Anda di halaman 1dari 20

KEBEBASAN DAN TOLERANSI

KEHIDUPAN BERAGAMA DI INDONESIA

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 1


MOHAMAD HIDAYATTULLOH : 1057201016
ADE FERDIANSYAH : 0957201001
JASRIYONO : 1057201107
ASEP KURNIA : 1057201032
TOMY RUSMAN : 1057201014
NOVELDI : 1057201070
CAHAYA PERTIWI : 1057201034
RETNO SAVITRI : 1057201052
INDAH RAFIKA AYU : 0957201071
FAUZIAH : 1057201037
MOLYTA VERA : 1057201100
TYAS APRILIAN S : 1057201055

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas


segala petunjuk,rahmat, dan hidayahnya serta nikmat sehat jasmani dan
rohani sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan
harapan dapat menambah pengetahuan kami tentang Pancasila.
Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Kebebasan
dan Toleransi Kehidupan Beragama di Indonesia”. Materi ini ditulis
berdasarkan informasi yang didapatkan dari hasil perkuliahan serta belajar
jarak jauh (e-learning) melalui media jaringan komunikasi internet dan
informasi dari reference bacaan lainnya yang mendukung.
Kami menyadari akan banyaknya kekurangan dalam penyelesaian
tugas makalah yang kami buat ini dan kami berharap akan adanya kritikan
atau saran agar kami dapat memperbaiki kekurangan yang ada.

Bekasi, November 2010

Hormat kami

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I : Pendahuluan
1.1. Pengertian Kebebasan dan Toleransi Beragama …...…... 1
1.2. Latar Belakang & Rumusan Hak Kebebasan Beragama .. 3
1.3. Ruang Lingkup Kebebasan dan Toleransi Beragama …... 5
Bab II : Kebebasan Dan Toleransi Kehidupan Beragama
Di Indonesia
2.1. Kebebasan dan Toleransi Beragama Di Indonesia ...…... 6
2.2. Hubungan Negara dan Agama Dalam Pancasila dan
UUD 1945 ……………………………………………………. 8
2.3. Jaminan Kebebasan dan Toleransi Beragama di
Indonesia ……………………………………………………...9
2.4. Pelanggaran Kebebasan dan Toleransi Beragama
di Indonesia ………………………………………………….. 12
Bab III : Penutup

3.1 Kesimpulan………………………………………………….... 15

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Kebebasan dan Toleransi Beragama


Seperti kita ketahui banyak sekali pendapat – pendapat yang
mendefinisikan arti dari toleransi dan kebebasan beragama dan
banyak pula yang menyalahgunakan. Sebelum kita ketahui arti
tersebut ada baiknya kita mengetahui arti dari “agama” itu sendiri.
Banyak sekali pendapat tentang definisi dari agama baik dari segi
ilmu pengetahuan ataupun ilmu keagamaan itu sendiri.
Muhammad Abdullahh Darraz, dari kalangan pemikir muslim
berpendapat bahwa agama dapat didefinisikan dari dua aspek.
Pertama, dari aspek psikologis (religiusitas), agama adalah
kepercayaan atau iman kepada Zat yang bersifat ketuhanan yang
patut dita’ati dan disembah. Kedua, dari segi hakikat eksternal,
bahwa agama adalah seperangkat panduan teoritik yang
mengajarkan konsepsi ketuhanan dan seperangkat aturan praktis
yang mengatur aspek ritualnya. Para ahli sejarah sosial berpendapat
agama sebagai suatu institusi historis atau suatu pandangan hidup
yang institutionalized yang mudah dibedakan antara agama dengan
hanya melihat sisi kesejahteraan yang melatar belakangi keduanya
dan dari perbedaan system kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan
etika yang ada dalam ajaran keduanya. Sementara para sosiolog dan
antropolog lebih melihat definesi agama dari sudut fungsi sosialnya,
yaitu suatu system kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan
– satuan atau kelompok – kelompok sosial. Sedangkan para pakar
teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek
substansinya yang asasi atau sakral. Melihat dari berbagai pendapat
berarti seluruh manusia memiliki suatu agama yang dapat dijadikan
sebagai jalan untuk komunikasi dengan Tuhannya. Dengan

