Anda di halaman 1dari 2

Ironi Kekuatan Militer Indonesia

Dr. Mahmudi Asyari

BEBERAPA hari lalu sebuah kejadian yang sangat ironi bagi saya
dipertontonkan oleh anak negeri ini. Betapa tidak, sekelompok anggota Tentara
Nasional Angkatan Darat (TNI-AD) 'memerangi' petani yang nota bene adalah
rakyat dari negeri bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang secara
konstitusi merekalah pemegang kedaulatan ne-gara ini- Bagaimana dan apa pun
perlawanan rakyat yang lebih pantas disebut sebagai petani desa itu su-dah pasti
kalah. Jangan dengan sen-jata api dengan pentungan pun sudah pasti tersungkur.
Pihak militer dan rakyat sudah pasti berdaiih dengan pembenaran masing-
masing. Rakyat mengatakan hanyalah demo guna menolak peng-gunaan lahan
sebagai area latihan militer. Sedangkan Angkatan Darat sebagaimana saya lihat di
sebuah te-levisi nasional berdaiih membela di-ri. Tampaknya, harga diri markas
memang sangat penting dibandingkan gangguan kedaulatan oleh negeri jiran.
Pembelaan diri masing-masing kubu memang harus diuji kebener-annya,
karena sebuah pembelaan sesuai sifat dasarnya sudah pasti pembenaran bukan
kebenaran atas sebuah sikap yang oleh satu pihak dianggap stimulus dan oleh pihak
dianggap sebagai perampasan. Oleh sebab itu, perlu penyelidikan inde-penden guna
mencari fakta sesung-guhnya.
Sehubungan dengan hal itu, Komisi Nasional Hak Asasi M^nusia (Koninas-
HAM) harus mengambil prakarsa aktif meskipun hasil temuan lembaga ini lebih
sering diabaikan oleh pemerintah. Meskipun demikian, terlepas diabaikan atau
tidak, ada pendapat yang dinilai lurus sehingga masyarakat tahu fakta yang
sebenarnya.
Ungkapan yang mengisyaratkan bahwa TNI lebih kuat dibandingkan rakyat
pada umumnya seperti me-nemukan pembenaran dalam kasus Kebumen. Terlepas
dari argumen TNI-AD sebagaimana dilansir Tv-One bahwa tindakan itu dalam rang-
ka membela diri lantaran markas di serang, masih patut dipertanyakan; "Apakah para
petani itu melakukan pemberontakan?" Mereka hanyalah sekelompok orang desa
yang ingin menuntut hak agar tanahnya tidak digunakan sebagai lahan militer. Bisa
jadi tindakan itu sebuah masalah lama yang memang tidak mendapatkan saluran
untuk mengungkapkan-nya, Terlebih di era Dwi Fungsi dulu di mana tidak jarang
penuntutan hak dibalaS dengan label PKI.
Ini, sungguh ironi ketika TNI harus berhadapan dengan musuh yang benar-
benar menganggu kedaulatan Indonesia seperti uiah militer Malaysia. Dalam sebuah
SMS kepada re-kan saya bertanya kenapa kalau ke rakyat sendiri main tembak
sedang-kan kepada Malaysia tidak berani. Kawan yang anggota TNI itu menjawab
bukan tidak berani melainkan lantaran kebijakan Presiden seperti itu. Saya balik
menimpali, "Jadi untuk rakyat sendiri bebas dan tidak perlu kebijakan Presiden?"
Inilah ironinya, militer sejatinya dipergunakan untuk memberikan perlindungan
kedaulatan justru lebih banyak menjadi sesuatu yang menakutkan bagi rakyatnya
sendiri. Jika benar seperti ucapan kawan yang prajurit itu perlu ada kebijakan
Presiden untuk menghadapi Malaysia, Presiden juga harus mengeluarkan kebijakan
terlebih kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi TNI agar mereka tidak berhadap
dengan rakyat sipil. Namun, terkait kasus Kembu men Presiden hanya mengeluar-
kan pe-rasaan menyesal.
Kejadian di Kebumen dan banyak kasus serupa di tempat lain sejatinya
menjadi renungan bahwa meskipun sudah berulang kali mengklaim mengadakan
reformasi internal, namun sikap lembaga itu terhadap rakyat dan hukum sipil masih
tidak ada kemajuan. Kasus Kebumen misalnya masih merupakan gaya dan kultur
lama yang terkesankan di atas hukum. Sehingga, meskpun berulang kali kejadian dan
dikecam masyarakat tetap saja berulang, karena memang tidak ada hukum yang bisa
membuat mereka merasa harus taat hukum. Terlebih kasus seperti di Kebumen
dengan dalih menjalankan tugas dan prosedur akan menjadi faktor pembebas
sementara rakyat sipil yang semata-mata meluapkan ketidaksetujuannya bisa-bisa
rnalah mendapatkan hukuman melampaui kepatutannya.
Terkait itu, DPR sejatinya mengeskalasi pembahasan RUU Peradilan Militer
yang baru agar dualisme hukum itu tidak terus terjadi dan menjadi dalih praktik
disparitas hukum. Salah satu hal yang sangat fundamental dalam RUU itu sesuai
amanat UU TNI adalah bahwa pelanggaran di luar operasi militer dan selain
kejahatan ke sesama anggota militer prajurit harus tunduk kepada Pengadilan Umum.
Artinya, kasus-kasus di luar kategori itu bukan ra-nah polisi militer melainkan ranah
polisi. Dan, masalah sengkata lahan masuk hukum publik sehingga TNI jika mau
mempertahankan klaimnya pun harus sesuai hukum. Begitu juga dengan rakyat.
Asas ini tentu sesuai dengan prin-sip demokrasi di mana hukum menjadi
acuannya. Hal itu, sangat men dasar di negara demokrasi lantaran menurut para
idelog supremasi sipil, militer ada atas kebutuhan sipil dan sipil jauh lebih dahulu
adanya ke-timbang militer. Oleh sebab itu, mi-liter harus—terutama di alam demo-
krasi—tunduk kepada supremsi sipil termasuk hukumnya jika tidak tidak sedang
dalam'operasi militer dan ke-jahatan tidak terjadi terhadap sesame anggota militer.
Jauh lebih penting dari sekadar eskalasi pembahasan RUU Peradilan Militer
dan perubahan kultur militer, prajurit dan para pejabat pemerintah harus memberikan
contoh ketaatan hukum. Dan, kasus Kebumen adalah ekses dari ketiadaan itu,
sehingga rakyat merasa perlu mengambil ja-lannya sendiri dalam rangka mem-
peroleh keadilan. Kita tentu menyam but baik ajakan Markas TNI-AD me-lalui
seorang berpangkat Brigadir Jenderal sebagaimana dilansir Tv-One agar semua pihak
bisa duduk bersama. Hal itu, tentu sangat baik. Namun, jauh lebih penting tunjuk-kan
itikad untuk mentaati hukum agar hal itu menjadi contoh bagi masyarakat.

Dr. Mahmudi Asyari


Penterhati masalnh sosial dan politik

*)Disalin dari Koran Pagi Wawasan Semarang, tanggal 20 April 2011

Anda mungkin juga menyukai