Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada
urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama. Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu
tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering
juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering
ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat
mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau
dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan
metode diagnosis dari penyakit rinosinusitis ini.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila.
Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi
ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat dihindari.
Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal di atas.

1
BAB II
ISI

2.1. Definisi Sinus Paranasal


Sinus paranasal adalah rongga-rongga berisi udara yang dilapisi mukosa yang terletak
di dalam tulang wajah dan tengkorak.

2.2. Perkembangan Sinus Paranasal


Keempat sinus paranasal mulai berkembang di akhir bulan ke-3 setelah konsepsi,
sebagai hasil invaginasi dari rongga hidung.
Sinus paranasal pada mulanya berkembang menjadi dinding tulang rawan dan atap
dari fosa nasalis melalui proses pneumatisasi (primer) menjadi tulang maksila, tulang sfenoid,
tulang frontalis, dan tulang etmoidalis. Sinus-sinus tersebut akhirnya membesar menjadi
tulang keras yang disebut pneumatisasi sekunder.
Pneumatisasi dari tulang-tulang paranasal terjadi berbeda-beda pada tiap sinus. Pada
sinus maksilaris pneumatisasi primer terjadi pada minggu ke-10 post-konsepsi, di mana
terbentuk tulang rawan ectethmoid dari meatus medius. Dan pneumatisasi sekunder untuk
menjadi tulang maksila terjadi pada bulan ke-5.
Pada sinus sfenoidales, pneumatisasi primer terjadi pada bulan ke-4 post-konsepsi
melalui konstriksi bagian superoposterior dari resesus sfenoethmoid. Dan pneumatisasi
sekunder terjadi pada umur 6-7 tahun .
Pada sinus etmoidalis, pneumatisasi primer terjadi ketika sel-sel udara ethmoid yang
berasal dari meatus medius dan meatus inferior serta resesus sfenoethmoid menginvasi
kapsula nasal ectethmoid. Hal tersebut terjadi pada bulan ke-4 post-konsepsi. Pneumatisasi
sekunder terjadi pada saat setelah bayi lahir sampai dengan usia 2 tahun.
Pada sinus frontalis, pneumatisasi primer terjadi dengan adanya invaginasi mukosa di
resesus frontalis dari meatus medius fosa nasalis. Proses ini terjadi pada bulan ke-3 sampai
ke-4 post-konsepsi. Pneumatisasi sekunder tidak akan terjadi pada usia 6 bulan sampai 2
tahun setelah lahir dan tidak akan terlihat pada pemeriksaan radiografi sampai dengan usia 6
tahun.

2
2.3. Anatomi Sinus Paranasal
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung, yaitu
sebagai berikut :
 sinus frontalis kanan dan kiri
 sinus etmoidalis kanan dan kiri (anterior dan posterior)
 sinus maksilaris kanan dan kiri (antrium highmore)
 sinus sfenoidalis kanan dan kiri.
Berdasarkan letak, sinus paranasal dibagi menjadi :
 Golongan anterior sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus etmoidalis anterior,
dan sinus maksilaris
 Golongan posterior sinus paranasalis, yaitu sinus etmoidalis posterior dan sinus
sfenoidalis.

Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi
udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka
inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari
sinus maksilaris, sinus frontalis dan etmoidalis anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis.

3
Sinus Maksilaris (antrum Highmore)
Letak dari sinus yang terbesar ini adalah di belakang pipi. Saat lahir volumenya
kurang lebih 6-8 ml dan ukuran maksimal saat dewasa adalah 15 ml. Sinus maksilaris
berbentuk piramid dengan dinding anteriornya adalah permukaan fasial os maksila (fosa
kanina), dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya
adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding
inferiornya adalah prosesus alveolaris dari maksila dan palatum.
Ostium sinus maksilaris terletak di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksilaris adalah :
1. Dasar sinus yang sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar 1, 2
dan molar 1, 2, 3 serta kadang-kadang gigi taring. Infeksi gigi-gigi tersebut dapat naik
ke atas dan menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksilaris dapat menyebabkan komplikasi orbita karena dinding superiornya
adalah dasar orbita.
3. Ostium sinus maksilaris terletak lebih tinggi dari dasar sinus sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia. Selain itu drainase sinus maksilaris harus melewati
infundibulum yang sempit, yang mana bila terjadi pembengkakan akan menghalangi
drainase dan bisa menyebabkan sinusitis.