4
demikian, pilihan terhadap suatu agama merupakan hak preogratif
seorang manusia.
Dalam suatu ajaran agama, pengakuan terhadap kebebasan
seseorang untuk memeluk suatu agama merupakan suatu hak setiap
individu karena salah satu pilar dasar dalam mewujudkan
keselamatan individu dan masyarakat. Oleh karena itu, tidak ada
seorangpun yang berhak menghukumi tentang pilihan keyakinan,
kecuali jika seseorang tersebut dengan sengaja mengproklamirkan
kekufurannya. Jika kebebasan memilih agama diberikan setiap
orang, maka ada beberapa konsekuensi logis dari pemberian
kebebasan tersebut diantaranya :
a. Kebebasan melaksanakan ibadah baik secara terang – terangan
atau tersembunyi, individual maupun kelompok.
b. Kebebasan memilih mode yang selaras dengan kecenderungan
agamanya atau kebebasan melakukan praktek keagamaannya.
c. Kebebasan memakai istilah, tanda dan syi’ar yang berbeda.
d. Kebebasan membangun kebutuhan rumah ibadah dengan tetap
menghormati aturan yang sudah ada.
e. Kebebasan melaksanakan ritual keagamaannya.
f. Kebebasan bagi seseorang untuk merubah dan berpindah
keyakinan.
g. Kebebasan berdakwah untuk memeluk agamanya sesuai dengan
aturan yang ada.
h. Menghargai tempat yang mereka anggap suci.
Namun begitu banyak sekali terjadi penyimpangan atau kreasi baru
terhadap suatu pemahaman keagamaan. Akan tetapi untuk mencari
titik temu kesamaan ajaran pokok suatu agama tidaklah mungkin
karena setiap agama memiliki sebuah konsep yang terdapat dalam
setiap kitab suci masing – masing dan tersimpan suatu kepribadian
agama. Sehingga agama menjadi suatu sistem keyakinan yang

5
dilandaskan pada sejumlah ajaran – ajaran yang mutlak dan tidak
bisa diubah.

1.2 Latar Belakang dan Rumusan Hak Kebebasan Beragama


Kebebasan beragama telah dijamin oleh Negara, hanya saja
kenyataannya masih sering terjadi pelanggaran atas prinsip
kebebasan beragama di Indonesia. Oleh karena itu prinsip
kebebasan beragama di Indonesia merupakan masalah bersama
yang masih harus diperjuangkan secara terus menerus oleh semua
pihak. Inti normatif dari hak asasi manusia kebebasan beragama
atau kepercayaan dapat dirumuskan dalam delapan elemen, yaitu :
1. Kebebasan internal : setiap orang berhak atas kebebasan berfikir,
berkepercayaan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan
untuk setiap orang menganut, menetapkan, merpertahankan atau
pindah agama atau kepercayaan.
2. Kebebasan eksternal : setiap orang mempunyai kebebasan, baik
sendiri atau bersama- sama dengan orang lain, di tempat umum
atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kerpercayaannya
dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan pentaatan.
3. Tanpa dipaksa : Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga
terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan
agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
4. Tanpa diskriminasi : Negara berkewajiban untuk menghormati
dan menjamin hak kebebasan beragama atau berkepercayaan
bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk
pada wilayah hukumnya, hak kebebasan beragama atau
berkepercayaan tanpa pembedaan apa pun seperti ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain,
kebangsaan atau asal-usul lainnya, kekayaan, kelahiran atau
status lainnya.

