu 65 per
1.000 kelahiran hidup.

Penurunan akba dalam kurun waktu tahun 1992 (sDki) sampai 2005
(supas) lebih cepat dibandingkan penurunan akb dalam kurun waktu
yang sama. penurunan akba mencapai 57 kematian per 1.000
kelahiran hidup, sedangkan kecepatan penurunan akb hanya
mencapai 35 kematian per 1.000 kelahiran hidup (lihat gambar 4.2). ini
menunjukkan bahwa resiko kematian kelahiran bayi lahir lebih besar
ketimbang resiko kematian hingga usia balita. pada tahun 2004, bps
memperkirakan akb dapat mencapai 33,9 kematian per 1.000
kelahiran hidup, sementara akba dapat mencapai 40,9 kematian per
1.000 kelahiran hidup.

Perkembangan AKB dan AKBA nasional tahun 1989-2005

Sumber: SDKI 1994,1997, 2002-2003. SKRT 1992, SUPAS 2005

Angka kematian ibu (AKI) di indonesia telah mengalami penurunan


menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002-2003 bila
dibandingkan dengan angka tahun 1994 yang mencapai 390 kematian
per 100.000 kelahiran hidup. tetapi akibat komplikasi kehamilan atau
persalinan yang belum sepenuhnya dapat ditangani, masih terdapat
20.000 ibu yang meninggal setiap tahunnya. Dengan kondisi ini,
pencapaian target MDGs untuk aki akan sulit dicapai. BPS
memproyeksikan bahwa pencapaian aki baru mencapai angka 163
kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2015, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 tersebut adalah 102.

Pencapaian target MDGs akan dapat terwujud hanya jika dilakukan


upaya yang lebih intensif untuk mempercepat laju penurunannya.
resiko kematian ibu karena melahirkan di indonesia adalah 1 dari 65,
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan resiko 1 dari 1.100 di thailand.
selain itu disparitas kematian ibu antarwilayah (provinsi) di indonesia
masih tinggi.

Pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan terus mengalami


peningkatan hingga mencapai 72,41 persen pada tahun 2006

8
(susenas). persalinan ini sangat mempengaruhi angka kematian ibu
dan bayi sekaligus.

Penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan (30%),


eklampsia (25%), partus lama (5%), komplikasi aborsi (8%), dan
infeksi (12%). resiko kematian meningkat, bila ibu menderita anemia,
kekurangan energi kronik dan penyakit menular. aborsi yang tidak
aman bertanggung jawab pada 11 persen kematian ibu di indonesia.
aborsi yang tidak aman ini biasanya terjadi karena kehamilan yang
tidak inginkan (unwanted pregnancy).

Kontrasepsi modern memainkan peranan penting untuk menurunkan


kehamilan yang tidak diinginkan. Pada tahun 1997, tingkat pemakaian
kontrasepsi pada perempuan kawin usia 15-49 tahun hanya 57,4
persen, yang meningkat menjadi 60,3 persen pada tahun 2002-2003
(sDki 2002-2003). Ssementara itu unmet need pada tahun 2002-2003,
masih sekitar 8,6 persen. pemakaian kontrasepsi pada wanita kawin
usia 15-49 ini, cenderung tidak menunjukkan peningkatan yang cukup
berarti. Jika merujuk pada data susenas (1992-2006) maka selama
kurun waktu 13 tahun pemakaian kontrasepsi pada perempuan kawin
usia 15-49 tahun hanya meningkat 7,4 persen.

Proporsi wanita 15-49 tahun berstatus kawin dan menggunakan alat KB


tahun 1992-1996:

Sumber: Susenas BPS (berbagai tahun)

Resiko kematian ibu semakin besar dengan adanya anemia,


kekurangan energi kronik (kek), dan penyakit menular seperti malaria,
tuberkulosis (tb), hepatitis, serta Hiv/aiDs. pada tahun 1995, misalnya,
prevalensi anemia pada ibu hamil mencapai 51 persen dan pada ibu
nifas 45 persen. sementara pada tahun 2002 terdapat 17,6 persen
wanita usia subur yang menderita kek. tingkat sosial ekonomi, tingkat
pendidikan, faktor budaya, akses terhadap sarana kesehatan,
transportasi, dan tidak meratanya distribusi tenaga terlatih --terutama
bidan-- juga berkontribusi secara tidak langsung terhadap kematian
ibu.

Proyeksi perolehan AKI nasional tahun 2005-2025

9
Sumber: SDKI 1994,1997,2002-2003, SKRT: 1986,1992,1992,1995

Lebih lanjut, meskipun dalam uu nomor 1 tahun 1974 tentang


perkawinan menggariskan bahwa batas usia minimal menikah untuk
perempuan adalah 16 tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun,
namun data susenas 2006 menunjukkan bahwa 12,56 persen wanita
berumur 10 tahun ke atas menikah pertama kali pada usia 15 tahun ke
bawah. sementara mereka yang menikah pertama kali pada usia 16
tahun (batas usia legal untuk menikah) hanya 9,84 persen. pernikahan
usia dini seperti ini berimplikasi pada peningkatan jumlah ibu
melahirkan di usia yang sangat muda dan pada akhirnya
meningkatkan risiko kematian ibu. pernikahan dini ini juga
menyebabkan perempuan terpaksa putus sekolah karena dia harus
mengurus keluarga.

Di bidang Pendidikan:

Angka Partisipasi Sekolah (APS) tahun 1971-2007 untuk anak usia 7-


18 tahun mengalami peningkatan terutama pada kelompok usia
Sekolah Dasar (7-12 tahun).
APS untuk anak usia dini (0-6 tahun) secara kuantitatif terus
bertambah sejak tahun 2004 – 2006. Namun yang paling mencolok
adalah jenis satuan PAUD melalui jalur non formal mencapai
5.651.066 siswa, namun apabila dilihat dari jumlah penduduk usia 0-6
tahun yang mencapai 28.068.100 anak maka jumlah peserta didik
PAUD belum mencapai 50% (Depdiknas: 2006).

Menurut BPS tahun 2006 jumlah anak putus ekolah tahun 2005
sebanyak 1.712.413 anak, sebagian besar (54,3%) disebabkan oleh
ketidakmampuan ekonomi, bahkan ada 16 kasus anak yang bunuh diri
karena menunggak biaya sekolah.
Pada kelompok umum 10-18 tahun terlihat persentase putus sekolah
anak laki-laki sekitar 9,41% sementara perempuan hanya 5,6%.

10
Menurut National Human Develeopment Report 2004, rata-rata lama
sekolah penduduk sekolah tahun 1999 hanya 6,7 tahun dan
meningkat menjadi 7,1 tahun pada tahun 2002. Data ini meunjukkan
walaupun pendidikan meningkat namun secara umum untuk tingkat
SLTP kelas 1 dan pada tahun 2002 rata-rata lama sekolah lama laki-
laki 7,6 tahun (SLTP Kelas 2) lebih tinggi dibandingkan perempuan
yang hanya 6,5 tahun (SLTP Kelas 1). Pada tahun 2004 dan 2005 rata
lama sekolah meningkat menjadi 7,2 tahun dan dan 7,3 tahun. Pada
masa tersebut rata-rata lama sekolah laki-laki adalah 7,8 tahun lebih
tinggi dari perempuan yang hanya 6,8 tahun (BPS, Inkesra: 2005).

Untuk melihat perkembangan situasi anak di sekolah dari tahun 2005-


2007 dapat dilihat dalam tabel berikut:

SIT
Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (7-
12 tahun) dan angka partisipasi murni (APM) sekolah menegah
pertama/madrasah tsanawiyah (13-15 tahun) dari tahun 1992 sampai
tahun 2006 secara nasional menunjukkan kecenderungan membaik.
pada tahun 1992, APM SD/MI tercatat 88,7 persen dan pada tahun
2006 telah mencapai 94,73 persen. Sementara itu APM SMP/MTS
tahun 1992 adalah 41,9 persen dan mencapai 66,52 persen pada
tahun 2006. Jika kecenderungan seperti ini mampu dipertahankan,
maka indonesia diperkirakan berhasil mencapai target MDG pada
tahun 2015.

Angka partisipasi kasar (APK) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan


angka partisipasi kasar (APK) sekolah menengah pertama/madrasah
tsanawiyah dari tahun 1993 sampai tahun 2006 secara nasional
menunjukkan kecenderungan membaik. apk sD/mi sejak tahun 1992
sudah mencapai 102,0 persen.

11
Perkembangan APM SD/MI dan APM SMP/MTs

Sumber: Susenas BPS (berbagai tahun)

Perkembangan APK SD/MI dan APK SMP/MTs

Sumber: Susenas BPS (berbagai tahun)

Perkembangan APK SD/MI dan APK SMP/MTs


menurut tingkat kelompok pengeluaran keluarga

12
Sumber: Susenas BPS (berbagai tahun)

Pada tahun 2006, angka ini menjadi 109,95 persen. namun untuk
tingkat SMP/MTs, APKnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
APK SD/MI. Pada tahun 1992 APK SMP/MTS masih berada di angka
55,6 persen dan pada tahun 2006 baru mencapai 88,68 persen.
indikator ini menginformasikan bahwa berbagai program SD/MI dan
SMP/MTs non-reguler telah berhasil menjaring kembali murid SD/MI
dan SMP/MTs untuk menuntaskan masa belajar mereka di bangku
SD/MI maupun SMP/MTs. informasi ini juga menunjukkan bahwa
dalam perjalanan mengikuti proses belajar mengajar, ternyata masih
banyak siswa SD/MI yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.

Walaupun angka partisipasi kasar tingkat SD/MI maupun SMP/MTs


menunjukkan perbaikan, tetapi bila dilihat dari tingkat kelompok
pengeluaran rumah tangga, maka terdapat perbedaan antara
kelompok rumah tangga miskin dan non-miskin. pada kelompok
pengeluaran terbawah (kuantil 20% terbawah, Q1), apk SD/MI tahun
1995 adalah 104,88 persen dan mencapai 108,92 persen pada tahun
2006. Data tahun 1995 hingga 2006 menunjukkan indikasi
bahwasanya APK SD/MI untuk kelompok pengeluaran terbawah
ternyata berkembang lebih baik dari APK SD/MI untuk golongan
pengeluaran teratas. peristiwa yang sama juga terjadi pada APK
SMP/MTS antara tahun 1995 hingga 2006. APK SMP/MTs tahun 1995
pada kelompok pengeluaran terbawah tercatat 44,39 persen dan
menjadi 70,78 persen pada tahun 2006.

Dari uraian di atas terlihat bahwa perbaikan kesejahteraan rumah


tangga berpengaruh pada akses terhadap pendidikan, terutama bagi
keluarga yang mempunyai anak usia sekolah sD dan smp.
kesenjangan partisipasi pendidikan yang sangat mencolok antara
kelompok pengeluaran terbawah (keluarga miskin) dan kelompok
pengeluaran teratas (keluarga kaya) ini menunjukkan perlunya
peningkatan perhatian pada kelompok keluarga miskin dalam
memperoleh akses pendidikan.

Angka melek huruf (melek aksara) usia 15-24 tahun dan 15 tahun ke
atas yang menggambarkan kemampuan keberaksaraan penduduk.
kemampuan keberaksaraan penduduk indonesia terus meningkat,
yang tercermin dari meningkatnya angka melek huruf penduduk dari
96,58 persen pada tahun 1992 menjadi 98,84 persen pada tahun

13
2006. meningkatnya tingkat keberaksaraan ini terutama terjadi pada
kelompok usia muda yaitu usia 15-24 tahun. ini terjadi seiring dengan
meningkatnya partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan dasar
dan meningkatnya proporsi siswa sD/mi yang dapat menyelesaikan
pendidikannya. namun, jika rentang usia diperlebar menjadi 15 tahun
ke atas, angka buta aksara masih cukup tinggi yaitu sebesar 82,9
persen.

Perkembangan Angka Melek Huruf usia 15-24 tahun 1992-


2006

Sumber: Susenas BPS (berbagai tahun)

Dilihat dari angka melek huruf (melek aksara) usia 15-24 tahun dan 15
tahun ke atas menurut kelompok pengeluaran keluarga tampak bahwa
sebagian besar buta huruf terjadi pada kelompok pengeluaran
terbawah (keluarga miskin). meskipun angka melek huruf penduduk
miskin selalu lebih rendah dari penduduk kaya, tetapi dalam kurun
waktu 1995-2006 angka melek huruf penduduk kelompok termiskin
meningkat signifikan yaitu dari 92,94 persen menjadi 97,78 persen
untuk usia 15-24 tahun dan dari 71,17 persen menjadi 87,17 persen
untuk usia 15 tahun ke atas. berdasarkan jenjang pendidikan yang
pernah diikuti per tahun 2006, tampak bahwa 85 persen penduduk
usia 15 tahun yang buta aksara ternyata tidak pernah sekolah.
Sebagian besar dari mereka kini berusia lanjut.

Angka Melek Huruf usia 15-24 tahun 1992-2006 menurut kelompok


pengeluaran:

14
Sumber: Sisenas BPS (1995 & 2006)

Tingkat kelulusan pendidikan dasar. keberhasilan dalam


meningkatkan angka partisipasi sekolah baik di sekolah dasar maupun
di sekolah menengah belum diimbangi dengan peningkatan kelulusan
yang memadai. memastikan semua anak laki-laki maupun perempuan
di manapun untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasar dihadapkan
pada tantangan masih besarnya siswa putus sekolah (drop out) dan
siswa yang mengulang.

Perbaikan kelulusan sesuai kohort untuk siswa sD antara tahun


1993/1994 sampai 2005/2006 tidak menggambarkan secara
keseluruhan tingkat kelulusan siswa sekolah dasar dan tingkat siswa
yang meneruskan ke jenjang pendidikan berikutnya. Hal ini
merupakan tantangan terbesar dalam bidang pendidikan dasar.

Profil penduduk usia 15 tahun yang buta aksara menurut jenjang


pendidikan yang pernah diikuti:

Sumber: Susenas BPS (2006)

Perkembangan angka putus sekolah sendiri mempunyai


kecenderungan meningkat sejak tahun ajaran 2001/2002 sampai
2005/2006. antara tahun ajaran 2001/2002-2002/2003 terdapat 683

15
ribu atau 2,66 persen siswa sekolah dasar putus sekolah, lalu
meningkat menjadi 767,8 ribu atau 2,97 persen pada 2002/2003-
2003/2004, kemudian mencapai 777 ribu atau 2,99 persen pada
2003/2004-2004/2005, dan kemudian mencapai 824,7 ribu atau 3,17
persen pada 2004/2005-2005/2006.

Perkembangan angka menulang dan putus sekolah, Sekolah Dasar:

Sumber: Rangkuman Statistik persekolahan 2005/2006


Balitbang Pusat Statistik Pendidikan, Depdiknas: 2006

selain angka putus sekolah yang cukup besar, jumlah siswa yang
mengulang juga juga masih cukup besar walaupun persentasenya
terus menurun dari tahun ke tahun. antara tahun ajaran 2001/2002-
2002/2003 terdapat 1.4 juta atau 5,9 persen siswa sekolah dasar yang
mengulang, menjadi 978 ribu atau 5,4 persen pada 2002/2003-
2003/2004, kemudian menjadi 1,17 juta atau 4,51 pada 2003/2004-
2004/2005, dan kemudian menurun menjadi sekitar 1 juta atau 3,95
persen pada 2004/2005-2005/2006.

Dengan kondisi seperti ini maka tingkat melanjukan siswa sekolah


dasar dengan kohort yang sama ke sekolah menengah pertama
menjadi rendah pula. pada tahun 2005/2006, kohort siswa yang
memasuki sD pada tahun 1999/2000 menunjukkan bahwa hanya 59
persen siswa yang dapat melanjutkan ke smp. persentase ini sudah
meningkat bila dibandingkan dengan keadaan tahun 2002/2003. pada
tahun tersebut kohort siswa yang masuk sD pada tahun 1996/1997
menunjukkan bahwa hanya 51 persen siswa yang berhasil mencapai
SMP.

Di bidang Penanggulangan HIV/AIDS

Secara kumulatif, pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS dalam rentang
waktu 10 tahun terakhir sampai dengan 31 Maret 2008 terdiri dari
6.130 HIV dan 11.868 AIDS. Jumlah HIV dan AIDS 17.998 dengan
angka kematian sebanyak 2.486. Pelaporan diberikan oleh 32 propinsi
dan 194 Kabupaten/Kota. Cara penularan kasus AIDS kumulatif yang
dilaporkan adalah melalui IDU (49,1%) dan hubungan heteroseksual
(42,1%).
Khusus dalam masa Januari sampai dengan Maret 2008, terdapat
penambahan 64 infeksi HIV dan 727 kasus AIDS. Data diterima dari
19 propinsi. (Ditjen PPM & PL Depkes RI, Maret 2008).

