NILAH.COM, Jakarta Pencabutan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) kembali
terulang. Kali ini di Bandung Jawa Barat. Praktik pengelolaan dana nasabah ala warteg ini kembali menjadi penyebabnya. Nasabah pun kelimpungan. Bank Indonesia (BI), Jumat (24/3) akhirnya mencabut izin usaha BPR PT Citraloka Danamandiri, akibat kondisi keuangannya yang terus memburuk dan adanya indikasi tindak pidana di bidang perbankan. Kepala Bank Indonesia Bandung, Sugiarto mengatakan pecabutan izin usaha PT BPR Citraloka itu berdasarkan SK Gubernur BI No.10/10/Kep-GBI/2008 tertanggal 14 Februari 2008. Adapun bank itu telah berada dalam pengawasan khusus sejak 7 September 2007 lalu. "Kondisi keuangan BPR itu terus memburuk yang disebabkan adanya praktek-praktek perbankan yang tidak sehat," kata Sugiarto. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) tidak dapat terpenuhi dan cash ratio (CR) yang menurun dalam tiga bulan setelah BPR ditetapkan Dalam status Pengawasan Khusus (DPK). "Penanganan lebih lanjut terhadap BPR Citraloka dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), antara lain terkait dengan pembayaran klaim penjaminan simpanan dan proses likuidasi," kata Sugiarto. Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Firdaus Djaelani mengatakan proses likuidasi akan dilakukan sesuai UU No 24/ 2004 tentang LPS. Dengan pencabutan izin ini, LPS akan mengambil alih penanganan BPR Citraloka Mandiri selama kurun waktu 90 hari hingga lembaga lain ditunjuk untuk melakukan likuidasi. "Untuk pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah BPT Citraloka, LPS akan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi data simpanan untuk menetapkan simpanan yang layak dibayar dan tidak layak dibayar," katanya. Sejak 2005 hingga 2007, LPS telah melakukan pengawasan terhadap 25 BPR dari total 2.504 perusahaan. LPS telah menutup lima BPR di Pulau Jawa, yaitu Yogyakarta, Semarang, dan Bandung. Dua BPR lagi dalam proses likuidasi. Seluruh BPR itu ditutup karena mengalami kerugian dengan CAR berada jauh di bawah empat yang merupakan standar minimal. Hingga kini, LPS telah mengucurkan Rp 39 miliar untuk mengembalikan uang nasabah, gaji karyawan, dan biaya likuidasi. Padahal jumlah premi yang diperoleh LPS dari seluruh BPR di Indonesia hanya sekitar Rp 31 miliar. "Seluruh bank baik BPR maupun bank umum harus ditutup jika tak bisa lagi disehatkan. Biaya menyehatkan lima BPR itu lebih besar daripada tak menyehatkannya. Karena itu kami memutuskan menutupnya. Saat ini kami memproses penutupan dua BPR lagi," katanya. LPS telah menurunkan nilai penjaminan untuk menghindari kerugian negara akibat ulah perbankan mulai 22 maret. Nilai penjaminan diturunkan dari semula Rp 1 miliar menjadi Rp 100 juta. Ini berarti meskipun uang nasabah berjumlah di atas Rp 100 juta, LPS hanya bisa menjamin sebesar Rp 100 juta. Hingga akhir Januari 2008, jumlah anggota BPR di Indonesia mencapai 1.650, dengan jumlah nasabah mencapai 9,5 juta Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM). Sektor UMKM merupakan basis nasabah BPR yang dari tahun ke tahun pertumbuhan kinerjanya meningkat, bahkan mampu menyumbang hingga 75% terhadap perekonomian Indonesia. Perkembangan BPR yang menjamur secara langsung menandakan adanya kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi. Hanya sayangnya, kepercayaan masyarakat yang begitu besar kepada BPR dalam melakukan transaksi kredit dan menyimpan dananya ini tidak disertai dengan meningkatnya profesionalisme pengelolaan BPR itu sendiri. Berdasarkan survei BI, kualitas sumber daya manusia BPR memang masih memprihatinkan. Bahkan, untuk memperbaiki kualitas SDM ini BI melalui ketentuan No 6 Tahun 2004 mengenai BPR mensyaratkan direktur BPR lolos sertifikasi. Masih ada BPR yang dikelola tanpa profesionalisme perbankan. Dalam artian pemegang saham bisa seenaknya mengambil uang di BPR untuk dipakai kepentingan pribadinya. Layaknya manajemen warteg. Padahal, dana tersebut merupakan dana pihak ketiga yang berasal dari masyarakat. [E1/P1]