6
5. Hak orang tua dan wali : Negara berkewajiban untuk
menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali
hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama
dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan
mereka sendiri, dibatasi oleh kewajiban melindungi hak
kebebasan beragama atau berkepercayaan setiap anak sesuai
dengan kemampuan anak yang sedang berkembang.
6. Kebebasan korporat dan kedudukan hukum: komunitas
keagamaan boleh mempunyai kedudukan hukum dan hak
kelembagaan untuk mewakili hak dan kepentingannya sebagai
komunitas. Yaitu, komunitas keagamaan sendiri boleh
mempunyai hak bebebasan beragama atau berkepercayaan,
termasuk hak untuk mandiri dalam urusannya sendiri. Walaupun
komunitas keagamaan mungkin tidak ingin menggunakan
kedudukan hukum formilnya, sekarang sudah diakui secara
umum bahwa komunitas tersebut mempunyai hak untuk
memperoleh kedudukan hukum sebagai bagian dari hak
kebebasan beragama atau berkepercayaan, khususnya pada hak
menjalankan agamanya bersama – sama dengan orang lain.
7. Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal :
kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan seseorang
hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan hal
tersebut diperlukan untuk melindungi :
a. keamanan,
b. ketertiban,
c. kesehatan, moral masyarakat, atau
d. hak-hak mendasar orang lain.
8. Tidak boleh dikurangi : Negara tidak boleh mengurangi hak
kebebasan beragama atau berkepercayaan, bahkan dalam
keadaan darurat.

7
1.3 Ruang Lingkup Kebebasan dan Toleransi Beragama
Negara Indonesia yang terdiri dari beribu – ribu pulau yang
melahirkan berbagai macam bahasa daerah, adat istiadat, dan
budaya tetapi sikap toleransi harus tetap menjadi jembatan untuk
menuju Indonesia yang aman dan sejahtera. Sikap yang
mengedepankan toleransi adalah sebuah keniscayaan dalam bingkai
kehidupan masyarakat yang majemuk. Apalagi kita hidup dalam
Negara yang memiliki keragaman baik dari suku, agama maupun
budaya. Supaya bisa hidup damai dan berdampingan tentu
dibutuhkan toleransi satu sama lain sehingga perlu untuk ditanamkan
pada anak – anak sedini mungkin.
Begitu pula dengan lingkungan pendidikan atau sekolah
yang merupakan miniatur atau tempat untuk kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan
budaya, menjadikan toleransi sebagai elemen penting dan fondasi
pembangunan SDM yang saling menghargai satu sama lain baik itu
kaya – miskin, suku jawa, sunda, batak, Islam, Kristen dan lain – lain
bahkan sampai dengan warna kulit yang berbeda. Dari sinilah kita
dapat bahan pengajaran untuk anak didik supaya saling menerima,
mengerti dan memahami tentang pentingnya sebuah arti sikap
toleransi antar sesama manusia yang beragama.
Contohkanlah untuk saling mengingatkan antar pemeluk
agama dalam melaksanakan ajarannya sesuai dengan waktu dan
tempatnya, bimbinglah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan
benar tanpa melupakan bahasa daerahnya dan arahkanlah untuk
saling menerima serta berbagi ilmu tentang budaya masing – masing
karena secara tidak langsung kita telah mengajarkan sebuah sikap
toleransi, tenggang rasa, saling menerima kekurangan walaupun
pada dasarnya itulah praktik dari nilai – nilai kebhineka tunggal ikaan.