16
Sumber : Ditjen PPM & PL Depkes RI, Maret 2008

Kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia produktif 20 – 29


tahun (53,62%). Mengingat AIDS biasa muncul sekitar 5 – 10 tahun
sesudah seseorang tertular HIV, maka data tersebut memberi
petunjuk bahwa mereka yang dilaporkan menderita AIDS pada usia
20 – 29 tahun sesungguhnya tertular HIV sebelum usia 20 tahun, yaitu
sekitar usia 15 tahun bahkan lebih muda (Strategi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS pada Anak dan Remaja 2007 – 2010,
2008). Meskipun jumlah perempuan yang tertular AIDS (2.466 kasus)
masih jauh dibandingkan laki-laki (9.337 kasus), namun dampak AIDS
pada perempuan/anak peremuan lebih signifikan. Hal ini berkaitan
dengan kondisi sosial dan budaya yang masih ada dalam masyarakat
termasuk tekanan teman sebaya, stigma dan diskriminasi (sebagai
perempuan/anak perempuan dan sebagai pengguna Napza). Juga
berkaitan dengan kondisi fisik, kerentanan penularan infeksi yang
lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur

GOLONGAN USIA AIDS AIDS/IDU

<1 55 0

1–4 114 0

5 – 14 42 3

15 – 19 387 110

20 – 29 6.364 3.976

30 – 39 3.298 1.383

40 – 49 936 199

50 – 59 243 30

> 60 58 12

17
Tidak diketahui 371 121
JUMLAH 11.868 5.834
Sumber : Ditjen PPM & PL Depkes RI, Maret 2008

Hasil estimasi populasi rawan tertular HIV tahun 2006 memperlihatkan


angka tertinggi hampir di semua propinsi di Indonesia menunjuk pada
penasun/IDU, dengan total untuk wilayah Indonesia sebesar 90.000
(Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2008).

Prevalensi HIV/AIDS pada penduduk usia 15-29 tahun diperkirakan


masih di bawah 0,1 persen. Namun angka prevalensi pada sub-
populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. bahkan di papua,
Hiv dan aiDs telah masuk pada populasi umum (usia 15-49 tahun)
dengan prevalensi 2,4 persen. epidemi aiDs sekarang telah terjadi
hampir di seluruh indonesia. Hal ini dapat diketahui dari adanya
laporan tentang kasus aiDs dari setiap provinsi. Jika pada tahun 2004
hanya 16 provinsi yang melaporkan adanya kasus aiDs, maka pada
tahun 2007 aiDs telah dilaporkan di 32 provinsi. Jumlah kumulatif
kasus aiDs yang dilaporkan juga meningkat cukup tajam, yaitu dari
2.682 kasus pada tahun 2004, menjadi 10,384 kasus hingga akhir
September 2007.
Berdasarkan provinsi, Dki Jakarta tercatat sebagai provinsi dengan
kumulatif jumlah kasus aiDs terbanyak yaitu 2.849 kasus, disusul
Jawa barat 1.445 kasus, papua 1.268 kasus dan, Jawa timur 1.043
kasus.

Perkembangan kasus AIDS yang dilaporkan di Indonesia (10 tahun


terakhir s.d September 2007)

Sumber: Depkes 2007

Jumlah kasus Hiv positif yang dilaporkan dalam 10 tahun terakhir juga
cenderung meningkat dan hingga 30 september 2007 mencapai 5.904
kasus. (gambar 6.3). Departemen kesehatan memperkirakan bahwa
populasi yang rawan tertular Hiv pada tahun 2006 sebesar 193.070
orang, dengan jumlah terbesar berturutturut di provinsi Dki Jakarta,
papua, Jawa barat dan Jawa Timur

18
Di bidang Perlindungan

a. Pekerja anak:

Jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun di Indonesia selama periode


tahun 2001-2002 selalu di atas 500.000 anak atau di atas 6% dari
jumlah anak usia 10-14 tahun. Pada tahun 2003, jumlah pekerja
anak usia 10-14 tahun mengalami penurunan menjadi sekitar
367.610 anak (43,62%), namun kembali mengalami kenaikan
sekitar 488.850 anak (5,83%) pada tahun 2004. Sedangkan pada
tahun 2005, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun kembali
menurun sekitar 383.210 anak (4,43%).
Dari data tersebut, bisa diperkirakan bahwa pada kurun waktu
tahun 2001-2005, dalam setiap 100 anak usia 10-14 tahun
terdapat 4 sampai 6 pekerja anak, yang memiliki kondisi yang pasti
berbeda dengan anak-anak lainnya di usia yang sama, bahkan
kehilangan hak dan kesempatan untuk hidup selayaknya anak
dalam usia tersebut.
Perkembangan Pekerja Anak Usia 10-14 Tahun
Tahun 2001-2005 (dalam ribuan)

(Diolah dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional/Sakernas


Agustus 2001-2004 dan November 2005)

Anak Usia Pekerja Anak Usia


Tahun 10-14 Usia 10-14 Tahun
Tahun
2001 20,862.8 1,322.70 6.34
2002 21,263.9 1,414.05 6.65
2003 19,450.4 898.61 4.62
2004 20,998.9 1,224.24 5.83
2005 21,686.3 960.70 4.43

Catatan: angka dalam tanda kurung menunjukkan persentase pekerja anak


usia 10-14 tahun terhadap jumlah anak usia 10-14 tahun.
(Sumber: Indaryanti dan Lisna [eds.], 2005:77-78)

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) anak usia 10-14 tahun


menurut provinsi berdasarkan Sakernas November 2005 di seluruh
Indonesia mencapai rata-rata 4,43%. Artinya, dari 100 anak usia
10-14 tahun terdapat 4 anak yang menjadi pekerja anak (Indaryanti
dan Lisna, 2005: 160).

Jika dibandingkan antar provinsi se-Indonesia, Papua merupakan


provinsi dengan TPAK anak usia 10-14 tahun tertinggi dari seluruh
provinsi lain di Indonesia, yakni mencapai 15,94%. Urutan provinsi
dengan TPAK tertinggi berikutnya adalah Bali (9,90%), Nusa

19
Tenggara Barat (9,67%), Sulawesi Selatan (9,66%), Jambi
(9,29%).

Sementara itu, Nangroe Aceh Darussalam merupakan provinsi


dengan TPAK anak usia 10-14 tahun terendah dari seluruh
provinsi lain di Indonesia, yakni mencapai 1,19%. Urutan provinsi
dengan TPAK terendah berikutnya adalah DKI Jakarta (1,25%),
Maluku (1,55%), Kalimantan Tengah (1,88%), dan Riau (2,58%).

Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, di 33 provinsi,


jumlah pekerja anak meningkat. Tahun 2006 jumlahnya mencapai
3,2 juta dan menjadi 4,8 juta pada 2007. Tahun 2008 diperkirakan
menjadi 6,3 juta. Perkiraan ini berdasarkan pola tahun-tahun
sebelumnya (Kompas, 13 Juni 2008).

Jumlah anak berusia 0-18 tahun yang bekerja sebagai pekerja


anak sangat dimungkinkan jauh lebih besar dari yang dilaporkan
menurut data-data Sakernas tersebut. Sebagai perbandingan,
dalam laporan Indosiar News (2 Februari 2008) disebutkan,
menurut laporan survei BPS tentang pekerja anak di Indonesia,
jumlah pekerja anak mencapai 2,8 juta anak hingga tahun 2006.
Dari jumlah tersebut, jumlah terbanyak adalah dari pekerja anak
perempuan yakni 1.734.126 orang, sedangkan pekerja anak laki-
laki 130.948 orang. Sedangkan menurut International Labour
Organization (ILO), pada tahun 2007 jumlah pekerja anak di
Indonesia mencapai 2,6 juta jiwa. Sebagian besar dari mereka
bekerja disektor pertanian keluarga, perusahaan manufaktur, dan
perdagangan skala kecil. (Website Serikat Pekerja PT. Jakarta
International Container Terminal/SP JICT, 5 April 2008).

b. Anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual komersial:

UNICEF [2005] menyatakan bahwa diperkirakan bahwa 30% dari


perempuan pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun,
meskipun diakui juga kenyataan bahwa anak-anak perempuan
seringkali melebih-lebihkan usia mereka. Bahkan pada beberapa
kasus ditemukan anak-anak perempuan yang masih berusia 10
tahun.
Data dari Departemen Sosial menunjukkan perkiraan bahwa lebih
dari 3000 wisatawan dari negara tetangga [Malaysia dan
Singapura] berkunjung ke Batam setiap minggunya dengan tujuan
untuk melakukan aktivitas seksual dengan pekerja seks di pulau
tersebut. Sekitar 30 % dari total pekerja seks yang berjumlah 5.000
sampai dengan 6.000 orang adalah anak-anak di bawah usia 18
tahun [Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, 2006].
Kasus prostitusi anak dilaporkan banyak terjadi di sejumlah daerah
di Indonesia, seperti Medan, Pontianak, Palembang, Jakarta,
Indramayu, Jepara, Pati, Surabaya, Makassar, Manado, Maluku
dan Papua. Batam, Bali dan Pontianak dalam hal ini merupakan
20
daerah dengan prostitusi anak dalam jumlah besar. Praktek ESKA
[Eksploitasi Seksual Komersial Anak] berlangsung terutama di
pusat-pusat prostitusi, tempat hiburan, karaoke, panti pijat,
pertokoan dll [UNICEF, 2005; Koalisi Nasional Penghapusan
ESKA, 2006]. Sedangkan mayoritas pelaku [user] adalah
penduduk lokal sendiri atau pengunjung domestik, namun
demikian terdapat beberapa kasus yang melibatkan pengunjung
atau wisatawan dari mancanegara [UNICEF, 2005; Koalisi
Nasional Penghapusan ESKA, 2006].

c. Anak yang diperdagangkan (trafiking anak)

Hasil pendataan Pusdatin [Pusat Data dan Informasi


Kesejahteraan Sosial] Departemen Sosial Republik Indonesia pada
tahun 2004 yang bersumber dari data-data LSM di 9 propinsi
menunjukkan bahwa pada tahun 2004 tercatat ada 932 anak yang
menjadi korban trafiking dan tersebar di provinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sumatera
Utara, Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara.

Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa mayoritas anak yang


menjadi korban trafiking [96%] adalah anak perempuan. Dari 9
provinsi tersebut, kasus yang tercatat paling banyak adalah di
propinsi Nusa Tenggara Barat. Meskipun demikian, perlu
diperhatikan keterbatasan sumber pendataan ini yang hanya
berasal dari 20 LSM yang tersebar di 9 provinsi, terlepas bahwa
LSM-LSM tersebut diyakini telah melakukan investigasi maupun
penanganan trafiking anak seperti yang telah diidentifikasi oleh
International Catholic Migration Commission [ICMC].

Data menunjukkan bahwa bentuk trafiking yang memakan korban


paling banyak adalah migrasi, dan secara khusus tercatat ada 578
anak yang menjadi korban di propinsi Nusa Tenggara Barat saja.

Data menunjukkan jumlah balita dan anak korban trafiking yang


ditangani oleh IOM (International Organization for Migration)
Indonesia sejak Maret 2005 sampai dengan April 2007 tercatat ada
643 balita dan anak.

Mayoritas korban tersebut adalah perempuan dan jumlah tersebut


merupakan 288 dari total korban trafiking yang ditangani IOM pada
kurun waktu tersebut. Data ini kemudian meningkat karena
berdasarkan data IOM periode Maret 2005 – Januari 2008 tercatat
sebanyak 790 balita dan anak, dimana ada 5 bayi, 651 anak
perempuan dan 134 anak laki-laki (KPP, 2008). Artinya ada
peningkatan sebesar 147 balita/anak dalam waktu 9 bulan. Data
lain yang perlu ditengok adalah data Bareskrim Kepolisian RI dari
tahun 2003 – 2007 yang mencatat perdagangan orang sebanyak
492 kasus dengan melibatkan 1.015 orang dewasa (81 %) dan 238
anak-anak (19 %) [KPP, 2008].
21
d. Pengungsi Anak dan Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata

Sejak tahun 2004, masalah pengungsi anak di Indonesia dalam


jumlah besar dan kondisi memperihatinkan sekurang-kurangnya
terjadi akibat bencana gempa tektonik dan gelombang tsunami di
provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan kepulauan Nias
provinsi Sumatera Utara (26 Desember 2004), gempa tektonik di
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan beberapa kawasan
sekitarnya di Jawa Tengah (27 Mei 2006), dan bencana semburan
lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur (29 Mei 2006).

 Pengungsi Anak Korban Bencana Tsunami di NAD

Pada tahun 2005 terdapat korban bencana gempa/tsunami di


(NAD) yang tergolong usia anak (0-18 tahun) yang masih
berstatus sebagai pengungsi. Jumlahnya lebih dari 60.316 anak
(kelompok usia 0-14 tahun) atau 29,59% dari seluruh pengungsi,
belum termasuk anak usia 15-18 tahun dalam kelompok umur
15-19 tahun (23.291 anak).

Sedangkan menurut database The Family Tracing and Reunificat


on Network (FTR) atau Jaringan Lembaga untuk Penelurusan
dan Penyatuan Keluarga (terdiri dari Departemen Sosial RI,
Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI, Dinas Sosial Provinsi
NAD, UNICEF, ICRC, Cardi/IRC, LCO, Muhammadyah, Pusaka,
dan Child Fund), sampai dengan 15 Mei 2006, bencana tsunami
telah mengakibatkan 2831 anak telantar atau terpisah dari orang
tua mereka pada Januari 2005 sampai Mei 2006. Sejumlah 700
anak di antaranya kehilangan kedua orang tua mereka,
sedangkan 1301 anak tak mengetahui keberadaan orang tua
mereka sehingga diduga kuat mereka pun telah menjadi yatim
piatu (Depsos RI and Save The Children, 2006:ix).

Sementara itu, pada Desember 2005 sampai Maret 2006, tim


pekerja sosial Depsos RI dengan dukungan Pekerja Sosial
Masyarakat dan UNICEF melakukan Rapid Assesment of
Children’s Homes in post-Tsunami Aceh, yang menghasilkan
data-data kondisi anak korban tsunami yang berada di panti-panti
sosial anak/panti asuhan se-provinsi NAD (bukan dalam status
pengungsi dan tinggal di barak-barak pengungsian atau di
rumah-rumah keluarga). Menurut riset tersebut, pada Maret 2006
terdapat 207 panti asuhan aktif yang menampung 16.234 anak,
terdiri dari 9.567 anak laki-laki (60%) dan 6.667 perempuan
(40%). Dalam jumlah panti-panti asuhan tersebut terdapat 193
panti asuhan anak telantar atau yatim piatu dan 14 panti sosial
anak penyandang cacat (Depsos RI and Save The Children,
2006:xi).

22
Sampai dengan Maret 2006, anak-anak yang diasuh di panti-
panti asuhan anak telantar se-NAD berjumlah 16.234 anak. Di
antara seluruh anak asuh tersebut, 16,3%-nya adalah anak-anak
korban tsunami (2.589 anak), terdiri dari 1.449 anak laki-laki dan
1.107 perempuan yang telantar/terpisah dari keluarganya, serta
21 anak laki-laki dan 12 perempuan yang cacat.

 Pengungsi Anak Korban Gempa di DIY dan Jawa Tengah

Menurut laporan Depsos RI pada 1 Juni 2006 pukul 07:00 WIB,


korban tewas akibat gempa tersebut berjumlah 6.234 orang.
Selain itu, 33.231 orang mengalami luka berat, dan 12.917 orang
luka ringan. Gempa ini juga merubuhkan 7.057 rumah. (Website
Pusat Informasi Kegiatan Posko UGM Peduli Bencana. 10 Juni
2006). Sedangkan menurut Bapeda Pemda DIY (17 Juni 2006
pk. 18.00), tercatat 5.760 orang meninggal dan 37.339 orang
luka-luka akibat gempa tersebut.

Menurut laporan Humas Badan Informasi Dinas Sosial Provinsi


DIY hingga Juni 2007, dari seluruh korban gempa tersebut,
terdapat 58 anak kehilangan kedua orang tua mereka (yatim
piatu), 402 anak kehilangan ayah (yatim), 216 kehilangan ibu
(piatu), 1341 anak menderita luka-luka, 84 anak mengalami
cacat, dan 436 anak mengalami trauma berat (Shakuntala,
2007). Sementara jumlah anak yang tewas akibat gempa
tersebut tidak diketahui secara pasti.

Berdasarkan pendataan yang dilakukan Yayasan KAKAK


Surakarta, sebagian besar anak yang kehilangan salah satu atau
kedua orangtuanya dititipkan kepada keluarga dekat (Ababil,
2006). Sementara kondisi lain yang dialami anak-anak korban
gempa tersebut beraneka ragam. Misalnya, sebuah fenomena
baru pasca gempa, anak-anak dieksploitasi secara ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan cara
mengemis di jalanan. Selain itu, para pengungsi anak tersebut
terancam tindak eksploitasi seksual, sebagai dampai kesulitan
ekonomi maupun lemahnya pengamanan dan perhatian
keluarga/masyarakat terhadap mereka. (Ababil, 2006).