4
Sinus Sfenoidalis
Letaknya adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoidalis
dibagi menjadi 2 oleh septum intersfenoid. Sinus ini berukuran 23 x 20 x 17 mm dengan
volume 5-7.5 ml. Batas-batas dari sinus sfenoidalis adalah :
 Superior : fosa serebri media, kelenjar hipofise
 Inferior : atap nasofaring
 Lateral : sinus kavernosus, a.karotis interna
 Posterior : fosa serebri posterior di daerah pons
Ostium sinus sfenoidalis bermuara ke resesus sfenoetmoidales (rongga di samping dan di
atas konka superior). Letaknya sekitar 10 mm di atas dasar sinus.

Sinus Etmoidalis
Sinus etmoidalis mempunyai ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm,
dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoidalis berongga-rongga dan terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon. Sel-sel ini terletak di antara konka media dan dinding medial orbita dan jumlahnya
bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoidalis dibagi menjadi sinus etmoidalis anterior
(bermuara di meatus medius) dan sinus etmoidalis posterior (bermuara di meatus superior).
Sel-sel sinus etmoidalis anterior biasanya berukuran kecil dan jumlahnya banyak dan
terletak di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan
dinding lateral (lamina basalis). Sedangkan sel-sel sinus etmoidalis posterior lebih besar dan
jumlahnya lebih sedikit dan terletak di posterior dari lamina basalis.
Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior terdapat bagian yang sempit, disebut
resesus frontalis yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel ethmoid yang terbesar disebut
bula ethmoid. Di daerah ethmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut

5
infundibulum yaitu tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Sehingga pembengkakan atau
peradangan di resesus frontalis dapat menyebabkan sinusitis frontalis dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksilaris.

Atap sinus etmoidalis yang disebut fovea ethmoidales berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang tipis dan membatasi sinus
etmoidalis dengan rongga orbita. Di bagian belakang, sinus etmoidalis posterior berbatasan
dengan sinus sfenoidales.

Sinus Frontalis
Terletak di os frontalis dan biasanya sinus kanan dan kiri tidak simetris. Kurang lebih
15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontalis dan kurang lebih 5% sinus
frontalisnya tidak berkembang.
Sinus frontalis berukuran tinggi 2,8 cm, lebar 2,4 cm, dan dalamya 2 cm. Biasanya
sinus ini bersekat-sekat dan tepinya berlekuk. Bila pada foto Rontgen tidak tampak
gambaran septum atau lekukan dinding sinus, maka hal tersebut menunjukkan adanya infeksi
sinus.
Sinus frontalis dipisahkan dari orbita dan fosa serebri anterior oleh tulang yang relatif
tipis sehingga infeksi sinus mudah menjalar ke daerah tersebut.
Drainase sinus frontalis adalah melalui ostium yang terletak di resesus frontalis, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.

6
Kompleks Ostio-meatal
Terdiri dari infundibulum etmoid (yang terdapat di belakang prosesus uncinatus),
resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maksilaris. Daerah ini merupakan muara-muara saluran dari sinus maksilaris, sinus frontalis,
dan sinus etmoidalis anterior. Letaknya adalah di sepertiga tengah dinding lateral hidung
yaitu di meatus medius.

KOM

2.4. Fisiologi Sinus Paranasal


Belum ada kepastian dari para ahli mengenai fungsi pasti dari sinus paranasal. Namun ada
beberapa teori yang dikemukakan, antara lain :
 Air conditioning (pengatur kondisi udara)
Sinus paranasal berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini adalah karena ternyata tidak
didapatinua pertukaran udara yang definitf antara sinus dan rongga hidung
 Thermal insulators (penahan suhu)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
 Membantu keseimbangan kepala

7
Hal ini dikarenakan sinus mengurangi berat tulang wajah. Akan tetapi bila udara
dalam sinus digantikan oleh tulang, hanya akan menambah berat sebesar 1% dari
berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
 Membantu resonansi suara
Rongga-rongga sinus dapat membantu resonansi suara dan mempengaruhi kualitas
suara. Namun ada yang berpendapat posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan
sinus untuk sebagai resonator yang efektif.
 Peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berperan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya
pada waktu bersin dan membuang ingus.
 Membantu produksi mukus
Jumlah mukus yang dihasilkan sinus memang sedikit dibandingkan dengan mukus
dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang masuk dengan
udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling
strategis.

2.5. Definisi Sinusitis


Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat berupa sinusitis
maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sfenoid. Bila yang terkena lebih
dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis.

