Anda di halaman 1dari 4

c  


      
Sinar Sang Surya sangat terik ketika enam pendeta Bissu
berkumpul di suatu hari di Dusun Cerekang, Luwu, Sulawesi
Selatan. Bissu adalah sebutan bagi pendeta tradisional dalam
masyarakat adat di Sulawesi Selatan, terutama Suku Bone dan
Bugis. Dalam bahasa Bugis, Bissu berasal dari kata ´Bessiµ yang
berarti bersih. Mereka adalah para lelaki yang berpenampilan
seperti wanita, namun memiliki kekuatan gaib yang jarang dimiliki
sembarang orang. Sikap kewanita-wanitaan yang mereka
perlihatkan adalah suatu kesengajaan dan bagian dari tuntutan
adat yang mereka yakini sesuai Kitab La Galigo. Aktivitas para
Bissu yang dipimpin Puang Toa Saidi di Cerekang itu adalah
bagian dari suatu prosesi besar yang tengah digelar oleh Kedatuan
Luwu Raya di Tanah Bugis. Mereka sedang menyambut utusan
Datu Luwu yang berniat mengambil air suci Pisimeuni dari rumah
Puak Cerekang. Pada hari itu dan beberapa hari berikutnya,
seluruh warga Kedatuan Luwu memang tengah mempersiapkan
sebuah hajatan besar untuk mendirikan sebuah Baruga atau
pendopo agung.
Upacara besar ini disebut Mappacokkong Ri Baruga.
Mappacokkong Ri Baruga adalah sebuah prosesi memasuki Baruga
oleh Datu Luwu. Ritual ini diawali dengan pengambilan air suci
Pisimeuni di Sungai Cerekang. Dalam konsep pemikiran tradisional
Luwu, di Sungai Cerekang inilah konon Batara Guru pertama kali
menjejakkan kakinya di bumi atau Latoge Langi`. Maka, air suci
Pisimeuni menjadi syarat mutlak yang tak boleh diabaikan dalam
setiap prosesi besar di Kedatuan Luwu. Pengambilan air suci harus
melalui ritual yang hanya boleh dilakukan oleh para pendamping
Puak Cerekang. Bahkan, Puak Cerekang yang dianggap sebagai
pemimpin spiritual tak diperkenankan mengambilnya. Sebelum
dibawa ke Malangke atau tempat Baruga berdiri, air suci harus
disinggahkan di Wotu. Di sini Puak Macoa Bawalipu harus menguji
keaslian air suci. akhirnya hati rombongan utusan Datu Luwu
begitu Puak Macua Bawalipu merasa lega ketika air itu benar-
benar adalah air suci dari Cerekang. Sebelumnya, melakukan
ritual tersebut terlebih dahulu sejumlah Bissu menari dan disertai
unjuk kebolehan ilmu kebal yang dimilikinya, yakni menusukkan
badik ke bagian tubuhnya. Mappacokkong Ri Baruga adalah tradisi
lama masyarakat Suku Bugis di wilayah Kedatuan Luwu Raya.
Tradisi ini hanya dilakukan oleh raja-raja Luwu saat mereka
akan membangun sebuah Baruga atau pendopo agung. Kedatuan
Luwu Raya adalah sebuah kerajaan kuno orang Bugis yang di
masa lampau mempunyai wilayah hingga daerah Palopo dan Luwu.
Kendati secara admistratif wilayah kedatuan tersebut sudah
dihapuskan, keberadaannya sebagai pusat kultural orang Bugis di
Luwu masih sangat kental. Masyarakat setempat masih mengakui
keturunan datu atau raja sebagai pemimpin kultural yang
dihormati. Tidak mengherankan, ketika Kedatuan Luwu menggelar
Mappacokkong Ri Baruga, masyarakat setempat menyambut
dengan antusias. Sambutan luar biasa itu mengakibatkan pusat-
pusat kegiatan Mappacokkong Ri Baruga menjadi ramai. Beragam
atraksi kesenian dari berbagai penjuru Luwu turut
menyemarakkan suasana. Namun, bagi pemilik hajat, Datu Luwu,
hari-hari menjelang Mappacokkong Ri Baruga sungguh
melelahkan. Soalnya, berbagai prosesi harus dijalani. Datu Luwu
sekarang, yaitu Datu ke-39 adalah seorang wanita bernama