 Pengungsi Anak Korban Semburan Lumpur Panas Lapindo

Pada tanggal 29 Mei 2006, terjadi semburan lumpur panas dari


lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas, Porong, Sidoarjo, Jawa
Timur. Lumpur panas tersebut telah merendam pemukiman
warga di sekitarnya dalam radius 450 hektar (WHO, 2006).
Terdapat 2.168 keluarga (8.348 jiwa) pengungsi yang ditampung
di Pasar Baru Porong, pasar yang belum sempat dioperasikan
dan dijadikan lokasi penampungan utama. Terdapat 282 kios dan

23
51 ruko yang dijadikan rumah tinggal sementara bagi para
pengungsi. Lokasi penampungan pengungsi lainnya adalah Balai
Desa Renokenongo, Porong, dan rumah-rumah keluarga korban.
Hingga 30 Agustus 2006, jumlah pengungsi mencapai lebih dari
11.000 jiwa (Atmanto dan Bahaweres, 2006).

Menurut laporan Tim Pelaporan Sosial Lumpur Sidoarjo (TPS-


LUSI) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sidoarjo (2007), terdapat
2.605 kepala keluarga (KK) yang mengungsi sampai 22
November 2006 (pada saat terjadinya ledakan pipa gas
Pertamina di dekat lokasi semburan lumpur panas). Selanjutnya,
jumlah pengungsi yang tinggal di Pasar Baru Porong setelah
ledakan pipa gas Pertamina 22 November 2006 adalah 906 KK
(3250 orang), dan seluruhnya berasal dari desa Renokenongo
(PKS Sidoarjo, 2007).

Dalam konteks hak anak, semburan lumpur panas tersebut telah


merendam 10.426 tempat tinggal dan 33 sekolah. Perincian 33
sekolah yang terendam adalah 6 TK, 3 RA, 11 SDN, 4 MI, 2
SMP, 3 Mts, 1 SMK, 3 MA. Akibatnya, 5397 siswa (2.755 laki-laki
dan 2.642 perempuan) kehilangan hak bersekolah dan sebanyak
405 guru (177 laki-laki dan 226 perempuan) serta 46 karyawan
(24 laki-laki dan 22 perempuan) menghentikan pelayanan
pendidikan kepada mereka (PKS Sidoarjo, 2007).

 Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata di NAD

Dalam konteks anak-anak, Menurut hasil Rapid Assesment of


Children’s Homes in post-Tsunami Aceh yang dilakukan tim
pekerja sosial Depsos RI dengan dukungan Pekerja Sosial
Masyarakat dan UNICEF (Maret 2006), tercatat 1.318 anak
korban konflik yang telantar/cacat dan dititipkan di panti-panti
asuhan atau panti anak cacat se-NAD.

Menurut data dari Depsos RI and Save The Children, 2006


menunjukkan terdapat, 1.318 anak korban konflik di NAD
tersebut terdiri dari 785 anak laki-laki dan 508 perempuan yang
telantar/terpisah dari keluarga mereka dan dititipkan di panti-panti
asuhan anak, serta 6 anak laki-laki dan 19 perempuan yang
cacat yang diasuh di panti-panti anak cacat.
Menurut laporan yang dikumpulkan oleh Kelompok Kerja Studi
Perkotaan (KKSP), Yayasan Anak Bangsa (YAB), People’s Crisis
Centre (PCC), Jesuit Refugee Service (JRS) tahun 2004 (dalam
Child Soldiers Global Report, 2008), terdapat anak-anak berusia
di bawah 18 tahun yang pernah digunakan baik oleh GAM
maupun TNI sebagai informan (mata-mata) atau penjaga,
penyedia logistik, bahkan pejuang atau prajurit bersenjata

24
(combatant) dalam konflik bersenjata di Aceh sejak 1976.
Namun, jumlahnya tidak pernah diketahui secara pasti.

Di antara 2.000 tahanan politik yang dibebaskan pemerintah RI


atas dasar Piagam Kesepahaman (MOU) dengan GAM (15
Agustus 2005), terdapat 19 anak laki-laki berusia 14-17 tahun.
Mereka ditangkap karena diduga anggota GAM. Selain itu,
terdapat juga beberapa tahanan perempuan berusia 17-an tahun
yang dibebaskan. Mereka tidak digolongkan sebagai anak-anak
karena telah menikah (Child Soldiers Global Report, 2008).

 Anak dalam Situasi Konflik Sosial di Poso

Wikipedia (13 Februari 2008 07:15) mencatat kerusuhan tersebut


telah menewaskan lebih dari 577 orang. Sedangkan menurut
laporan George Junus Aditjondro (2004:1), kerusuhan tersebut
telah menewaskan sedikitnya 4.000 orang.

Selain itu, menurut laporan Anto Sangaji (2000) sekurang-


kurangnya muncul tiga ekses penting yang ditimbulkan oleh
kerusuhan Poso, yakni
Pertama, terjadinya arus pengungsi dalam jumlah besar, baik
dari Kota Poso, maupun dari kecamatan-kecamatan di
sekitarnya. Dilaporkan, pengungsi dalam jumlah besar mengalir
ke Kota Palu (17.000 jiwa), Tentena (28.000 jiwa), Sulut (4.500
jiwa), dan Sulsel (7.000 jiwa) (lihat Kompas, 22 Juli 2000).
Pengungsi juga mengalir ke Kecamatan Parigi di Kabupaten
Donggala (7.000 jiwa), Kecamatan Lore Utara (2.500 jiwa) dan
Kecamatan Ampana Kota (7.000 jiwa) di Kabupaten Poso, dan
lain-lain
Kedua, kerusuhan Poso telah menimbulkan kerusakan materiil
tidak sedikit. Tidak kurang dari 5.000 rumah penduduk terbakar
dan ribuan lainnya rusak (Kompas 22 Juli 2000).
Ketiga, kerusuhan meninggalkan efek psiko-sosial yang
kompleks; trauma karena menyaksikan penyiksaan,
pembunuhan, dan pelecehan seksual; dendam dan frustasi
karena sanak keluarga terbunuh dan rumah terbakar;
mengentalnya solidaritas keagamaan yang eksklusif karena
kerusuhan sepenuhnya terbaca sebagai perang antar (umat ber-)
agama.

Dalam konteks anak-anak, memang tidak diketahui secara pasti


berapa jumlah anak berusia 0-18 tahun yang menjadi korban
kerusuhan itu, entah meninggal, luka-luka, cacat, kehilangan
orang tua atau terpisah dari keluarga, dsb. Tapi yang pasti,
kerusuhan itu menyebabkan banyak anak-anak usia sekolah
mengungsi ke tempat aman dan terpaksa kehilangan
kesempatan untuk meneruskan sekolah atau sekurang-
kurangnya terganggu sekolahnya (Sangaji, 2000).

25
Data statistik tentang jumlah pengungsi anak usia 0-18 tahun
korban konflik dengan kekerasan di Poso tidak tersedia.
Bagaimana perubahannya hingga tahun 2008 pun tidak diketahui
secara pasti. Yang jelas, hingga Januari 2007, banyak pengungsi
termasuk pengungsi anak korban kerusuhan Poso masih enggan
meninggalkan lokasi-lokasi pengungsian dan kembali ke Poso,
kampung halaman mereka sebelumnya. Bahkan operasi
penegakan hukum oleh tim Mabes Polri, pada 11 dan 22 Januari
2007, yang menewaskan 14 warga sipil dan dua aparat
kepolisian, serta menangkap 21 orang dari 29 orang yang
sebelumnya dinyatakan sebagai DPO, belum mampu
meyakinkan para pengungsi akan situasi Poso yang sudah aman
(Hamdin, 2007).

e. Kepemilikan Akta Kelahiran

Jumlah penduduk usia 0-4 tahun yang memiliki akta kelahiran di 30


provinsi di Indonesia. Secara umum, dapat dilihat bahwa tingkat
kepemilikan akta kelahiran bervariasi antara 18,90 persen sampai
dengan 79,45 persen, dengan rata-rata sebesar 42,82 persen.
Provinsi yang tingkat kepemilikan akta kelahirannya tertinggi adalah
DI Yogyakarta sebesar 79,45 persen dan Provinsi yang terendah
adalah Sumatera Utara sebesar 18,90 persen (Supas 2005).

Kepemilikan akta kelahiran dapat dilihat dalam tebel berikut:

Penduduk 0 - 4 Tahun
Provinsi
Memiliki Akta Kelahiran
Jumlah
Banyaknya Persentase
Sumatera Utara 543.768 135.028 24,83
Sumatera Barat 134.858 60.695 45,01
Riau 193.580 86.435 44,65
Jambi 75.847 57.979 76,44
Sumatera Selatan 194.065 101.592 52,35
Bengkulu 39.033 25.504 65,34
Lampung 147.400 76.502 51,90
Kep. Bangka Belitung 37.398 28.873 77,20
Kepulauan Riau 111.823 73.461 65,69
DKI Jakarta 714.565 595.908 83,39
Jawa Barat 1.760.374 999.113 56,76
Jawa Tengah 995.145 623.053 62,61
DI Yogyakarta 122.654 99.563 81,17
Jawa Timur 1.170.912 820.122 70,04
Banten 439.072 274.338 62,48
Bali 158.819 84.285 53,07
Nusa Tenggara Barat 156.525 47.414 30,29

26
Nusa Tenggara Timur 3.183 29.117 39,79
Kalimantan Barat 108.688 62.884 57,86
Kalimantan Tengah 55.044 28.008 50,88
Kalimantan Selatan 129.535 74.280 57,34
Kalimantan Timur 169.079 110.864 65,57
Sulawesi Utara 72.452 39.225 54,14
Sulawesi Tengah 48.594 24.369 50,15
Sulawesi Selatan 258.485 120.497 46,62
Sulawesi Tenggara 45.213 19.435 42,99
Gorontalo 25.391 8.698 34,26
Maluku 36.780 20.010 54,40
Maluku Utara 23.518 12.611 53,62
Papua 75.866 45.169 59,54
Jumlah 8.117.666 4.785.032 58,95
Sumber: SUPAS BPS: 2005)

f. Anak Korban Kekerasan [Fisik dan Mental] dan Perlakuan Salah


[child abuse]

Secara nasional selama tahun 2006 telah terjadi sekitar 2,81 juta
tindak kekerasan dan sekitar 2,29 juta anak pernah menjadi
korbannya.
Jumlah tersebut jika dibandingkan dengan jumlah anak
menunjukkan besarnya angka korban kekerasan terhadap anak
pada tahun 2006 mencapai 3%, yang berarti setiap 1000 anak
terdapat sekitar 30 orang pernah menjadi korban tindak kekerasan.
Angka korban kekerasan korban anak di perdesaan lebih tinggi
dibandingkan perkotaan yakni 3,2 berbanding 2,8%. Sedangkan
angka korban kekerasan pada anak laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan yaitu 3,1 berbanding 2,9%.

g. Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika


dan Zat
Adikitif Lainnya [Napza]

Jumlah kasus penyalahgunaan narkoba yang terlaporkan terus


meningkat. Pada tahun 1999 berjumlah 1.833 kasus, tahun 2000
berjumlah 3.478 kasus dan pada tahun 2001 berjumlah 3.617 kasus
[sumber data Badan Narkotika Nasional], sedangkan menurut data
Pusdatin Kesos Tahun 2002 jumlah korban penyalahgunaan
Narkoba tercatat sebanyak 23.660 orang. Perkiraan usia pengguna
Napza terbesar 15 – 24 tahun (BNN, 2004). Pengguna Napza pada
tahun 2005 diperkirakan sekitar 2,9 – 3,6 juta orang (BNN, 2005).

Fakta yang paling memprihatinkan adalah semakin banyaknya


remaja yang memulai perkenalannya dengan narkoba pada usia
yang sangat muda, yaitu : menghisap rokok pada usia 6 tahun dan
menggunakan obat obat-obatan / heroin / narkoba jenis lain pada
usia 10 tahun. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian yang
27
serius adalah semakin meningkatnya populasi penderita HIV/AIDS di
kalangan pecandu, narkoba dengan cara suntikan (IDU).

Menurut laporan saat ini ada 50 % - 78 % pengguna narkoba jarum


suntikan adalah pengidap HIV (Djauhari dan Djoerban, 2002 dalam
website Ditjen Pelayanan dan Rehab Sosial, Depsos RI, 2008).

Estimasi Departemen Kesehatan pada tahun 2006 menyebutkan


terdapat antara 191.000 sampai 248.000 penasun di Indonesia.
Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjuk kepada angka 508.000
pada tahun yang sama. Penasun masih terkonsentrasi di daerah
perkotaan di Jawa dan kota-kota provinsi di luar Jawa. (Strategi
Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2007 – 2010, 2007).

Karakteristik penyalahguna Napza di kalangan siswa dan


mahasiswa menunjukkan bahwa lebih dari separuh penyalahguna
Napza berada pada kelompok usia 15-19 tahun (58%), terutama
pada mereka yang duduk di bangku SLTA (94%). Pada kelompok
usia kurang dari 15 tahun penyalahguna lebih banyak berada di
kabupaten, sedangkan pada kelompok usia diatas 20 tahun lebih
banyak ada di kota.

Diperkirakan angka penyalahguna Napza suntik ada sekitar 2 dari


1000 pelajar/mahasiswa yang disurvei atau sekitar 2,4% dari yang
pernah menyalahgunakan Napza. Irjabar (5 per 1000) dan Maluku (4
per 1000) adalah propinsi yang paling banyak ditemukan angka
penyalahguna Napza cara suntik. Di tingkat SLTP ada 2 propinsi
yang cukup tinggi yaitu NTT dan Irjabar sekitar 4 per 1000
responden. Di tingkat SLTA, di Papua ada sekitar 8 dari 1000
responden yang pernah menyuntik. Selanjutnya DKI Yogyakarta (16
per 1000), DKI Jakarta (15 per 1000), dan Jawa Tengah (14 per
1000) adalah 3 propinsi tertinggi angka menyuntiknya di PT (Survey
Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada
Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di Indonesia, BNN, 2006).

h. Anak Jalanan

Berdasarkan data PMKS 2007, Departemen Sosial RI menunjukkan


jumlah anak jalanan di seluruh Indonesia pada tahun 2007
berjumlah 104.497 anak. Jumlah anak jalanan terbanyak berturut-
turut adalah Jawa Timur 13.136 anak, Nusa Tenggara Barat 12.307
anak, dan Nusa Tenggara Timur 11.889 anak. Sedangkan 3 propinsi
dengan jumlah anak jalanan paling sedikit berturut-turut adalah

28
Kalimantan Tengah 10 anak, Gorontalo 66 anak, dan Kepulauan
Riau 186 anak.

Pada tahun 2006, data PMKS menunjukkan di seluruh Indonesia


ada 144.889 anak jalanan. Dibandingkan dengan angka tahun 2007
(104.497 anak) berarti ada penurunan jumlah yang cukup signifikan
sebesar 30%. Penurunan terbesar terutama terjadi pada propinsi
Maluku, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Adapun penyediaan
rumah singgah pada tahun 2007 hanya menampung kira-kira 12%
dari jumlah anak jalanan seluruhnya.

Jumlah Anak Jalanan seluruh Indonesia Tahun 2007

ANAK JALANAN
No PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
[jiwa]
1 Nanggroe Aceh Darussalam 608
2 Sumatera Utara 4.525
3 Sumatera Barat 6.330
4 Riau 914
5 Jambi 1.756
6 Sumatera Selatan 1.764
7 Bengkulu 794
8 Lampung 1.096
9 Bangka Belitung 191
10 Kepulauan Riau 186
11 DKI Jakarta 4.478
12 Jawa Barat 6.428
13 Jawa Tengah 10.025
14 DI Yogyakarta 1.305
15 Jawa Timur 13.136
16 Banten 2.492
17 Bali 680
18 Nusa Tenggara Barat 12.307
19 Nusa Tenggara Timur 11.889
20 Kalimantan Barat 3.240
21 Kalimantan Tengah 10
22 Kalimantan Selatan 3.671
23 Kalimantan Timur 1.330
24 Sulawesi Utara 451
25 Sulawesi Tengah 2.652
26 Sulawesi Selatan 3.931
27 Sulawesi Tenggara 2.254

29
28 Gorontalo 66
29 Sulawesi Barat 249
30 Maluku 2.728
31 Maluku Utara 2.430
32 Papua Barat 227
33 Papua 354
TOTAL 104.497

[Data PMKS 2007, Departemen Sosial RI]

i. Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga berupa akasus


Napza (Narkotika, Psikotropika & Bahan Berbahaya) di Indonesia
yang tercatat pada 2001 – 2007 mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Data tahun 2007 menunjukkan jumlah 22.630 kasus di
wilayah propinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa
Barat dan Riau (Dit IV Narkoba & KT Bareskrim Polri, 2008).
Berdasarkan kelompok usia pelaku kasus tindak pidana Napza,
maka 2 kelompok usia termuda yang terlibat adalah < 16 tahun
sebesar 110 kasus dan 16 – 19 tahun sebesar 2.617 kasus.
Tindak Pidana yang Dilakukan Anak
(Data Lapas Tangerang dan Pondok Bambu)

Kategori 2002 2006


Tindak Pidana [Tangerang] [Pondok Bambu]

Pencurian 85 44,74% 111 31,27%

Napza 55 27,37% 148 41,69%

Sajam [Senjata 22 11,58% 10 2,82%


Tajam]

Pengeroyokan 19 10% - -

Kejahatan Susila 3 1,58% - -

Perjudian 3 1,58% 12 3,38%

Upal [Uang Palsu] 2 1,05% - -

Penganiayaan 2 1,05% - -

Penipuan 1 0,53% 3 0,85%

Lain-Lain 1 0,53% 50 14,08%

Jumlah 190 355


Sumber : Herlina A., Anak yang Berkonflik dengan Hukum (Materi Presentasi), 2006

Anak yang terkena kasus Napza menempati urutan kedua pada data
Lapas Anak Tangerang dan Pondok Bambu (tidak dijelaskan terlibat
sebagai pengguna atau pembuat/pengedar). Hasil asesmen cepat

30
ILO/IPEC, 2004, memperlihatkan bahwa dari 92 responden (usia 14
– 19 tahun) yang diwawancara, sebanyak 50% pernah terlibat dalam
produksi Napza (Children Involved In The Production, Sale and
DistributionOf Illicit Drugs In Jakarta : A Rapid Assessment. 2004).

j. Anak yang Membutuhkan Orang Tua Pengganti

Anak Balita Terlantar (ABT) dan Anak Terlantar (AT) merupakan


bagian dari kelompok Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS). Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial adalah
seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu
hambatan, kesulitan atau gangguan sehingga tidak dapat
melaksanakan fungsi sosialnya, tidak dapat terpenuhi kebutuhan
hidupnya secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan atau
gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, keterlatantaran,
kecacatan, ketunasosialan, tindak kekerasan dan bencana alam dan
sosial (Panduan Pengumpulan dan Pengolahan Data Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial/PMKS serta Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial/PSKS, Pusat Data Informasi Kesejahteraan
Sosial, Depsos RI, 2002).

