Anda di halaman 1dari 1

PENDIDIKAN TINGGI KITA MAU KEMANA ?

EDITORIAL PAGI INI:(28/03/2011).


Data direktorat jendral pendidikan tinggi (DIKTI), Indonesia memiliki 2.700-an perguruan tinggi dengan
14.500 prodi dan 1,9 juta mahasiswa. Oleh sebab itu, Indonesia masuk dalam 9 besar negara dengan
mahasiswa terbanyak. Amerika memiliki 14,3 juta mahasiswa, India 6 juta, dan Jepang 4 juta. NAMUN
PERLU RETROPEKSI TERHADAP KETERPURUKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA)/ Mengembangkan
ilmu (untuk science) dan atau menerapkan Ilmu (sebagai profesi) ? FISIKA: misalnya Fisika Murni di ITB
adalah basic Sains. Untuk ilmu terapannya ada Fisika Teknik, Fisika Bangunan (pada Arsitektur), Fisika
Nuklir dan sebagainya. KASUS FIKIP: (Fakultas Ilmu Pendidikan) menganggap ilmu dasarnya
PSIKOLOGI, padahal yang dipelajari hanya bagian kecil dari ilmu psikologi. Sedangkan psikologi sendiri
telah mengembangkan profesi tersendiri. Akibatnya ilmu psikologi terapan (Psikolog, Psikiater, Conselor)
dari psikologi murni bisa bentrok LAHAN PROFESI dengan Conselor lulusan IKIP (silahkan cari dan baca
atau download tulisan PRAYITNO: di
http://konselingindonesia.com/Download/MengatasiKrisisIdentitas.pdf/. KASUS ARSITEKTUR: dasar
ilmunya sebenarnya Fisika Bangunan, Profesinya seharusnya membuat bangunan (Construction). Tetapi
dalam sejarahnya dia muncul dari bidang seni rupa (Arts), dasar pengetahuannya adalah space and form
(Perancis: Ecole de Beaux Art). Organisasi profesi arsitek di tingkat dunia UIA ( di Perancis),RIBA di
Inggris, dan AIA, di Amerika serta organisasi profesi IAI di Indonesia MENDUKUNG KONSEP INI. Di
Indonesia dalam undang-undang Arsitek (IAI) arsitek dianggap budayawan, padahal dalam pendidikan
tidak pernah/kurang belajar budaya. Akibatnya bagaimana? Di ITB dia tidak mau masuk Seni Rupa
dan Desain dan tidak pula diterima di jurusan Teknik Sipil. Karena ditingkat S3, ilmu dasarnya tidak jelas.
Akhirnya pengelompokan ilmu Arsitek di ITB lari ke Planologi dengan nama SAPPK, (Sekolah Arsitektur,
Perencanaan dan Perencanaan Kebijakan Publik/ School of Architectur and Desidn and Planning Public
Policy) yang ilmu dasarnya ilmu ekonomi dan Sosial. KASUS SENI RUPA (ARTS): dasarnya ilmunya
adalah seni (arts) (namun sulit diterjemahkan artinya) dan ilmu untuk membentuk (visual), sehingga dasar
ilmunya sebenarnya adalah art and design. Waktu di tingkat S2, masih dapat mengembangkan diri dan
disebut jurusan PENCIPTAAN (ISI YOGYA), dan SENI dan DESAIN (dI ITB). Tetapi di tingkat S3 harus
masuk ke basic sains seperti Sosiologi, psikologi, Kultur (Budaya), humaniora dsb. Kasus Seni Musik
dan Seni Tari lebih rumit lagi, lari ke mana-mana di tingkat S2, S3 (humaniora, sosial, budaya dsb).
Profesi dibidang SENI belum didukung oleh Pemerintah Maupun Masyarakat. Kasus UPI
(UNIVERSITAS PENDIDIKAN BANDUNG), mereka sejak awal telah menerapkan beragam Basic Sains
dan atau keprofesian ilmu tertentu sebagai dasar mata kuliah, dan kependidikan hanyalah penunjang,
misalnya di UPI ada jurusan Arsitektur, Sipil dsb. Dan ini salah satu alasan nama UPI tidak dirubah.
Ketidakjelasan basic sains ini bukan tidak menjadi masalah. Bisa dibayangkan S3 Kesehatan menjadi
pembimbing disertasi S3 jurusan Desain, atau S1 atau S2 jurusan Mesin menjadi pembimbing S1 jurusan
Sastra, dan hal ini bukan tidak bisa terjadi (walaupun ini hanya sebuah analogi). Sama dengan kasus
otonomi daerah, otonomi pendidikan juga bisa salah arah. Karena selama ini di atur oleh pusat, begitu
bebas, lepas kontrol. Bukankah kampus untuk pengembangan ilmu sesuai KOMPETENSINYA
(kewenangannya)? Untuk kasus lain lagi baca tulisan Wisran Hadi, hari ini Minggu, 27-03-2011, di SK
lokal Haluan, Padang. Untuk kasus guru coba link situs http://impasb.wordpress.com/2008/04/03/17/.
Semoga editorial karbitan ini, ada gunanya untuk menggugah ……

Anda mungkin juga menyukai