8
BAB II
KEBEBASAN DAN TOLERANSI KEHIDUPAN BERAGAMA
DI INDONESIA

2.1 Kebebasan Dan Toleransi Beragama Di Indonesia


Dalam era globalisasi sekarang ini, umat beragama
dihadapkan pada serangkaian tantangan baru seperti perbedaan
agama yang ada didalam kehidupan kita dan diperlukan suatu
toleransi antar umat beragama. Menurut bahasa arti toleransi itu
sendiri yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan dan sebagainya) yang berbeda dan yang
bertentangan dengan pendiriannya. Toleransi juga berarti batas ukur
untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.
Kebebasan dan toleransi merupakan dua hal yang seringkali
dipertentangkan dalam kehidupan manusia. Kebebasan beragama
dianggap sebagai sesuatu yang menghambat kerukunan tanpa
adanya toleransi karena dalam pelaksanaannya kebebasan
seseorang mustahil tidak menyentuh kenyamanan orang lain.
Akibatnya pelaksanaan kebebasan menghambat jalannya kerukunan
antar umat beragama.
Kebebasan beragama merupakan dasar bagi terciptanya
kerukunan antar umat beragama karena tanpa kebebasan beragama
tidak mungkin ada kerukunan antar umat beragama. Toleransi antar
umat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat
terlindungi dengan baik. Namun seringkali terjadi penekanan dari
salah satunya, misalnya penekanan kebebasan yang mengabaikan
toleransi dan usaha untuk memaksakan toleransi dengan
membelenggu kebebasan. Untuk menyatukan keduanya diperlukan

9
pemahaman yang benar mengenai kebebasan beragama dan
toleransi antar umat beragama karena merupakan sesuatu yang
penting dalam kehidupan sehari – hari dalam bermasyarakat.
Adapun manfaat dari toleransi kehidupan beragama adalah
sebagai berikut :
a. Menghindari terjadinya perpecahan
Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadinya
perpecahan dalam mengamalkan agama. Sikap bertoleransi
harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan
dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan
beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan eksisnya
berbagai agama dalam kehidupan umat manusia.
b. Memperkokoh silaturahmi dan menerima perbedaan
Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin
dan memperkokoh tali silaturahmi antar umat beragama dan
menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya. Pada
hakikatnya, manusia tidak dapat menerima perbedaan antara
sesamanya. Perbedaan agama merupakan salah satu faktor
penyebab utama adanya konflik antar sesama manusia. Oleh
karena itu hendaknya toleransi beragama dapat dijadikan
kekuatan untuk memperkokoh silaturahmi dan menerima adanya
perbedaan sehingga akan terwujud perdamaian, ketentraman,
dan kesejahteraan.
Dalam hal ini umat beragama, khususnya umat Islam dapat
belajar dari Nabi Muhammad SAW ketika mengimplementasikan
pengalaman toleransi, kerukunan antar umat beragama dan
pengakuan akan pluralisme agama yang pernah dialami oleh umat
beragama pada masa tersebut. Pengalaman – pengalaman Nabi
Muhammad SAW memberikan gambaran bahwa keaneka ragaman
agama tidak menghalangi untuk hidup bersama, berdampingan
secara damai dan aman selain itu juga dapat mengayomi dan

10
menghargai keberadaan agama – agama tersebut. Adanya saling
pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing –
masing dapat menjadi dasar yang sangat menentukan. Selain itu
terdapat juga dimensi moral dan etis, yaitu sikap saling menghormati
dan menghargai agama atau pemeluk agama lain sehingga
kerukunan, perdamaian dan persaudaraan bisa terwujud.

2.2 Hubungan Negara dan Agama Dalam Pancasila dan UUD 1945
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal
29 ayat (1) UUD 1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha
Esa” sebagai sila pertama Pancasila, mempunyai beberapa makna,
yaitu :
1. Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan
kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan
dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama
dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor
penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena
sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan
terhadapa nilai – nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta
berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah
sebab yang pertama atau causa prima dan sila ”Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /
perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara
dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. Ini
berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan
dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara
bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
3. “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus
dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang

11
secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa,
seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS
No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk
Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan
kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin
kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak
menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak
menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak
membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut
secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain.