Secara khusus, yang dimaksud dengan anak balita terlantar (adalah


anak yang berusia 0 – 4 tahun) dan anak terlantar (adalah anak
yang berusia 5 – 21 tahun), yang karena sebab tertentu (misalnya
miskin/tidak mampu, salah seorang dari orangtuanya/wali pengampu
sakit, salah seorang/kedua orangtuanya/wali pengampu atau
pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada
pengampu/pengasuh), sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan
dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.

 Pengangkatan/Adopsi Anak

Berdasarkan pelaporan kepada Departemen Sosial jumlah anak


yang diadopsi antar warga negara Indonesia tahun 2006 – 2008,
yaitu 23 anak. Selain rentang usia 0 – 4 tahun, terdapat 7 anak
dalam rentang usia 5 – 13 tahun yang juga diadopsi. Sebagai
catatan, data di atas tidak mencerminkan data nasional karena
prosedur kategori pengangkatan/adopsi antar WNI (domestic
adoption) melalui pengadilan negeri dan dinas sosial masing-
masing propinsi (izin dari kepala instansi sosial sebagai pengganti
izin Menteri).
Data inter country adoption tahun 2004 – 2007 menunjukkan 45
anak yang diadopsi (Direktorat PSA, Depsos RI, 2008). Sebagai
catatan, data tidak mencantumkan jenis kelamin dan usia anak
yang diadopsi, beberapa tidak mencantumkan nama anak.

 Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA)

31
Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) atau Panti Asuhan atau Panti
merupakan istilah yang mengacu pada semua fasilitas panti untuk
anak terlantar atau anak penyandang cacat, baik milik pemerintah
maupun swasta, baik yang dikelola di rumah pribadi untuk
kelompok kecil anak maupun di dalam bangunan asrama untuk
200 anak. Panti asuhan untuk Anak Terlantar terutama mengasuh
anak yatim piatu, anak yatim/piatu dan anak yang orangtuanya
tidak mampu mengasuh mereka.

Jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar


7.000 buah, yang mengasuh sekitar setengah juta anak.
Pemerintah Indonesia mengelola kurang dari 1% panti asuhan dan
lebih dari 99% dikelola oleh masyarakat, terutama organisasi
keagamaan. Dari hasil studi, dalam panti asuhan, presentase anak
yatim piatu sebanyak 6% dan anak yatim/piatu/memiliki kedua
orangtua sebanyak 90%. Kebanyakan anak-anak yang masih
memilki satu atau kedua orangtua bukan ditelantarkan, tetapi
ditempatkan di panti asuhan karena kesulitan ekonomi, dengan
tujuan mendapatkan pendidikan (Seseorang yang Berguna :
Kualitas Pengasuhan di Panti Sosial Asuhan Anak di Indonesia,
Departemen Sosial, Save the Children & Unicef, 2008)

Selama tahun 2007, program yang dijalankan mencakup 33


propinsi dan 395 kabupaten/kota. Data dalam tabel tersebut di atas
memperlihatkan data PSAA yang memperoleh bantuan subsidi
BBM sejumlah 4.035 panti. Subsidi diberikan bagi 128.016 anak
yang diasuh oleh panti. Data yang dikumpulkan melalui subsidi
BBM merupakan sumber informasi terbatas mengenai panti
asuhan di Indonesia, mengingat tidak semua panti asuhan
memperoleh subsidi dan tidak terdapat terdapat data akurat
mengenai jumlah, penyelenggaraan dan pengawasan panti
asuhan di Indonesia (Seseorang yang Berguna : Kualitas
Pengasuhan di Panti Sosial Asuhan Anak di Indonesia,
Departemen Sosial, Save the Children & Unicef, 2008).

k. Anak dari Kelompok Minoritas

Persebaran Komunitas Adat Terpencil tahun 2005 mengalami


berbagai masalah yang timbul di lokasi KAT diantaranya “Kasus
Salulemo” di Propinsi Sulawesi Selatan, dimana kasus tanah
tersebut telah menjadi isu dan terangkat ke permukaan.
Pemberdayaan KAT yang dilaksanakan sekitar tahun 1980-an
dirasakan tidak adanya kejelasan status tanah pada lokasi KAT
tersebut.

Seperti juga kasus tanah di permukaan KAT lokasi Gunung Benoa,


Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, lokasi
pemukiman mereka saat ini berada pada posisi strategis. Pada
lokasi tersebut akan dibangun “Jalan Trans Kalimantan” warga
32
KAT tergiur untuk menjual lahan-lahan mereka kepada para
cukong guna pembangunan proyek jalan tersebut.

Kasus-kasus lain yang ditemukan juga terjadi di Desa Tawaenalo


Kecamatan Raterate Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi
Tenggaran. Warga KAT menjual aset berupa lahan yang mereka
miliki dari program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil tahun
1984.
Kasus-kasus tersebut di atas pada umumnya ditengarai adanya
indikasi yang menunjukkan sikap warga KAT yang kurang
memahami tenang kepemilikan meraka sebagai sumber
kehidupan, dan tidak adanya kemauan mereka dalam
mengamankan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
yang sudah bergulir dengan baik di lokasi tersebut.

l. Anak Penyandang Cacat

Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)


Departemen Sosial RI menunjukkan bahwa pada tahun 2006
jumlah total anak penyandang cacat di seluruh Indonesia adalah
295.763 anak. Propinsi dengan jumlah anak penyandang cacat
terbanyak berturut-turut adalah Jawa Tengah 53.634 anak, Jawa
Barat 36.494 anak, dan Jawa Timur 31.022 anak. Sedangkan
propinsi dengan jumlah anak penyandang cacat paling sedikit
berturut-turut adalah Bangka Belitung 935 anak, Papua Barat 986
anak, dan Gorontalo 1.238 anak.

Berdasarkan SUPAS 2005, jumlah anak bisa diperkirakan


mencapai 35% atau sekitar 80 juta dari total penduduk seluruhnya.
Jika memakai angka ini, maka tidak sampai 1 persen anak yang
menyandang cacat. Data lain berdasarkan Susenas tahun 2003
menunjukkan bahwa jumlah penyandang cacat usia sekolah (5-18
tahun) berjumlah 317.016 anak.

WHO memperkirakan bahwa di suatu negara setidaknya 15,9%


penduduknya adalah penyandang cacat. Memakai perkiraan ini,
maka pada tahun 2005 ada sekitar 33 juta penduduk Indonesia
penyandang cacat, dan 10 juta diantaranya adalah anak-anak.

2.6. Dasar hukum pembangunan KPA:


Nasional:
 UUD Tahun 1945 pasal 28B ayat 2
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

 UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

33
Bantuan dan pelayanan untuk kesejahteraan anak menjadi hak setiap
anak tanpa diskriminasi

 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak


Batas umur anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-
kurangnya delapan tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum
kawin

 UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat


Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan
kehidupan sosialnya terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat

 UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika


Mencegah pelibatan anak dibawah umur dalam penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika

 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan


Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan
perkembangan anak mulai dari dalam kandungan sampai usia sekolah

 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang, mendapatkan identitas,
pelayanan kesehatan dan pendidikan, berpartisipasi dan perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi

 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan 15 tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar

 UU NO. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan
terburuk dalam bentuk perbudakan dan sejenisnya dan pekerjaan yang
memanfaatkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan
porno atau perjudian

 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga
Setiap orang yang melihat, mendengar aatau mengetahui terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga (suami, isteri, anak dak keluarga lain),
wajib melakukan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat dan
mrmbantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

 UU No.12 Tahun 2005 tentang kewarganegaraan


Anak WNI diluar perkawinan yang syah, belum berusia 18 tahun dan
belum kawin diakui secara syah oleh ayahnya yang WNA tetap diakui
sebagai WNI

34
 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
setiap anak berhak atas sebuah nama sebagai identitas yang dituangkan
dalam akte kelahiran dan kewarganegaraan

 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban


Anak didalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah dan temannya

 UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO


Setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang dan
korbannya adalah anak, maka ancaman pidananya ditambah sepertiga.

 RPJMN 2004-2009 (Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005)


Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan salah satu
dari agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis.

 RKP 2006 dan RKP 2007


Pengarusutamaan anak merupakan salah satu program pembangunan,
dan harus dilakukan untuk memastikan kebijakan/program/kegiatan
pembangunan peduli/ramah anak.

Internasional:
- Convention on the Rights of the Child (CRC) / Konvensi Hak-hak
Anak
- Deklarasi A World Fit for Chidren (WFC)
- Millenium Development Goals (MDGs)

2.7. Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015

Pada Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai anak pada tahun 2002
negara-negara peserta telah menyatakan komitmennya dalam deklarasi
“Dunia Yang Layak Bagi Anak” (Wold Fit for Children – WFC). Aspek-aspek
yang menjadi fokus dalam deklarasi tersebut adalah promosi hidup sehat,
penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap perlakuan
salah, ekploitasi dan kekerasan, serta penanggulangan HIV/AIDS.

Bentuk komitmen pemerintah Indonesia terhadap deklarasi tersebut adalah


menyusun dokumen Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015.
PNBAI 2015 pada dasarnya merupakan perwujudan dari UUD 1945,
khususnya pasal 28B dan 28C. Adapun penetapan sasaran yang hendak
dicapai dalam kurun waktu tersebut diserasikan dengan komitmen
internasional yang termuat dalam Millenium Development Goals (MDGs).
PNBAI 2015 juga merupakan bentuk penetapan dari Konvensi Hak-hak
Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi melalui
Keppres No. 36 tahun 1990.

35
PNBAI 2015 disusun berdasarkan analisis kondisi anak Indonesia yang
dalam penyusunannya dikoordinasikan oleh Bappenas dan dilaksanakan
bersama-sama lintas departemen/lembaga pemerintah terkait, dengan
masukan dari berbagai organisasi dan lembaga swadaya masyarakat
peduli anak, serta perwakilan anak. PNBAI 2015 sebagai dokumen yang
menjadi acuan semua pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam upaya
memperjuangkan kesejahteran dan perlindungan anak.

PNBAI 2015 terdiri dari Visi dan Misi sebagai berikut:


Visi:
Anak Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas ceria,
berakhlak mulia, terlindungi, dan aktif berpartisipasi.

Visi ini mengandung harapan bahwa anak-anak Indonesia yang dicita-


citakan tidak hanya pandai dan berakhlak, tetapi juga berani untuk
mengeluarkan pendapat, sehat dalam tumbuh kembangnya, serta
menikmati masa kanak-kanaknya dengan ceria karena hak-haknya
dilindungi. Meskipun demikian, cita-cita di atas harus ditempuh dalam
perjalanan yang panjang. Untuk mencapai cita-cita ini, pemerintah
mencanangkan misi sebagai berikut.

MISI dari PNBAI 2015 adalah sebagai berikut:

1. Menyediakan pelayanan kesehatan yang komprehensif, merata


dan berkualitas, pemenuhan gizi seimbang, pencegahan penyakit
menular, termasuk HIV/AIDS, pengembangan lingkungan dan perilaku
hidup sehat
2. Menyediakan pelayanan pendidikan yang merata, bermutu, dan
demokratis bagi semua anak sejak usia dini.
3. Membangun sistem pelayanan sosial dasar dan hukum yang
responsif terhadap kebutuhan anak agar dapat melindungi anak dari
segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
4. Membangun lingkungan yang kondusif untuk menghargai
pendapat anak dan memberi kesempatan untuk berpartisipasi sesuai
dengan usia dan tahap perkembangan anak.

Sasaran PNBAI 2015 meliputi:


Di bidang Pendidikan Anak Usia Dini adalah:
 Meningkatkan jumlah anak yang mendapatkan layanan PAUD di tahun
2001 dari 28% (7,34 juta jiwa) menjadi 85% (28,97 juta jiwa) di tahun 2015
 Meningkatkan jumlah lembaga layanan dari 303.736 (2001) menjadi 12,7
juta (2015)
catatan :
- Asumsi jumlah kenaikan penduduk usia 0–6 tahun rata-rata 2% per tahun
- Asumsi kenaikan rata-rata jumlah lembaga adalah 3% per tahun
Di bidang Kesehatan adalah:

36
 menurunkan AKB dan AKBA menjadi 1/3 dari kondisi 2001
 menurunkan angka kematian ibu menjadi 1/3 dari kondisi 2001
 menurunkan angka kekurangan gizi, terutama bblr dan usia di
bawah 2 tahun (variasi 30-50%)
 meningkatkan keterjangkauan air bersih dan jamban saniter
dalam keluarga sebesar 30%
 menyelenggarakan program nasional perkembangan anak usia
dini
 penyelenggaraan program kesehatan nasional remaja
 penyelenggaraan program nasional kesehatan reproduksi
Di bidang Penanggulangan HIV/AIDS adalah:
 Sampai dengan 90% populasi memperoleh informasi tentang
HIV/AIDS dan pencegahannya.
 100% darah donor bebas kontaminasi HIV
 80% Ibu hamil dalam perawatan ante-natal memperoleh
informasi, konseling HIV, dan perawatan untuk mencegah bayi terinfeksi
 Setiap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) memperoleh
pengobatan, perawatan, dan dukungan yang dibutuhkan

Di bidang Perlindungan adalah:


Meningkatkan upaya upaya perlindungan anak Indonesia dari berbagai
bentuk perlakuan atau tindakan salah melalui berbagai bidang kegiatan
yang meliputi:
a. pencegahan
b. perlindungan hukum
c. pemulihan anak & reintegrasi sosial (keluarga)
d. peningkatan koordinasi dan kerjasama baik tingkat lokal, nasional,
regional maupun internasional
e. peningkatan partisipasi anak

2.8. Pembangunan KPA di Daerah


...........................................

37
3. Pengarusutamaan hak-hak anak ke dalam kebijakan dan program
pembangunan ...................................(Ibu Pardina)

Strategi Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA)

A. Pengertian PUHA

Dalam upaya meningkatkan pembangunan yang berpihak pada kepentingan


terbaik bagi anak, perlu dikembangkan strategi PUHA dengan maksud
menjadikan pemenuhan dan perlindungan hak anak sebagai pertimbangan
utama dari para pengambil keputusan perencanaan pembangunan di
nasional, propinsi dan kabupaten/kota.

Istilah pengarusutamaan terinspirasi dari Pengarusutamaan Gender (PUG)


yang merupakan upaya mengakselerasi terwujudnya kesetaraan dan
keadilan gender dalam semua bidang. Karena itu, dalam membuat definisi
PUHA-pun perlu menilik apa yang dimaksud dengan PUG. Definisi PUG yang
banyak diacu berasal dari versi United Nations Economic and Social
Council (1997) yakni : “Mengarusutamakan perspektif gender adalah proses
memeriksa pengaruh terhadap perempuan dan laki-laki setelah
dilaksanakannya sebuah rencana, termasuk legislasi dan program-program,
dalam berbagai bidang dan di semua tingkat. Ia adalah sebuah strategi
untuk membuat masalah dan pengalaman perempuan maupun laki-laki
menjadi bagian yang menyatu dengan rencana, pelaksanaan, pengawasan,
dan penilaian kebijakan program dalam semua aspek politik, ekonomi, dan
sosial, supaya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan
manfaatnya dan ketidaksetaraan tidak berlanjut. Tujuan akhirnya adalah
kesetaraan gender”. (Sinta R. Dewi, Gender Mainstreaming : Feminisme,
Gender, dan Transformasi Institusi, Jurnal Perempuan No. 50, 2006 hal. 13).