lengkap Andi Luwu Opu Daengna Pattiware. Dia mewarisi
jabatannya karena faktor keturunan. Kesehariannya, ia hanyalah
ibu rumah tangga dan istri seorang dokter yang justru tinggal di
Kalimantan. Namun, tuntutan adat membuatnya tak bisa
melepaskan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang datu.
Dalam rangka Mappacokkong Ri Baruga itulah, ia harus mengikuti
sejumlah aturan adat. Antara lain: mengikuti sekelompok
perempuan sepuh yang disebut Maradika untuk berziarah ke
makam Datu Pattimang dan Datu Pattiware, termasuk melakukan
sejumlah prosesi lainnya.
Datu Pattimang atau Datu Sulaiman adalah penyebar pertama
agama Islam di Sulsel. Sedangkan Datu Pattiware adalah Datu
Luwu ke-15. Pattiware adalah datu pertama di Luwu yang
memeluk agama Islam. Saat berziarah, para Maradika tampak
kesurupan. Sebuah pesan gaib datang, seorang Maradika tiba-tiba
berlaku aneh. Di luar alam sadar, ia kesurupan dan menangis pilu.
Dari mulutnya keluar cerita kesedihan tentang seorang
keturunannya yang menjelma menjadi seekor buaya telah dibunuh
oleh warga di sekitar Malangke. Padahal, kedatangan buaya itu
untuk menyambut Sang Datu. Percaya atau tidak, pesan ini
diyakini telah terjadi. Di sebuah tempat di Malangke, seekor buaya
telah ditangkap dan dibunuh untuk diambil kulitnya. Kini, tinggal
bangkai buaya yang tersisa dan rasa penyesalan. Untungnya,
kematian sang buaya tak berdampak kepada penyelenggaraan
Mappacokkong Ri Baruga. Setelah melalui serangkaian prosesi
pembuka, puncak Mappacokkong Ri Baruga tiba. Sang Datu
membuka jalannya prosesi dengan melakukan Ri Pattudu. Prosesi
ini adalah berkeliling sebanyak tiga kali dan menginjak sebuah
periuk tanah sebagai simbol keteguhan hatinya dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin.
Kewibawaannya jelas terlihat dari begitu banyak penghormatan
yang diberikan. Sumpah setia dari pemimpin adat, Poang Toa,
Amatoa, dan tokoh-tokoh lainnya menjadi bukti pengaruh
tradisionalnya sebagai raja. Baruga adalah pusat kegiatan yang
sangat penting dalam tradisi Luwu. Baruga pada saat itu memiliki
fungsi sebagai berikut:
1.? Baruga adalah tempat segala macam kegiatan.
Di tempat ini, raja membahas berbagai keputusan penting
bagi rakyatnya.
2.? Baruga adalah simbol kebersamaan antara raja dan rakyat
biasa.
Baruga juga melambangkan penyatuan antara dua alam,
alam atas dan bawah. Alam kehidupan manusia dan alam
gaib. Karena itu, Baruga menjadi begitu sakral dan penting.
Ketika air suci dipercikkan ke tubuh Datu Luwu, sempurnalah
Mappacokkong Ri Baruga. Secara adat, Baruga atau pendopo
agung sudah boleh digunakan untuk berbagai kegiatan. Dan,
untuk melengkapi prosesi ini, Sang Datu menggelar Manre Saperra
atau makan bersama. Di atas kain putih yang dibentangkan
sepanjang satu kilometer, seluruh warga menikmati berbagai
makanan yang disediakan Sang Datu. Beberapa warga ikut
berpartisipasi dengan membawa makanan untuk saling
ditukarkan. Manre Saperra sekaligus dimaksudkan sebagai
pembayar nazar yang diucapkan Datu Luwu, puluhan tahun silam.
Saat itu, Datu Luwu berjanji memberi makan kepada rakyatnya. Ini
bila wilayahnya sudah merdeka dari tangan penjajah. Kini, setelah
puluhan tahun merdeka dan datu sudah silih-berganti, nazar itu
baru bisa diwujudkan

By:
Èhya 08·

Anda mungkin juga menyukai