2.3 Jaminan Kebebasan Dan Toleransi Beragama di Indonesia


Indonesia adalah Negara yang tidak perlu diragukan lagi
dalam menjamin, menerima dan mengakui kebebasan beragama,
bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang konstitutif dan
mengikat dalam suatu aturan. Hanya saja dalam pembuatan aturan
hukum khususnya aturan mengenai agama diperlukan konsistensi
dan mengacu pada Pancasila yang telah menggariskan empat
kaidah penuntun hukum nasional, diantaranya :
a. Hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integritas
bangsa baik secara territorial maupun ideologis. Hukum – hukum
di Indonesia tidak boleh memuat isi yang berpotensi
menyebabkan terjadinya disintegrasi wilayah maupun ideologi.
b. Hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi.
Hukum di Indonesia tidak dapat dibuat berdasar menang –
menangan jumlah pendukung semata tetapi juga harus mengalir
dari filosofi Pancasila dan prosedur yang benar.

12
c. Membangun keadilan sosial. Tidak dibenarkan munculnya hukum
– hukum yang mendorong atau membiarkan terjadinya jurang
sosial ekonomi karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang
lemah tanpa perlindungan Negara. Hukum harus mampu
menjaga agar yang lemah tidak dibiarkan menghadapi sendiri
pihak yang kuat yang sudah pasti akan selalu dimenangkan oleh
yang kuat.
d. Membangun toleransi beragama dan berkeadaban. Hukum tidak
boleh mengistimewakan atau mendiskimasi kelompok tertentu
berdasarkan besar atau kecilnya pemelukan agama karena
Indonesia bukan Negara agama dan juga bukan Negara sekuler.
Hukum Negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum
agama, tetapi Negara harus memfasilitasi, melindungi dan
menjamin keamanannya dalam melaksanakan ajaran agama
karena keyakinan dan kesadarannya sendiri.
Agar lebih menjamin terbentuknya hukum soal agama yang
sesuai dengan kaidah – kaidah Pancasila, maka prinsipnya Negara
boleh membuat pengaturan maupun pembatasan sekalipun terkait
dengan kebebasan bertindak atau freedom to act, tetapi tidak dalam
hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pengaturan Negara
dalam kehidupan beragama semata – mata dalam rangka
memberikan perlindungan kepada warga Negara, bukan bentuk
intervensi terhadap kebebasan berpikir dan berkeyakinan supaya
mencapai pemahaman yang benar dan menghindarkan diri dari
peluang membuat aturan hukum yang justru tidak sejalan dengan
Indonesia sebagai Negara yang berPancasila.
Pada prinsipnya jaminan kebebasan beragama atau
berkeyakinan dapat dilihat sebagai berikut :
a. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1) : “Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya”. Ayat (2) : “Setiap

13
orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
b. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2) : “Negara menjamin kemerdekaan
tiap – tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing
dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
c. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan
International Tentang Hak – Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1) :
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau
menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri,
dan kebebasan baik secara individu maupun bersama – sama
dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk
menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah,
ketaatan, pengamalan dan pengajaran”. Ayat (2) : “Tidak seorang
pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk
menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya
sesuai dengan pilihannya”.
d. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 Ayat (1) : “Setiap
orang bebas memeluk agamanya masing – masing dan beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Ayat (2) : “Negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing
– masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”.
e. UU No. 1/PNPS/1965, jo. UU No. 5/1969 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan
Pasal 1 berbunyi : “Agama – agama yang dipeluk oleh penduduk
Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah
perkembangan agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini
adalah agama – agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk
Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang

14
diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat
bantuan – bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh
pasal ini”. Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke 6 agama
tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi
pembedaan status hukum tentang agama yang diakui melainkan
bersifat konstatasi tentang agama – agama yang banyak dianut di
Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang
menyatakan bahwa, “Ini tidak berarti bahwa agama – agama lain
seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism di larang di
Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang
diberikan pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya …..”.
Selain itu masih banyak lagi peraturan – peraturan atau
perundang – undangan yang mengatur kebebasan dan toleransi
beragama di Indonesia, maka pemerintah dapat mengatur /
membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan
melalui Undang – Undang