Mengacu pada definisi tersebut, kita dapat memperolah gambaran yang jelas
tentang apa yang dimaksud dengan “pengarusutamaan”. Pengarusutamaan
merupakan suatu stratagi untuk mencapai tujuan. Sedangkan cakupan
pengarusutamaan cukup luas yakni mencakup semua bidang, semua tingkat
dan semua aspek manajemen (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
penilaian).

Strategi PUHA merupakan salah satu strategi yang telah dimasukan dalam
RPJMN 2004-2009. Strategi PUHA diartikan sebagai strategi yang dilakukan
secara rasional dan sistematis untuk mencapai perlindungan dan tumbuh
kembang anak melalui pengintegrasian hak-hak anak ke dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, kegiatan dan
anggaran, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
PUHA dijadikan sebagai batasan dan pijakan dalam menyusun suatu
kebijakan dan program.

Strategi PUHA mencakup tiga tataran yakni makro, meso dan mikro. Tataran
makro adalah perundangan dan kebijakan strategis. Perencanaan dalam

38
program jangka pendek, menengah dan panjang merupakan tataran meso.
Pada tataran mikro mencakup kegiatan-kegiatan dan anggaran yang
berpihak pada anak.

PUHA sebagai strategi untuk mencapai perlindungan dan tumbuh kembang


anak harus dapat membuktikan bahwa aspek perlindungan dan tumbuh
kembang anak benar-benar tercermin dan terpadu dalam empat fungsi
utama manajemen program, yaitu :
1. Perencanaan : menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi
perlindungan dan tumbuh kembang anak;
2. Pelaksanaan : memastikan bahwa strategi yang dijelaskan
mempunyai dampak pada anak;
3. Pemantauan : mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program
dalam hal partisipasi dan manfaat bagi anak;
4. Penilaian : memastikan bahwa anak benar-benar menjadi terlindungi
sebagai hasil prakarsa tersebut.

B. Komponen Pemenuhan Hak Anak

Pelaksanaan PUHA sebagai strategi pemenuhan dan perlindungan hak anak


harus memperhatikan keterkaitan tiga komponen pemenuhan hak anak
yakni 1) kebijakan pembangunan; 2) kegiatan perwujudan hak anak; dan 3)
keterlibatan dari para pemangku kepentingan.

1. kebijakan pembangunan
Upaya pengembangan kebijakan dibuat untuk mendorong dan melindungi
upaya pemenuhan hak anak. Kebijakan publik seyogyanya sensitive
terhadap anak, dan mempunyai manfaat positif bagi nasib anak.
Misalnya :
- sudah adakah kode etik (code of conduct) yang terkait dengan
penegakan hak anak di lingkungan bekerja ?
- Berapa besar (persentase) anggaran yang dialokasikan bagi program
untuk kepentingan terbaik bagi anak, termasuk kegiatan yang
mendorong strategi PUHA itu sendiri ?

2. kegiatan perwujudan hak anak


Komponen pemenuhan hak anak merupakan wujud dari berbagai
kegiatan sebagai upaya untuk menghilangkan kesenjangan (affirmative
actions).

Manfaat bagi anak selayaknya dipastikan dalam setiap program


pembangunan berdasarkan kepentingan terbaik anak dalam menikmati
hak mereka.

Besaran masalah anak menjadi kunci bagi setiap proses pembangunan.


Dengan demikian peningkatan pemahaman dan perhatian berbagai pihak
terhadap besaran masalah anak perlu menjadi perhatian dalam proses
pembangunan dengan cara mengetengahkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan.

39
3. Keterlibatan pemangku kepentingan
Pemangku kepentingan (pengambil keputusan, baik eksekutif dan
legislatief serta masyarakat sipil) harus memiliki pemahaman terhadap
hak anak, khususnya yang berkaitan dengan upaya pemenuhan dan
perlindungan hak anak.

Pemangku kepentingan diharapkan menjadi penggagas dan tokoh kunci


dalam proses perencanaan program pembangunan secara
berkesinambungan.

Pemangku kepentingan harus memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan


(Knowlegde, attitude, Practice/KAP) yang peduli terhadap
perwujudan hak anak. KAP yang wajib dimiliki oleh pemangku
kepentingan adalah pemahaman terhadap hak anak, khususnya yang
berkaitan dengan upaya pemenuhan dan perlindungan hak anak.

Upaya penguatan kapasitas pemangku kepentingan tidak hanya untuk


aparat pemerintah, tetapi termasuk juga pengasuh anak (care givers)
dan masyarakat (misalnya LSM peduli anak). Kelompok pemerhati hak
anak (Community Based Organization/CBO) perlu dikembangkan
partisipasi mereka untuk membantu memastikan efektivitas program
pembangunan bagi pemenuhan hak anak, sekaligus mendukung
pelaksanaan dan melakukan monitoring dan evaluasi.

Fokus PUHA tentu saja adalah anak sebagai pemegang hak. Dalam hal ini
anak harus didorong untuk berperan aktif dalam memberikan masukan
sepanjang proses penyusunan kebijakan, program, kegiatan dan bahkan
penganggaran. Anak hendaknya mendapatkan fasilitasi bagi ketersediaan
akses dan informasi yang layak sesuai dengan umur dan kematangan
anak. Anak juga harus diberikan keterampilan untuk menyalurkan dan
menyampaikan ekspresinya, sedemikian rupa sehingga didengarkan,
dihargai, dan dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan.

Pemberdayaan dan perlindungan terhadap kelompok anak sendiri perlu


dilakukan sebagai konsekuensi dari karakteristik anak itu sendiri sebagai
kelompok yang rentan, tidak berdaya dan masih memerlukan
perlindungan dari orang dewasa. Jika anak harus diberdayakan maka hal
itu bukanlah dalam rangka untuk mensejajarkan status dan
kedudukannya dihadapan orang dewasa, tetapi lebih merupakan upaya
perlindungan terhadap hak-haknya yang sering dilanggar orang dewasa.
Apalagi jika kelompok anak itu adalah kelompok anak yang masuk
kategori memerlukan perlindungan khusus (children in need special
protection/cnsp), maka perlakuannyapun bersifat khusus.

Pemberdayaan pada kelompok anak bertujuan agar anak memahami dan


menyadari bahwa mereka memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dan
diperjuangkan, baik oleh mereka sendiri maupun melalui bantuan orang
dewasa. Pemberdayaan ini lebih efektif jika ditujukan pada kelompok-
kelompok anak atau anak-anak yang sudah terorganisir dalam suatu
kelompok, dan bukan pemberdayaan pada orang perorang. Dengan
demikian prasyarat yang berupa kelompok atau organisasi anak menjadi

40
hal yang sangat mendasar. Oleh karena itu pembentukan kelompok-
kelompok anak atau organisasi abak harus didorong dan dikembangkan.
Organisasi anak tersebut, apapun namanya, akan berfungsi sebagai
wadah penyalur aspirasi anggota mereka maupun anak-anak pada
umumnya.

C. Tahapan PUHA

Proses PUHA selalu diawali dengan analisis situasi anak, dilanjutkan dengan
perencanaan program, pelaksanaan dan pemantauan, serta evaluasi
program. Setiap tahapan PUHA selalu mempertimbangkan empat prinsip hak
anak.

1. Tahap Analisis Situasi Anak


Tahap analisis situasi anak dimaksudkan untuk menilai besaran masalah
dan akar masalah dari setiap isu anak berdasarkan situasi terakhir
sehingga dapat dikembangkan berbagai kebijakan dan program yang
menjawab kebutuhan pemenuhan hak anak dengan tepat sesuai target
pemenuhan hak anak yang disepakati, baik secara internasional, nasional
maupun lokal.
Analisis situasi anak dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.

2. Tahapan perencanaan
Tahapan perencanaan meliputi penentuan situasi anak yang akan dicapai
(vision) berdasarkan pada kesenjangan pemenuhan hak anak hasil
analisis situasi anak pada tahap 1, dan dilanjutkan dengan penentuan
prioritas program pembangunan sebagai upaya pemenuhan hak anak
yang meliputi penentuan tujuan (outcomes) yang biasanya berupa
perubahan KAP, keluaran (outputs) yang mendorong pencapaian
outcomes, kegiatan sebagai proses untuk mengubah masukan menjadi
keluaran yang berkualitas, dan diakhir dengan pengembangan masukan.
Setiap perencanaan dimulai dengan menentukan hak anak yang akan
dipenuhi dari suatu kebijakan, program atau kegiatan yang akan
direncanakan.

3. Pelaksanaan dan pemantauan


PUHA mensyaratkan pelaksanaan program selalu mempertimbangkan 4
prinsip hak anak dan tidak menempatkan anak pada posisi yang
beresiko.
Situasi anak saat program dikembangkan (baseline data) dan kondisi
yang akan dicapai (vision) merupakan informasi penting pada tahap ini.
Dalam tahap ini, seperangkat indikator perlu dikembangkan sebagai
dasar untuk melakukan tinjauan terhadap keberhasilan program
perwujudan hak anak.
Pengembangan indikator berdasarkan hak anak akan membantu
pelaksana program melakukan tinjauan efektivitas program dan
melakukan peningkatan kualitas sesuai kebutuhan. Target capaian setiap
indicator dapat menggunakan nilai yang telah dikembangkan secara
nasional dalam PNBAI. Namun setiap daerah dapat pula mengembangkan

41
target indikator sendiri sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerahnya
masing-masing.

Keberhasilan strategi PUHA sangat tergantung pada komitmen dan


peranserta semua pihak dalam rangka pemenuhan hak anak. Untuk
menjamin keberhasilan harus dilakukan pengawasan dan evaluasi secara
bersama-sama agar apa yang menjadi tujuan program perlindungan anak
bisa tercapai dengan baik.

4. Kebujakan Kota Layak Anak ...................(Bpk Wahyu)

BAHAN MASUKKAN UNTUK WORKSHOP PEMBANGUNAN KPA


DI TINGKAT PEMERINTAH PROVINSI
TAHUN 2009

1 Dasar pemikiran
.

1.1 Situasi anak

Anak merupakan potensi yang sangat penting, generasi penerus masa depan
bangsa, penentu kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang akan
menjadi pilar utama pembangunan nasional, sehingga perlu ditingkatkan
kualitasnya dan mendapatkan perlindungan secara sungguh-sungguh dari
semua elemen masyarakat.

SDM yang berkualitas tidak dapat lahir secara alamiah, bila anak dibiarkan
tumbuh dan berkembang tanpa perlindungan, maka mereka akan menjadi
beban pembangunan karena akan menjadi generasi yang lemah, tidak
produktif dan tidak kreatif, sedangkan jumlah mereka lebih dari sepertiga
penduduk Indonesia.

Makanan dan pakaian saja belum cukup untuk menjadikan anak sebagai
media persemaian SDM yang berkualitas, kreatif, berdaya saing tinggi yang
memiliki jiwa nasionalisme dan pekerti luhur. Perlu adanya kesadaran yang
tinggi dan kemauan politik yang kuat untuk menciptakan lingkungan yang
peduli dan responsif terhadap kepentingan dan kebutuhan anak.

Secara individu, jutaan anak menghadapi resiko busung lapar dan


ketidakcukupan nutrisi yang mengancam pertumbuhan dan masa depannya.
Angka kematian bayi 32 perseribu kelahiran hidup (2005), masih sangat
tinggi. Mereka menghadapi ketidakpastian untuk hal-hal mendasar yang
seharusnya menjadi hak mereka seperti kepemilikan akta kelahiran, akses
terhadap pendidikan yang terjangkau, terbebas dari perlakuan salah,
kekerasan ekonomi, seksual dan psikis.

42
Secara sosial, anak-anak tidak berdaya menghadapi gelombang sajian iklan
dan pemandangan kehidupan konsumerisme yang sangat kapitalistik yang
merugikan perkembangan jiwa anak-anak secara langsung maupun tidak
langsung.

Misalnya saat ini terdapat 43 juta anak mejadi perokok pasif. Komnas
perlindungan anak melaporkan bahwa 99,7 persen anak-anak terpapar iklan
rokok, hasil survey Global Youth Tobacco Survey di Indonesia 12,6% siswa
smp adalah perokok, 3,2 % diantaranya tergolong kecanduan.

Sejak tahun 2006 hingga saat ini rata-rata terdapat 2 sampai 4 anak
mengalami tindak kekerasan setiap hari. Lebih dari seperempat anak
perempuan mengalami perkosaan. Jumlah anak yang berkonflik dengan
hukum mencapai 4.277 anak, hal ini berarti setiap hari terdapat 11 s.d 12
anak berkonflik dengan hukum (Bareskrim Polri), sementara itu anak yang
hidup di penjara hingga saat ini mencapai 13.242 anak.

Di sektor pendidikanpun anak-anak masih banyak yang tidak mampu untuk


melanjutkan pendidikan. Angka partisipasi murni sekolah menengah
pertama sebesar 65,37% tahun 2005. Padahal seharusnya dengan program
wajib belajar 9 tahun, semua anak Indonesia.

Kota-kota di Indonesia, saat ini, mengalami pertumbuhan setiap tahun rata-


rata 4,4% (UNICEF, 2007: 123), akibat dari pertumbuhan penduduk dan
migrasi penduduk desa ke kota sehingga kota yang tidak terkendali.
Akibatnya penyediaan pelayanan dasar, perumahan, pendidikan, kesehatan,
dan peluang untuk kerja semakin sulit.

Jumlah penduduk dalam kategori anak, yaitu <18 tahun, saat ini 75.641.000
anak, jumlah anak yang berusia dibawah lima tahun 21.571.000 anak,
Mereka merupakan kelompok yang rentan mengalami berbagai masalah
social (UNICEF, 2007: 123), karena mereka selalu mengahadapi resiko
kekerasan baik di rumah, di sekolah, di tempat bermain, maupun ditempat-
tempat umum seperti tempat rekreasi, terminal, stasiun, tempat-tempat
ibadah dll.

Selain itu, ruang bermain anak belum tersedia dalam jumlah yang cukup
karena belum menjadi prioritas pembangunan pemerintah kabupaten/kota,
belum adanya rute yang aman bagi anak ke sekolah maupun ke tempat-
tempat aktivitas anak lainnya, yang ditandai dengan merebaknya berbagai
kasus kekerasan terhadap anak. Hal lain, masih terbatasnya kebijakan
pemerintah untuk menyatukan isu hak ke dalam perencanaan pembangunan
kabupaten/kota, serta belum teritegrasinya hak perlindungan anak ke dalam
pembangunan kabupaten/kota.

1.2. Perlunya Kebijakan KLA

Situasi anak tersebut memerlukan adanya suatu kebijakan pembangunan


kabupaten/kota yang mengintegrasikan sumberdaya pembangunan untuk
memenuhi hak anak mulai proses perencanaan, implementasi hingga

43
pengawasan dan penilaiannya, yaitu kebijakan pembangunan
kabupaten/kota layak anak (KLA).
KLA diharapkan dapat menjadi model pembangunan yang mewadahi
seluruh kegiatan dan upaya untuk menciptakan keluarga yang sayang anak,
rukun tetangga dan rukun warga atau lingkungan yang peduli anak,
kelurahan dan desa layak anak dan kecamatan atau kabupaten/kota yang
layak bagi anak sebagai prasyarat untuk memastikan bahwa anak-anak
tumbuh dan berkembang dengan baik, terlindungi haknya dan terpenuhi
kebutuhan pisik dan psikologisnya.

2 Maksud dan Tujuan


.

2.1 Maksud

Untuk membangun inisiatif pemerintahan kabupaten/kota yang mengarah


pada upaya transformasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak
Anak dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi
pembangunan seperti kebijakan, kelembagaan dan program yang layak
anak.
2.2 Tujuan

Tujuan kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak adalah:

a. Untuk meningkatkan komitmen pemerintah, masyarakat dan dunia


usaha di kabupaten/kota dalam upaya mewujudkan pembangunan
yang responsif terhadap hak, kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi
anak;

b. Untuk mengintegrasikan potensi sumber daya manusia, keuangan,


sarana prasarana, metoda dan teknologi yang ada pada pemerintah,
masyarakat serta dunia usaha di kabupaten/kota dalam mewujudkan
hak anak;

c. Untuk mengimplementasi kebijakan perlindungan anak melalui


perumusan strategi dan perencanaan pembangunan kabupaten/kota
secara menyeluruh dan berkelanjutan sesuai dengan indikator KLA;
dan

d. Untuk memperkuat peran dan kapasitas pemerintah kabupaten/kota


dalam mewujudkan pembangunan di bidang perlindungan anak.

