Anda di halaman 1dari 3

Tidak Rela Berbagi Surga

Dr. Mahmudi Asyari

Sekarang ini ada fenomena di kalangan umat Islam yang suka sekali menebar
‘teror’ dengan memberikan label sebagai ahli neraka kepada saudaranya. Betapa
tidak, lantaran ada perbedaan pemahaman yang sejatinya jika merujuk kepada Islam
sesudah wafatnya Nabi harus ditoleransi dan jika memang menyimpang harus
dilakukan secara dialog serta penuh persaudaraan justru secara serta merta ‘diserang’
dengan ungkapan tajam dan menyakitkan itu. Barangkali, pengikut aliran itu
‘saudara’ Mpok Rodiyah dalam sinetron Islam KTP yang merasa sebagai pemegang
kunci surga. Orang lain harus melewatinya melalui penebusan karcis yang tidak lain
adalah masuk dalam aliran ‘peneror’ itu.
Fenomena itu semakin menambah ruwet bagi umat Islam yang sudah begitu
sulit melepaskan dari stigmatisasi yang sudah begitu sistematis. Bolehlah dibilang
bukan Islamnya yang dibasmi, tapi yang ditembak Densus 88 bagaimana pun adanya
adalah orang Islam. Sehingga, sedikit banyak Islam terserat karenanya. Ditambah
radikalisme ajaran sekelompok orang yang bertindak seakan-akan pemegang secara
monopoli pintu surga; yang lain ‘beli karcis’ dulu jika ingin menuju surga.
Sikap seperti itu, meskipun tidak melakukan teror dengan bom juga sebuah
teror mental kepada mereka yang dianggap sebagai out group di mana menurut
mereka sebagai ahli neraka. Anehnya, Pemerintah terhadap aliran ini seperti sangat
toleran. Barangkali, karena pengikut aliran tersebut tidak menimbulkan ancaman
terhadap negara dan kepentingan asing sehingga dianggap tidak bermasalah. Toh
yang menjadi sasaran adalah umat Islam juga. Hitung-hitung ikut melemahkanlah
barangkali. Namun, melihat keresahan di sejumlah kalangan yang sudah mulai panas
telinganya lantaran disebut sebagai ahli neraka, bukan suatu hal yang mustahil kelak
aliran ini akan menjadi sasaran amuk massa. Oleh sebab itu, Pemerintah—
Kementerian Agama—harus memberikan pembinaan agar mereka tidak berdakwah
denga menebar teror kepada orang-orang yang tidak sepaham. Tekankan kepada
mereka bahwa dakwah harus bijak (hikmah) di samping mereka juga harus
mencermati bahwa sesama muslim harus ruhama’ (bersifat kasih sayang) kepada
sesama (bainahum) bukan malah sebaliknya. Jika sebaliknya, yang terjadi maka
bukan tafsir al-Quran sesungguhnya yang terjadi melainkan tafsir semau diri si
penafsir alias semau gue kata orang Betawi.
Semua muslim meyakini akan adanya surga alias kehidupan sesudah mati
yang menurut Steven Hawking hanyalah mitos orang yang takut mati. Adanya
keyakinan itulah yang menuntut seseorang agar berbuat baik semampunya, karena
perbuatan di dunia adalah penghantar (balagh) untuk kehidupan di dunia akhirat
kelak. Oleh sebab itu, seorang beragama harus beribadah dan beramal salah sesuai
kemampuan masing-masing. Sesuai kemampuan bisa ditafsirkan sesuai keyakinan
dan khususnya menyangkut ibadah sesuai referensi yang dijangkau. Terkait referensi
semua aliran memang bisa berbeda terutama jika menyangkut hadis; ada yang
mengklaim sahih (diduga benar dari Nabi) dan ada yang menolak. Akan tetapi,
semua itu mengingat nash yang menyangkut sunnah Nabi berstatus bisa jadi benar
atau tidak, namun diduga kuat memang memang berasal dari beliau tidak sepatutnya
secara serta merta menganggap orang lain yang tidak sejalan sebagai ahli bid’ah dan
ujung-ujungnya sebaga ahli neraka.
Semua muslim sudah tentu ingin masuk surga, karena hal itu sebagai tujuan
akhir yang diliputi kebahagiaan. Namun, masalah siapa yang berhak masuk surga
dan siapa yang masuk harus masuk neraka bukanlah otoritas manusia termasuk
ulama atau pemimpin aliran tertentu yang merasa sangat murni sekalipun. Kedua
tempat itu adalah otoritas Allah Tuhan semesta alam sepenuhnya. Manusia melalui
Nabi dan ulama yang dalam banyak hal dianggap sebagai pewaris beliau sebagi
penunjuk jalan saja. Penunjuk jalan berbeda dari penentu siapa yang masuk surga
atau siapa yang masuk neraka sehingga seorang pemimpin aliran tertentu tidak lebih
dari sekedar memberikan penjelasan mana yang boleh dan tidak boleh atau mana
yang bisa penghantar ke surga atau penghantar ke negara. Selanjutnya, siapa kelak
yang masuk surga atau negara sepenuhnya adalah hak Allah. Maka dari, itu jika ada
aliran yang bisa mengecap orang lain sebagai ahli negara secara tidak langsung
merasa mempunyai otoritas itu. Kapan dapat wahyu mengenai hal itu?
Oleh sebab itu, sejatinya ulama ketika berdakwah janganlah
memperdagangkan surga apalagi bertindak hanya diri dan pengikutnyalah yang
berhak sebagai ahli surga sedangkan yang lainnya adalah, karena dinilai sebagai ahli
bid’ah sebagai ahli neraka, karena masalah itu bukan otoritasnya.
Dakwah semacam itu, menurut saya, selain keluar dari main stream Islam
Indonesia yang damai sebagaimana di Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah,
juga berlawanan dengan watak keindonesiaan yang ramah. Pola berdakwah seperti
itu, meskipun tidak ada dari pengikutnya sampai saat ini yang terlibat aksi teror
adalah bibit radikalisme yang pada tahap awal memang baru meneror umat Islam
lain sebagai ahli neraka. Lama kelamaan bukan suatu yang mustahil teror lisan itu
diikuti dengan teror perbuatan meskipun sasarannya bukan negara atau kepentingan
Barat. Oleh sebab itu, Pemerintah sejatinya memberikan pembinaan terhadap aliran
itu yang dalam banyak hal hanya mendasarkan doktrinnya terhadap terjemahan agar
sikap hitam putih mereka dalam memahami Islam kelak tidak menimbulkan
perlawanan balik dari umat Islam yang lebih cinta kedamaian dan perbedaan. Atau,
jika mereka tetap bersikeras seperti itu, suruh saja membuat surga sendiri; jangan
memonopli surga Allah bagi semua hamba-Nya yang beriman. Allah saja membuka
lebar surga-Nya bagi semua hamba-hamba-Nya beriman, malah sekelompok hamba-
Nya yang tidak rela berbagi.

Anda mungkin juga menyukai