2.6. Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis


Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan
gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga
dapat terjadi akibat trauma langsung (menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal),
barotrauma (menyebabkan nekrosis mukosa sinus paranasal), berenang atau menyelam.
Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah kelainan anatomi
hidung, hipertrofi konka, polip hidung, dan rinitis alergi. Rinosinusitis ini sering bermula dari
infeksi virus pada selesma, yang kemudian karena keadaan tertentu berkembang menjadi
infeksi bakterial dengan penyebab bakteri patogen yang terdapat di saluran napas bagian atas.
Penyebab lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan yang lebih jarang lagi fraktur dan tumor.

8
Pembagian lainnya untuk etiologi dan faktor predisposisi sinusitis antara lain :
 Sebab-sebab lokal
 Patologi septum nasi seperti deviasi septum
 Hipertrofi konka media
 Benda asing di hidung seperti tampon, rinolith, material yang terinfeksi seperti
air terinfeksi yang berkontak selama berenang atau menyelam
 Polip nasi
 Tumor di dalam rongga hidung
 Rinitis alergi dan rinitis kronik
 Polusi lingkungan, udara dingin dan kering
 Faktor-faktor predisposisi regional
 Khususnya sinusitis maksilaris meliputi gigi geligi yang buruk, karies gigi atau
abses apikal. Gigi-gigi premolar atau molar yang sering terkena karena gigi-gigi
tersebut di dekat dasar sinus maksilaris
 Sinusitus rekuren dapat disebabkan oleh obstruksi nasofaring seperti tumor
ganas, radiasi kobalt disertai radionekrosis atau hipertrofi adenoid juga tumor-
tumor palatinum jika ada perluasan regional
 Faktor-faktor sistemik
o Keadaan umum yang lemah, seperti malnutrisi
o Diabetes yang tidak terkontrol

2.7. Patofisiologi Sinusitis


Bila terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka
terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif
dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi yang awalnya serous. Kondisi seperti ini bisa dianggap
rinosinusitis non-bakterial dan umumnya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila
kondisi ini menetap, lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan
merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Keadaan ini disebut
rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga
timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi

9
hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari
penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan
interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, di
mana mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung
sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.
Perluasan infeksi dari sinus ke bagian lain dapat terjadi :
1. Melalui suatu tromboflebitis dari vena yang perforasi
2. Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik
3. Dengan terjadinya defek
4. Melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia.

2.8. Klasifikasi Sinusitis


Secara klinis sinusitis dibagi atas :
1. Sinusitis akut
2. Sinusitis subakut
3. Sinusitis Kronis
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi :
 Rhinogenik (penyebabnya adalah kelainan atau masalah di hidung)
 Dentogenik/odontogenik (penyebabnya adalah kelainan pada gigi), umumnya yang
sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan
molar)

2.9. Gejala dan Diagnosis


Diagnosis sinusitis dapat ditegakkan dengan :
1. Anamnesis yang cermat
2. Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
3. Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah
sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
4. Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan
Lateral. Yang dimaksud dengan posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang
petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan
kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini
terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi

10
posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus
frontal, sphenoid dan etmoid.
Pada sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa penebalan mukosa, opasifikasi
sinus (berkurangnya pneumatisasi), gambaran air fluid level yang khas akibat
akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto Waters.
5. Pungsi sinus maksilaris
6. Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus,
apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana
keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat
perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi terganggu.
7. Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi.
8. Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-
endoskopi.
9. Pemeriksaan CT-Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber
masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak :
penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada
satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-
kasus kronik).

Sinusitis Akut
A. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada
anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala lokal
yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring
(post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah
sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.
1. Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering terinfeksi
oleh karena :
 merupakan sinus paranasal yang terbesar
 letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drainase) dari sinus
maksila hanya tergantung dari gerakan silia

11
 dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi
gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila
 ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang
sempit sehingga mudah tersumbat.
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah
yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang
menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan
telinga. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak,
misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang
tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang
berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada.
2. Sinusitis Etmoidalis
Sinusitus Etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi
sebagai selulitis orbita. Karena dinding lateral labirin etmoidalis (lamina papirasea)
seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap
sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan. Gejala berupa nyeri
yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola
mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Terdapat nyeri alih di pelipis,
post nasal drip, dan sumbatan hidung.
3. Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis
anterior. Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis
mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian
perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa
dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
4. Sinusitis Sfenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di verteks, oksipital, di belakang bola
mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari
pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus
lainnya.