3 Ruang Lingkup
.

Ruang lingkup Kebijakan KLA meliputi pembangunan di bidang kesehatan,

44
pendidikan, perlindungan, infrastruktur, lingkungan hidup dan pariwisata baik
secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan implementasi hak
anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Kebijakan KLA mencakup aspek ketemagaan, pembiayaan, pengawasan dan
penilaian, penelitian dan pengembangan serta keterwakilan aspirasi dan
kepentingan anak dalam pengambilan keputusan pembangunan kabupaten/kota.
4 Sasaran
.
4.1 Sasaran antara
a. Lembaga eksekutif.
b. Lembaga legislatif.
c. Lembaga yudikatif.
d. Organisasi non pemerintah.
e. Dunia usaha.
f. Masyarakat

4.2 Sasaran akhir


a. Keluarga.
b. Anak.
5 Pengertian
.

Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) adalah model pembangunan kabupaten/kota


yang mengintegrasikan komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan
dunia usaha dalam rangka memenuhi hak anak yang terencana secara menyeluruh
(holistik) dan berkelanjutan (sustainable) melalui pengarusutamaan hak anak
(PUHA).

6 Tinjauan Sejarah KLA


.

Pembangunan KLA diawali dengan penelitian mengenai “Children’s Perception


of the Environment” oleh Kevin Lynch (arsitek dari Massachusetts Institute of
Technology) di 4 kota – Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City – tahun
1971-1975. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik
untuk anak adalah yang mempunyai masyarakat yang kuat secara fisik dan sosial;
masyarakat yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas; yang memberi
kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak
untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka. Penelitian
tersebut dilakukan dalam rangka program Growing Up In Cities (GUIC) –
tumbuh kembang di perkotaan – yang disponsori oleh UNESCO. Salah satu
tujuan GUIC adalah mendokumentasikan persepsi dan prioritas anak, sebagai
basis program peran serta, bagi perbaikan kota.

Pada perkembangan selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi


Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, dengan memasukan salah mengeluarkan
satu ketentuan mengenai hak anak untuk mengekspresikan pendapatnya. Ini

45
artinya anak mempunyai suara, disamping adanya prinsip lain seperti non-
diskriminasi; kepentingan terbaik untuk anak; dan hak untuk hidup dan
mengembangkan diri.

Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992, para kepala pemerintahan dari seluruh
dunia menyepakati prinsip-prinsip Agenda 21 yaitu Program Aksi untuk
Pembangunan Berkelanjutan. Bab 25 Agenda 21 menyatakan bahwa, anak dan
remaja sebagai salah satu Major Group – Kelompok Utama – yang dilibatkan
untuk melindungi lingkungan dan kegiatan masyarakat yang sesuai dan
berkelanjutan. Bab 28 Agenda 21 juga menjadi rujukan bahwa, remaja berperan
serta dalam pengelolaan lingkungan. Akan tetapi yang paling mendesak adalah
agar pemerintah kota melibatkan warga dalam proses konsultasi untuk mencapai
konsensus pada “Agenda 21 Lokal,” dan mendorong pemerintah kota menjamin
bahwa anak dan remaja terlibat dalam proses pembuatan keputusan, perencanaan,
dan pelaksanaan.

Setelah 25 tahun, hasil penelitian Kevin Lynch ditinjau kembali, dan dilakukan
penelitian serupa oleh Dr Louise Chawla dari the Children and Environment
Program of the Norwegian Centre for Child Research – Trondheim, Norwegia
tahun 1994-1995. Penelitian yang disponsori oleh UNESCO dan Child Watch
International, dilakukan di Buenos Aires dan Salta, Argentina; Melbourne,
Australia; Northampton, Inggris; Bangalore, India; Trondheim, Norwegia;
Warsawa, Polandia; Johannesburg, Afrika Selatan; dan Oaklands, California,
Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menjadi indikator bagi UNICEF dalam
mengawasi pemenuhan hak anak di kota sebagai bagian dari Child Friendly City
Initiative untuk pemerintah kota.

Pada Konferensi Habitat II atau City Summit, di Istanbul, Turki tahun 1996,
perwakilan pemerintah dari seluruh dunia bertemu dan menandatangani Agenda
Habitat, yakni sebuah Program Aksi untuk Membuat Permukiman lebih nyaman
untuk ditempati dan berkelanjutan. Paragraf 13 dari pembukaan Agenda Habitat,
secara khusus menegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat
tinggal yang layak; terlibat dalam proses mengambilan keputusan, baik di kota
maupun di masyarakat; terpenuhi kebutuhan dan peran anak dalam bermain di
masyarakatnya. Melalui City Summit itu, UNICEF dan UNHABITAT
memperkenalkan Child Friendly City Initiative, terutama menyentuh anak kota,
khususnya yang miskin dan yang terpinggirkan dari pelayanan dasar dan
perlindungan untuk menjamin hak dasar mereka.

Pada UN Special Session on Children, Mei 2002, para walikota menegaskan


komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak, pada pertemuan tersebut
mereka juga merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk:

a. mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan
melindungi hak anak,

b. mempromosikan peran serta anak sebagai aktor perubah dalam proses


pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan
dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.

46
Upaya UNICEF dan UNHABITAT ini terus menerus dipromosikan ke seluruh
dunia dengan upaya meningkatkan kemampuan penguasa lokal (UN Special
Session on Children, 2002).

Pada World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan


tahun 2002, para pemimpin negara dari seluruh dunia antara lain menyepakati
untuk mewujudkan perbaikan yang signifikan pada kehidupan bagi sedikitnya
100 juta masyarakat penghuni kawasan kumuh, seperti yang diusulkan dalam
prakarsa “Kota tanpa Permukiman Kumuh” (Cities without Slums) pada tahun
2020. Hal ini mencakup tindakan pada semua tingkatan untuk:

a. meningkatkan akses pada tanah dan properti, permukiman yang memadai


dengan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin di perkotaan dengan
perhatian khusus pada kepala rumah tangga perempuan;

b. mendukung otoritas lokal dalam menjabarkan program perbaikan daerah


kumuh dalam kerangka rencana pengembangan perkotaan dan
mempermudah akses, khususnya bagi masyarakat miskin, pada informasi
mengenai peraturan tentang perumahan.

Melalui pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), pemerintah


membuat suatu upaya nyata untuk menyatukan isu hak anak ke dalam
perencanaan dan pembangunan kabupaten/kota. Mengingat program pelayanan
dasar perkotaan dipandang sebagai program khusus dan merupakan kerangka
kerja dari kantor pemerintahan kabupaten/kota, Pengembangan KLA
diimplementasikan melalui pemerintah kabupaten/kota yang digabungkan ke
dalam mekanisme dan kerangka kerja institusi yang ada. Pengembangan KLA
secara terus menerus diimplementasikan ke sejumlah bagian kabupaten/kota yang
terbatas dengan program pelayanan dasar perkotaan yang secara maksimum
didukung oleh sumber daya yang ada. Dengan mengintegrasikan konsep
perlindungan anak ke dalam program pembangunan kabupaten/kota akan lebih
mudah dibandingkan dengan merealisasikan Konvensi Hak Anak secara
langsung.
7 Aspek Filosofis
.

Sila kedua dari Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yaitu
“kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” secara filosofis telah mengamanatkan kepada kita
untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh aspek kemanusiaan, keadilan
dan keberadaban dalam melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Makna kata “bagi seluruh rakyat Indonesia” mengandung prinsip-prinsip non-


diskriminasi, pemerataan, dan tidak ada dominasi monopoli kepentingan dalam
pembangunan dan kehidupan sosial khususnya bagi anak.

Tanggung jawab pemerintahan kabupaten/kota didasarkan pada ketentuan :

47
a. Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Tujuan Negara Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia…”;

b. Bab X A Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia


Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28B ayat (2) yang berbunyi
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

8 Aspek Sosiologis
.

Fenomena sosial yang ada memperlihatkan kondisi yang tidak kondusif bagi
tumbuh kembang anak, terutama dalam kehidupan keluarga, teman sebaya,
masyarakat, media massa dan politik.

Pada kehidupan keluarga terjadi pelunturan nilai-nilai kekeluargaan;


merenggangnya hubungan antara anak dan orang tua; anak dengan anak; dan
antar keluarga atau tetangga. Hal ini menyebabkan perlindungan anak belum
terpenuhi. Sikap permisif terhadap nilai-nilai sosial yang selama dianut mulai
ditinggalkan.

Pada kenyataannya hubungan sosial sebaya telah menyebabkan kekhawatiran


orang tua terhadap anak, ketika mereka berada di luar lingkup keluarga. Beberapa
kasus yang ditemukan menunjukkan bahwa banyak teman sebaya melakukan
tindakan di luar kepatutan seperti keterlibatan dalam kasus narkoba, seks bebas,
tindakan amoral dan asosial lainnya.

Pada kehidupan masyarakat, nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan,


serta kesetiakawanan sosial sudah menjadi sesuatu yang langka. Gejala ini,
terlihat dari ketidakpedulian pada kehidupan lingkungan sekitar, sehingga hal ini
menyebabkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak kurang
optimal.

Media massa dengan pewartaan dan penayangan kekerasan dan eksploitasi


terhadap anak menjadi hal yang biasa, tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga
di pelosok. Hal ini menambah sederet persoalan yang juga mengganggu tumbuh
kembang anak.

Pada kehidupan politik, anak belum menjadi isu utama. Partai politik sebagai
agen perubahan belum mengakomodir kepentingan anak dalam programnya.
Sehingga isu kesejahteraan dan perlindungan anak kurang mendapat perhatian.

9 Aspek Antropologis
.

Memudarnya nilai-nilai kebersamaan, paguyuban, dan kekerabatan, merupakan


salah satu faktor yang membuat menurunnya nilai-nilai yang selama ini

48
memberikan rasa nyaman bagi anak dalam masyarakat. Gejala ini tergambar dari
tanggungjawab masyarakat yang hanya lebih memfokuskan pada keluarga inti,
sehingga berbagai hal yang terjadi pada kerabat atau paguyuban kurang mendapat
perhatian pada masing-masing keluarga. Pranata sosial tidak mampu
mengakomodir kepentingan masyarakatnya, hal ini berdampak pada semakin
tidak optimalnya perlindungan anak.

Berkurangnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan menyebabkan


masyarakat menjadi tidak toleran dan lebih individual, sehingga akan muncul
kecemburuan sosial dengan persaingan yang tidak sehat. Lebih lanjut warga
menjadi semakin permisif dengan berbagai hal yang menyangkut nilai-nilai yang
selama ini tidak layak bagi anak. Kerentanan sosial juga berawal dari semakin
permisifnya atau semakin longgarnya nilai-nilai agama, adat istiadat, budaya dan
tata karma sosial dari para orang tua dan masyarakat terhadap berbagai kebiasaan
yang selama ini tidak layak dihadapi atau dilakukan oleh anak. Pengaruh
lingkungan sosial yang permisif ini sangat mempengaruhi kesejahteraan dan
perlindungan anak.Akibatnya, warga masyarakat dalam berinteraksi dengan
sesama lebih didasarkan kepada kepentingan dan bukan tumbuh sebagaimana
yang selama ini hidup dalam sebuah masyarakat yang komunal.

Relasi sosial didasarkan pada solidaritas mekanik, dia ada karena adanya
kepentingan dari warga yang berelasi. Oleh karena itu dengan merenggangnya
nilai-nilai kebersamaan menyebabkan masing-masing warga lebih terfokus
kepada kehidupan masing-masing, tidak saling mengetahui apa sesungguhnya
yang terjadi pada warga lain bahkan tidak saling tegur.

1 Sarana dan Prasarana


0
.

Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di perkotaan menuntut adanya


perencanaan pengembangan kabupaten/kota yang lebih cermat, baik secara fisik
maupun non fisik. Kenyataan yang ada, secara fisik lahan di perkotaan sangat
terbatas, sementara pemenuhan akan sarana dan prasarana yang layak merupakan
hal yang menjadi kebutuhan penduduk kabupaten/kota. Fakta menunjukan
kualitas pelayanan publik kepada anak di kabupaten/kota masih terbatas,
khususnya bila ditinjau dari sisi sarana dan prasarana dasar, antara lain:

a. beralih fungsinya ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun yang tidak
berorientasi pada kepentingan anak;

b. tidak seimbangnya sarana dan prasarana kabupaten/kota untuk kepentingan


anak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk; dan

c. pembangunan sarana dan prasarana kabupaten/kota untuk kepentingan anak


tidak merata, akibat dari perencanaan yang belum peduli anak dan
perkembangan wilayah pemukiman baru yang tidak terkendali.

d. sarana dan prasarana yang tersedia perawatannya, kualitasnya semakin

49
menurun.

Anak, sebagai salah satu bagaian dari masyarakat kabupaten/kota, sering


mengalami dampak dari penurunan daya dukung sarana dan prasarana
kabupaten/kota, beberapa hal yang saat ini terlihat antara lain:

a. minimnya sarana pendidikan, kesehatan, bermain, ruang terbuka hijau,


transportasi yang murah, aman dan nyaman bagi anak;

b. terbatasnya aksesibilitas anak terhadap sarana tersebut; dan

c. polusi dan tingkat kebisingan kota yang berpengaruh terhadap kesehatan


dan perkembangan jiwa anak.

1 Anak dan Pembangunan Lingkungannya


1
.

Orang dewasa pada umumnya berpendapat bahwa pembangunan yang cocok bagi
dirinya, maka cocok pula bagi anak-anak, sehingga anak dipandang tidak penting
untuk didengarkan pendapat dan aspirasinya dalam merencanakan dan
menentukan arah pembangunan.

Sesungguhnya melalui wadah partisipasi anak, anak dapat diajak bekerjasama


dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan (pembangunan)
lingkungannya (Adams & Ingham, 1998:51). Pemerintah dapat berkomunikasi
dengan mereka, karena mereka mempunyai persepsi, pandangan dan pengalaman
mengenai lingkungan kota tempat mereka tinggal, sehingga pemerintah dapat
menemukan kebutuhan atau aspirasi mereka.

1) Anak dan Lingkungan Tempat Tinggal

Hal yang perlu dilakukan agar anak akrab dengan lingkungan tempat
tinggalnya antara lain adalah:

a. keluarga perlu melakukan penerapan kombinasi pola asuh antara


otoriter, bebas dan demokratis secara seimbang dan konsisten, supaya
kepercayaan diri anak tinggi.

b. rumah yang layak huni adalah rumah yang menjamin keamanan,


ketenangan dan kenyamanan penghuni. Syarat rumah layak huni
adalah status kepemilikan jelas (milik sendiri, sewa, menumpang),
kemudahan akses ke air bersih, listrik, adanya pengelolaan sampah
dan perawatan saluran pembuangan air kotor. Selanjutnya, rumah itu
berada di lingkungan yang bebas polusi dan memiliki standar ventilasi
yang cukup.

2) Anak dan Lingkungan Masyarakat

50
Pada lingkungan masyarakat, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan
diri dengan lingkungan masyarakat, untuk itu perlu dilakukan adalah:

a. perlu ada inisiatif dan kemauan keras ketua RT dan RW untuk


menjalankan organisasi dengan membentuk kegiatan-kegiatan yang
berdampak langsung pada warga, khususnya anak-anak, seperti kerja
bakti (membersihkan sampah dan saluran pembuangan air kotor), dan
siskamling. Tanpa inisiatif dan kemauan tersebut, warga kota, menurut
Prof. Parsudi Suparlan (Suparlan, 1996:3-44) menjadi bercirikan
individualisme tinggi. Warga kota dengan ciri ini sangat sukar untuk
diajak bekerjasama;

b. menjaga sanitasi lingkungan, karena berdampak langsung pada


kesehatan lingkungan, terutama terhadap anak-anak yang rentan
terhadap berbagai resiko yang ditimbulkan oleh lingkungan; dan

c. untuk menjadikan lingkungan masyarakat sebagai tempat yang baik


bagi anak untuk tumbuh dan kembang, pemerintah kota perlu
melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Bartlett, anak-anak
memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka di lingkungannya.
Anak-anak merekomendasikan dan memprioritaskan hal-hal penting
yang perlu mendapat perhatian dari orang dewasa, assosiasi
masyarakat dan pemerintah kota.
Untuk memperbaiki masyarakat mereka. Perlu ada perbaikan,
perawatan dan pembaharuan terhadap saluran air, toilet yang tidak
bau, bebas bau sampah; tempat bermain dan rekreasi yang terang,
bersama anak menentukan lokasi yang sesuai untuk tempat bermain
yang dekat dengan rumah dan sekolah; dan perlu melakukan
pengamanan yang ekstra di lingkungan yang pendapatan rendah, dan
memasang pengumuman tentang pemberian perlindungan terhadap
anak dari pembunuhan, kekerasan dan abuse.

