Anda di halaman 1dari 2

NII dan Kepentingan RUU Intelijen

Oleh Dr.Mahmudi Asyari

BEBERAPA waktu belakan-gan ini, rasanya tidak ada yang tidak tergoda untuk tidak
membicarakan gerakan pengikut Negara Islam Indonesia (Nil). Tidak hanya kalangan
nasionalis yang dalam banyak hal merepresentasikan diri sebagai Pancasilais sejati,
intelektual, birokrat, dan agamawan, tapi juga orang awam yang bisa jadi mereka tidak tahu
persis apa itu NII. Berbeda dengan beberapa kalangan sebelumnya yang ‘rada’ inteleks
meskipun keintelekannya lebih banyak untuk kepentingan sophostic, orang awam tidak lebih
sekedar menyemarakkan jika tidak ingin dikatakan latah. Kalangan terakhir inilah yang jika
tidak diarahkan akan melahirkan fanatisme baru mengatasnamakan nasionalisme,
Oleh sebab itu. NII tidak boleh dijadikan sebagai isu liar, karena bahanyanya sama saja
dengan yang mereka lawan, yaitu anarkisme. Maka dari itu, pejabat tidak boleh overreacting,
toh pemerintah pusat melalui Menkopulhukam santai saja dan—katanya—tidak ada potensi
makar. Jika demikian, semua pejabat seharusnya sejalan dengan garis pemerintah itu dengan
tidak bereaksi untuk melakukan sesuatu di luar konteks hukum. Janganlah mengulangi
tindakan Orde Baru yang menvonis orang tanpa proses hukum, karena jika seorag pegawai
pemerintah disumpah untuk setia kepada UUD 45, konstitusi telah menegaskan, negara
diperintah secara hukum. Proseslah mereka secara hukum yang adil, dan jika terbukti pecat
saja,
Berkaitan hal itu, sejatinya semua pihak tidak perlu berlebihan, karena banyak
masalah yang jauh lebih bahaya kadang-kadang kita malah membiarkan tumbuh di sekitar
kita. Toh, masalah NII oleh MUI sudah sekitar lima tahun lau didesakkan kepada pemerintah
agar ditindak, namun faktanya pemerintah malah diam saja. Dan, jika dikaitkan dengan orang
hilang, orang tercuci otaknya, dan berani terhadap orang tua, sudah sejak lama terjadi dan
sudah banyak laporan mengenai hal itu, namun tidak ada tindakan nyata pemerintah untuk
mengatasi masalah itu. Isu NII kembali marak beberapa saat setelah mayoritas anggota De-
wan Perwakilan Rakyat (DPR) menolah syahwat lembaga intelijen untuk diberikan hak
menangkap,
Walhasil, NII bukanlah barang baru. Bahkan menurut, mantan petinggi NII era
Kartosuwirjo dihidupkan kembali sejak tahun 1971. Dan, anehnya yang memotivasi adalah
gembong intel Orde Baru, Ali Murtopo. Oleh sebab itu, jika saat ini merebak kembali
sebenarnya adalah ‘dosa’ aparat sendiri yang sengaja menjadikan NII sebagai barang mainan.
Bahkan, menurut Al Chaidar, NII menjadi semacam ATM dana nonbageter sehingga
meskipun mendapatkan sorotan luas, NII akan tetap eksis kecuali jika mesin uang itu mau
dilikuidasi,
Semoga analisis itu tidak benar, karena jika benar lengkaplah kerusakan negeri ini dan
tidak mustahil kelak akan seperti GAM yang tadinya hanya puluhan orang akan menjadi
besar dan tidak terkendali, karena setiap orang yang jadi korban ketidakadilan negara selalu
disebut GAM. Oleh sebab itu, janganlah memolitisasi NII.
Sejauh in, sesuai pengakuan korban tindaklah mereka secara hukum. Jika polisi barhasil
mengendus teroris, kenapa terkesan tidak berdaya padahal saksi sudah begitu banyak. Di
sinilah aroma mainan itu semakin keras terdengar. Terkait NII, pemerintah selaku pemangku
kekuasaan negara terkesan letoy. Lihatlah tiga pernyataan Menkopolhukam dalam dua hari
beberapa waktu lalu yang intinya NII tidak membahayakan dan belum ada tanda makar. Ini,
adalah contoh bahwa pemerintah tidak konsisten mengurus masalah yang dinilai bisa
mengancam negara. Seharusnya, jika tanda makar tidak ada, tindak saja secara hukum
mengingat para saksi sudah banyak. Atau, karena masalah itu tidak menimbulkan kerusakan
fisik dan masif seperti teroris?
Mencermati sikap lemah pemerintah terkait NII sejumlah pihak menyalahkan MUI,
karena tidak ada fatwa. Ini tentu bermotivasi lain, yaitu liberalisme karena melihat fatwa Ah-
madiyah, Padahal MUI lima tahun lalu sudah memberikan rekomendasi agar NII ditangani.
Namun, karena ketika itu menyebut-nyebut juga al-Zaytun, Kepala BIN, AM Hendropriyono
pasang badan. Padahal, sejumlah mantan petinggi NII menengarai di situlah markasnya. Jadi,
masalah NII berbeda dengan Ahmadiyah sehingga tidak perlu menyerang MUI, karena
Ahmadiyah terkait soal ajaran sesat. Sedangkan NIIterkait perlawanan terhadap pilar negara
di mana dalam ranah ini fatwa tidak perlu, karena MUI mendukung hukum nasional. Oleh
sebab itu, tidak bisa disamakan dengan Ahmadiyah yang ajaran utamanya terutama aliran
Qadiyan, Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi mereka.
Di sainping itu, bagi saya, NII adalah semacam blessing in disguise bagi RUU Intelijen
saat ini. Betapa tidak, di dalam RUU itu ada syahwat lembaga intelijen agar diberi legalitas
hukum untuk menangkap orang-orang yang dicurigai, Dan, DPR secara tegas mengatakan
tidak bisa lembaga intelijen diberi hak itu. Menurut seorang intel, lembaga itu meskipun
dilarang menangkap tetap saja menangkap apalagi jika ada payung hukumnya. Oleh sebab
itu, logis saja jika banyak pihak menentang hak penangkapan itu, terlebih dalam situasi tidak
netral dan terindikasi seperti apa yang disebutkan Al Chaidar itu.
Syahwat itulah rupanya yang mencuatkan isu NII seperi saat ini. Hal tu, seperti terlihat
dari pernyataan Menteri Pertahanan RI bahwa penanganan NII terkendala larangan intelijen
untuk melakukan penangkapan. Berdasarkan hal itu, tidak tertutup kemuhgkinan NII
dijadikan ‘mainan’ dalam rangka mendapatkan hak penangkapan itu. Di samping tidak
tertutup juga untuk menyerang Islam itu sendiri dengan dalih antiliberalitas sehingga NII se-
cara serta merta menjadi sesuatu yang dengan penuh syahwat dibicarakan banyak pihak. Jika
dalam upaya mendapatkan hak, isu sensitif jadi mainan, bukan suatu yang mustahil suatu saat
isu PKI akan dihidupkan kembali agar praktik era Orba mendapatkan legalitas kembali.
-----------

DrMahmudi Asyari, Pemerhati iwisalah agama dan sosisal


Dimuat di Wawasan, Senin, 16 Mei 2011

Anda mungkin juga menyukai