12
B. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan etmoid anterior) terkena
secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis.
Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti meraba
beludru.
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada
sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis etmoid jarang timbul
pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis
maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di
meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah
tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip, tumor
maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan
yang sesuai.
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada positional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit
dan tes provokasi yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung
pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika
positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari hidung.
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga
tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan tampak
perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus
yang sakit.
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau meatus
superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di
hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan
haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur.

Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya
(demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.

13
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi
posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus
yang sakit, suram atau gelap.

Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar
disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan
faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa
hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik,
sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan
sinusitis akut tidak sempurna.
A. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
 Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post
nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat.
 Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
 Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba
eustachius.
 Ada nyeri atau sakit kepala.
 Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
 Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau
bronkhiektasis atau asma bronkhial.
 Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.

B. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental,
purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau
komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau
turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis
kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis
ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
14
Pada pemeriksaan mikrobiologi dapat ditemukan infeksi campuran oleh bermacam-
macam mikroba, seperti kuman aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman
anaerob Pepto streptococcus dan fuso bakterium.

2.10. Terapi
Sinusitis Akut
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik
yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoxazol dan terapi tambahan yakni
obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk memperlancar drainase dan analgetik
untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid
topikal.
Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14
hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni
amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi
tambahan. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau naso-
endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis
kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif
alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret
tertahan oleh sumbatan.

Sinusitis Subakut
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,
yaitu diatermi atau pencucian sinus.
Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai
dengan resistensi kuman selama 10-14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa
dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave
Diathermy) sebanyak 5-6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus.
Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.

15
Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid,
frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian
sinus cara Proetz.

Sinusitis Kronis
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan
diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-
14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II
dan terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan
antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik
mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan
naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 kali tidak membaik). Jika ada obstruksi
kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
I. Radikal
 Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
 Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
 Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.
II. Non Radikal
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus
Surgery (FESS). Prinsipnya adalah dengan membuka dan membersihkan daerah
kompleks ostiomeatal.

2.11. Komplikasi
1. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoidalis akut, namun sinus frontalis
dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi
orbita.
16
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina
papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada
kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap
ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran
vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
 Oftalmoplegia
 Kemosis konjungtiva
 Gangguan penglihatan yang berat
 Kelemahan pasien
 Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan
saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.

2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista ini
paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus
dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui
atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral.
Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan
dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun
lebih akut dan lebih berat.
17
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa
yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.

3. Komplikasi Intra Kranial


a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut,
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung
dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui
lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering
kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya
mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan
tekanan intra kranial. Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan
arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
c. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah
pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.

18
BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Paling
sering ditemukan adalah sinusitis maksilaris dan sinusitis ethmoid.
Sinusitis terjadi jika ada gangguan drainase dan ventilasi di dalam sinus. Bila terjadi
edema di kompleks ostio-meatal, mukosa yang berhadapan saling bertemu, sehingga silia
tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Akibatnya lendir menjadi lebih kental
dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.
Faktor predisposisi sinusitis adalah obstruksi mekanik, seperti deviasi septum,
hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor dalam rongga hidung. Selain
itu rinitis kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus serta
menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuhnya bakteri.
Secara klinis sinusitis dibagi menjadi sinusitis akut, subakut, dan kronis. Sedangkan
berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi rinogen dan dentogen/odontogen.
Gejala sinusitis yang banyak dijumpai adalah gejala sistemik berupa demam dan rasa
lesu. Lokal pada hidung terdapat sekret kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan
mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat dan rasa nyeri di daerah sinus yang
terinfeksi serta kadang-kadang juga di tempat lain karena nyeri alih. Pada sinusitis subakut
tanda-tanda radang akut demam, nyeri kepala hebat dan nyeri tekan sudah reda. Sedangkan
pada sinusitis kronis selain gejala-gejala di atas sering ditemukan gejala komplikasi dari
sinusitis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan hasil
pemeriksaan fisik. Untuk menentukan luas dan beratnya sinusitis, bisa dilakukan pemeriksaan
CT Scan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui
adanya abses gigi.
Terapi sinusitis secara umum diberikan medikamentosa berupa antibiotik selama 10-
14 hari, meskipun gejala klinik telah hilang. Diberikan juga dekongestan sistemik dan
analgetik untuk menghilangkan nyeri. Terapi pembedahan dilakukan jika ada komplikasi ke
orbita atau intrakanial; atau bila nyeri hebat karena sekret tertahan oleh sumbatan yang
biasanya disebabkan sinusitis kronis.

19

Anda mungkin juga menyukai