3) Anak dan Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah yang diharapkan anak adalah sebagai berikut:

a. mempunyai ruang WC yang menjadi salah satu fasilitas yang penting


di sekolah, sehingga perlu dipertimbangkan keberadaan dan
kebutuhannya. Anak-anak keberatan jika ruang WC anak perempuan
dan anak laki-laki disatukan. Dengan demikian akan melindungi anak-
anak perempuan dari pelecehan seksual;

b. desain bangunan sekolah bertingkat perlu dilengkapi ruang bermain


bagi anak yang aman dan nyaman di setiap lantai;

c. waktu sekolah pagi dan petang dipertimbangkan untuk diterapkan


secara bergantian, karena sangat berpengaruh pada proses belajar
mengajar dan kualitas murid. Sebagian besar murid-murid sekolah
petang kurang optimal mengikuti pelajaran, karena energi yang

51
berkurang dan udara panas mempengaruhi daya serap anak terhadap
pelajaran;

d. perlu menggunakan metode Cara Belajar Siswa Aktif atau metode lain
yang memberi kesempatan anak untuk berdiskusi, perlu diterapkan
agar anak-anak terlatih mengemukakan pendapat atau gagasannya;

e. penyusunan peraturan dan tata tertib sekolah, pimpinan sekolah dan


guru perlu mengikutsertakan murid-murid, sehingga memiliki
legitimasi yang kuat saat diterapkan dan ditegakkan. Kegiatan ini
melatih anak-anak mengenai kehidupan berdemokrasi yang saling
mendengar, dan menghargai pendapat orang lain; Anak memiliki
potensi dalam menyusun peraturan dan tata tertib yang menyangkut
kehidupan sendiri; contoh, melalui bermain mereka menyusun
peraturan yang disepakati dan dijalankan bersama, dan jika ada yang
melanggar, jelas ada sanksinya. Contoh lain adalah pembagian tugas
piket kebersihan yang mereka susun bersama ketua kelas, dijalankan
secara bersama-sama; dan

f. mempunyai “program makan di sekolah”, karena anak banyak


mendapatkan keuntungan yang dapat diperoleh dari program tersebut,
selain mengembalikan energi anak yang terpakai selama belajar, juga
dapat meningkatkan gizi anak, yang mungkin di rumah kurang
memperoleh asupan makan yang bergizi. Kegiatan tersebut menjadi
ajang anak-anak saling bersosialisasi baik dengan teman sekelas atau
lain kelas. Di Indonesia, program ini pernah dilaksanakan melalui
program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah, tetapi
dihentikan sejalan dengan berakhirnya program Jaring Pengaman
Sosial. Program makan di sekolah semacam itu juga dilaksanakan oleh
sekolah-sekolah seperti di Jepang dan Malaysia.

g. Adanya program sekolah ramah anak

4) Anak dan Lingkungan Bermain

Pemerintah perlu mempelajari cara anak memenuhi hasratnya mendapatkan


tempat bermain dengan mengikuti cara anak, dan bersedia bekerjasama
dengan anak untuk menata ruang yang ada. Menurut Hendricks (Hendricks:
2002:14) perencanaan taman bermain yang ramah terhadap anak harus
mempertimbangkan hasil konsultasi dengan anak, seperti bagaimana
mereka menggunakan ruang dan apa yang mereka ingin lakukan, sehingga
dalam proses pengembangannya tidak perlu melakukan pengekangan
terhadap anak. Proses konsultasi dengan anak harus dilakukan dengan baik
seperti yang dilakukan terhadap orang dewasa. Di beberapa negara seperti
Inggris, Belgia dan Belanda, telah banyak contoh konsultasi yang dilakukan
dengan anak mengenai tempat bermain (Hendricks: 2002:14).

Topik penting yang perlu diperhatikan oleh perencana dan perancang ketika
melakukan diskusi dengan anak mengenai pembangunan taman bermain

52
adalah masalah keselamatan anak.

Ada dua persoalan yang terkait dengan keselamatan anak:

a. dibutuhkan tindakan pencegahan dan tenaga profesional yang


berpengalaman untuk menjamin bahwa ruangan terbebas dari hal-hal
berbahaya yang bisa menyebabkan anak-anak mendapatkan luka
serius; dan

b. orang dewasa, khususnya orang-tua anak dan pengawas tempat


bermain diduga juga berpotensi untuk membahayakan keselamatan
anak dan membuat anak takut. Persoalan ini menyangkut kasus child
abuse.

Selain itu, perencana dan perancang perlu mempertimbangkan pengamanan


dan pengawasan terhadap anak. Menurut Sheridan Bartlett, dengan
mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap tempat bermain
anak, sehingga memungkinkan mereka merasa tenang dan nyaman.
Pemerintah kota perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan di
tempat bermain; meningkatkan keselamatan anak di tempat bermain; dan
termasuk melakukan kampanye terhadap larangan penggunaan bahan
berbahaya pada alat-alat permainan.

5) Anak dan Pelayanan Transportasi

Pemerintah kota agar menyediakan layanan transportasi yang


mempertimbangkan kebutuhan anak. Selain itu pemerintah kota dalam
membuat kebijakan mengenai transportasi umum, menurut Jill Swart
Kruger dan Louise Chawla (Kruger, 2002:85) perlu:

a. memperkenalkan jarak, jenis dan ukuran transportasi umum;

b. mempertimbangkan pembuatan tiket tunggal untuk semua jenis


transportasi umum; dan

c. mempertimbangkan penggunaan bus khusus pada hari minggu dan


libur untuk anak dan keluarganya ke tempat rekreasi.

6) Anak dan Pelayanan Kesehatan

Informasi mengenai kesehatan anak merupakan hal yang perlu diketahui


oleh seorang anak, supaya mereka mengetahui sumber penyakit, jenis
penyakit dan upaya pencegahannya. Melalui pemberian informasi
kesehatan, seorang anak secara bertahap belajar memahami mengapa
seorang anak bisa sakit, dan bagaimana mencegahnya Hasil belajar anak
mengenai kesehatan anak, menghasilkan persepsi anak mengenai kesehatan
anak.

Kehidupan anak berpusat pada rumah, sekolah dan lingkungan sekitarnya.


Karena itu, wilayah tersebut harus menjadi tempat yang aman dan sehat

53
bagi anak. Kenyataan, tak jarang tempat-tempat itu tidak aman bahkan
menjadi penyebab timbulnya penyakit bagi anak. Menurut WHO, sebagian
besar penyakit anak-anak berhubungan erat dengan lingkungan tempat
mereka tinggal (rumah), belajar (sekolah) dan bermain (masyarakat) (WHO,
2002:7). Resiko utama ditimbulkan oleh lingkungan seperti air yang kurang
bersih, sanitasi buruk, polusi udara, dan higiene makanan yang buruk.
Resiko lainnya ditimbulkan oleh serangga yang menjadi perantara bibit
penyakit; sedangkan tanah dan air merupakan perantara infeksi cacing.
Bahaya lain adalah kecelakaan dan kekerasan. Selain itu, permukiman yang
padat, ventilasi yang buruk, dan kurang air bersih untuk mencuci,
mempercepat penyebaran berbagai penyakit (UNICEF & UNEP, 1990:25).
Bagi masyarakat perkotaan, resiko juga ditimbulkan dari kekurang hati-
hatian dalam menggunakan bahan kimia yang berbahaya, pembuangan
sampah toxic dan degradasi lingkungan. Pemakaian zat kimia yang tidak
aman untuk produk rumah tangga dan alat permainan anak seperti boneka,
bisa pula menjadi sebuah ancaman.

Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko lingkungan


terhadap kesehatan anak dan warga kota lainnya menurut Jorge E. Hardoy,
dkk. Penulis buku “Environmental Problems in an Urbanizing World:
Finding Solution for Cities in Africa, Asia, dan Latin America,” adalah
pencegahan penyakit yang disebabkan oleh resiko lingkungan. Tindakannya
dapat dilakukan di dua tingkatan yakni rumah tangga dan masyarakat.
Tingkat rumah tangga yang dapat dilakukan dengan:

a. menyediakan air bersih;

b. tempat penampungan/tanki air selalu dibersihkan untuk menjaga


higiene;

c. menyediakan fasilitas WC yang bersih;

d. mengatur pembuangan sampah dan air buangan; dan

e. melakukan kampanye dengan menyebarkan poster atau leaflet tentang


desain kompor dan dapur.

Sedangkan tindakan di masyarakat hampir sama dengan tindakan di rumah


tangga, tetapi sifatnya lebih ditingkatkan pada pengawasan dan penyediaan
fasilitas yang tidak tersedia di tingkat rumah tangga seperti sumur umum
dan MCK.

7) Anak dan Masalah Sosialnya

a. Anak yang Berhadapan Dengan Hukum

Berdasarkan hasil analisis situasi, dalam sistem peradilan anak di Indonesia


ditemukan lebih dari 4.000 anak dibawa ke pengadilan setiap tahunnya.
Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan adalah kejahatan ringan dengan
jumlah kerugian yang sedikit. Tetapi hampir 9 dari 10 anak tersebut berakhir

54
dipenahanan atau penjara anak, dan sebagian besar harus tinggal
bersama/dicampur dengan orang-orang dewasa (Sumber: Media Perlindungan
Anak Konflik Hukum, RESTORASI, edisi 9-IV/2008).

Anak yang berkonflik dengan hukum sebanyak 4.277 anak < 16 tahun sedang
menjalani proses pengadilan, anak yang dipenjara sebanyak 13.242 anak
dengan variasi usia antara 16-18 tahun, 98% diantaranya adalah anak laki-laki
dan 83% yang menjalani pengadilan di hukum penjara, jumlah anak di penjara
usia < 18 tertinggi di Jakarta, Jabar, Jatim. Sumsel (Sumber: Bareskrim, Polri).

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen


Hukum dan HAM, tahun 2008 menunjukkan bahwa penghuni Lapas, Rutan
dan anak binaan sebanyak 127.995 orang yang terdiri dari narapidana (73.686
orang) dan tahanan (54.309 orang). Dari jumlah tersebut sebanyak 121.845
pria dan 6.150 wanita. Sedangkan jumlah narapidana dan tahanan anak
sebanyak 4.301 (3.36%) dengan rincian jumlah narapidana anak 2.282 (Laki-
laki 2.161; Perempuan 121). Tahanan anak sebanyak 2.019 orang (Laki-laki
1.838; Perempuan 181). Anak-anak tersebut ditempatkan di 20 lapas anak pria
dan 1 lapas anak wanita.

Perlindungan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,


menjamin terpenuhinya hak anak sesuai harkat dan martabat kemanusiaan
serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Berdasar atas Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa
pemerintah dan masyarakat berkewajiban dan bertanggungjawab untuk
memberikan perlindungan khusus yang salah satunya adalah perlindungan
khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum, baik yang berkonflik
dengan hukum maupun anak korban tindak pidana.

Perlindungan khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan


antara lain melalui perlakuan atas anak secara manusiawi, sesuai dengan
martabat dan haknya, penyediaan petugas pendamping khusus sejak dini,
penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk
kepentingan terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus
terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum, pemberian
jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarganya,
dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media masa serta untuk
menghindari labelisasi.

b. Kekerasan Terhadap Anak

Anak rentan menjadi obyek kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah.

Banyak kasus yang menjadikan anak sebagai korban kekerasan baik


secara seksual, fisik, psikis, maupun penelantaran, selain itu, ada juga
kekerasan yang diakibatkan oleh kondisi sosial-ekonomi. Anak
dianggap sebagai komoditas, tenaga kerja murah, diperdagangkan,
dilacurkan, dan terjerat dalam sindikat pengedar narkoba, atau yang
dipaksa berada di jalanan karena berbagai sebab.

Sementara itu, penculikan terhadap anak-anak terjadi diberbagai tempat


mulai dari dijemput di sekolah, anak sedang bermain, anak sedang

55
berekreasi, dan sedang berada dalam rumah dengan berbagai modus
operandi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF menunjukkan bahwa


“Dua per tiga anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan pernah
dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan.”
Pada tahun 2003 yang melibatkan sekitar 1.700 anak, terungkap bahwa
“Sebagian besar anak mengaku pernah ditampar, dipukul, atau dilempar
dengan benda.”

Awal 2006, terungkap kekerasan terhadap anak di Jawa Tengah,


Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Di Jawa Tengah, sebanyak 80
persen guru pernah menghukum anak-anak dengan berteriak di depan
kelas. Sebanyak 55 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan
kelas. Di Sulawesi Selatan, sebanyak 90 persen guru pernah menyuruh
murid berdiri di depan kelas, 73 persen pernah berteriak kepada murid,
dan 54 persen pernah menyuruh murid untuk membersihkan atau
mengelap toilet. Di Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru pernah
menyuruh murid berdiri di depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak
pada murid.

Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa potensi terjadinya kekerasan


berada disekitar kehidupan anak. Tidak tempat yang membuat anak
terbebas dari ancaman kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan dan
eksploitasi terhadap anak akan melahirkan sederet penderitaan yang
berkepanjangan yang tertanam dalam benak anak baik secara fisik
maupun psikis.

Sebagian besar dari pelaku tindak kekerasan, ternyata dilakukan oleh


orang-orang terdekat korban, bahkan oleh orang tua sendiri, baik ibu
maupun bapak. Statistik menunjukkan bahwa, ternyata pelaku tindak
kekerasan terhadap anak dilakukan oleh lebih 80 % pelaku yang dikenal
korban. Hal ini sesuai dengan apa yang dilansir oleh Komnas
Perlindungan Anak bahwa, lebih dari 69 % pelaku tindak kekerasan
terhadap anak adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Kenyataan
ini setidaknya mengindikasikan bahwa pada sebagian keluarga, rumah
yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi anak, kini
bukan lagi merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak, karena
justru di rumah sering terjadi tindak kekerasaan terhadap anak.

c. Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus

a) Anak di Lokasi Bencana

Anak di lokasi bencana menjadi sangat rentan karena mereka


memerlukan bantuan orang dewasa untuk: menyelamatkan diri,
mendapatkan pertolongan medis, shelter; dan kebutuhan emergensi
lainnya; rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.

56
Antisipasi perlindungan anak di lokasi bencana harus disiapkan sebelum
bencana terjadi. Saat ini sebagian besar anak tidak mengetahui kemana
dan bagaimana memperoleh bantuan bila bencana datang.

Lingkungan yang layak anak akan memperhitungkan dengan cermat


hal-hal semacam itu, termasuk antisipasi anak-anak menjadi korban
perdagangan orang.

Anak merupakan kelompok yang mendapat proritas sebagaimana


diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana Pasal 55 ayat (2).

b). Anak di Daerah Konflik Bersenjata

Di daerah konflik bersenjata umumnya anak-anak dimanfaatkan oleh


kelompok yang sedang berkonflik untuk menjadi kurir, benteng manusia
dan tentara anak, biasanya yang memiliki badan besar walaupun usianya
masih belasan tahun.

Selain bertentangan dengan undang-undang, hal tersebut secara


psikologis berdampak buruk pada anak, menimbulkan trauma yang
sangat panjang dan bisa jadi seumur hidupnya. Menyuburkan
tumbuhnya budaya kekerasan dari dan pada anak. Pelecehan seksual,
perkosaan dan pedofilia, merupakan bentuk kekerasan yang sangat
ditakuti anak-anak.

Strategi pembangunan yang peduli anak di daerah konflik dapat


mengurangi berbagai resiko fatal tersebut.

c) Anak Cacat

Kondisi anak cacat relatif telah mendapat perhatian dengan didirikannya


berbagai panti dan pusat rehabilitasi, khususnya di perkotaan.

Namun akses anak cacat terhadap fasilitas umum masih


memprihatinkan, misalnya; tidak semua gedung, pasar, pusat
perbelanjaan, stasiun, terminal dan pelabuhan dilengkapi dengan akses
bagi anak cacat secara memadai.

Dalam kehidupan sosialpun anak-anak cacat diperlakukan sebagai


warga Negara kelas dua atau kelas tiga. Terlihat jelas adanya
diskriminasi pada anak cacat.

Undang-Undang mengamanatkan agar negara memberikan perlindungan


khusus pada anak cacat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997
tentang Penyandang Cacat pasal 6 huruf b disebutkan bahwa anak
penyandang cacat mempunyai hak yang san antuk
menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya
dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

57
d) Anak Jalanan

Anak jalanan identik dengan masalah anak di perkotaan, masalah ini


semakin kompleks karena bukan saja faktor kemiskinan yang
menyebabkan anak menjadi anak jalanan, selain itu faktor sosial budaya
juga mempengaruhi.

Anak jalanan menghadapi resiko yang lebih besar menjadi obyek


eksploitasi, kekerasan dan pelecehan seksual, kehidupannya sangat
rentan terhadap narkoba, premanisme dan kejahatan lainnya.

8) Kekuatan, Peluang dan Tantangan

a. Kekuatan

a) Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) dan Rativikasi


KHA.

Adanya UU PA dan rativikasi konvensi hak anak merupakan


kekuatan yang dapat dijadikan sebagai faktor pendorong
pelaksanaan kebijakan KLA.

b) Peraturan Daerah

Beberapa daerah telah memiliki peraturan daerah yang mendukung,


secara langsung maupun tidak, terhadap upaya perlindungan anak.
Hal ini merupakan indikasi yang positif terhadap pelaksanaan
kebijakan KLA

c) Renstra Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

Isu kesejahteraan dan perlindungan anak telah masuk dalam rencana


strategis Kemeterian Negara Pemberdayaan Perempuan RI sehingga
pelaksanaan kebijakan KLA mendapat kepastian dari sisi prioritas
dan keberlanjutannya.

b. Peluang

a) Pengetahuan masyarakat meningkat

Semaraknya jumlah lembaga-lembaga sosial yang bergerak di


bidang pendidikan anak, seperti pendidikan anak usia dini (PAUD),
Taman Kanak-Kanak, Kelompok bermain merupakan indikasi
meningkatnya kesadaran masyarakat di bidang perlindungan anak.

b) Dukungan lembaga internasional kuat.

Dukungan internasional, baik lembaga PBB maupun Internasional


NGO di bidang anak, telah memberikan dukungan kepada
Pemerintah Indonesia.

58
c) Jumlah ahli di bidang anak meningkat.

Semakin banyaknya jumlah ahli di bidang perlindungan anak,


semakin terbuka peluang bagi pelaksanaan kebijakan KLA yang
dapat dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten/kota.

c. Hambatan

a) Kemauan politik terbatas

Isu anak belum menjadi prioritas dari partai politik, pembuatan dan
pengambil kebijakan. Hal ini dikarenakan isu anak kurang laku di
jual, bila dibandingkan dengan isu ekonomi dan politik itu sendiri,
misalnya pilkada, pemekaran daerah.

b) Belum tersosialisasinya konvensi dan peraturan perundang-


undang di bidang anak

Rendahnya frekuensi sosialisasi konvensi dan peraturan perundang-


undangan di bidang anak menyebabkan pemahaman dan
pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya perlindungan dan
pemenuhan hak terbatas.

d. Ancaman

a) Kondisi sosial ekonomi yang belum kondusif

Kebijakan KLA merupakan implementasi dari perlindungan anak,


jika kondisi sosial ekonomi tidak kondusif seperti kemiskinan, krisis
energi, maka pelanggaran terhadap hak anak meningkat, misalnya
anak putus sekolah, meningkatnya jumlah anak bekerja, selain itu
kekerasan terhadap anak meningkat.

b) Adanya resistensi budaya

Hingga saat ini masih banyak dijumpai adanya kebiasaan mendidik


anak dengan cara kekerasan, terutama pada pendidikan informal,
seperti semboyan “ada mutiara di ujung rotan’ pada pendidikan
keagamaan; mendisiplinkan anak dengan cara mengurung di kamar
mandi bila ada pelanggaran.

1 STRATEGI
2
.

Menumbuhkan dan memaksimalkan peran kepemimpinan kabupaten/kota dalam


memenuhi hak anak.

Mengembangkan pendidikan dan kesadaran publik mengenai visi baru tentang


anak.

59
Mengembangkan kebijakan pemenuhan hak anak yang komprehensif.

Melakukan analisis situasi anak secara berkelanjutan untuk advokasi,


perencanaan, monitoring dan evaluasi.

Membuat laporan tahunan kabupaten/kota tentang anak.

Membangun kemitraan dan memperluas aliansi untuk anak.

Memberdayakan keluarga melalui kelembagaan dan program pembangunan


masyarakat.

Memperkuat jaringan untuk pemantauan pelaksanaan perlindungan anak dalam


situasi khusus.

Memperkuat peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan penegakan hukum.

Memberikan penghargaan kepada pimpinan daerah yang berhasil dalam


melaksanakan kebijakan KLA.

1 INDIKATOR KEBERHASILAN
3
.

a. Prinsip Kota Layak Anak

Empat prinsip kunci Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar membangun KLA:

1 Non-diskriminasi;
) Pelaksanaan dan pengembangan kebijakan KLA dilaksanakan dalam rangka
perlindungan anak tanpa membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin,
status social, asal daerah, kondisi pisik maupun psikis anak.

2 Kepentingan yang terbaik bagi anak;


) Menjadikan kepentingan yang terbaik bagi anak sebagai pertimbangan
utama dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh,
pemerintah, badan legislatif, badan yudikatif dan lembaga lainnya yang
berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan anak.

3 Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan;


) Perlindungan hak asasi anak sebagai hak yang paling mendasar dalam
kehidupan anak yang perlu dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua.

4 Penghargaan terhadap pendapat anak.


) Penghormatan atas hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan
pendapatnya dalam penambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-

60
hal yang mempengaruhi kehidupan anak.

b. Pra-syarat Kota Layak Anak

Pra-syarat pengembangan KLA adalah:

1 Adanya Kemauan dan komitmen pimpinan daerah: membangun dan


) memaksimalkan kepemimpinan daerah dalam mempercepat pemenuhan hak
dan perlindungan anak yang dicerminkan dalam dokumen peraturan daerah.

2 Baseline data: tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untuk
) perencanaan, penyusunan program, pemantauan dan evaluasi.

3 Sosialisasi hak anak: menjamin adanya proses penyadaran hak anak pada
) anak dan orang dewasa secara terus menerus.

4 Produk hukum yang ramah anak: tersusunnya peraturan perundangan yang


) sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan hak anak.

5 Partisipasi anak: tersedia wadah untuk mempromosikan kegiatan yang


) melibatkan anak dalam program-program yang akan mempengaruhi
mereka; mendengar pendapat mereka dan mempertimbangkannya dalam
proses pengambilan keputusan.

6 Pemberdayaan keluarga: adanya program untuk memperkuat kemampuan


) keluarga dalam pengasuhan dan perawatan anak.

7 Kemitraan dan jaringan: adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan


) hak dan perlindungan anak.

8 Institusi Perlindungan Anak: Adanya kelembagaan yang


) mengkoordinasikan semua upaya pemenuhan hak anak.

c. Langkah-Langkah Pengemangan Kebijakan KLA

1) Pembentukan Gugus Tugas “KLA”

Gugus Tugas KLA merupakan lembaga koordinatif yang beranggotakan


wakil dari unsur eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang membidangi anak,
perguruan tinggi, organisasi non pemerintah, lembaga swadaya masyarakat,
sektor swasta, orang tua, dan anak.

Tugas Pokok Gugus Tugas KLA adalah:

a) Mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan pengembangan KLA;

b) Menetapkan tugas-tugas dari anggota Gugus Tugas;

c) Melakukan sosialisasi, advokasi, fasilitasi dan KIE konsep KLA;

61
d) Mengumpulkan data dasar;

e) Melakukan analisis kebutuhan yang bersumber dari data dasar;

f) Melakukan deseminasi data dasar;

g) Menentukan fokus dan prioritas program dalam mewujudkan KLA,


yang disesuaikan dengan potensi daerah (masalah utama, kebutuhan,
dan sumber daya);

h) Menyusun Rencana Aksi Daerah KLA (5 tahun) dan mekanisme kerja;

i) Menyiapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Aksi Daerah KLA; dan

j) Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan minimal 1 tahun sekali.

2) Pengumpulan Data Dasar

Pengumpulan data dasar dimaksudkan untuk mengetahui kondisi obyektif


awal sebuah kabupaten/kota sebagai dasar pertimbangan perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan KLA. Pengumpulan
data dasar dilakukan oleh lembaga yang memiliki kompetensi dan otoritas
di daerah yaitu Badan Pusat Statistik Kabupaten/Kota.

3) Penentuan Fokus dan Prioritas Program

Memperhatikan hasil analisis data dasar, permasalahan dan potensi


kabupaten/kota ditentukan fokus dan prioritas program dalam mewujudkan
KLA. Program ini dimaksudkan supaya setiap Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD), pemangku kepentingan di bidang anak dan dunia usaha
dapat berperan aktif sesuai dengan tugas dan fungsinya.

4) Rencana Aksi Daerah (RAD) KLA

Untuk mempercepat pelaksanaan Program KLA secara terfokus dan


berdasarkan prioritas diperlukan adanya pembagian peran dan fungsi dari
setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah, pemangku kepentingan di bidang
anak dan dunia usaha diuraikan secara sistematis, terstruktur dan terukur
dalam RAD KLA.

Untuk memperkuat kedudukan Rencana Aksi Daerah KLA ditetapkan


melalui Keputusan Bupati/Walikota dan atau Peraturan Daerah.

Rencana Aksi Daerah KLA meliputi substansi pokok perlindungan anak


yang meliputi:

a. telaah kebutuhan atau need assessment KLA;

b. harmonisasi kebijakan perlindungan anak;

62
c. pelayanan dasar, rujukan, penyelidikan epidemiologi, penanggulangan
KLB dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan;

d. pelayanan pendidikan dasar, menengah umum dan kejuruan, formal


dan informal;

e. perlindungan anak di bidang hak sipil dan partisipasi, program bagi


anak yang memerlukan perlindungan khusus;

f. pelayanan bidang perunahan, sarana dan prasarana lingkungan dan


pelayanan fasilitas umum;

g pelayanan lingkungan hidup, kebutuhan dasar sanitasi dan penanganan


akibatnya.

Format RAD KLA dapat disesuaikan dengan matriks RAD dalam


lampiranod.

5) Monitoring dan Evaluasi

a. Monitoring dilakukan sejak awal proses perencanaan sampai dengan


pelaksanaan RAD KLA yang dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota.

b. Evaluasi dilakukan secara periodik untuk melihat kemajuan


pembangunan KLA yang telah dicapai dalam kurun waktu satu tahun
sebagai masukan bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
periode berikutnya dan sebagai bahan laporan.

c. Laporan hasil monitoring dan evaluasi KLA diberikan kepada


Bupati/Walikota dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
sebagai wakil Pemerintah yang menjadi koordinator di bidang
kesejahteraan dan perlindungan anak.

63
BAB V
INDIKATOR PROGRAM KLA

Indikator KLA dibagi dalam dua kategori yaitu indikator umum dan indikator khusus.
Indikator umum adalah dampak jangka menengah dan jangka panjang dari
pengembangan kebijakan KLA dimana Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
(KPP) dan Badan Pemberdayaan Perempuan di provinsi dan kabupaten/kota tidak
terlibat secara langsung dalam upaya mencapai indikator tersebut. Dalam hal ini peran
KPP lebih pada pembuatan kebijakan agar tercipta suatu keadaan yang kondusif dalam
rangka mempercepat pencapaian indikator tersebut.
Indikator khusus adalah dampak jangka pendek dan jangka menengah dari
pengembangan kebijakan KLA dimana Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
(KPP) dan Badan Pemberdayaan Perempuan di provinsi dan kabupaten/kota terlibat
secara langsung dalam upaya mencapai indikator tersebut.

Mengingat tugas pokok KPP antara lain adalah membuat kebijakan KLA dan
mempromosikan pelaksanaan kebijakan tersebut, maka indikator keberhasilan KLA
dapat dilihat dari aspek kebijakan dan aspek promosi pelaksanaan kebijakan yang
diklasifikasikan sebagai berikut:

64
5.1. Indikator Umum

5.1.1. Bidang Kesehatan

Jenis Pelayanan
Indikator
Dasar

Pelayanan Dasar Cakupan kunjungan ibu hamil

Cakupan ibu hamil dengan komplikasi yang ditangani

Cakupan pertolongan persalinan oleh bidan atau


tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
kebidanan

Cakupan pelayanan ibu nifas

Cakupan neonatal dengan komplikasi yang ditangani

Cakupan kunjungan bayi

Cakupan desa/kelurahan universal child immunization


(UCI)

Cakupan pelayanan anak balita*

Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada


anak usia 6-24 bulan keluarga miskin

Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan

Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan


setingkat

Cakupan peserta KB aktif

Cakupan penemuan dan penanganan penderita


penyakit

Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat


miskin

Pelayanan Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien


kesehatan rujukan masyarakat miskin

Cakupan pelayanan gawat darurat level 1 yang harus


diberikan sarana kesehatan (RS) di kabupaten/kota

Penyelidikan Cakupan desa/kelurahan mengalami KLB tang


epidemiologi dan dilakukan penyelidikan epidemiologi <24 jam
penanggulangan
KLB

Promosi kesehatan Cakupan desa siaga aktif


65
dan pemberdayaan
masyarakat
5.2. Indikator Khusus

5.2.1. Pembuatan Kebijakan

Variabel yang diukur Indikator Keberhasilan

Komitmen Pemerintah Jumlah Bupati/Walikota yang mengembangkan


Kabupaten/Kota KLA.

1. Bidang hukum Jumlah produk 66nsur tentang kebijakan


perlindungan dan pemenuhan hak anak secara
menyeluruh (holistic) antara lain:
1. Peraturan daerah
2. Surat keputusan bupati/walikota
3. Instruksi bupati/walikota
4. Surat edaran bupati/walikota
5. Lainnya

Jumlah dokumen tentang perlindungan anak dalam


situasi khusus; juklak, juknis, pedoman, panduan
dan sejenisnya.

2. Data basis (baseline Jumlah dokumen hasil analisis, hasil penelitian,


data) observasi, survey atau study tentang situasi anak
yang telah dipergunakan secara efektif dalam
penyusunan program dan kegiatan perlindungan
anak.

Jumlah laporan SKPD kepada bupati tentang


pemenuhan hak anak.

Jumlah laporan bupati/walikota kepada gubernur


tentang pemenuhan hak anak.

3. Pemberdayaan Jumlah keluarga miskin yang mempunyai anak yang


keluarga memperoleh bantuan khusus.

4. Partisimasi Jumlah institusi perlindungan anak seperti; KPAID,


masyarakat LBH anak, LSM bidang perlindungan anak

5. Pengorganisasian
KLA

Gugus tugas Jumlah pertemuan GT KLA


KLA

Sekretariat GT Adanya ruang kerja secretariat GT KLA


KLA

66
Forum Anak Jumlah forum anak

Jumlah organisasi olahraga, kesenian dan


pengembangan bakat atau minat anak

P2TP2A Jumlah P2TP2A

Perencanaan

Rencana Aksi
Daerah

5.2.2. Promosi pelaksanaan kebijakan KLA

Variabel yang diukur Indikator Keberhasilan

Komunikasi Informasi
dan Edukasi (KIE)

1. Bahan / Jenis KIE

1. Poster Jumlah poster yang diproduksi

2. Baliho Jumlah baliho yang diproduksi

3. Booklet/leaflet Jumlah booklet/leaflet yang diproduksi

4. Sticker Jumlah sticker yang diproduksi

5. Iklan di media Jumlah iklan di media cetak


cetak

6. Iklan di Jumlah iklan di radio/tv


radio/tv

7. Aksesibilitas Jumlah dan ragam informasi yang bias diperoleh di


informasi di websita
website

8. Lainnya Jumlah bahan KIE lainnya yang diproduksi

2. Distribusi bahan Jumlah kabupaten/kota penerima bahan KIE


KIE

1. Poster Jumlah penerima poster

67
2. Baliho Jumlah lokasi pemasangan baliho

3. Booklet/leaflet Jumlah penerima booklet/leaflet

4. Sticker Jumlah penerima stiker

5. Iklan di media Jumlah penerbitan di media cetak


cetak

6. Iklan di Jumlah penayangan iklan di radio/tv


radio/tv

3. Advokasi Jumlah atau frekuensi advokasi KLA

Jumlah bahan advokasi

Jumlah kelompok sasaran advokasi

4. Sosialisasi Jumlah stake holders yang mengerti visi baru1


tentang anak, yaitu anak sebagai investasi dan bukan
sebagai asset atau 68nsure produksi.

Frekuensi sosialisasi hak anak

Jumlah peserta sosialisasi

Jumlah kelompok sasaran sosialisasi

5. Fasilitasi

1. Ketenagaan Jumlah tenaga yang telah dilatih hak anak

Jumlah kelompok sasaran pelatihan

Jumlah wilayah sasaran (kabupaten, kecamatan,


desa/kelurahan, oragnisasi kemasyarakatan)

Jumla study banding

2. Keuangan Jumlah dana stimulan

Jumlah dana APBD untuk kegiatan/program anak

Jumlah dana dari 68nsure swasta

1
Paradigma lama anak dipandang dan diperlakukan sebagai asset atau faktor produksi yang dapat diberdayakan untuk
menambah penghasilan keluarga, dalam visi baru anak adalah unsur investasi yang memerlukan modal untuk
meningkatkan kualitasnya melalui pemenuhan haknya.

68
3 Sarana Jumlah sarana yang diberikan

4 Asistensi Jumlah bimbingan teknis

Jumlah rapat konsultasi teknis

Jumlah momitoring

4. Kebijakan Kota Layak Anak ...................(Bpk Wahyu)


- Pengertian
- Ruang lingkup dan tahapan pelaksanaan
- Tujuan
- Kerangka pikir, prinsip dan strategi
- Prasyarat
- Tahapan pengembangan
- Indikator
- Pengintegrasian hak-hak anak melalui kota layak anak

69
5. Acuan dalam penyusunan program KPA di daerah
5.1. Jabaran peraturan perundang-undangan
5.2. Contoh program

6. Pemangku kepentingan dalam pembangunan KPA

7. Peran provinsi dalam pembinaan Kabupaten/Kota

8. Penutup

70

Anda mungkin juga menyukai