2.4 Pelanggaran Kebebasan Dan Toleransi Beragama di Indonesia


Dengan beraneka ragamnya agama yang ada di Indonesia
dapat berpotensi konflik antar mereka yang tidak bisa dihindari.
Walaupun sudah banyak produk hukum yang dibuat untuk
kerukunan beragama tetapi masih banyak saja pelanggaran yang
terjadi di Indonesia. Ketegangan hubungan antara agama dan
negara terjadi manakala di antara keduanya tidak terjadi hubungan
yang simbiosis-mutualistis dan saling checks and balances. Dalam
hubungan seperti itu dimisalkan ketika negara tidak memberikan
kemerdekaan kepada warganya untuk beribadat sesuai dengan
agamanya masing-masing, atau sebaliknya agama menganggap
negara menutup diri terhadap nilai-nilai keagamaan sehingga
tatanan kenegaraan berjalan secara bertentangan dengan nilai-nilai
keagamaan. Dalam situasi seperti itu, terbuka peluang agama

15
cenderung berupaya mempengaruhi instrumen kenegaraan tanpa
memperhatikan asas-asas demokrasi atau negara melakukan represi
terhadap warga negaranya tanpa memperhatikan ajaran agama
berkaitan dengan keadilan dan persamaan hak asasi manusia. Hal
itulah yang terjadi di banyak negara di dunia ketika negara tidak
mampu mengakomodir nilai-nilai religus agama. James M. Lutz dan
Brenda J. Lutz mengemukan ketegangan yang berkaitan dengan
keagamaan dalam buku berjudul Global Terrorism. Buku itu
mengupas bagaimana seluruh nilai-nilai agama, dari Yahudi, Kristen
hingga Islam, dapat disimpangkan menjadi kekuatan teror yang
menghancurkan tatanan bernegara. Bahkan konflik itu sudah
berlangsung ribuan tahun lamanya. Kasus komunitas Yahudi di
Provinsi Judea pada masa kerajaan Roma yang terjadi pada 66
sampai 71 Sebelum Masehi. Komunitas tersebut mencoba
melakukan pembangkangan berdasarkan agama terhadap kerajaan
Roma. Konflik di India yang digerakkan oleh komunitas agama Sikh
pada 1970 di India. Aum Shinrikyo di Jepang, Islam di Aljazair (1950-
1960an), dan banyak agama lainnya di dunia. Bahkan ketegangan
antarnegara dapat ditimbulkan oleh agama dan menjadi krisis yang
sulit dihentikan sebagaimana yang terjadi antara Palestina dan
Israel.
Selain itu juga terjadi dimana organisasi keagamaan asing
harus mendapatkan ijin dari Departemen Agama untuk memberikan
jenis bantuan apapun (baik dalam bentuk bantuan itu sendiri,
personil, maupun keuangan) kepada kelompok-kelompok
keagamaan di dalam negeri. Walaupun pada umumnya pemerintah
tidak melaksanakan persyaratan ini, beberapa kelompok Kristen
menyatakan bahwa pemerintah menerapkannya lebih sering kepada
kelompok minoritas daripada kepada kelompok mayoritas Muslim.
Itulah beberapa contoh kejadian yang terjadi, walaupun
masih banyak kejadian lainnya yang terjadi tentang kebebasan dan

16
toleransi kehidupan beragama di Indonesia. Agar ketegangan di atas
tidak terjadi di Indonesia, maka aparatus negara harus menyadari
bahwa dalam mengelola negara harus memperhatikan nilai-nilai
keagamaan, sementara itu tokoh agama harus menyadari bahwa
dalam melakukan internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara harus memperhatikan nilai –
nilai demokrasi, persatuan dan persaudaraan. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi pecahnya konflik antar umat beragama maka perlu
dikembangkan upaya – upaya dialog untuk mengeliminir perbedaan
– perbedaan tentang keagamaan.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kebebasan Beragama Dan Toleransi Antar Umat Beragama
Di Indonesia, menjadi tema seluruh isi makalah ini. Dasar dari
kebebasan beragama adalah martabat pribadi manusia. Keagungan
pribadi manusia adalah nilai tertinggi dari setiap pribadi manusia
termasuk dalam hal beragama. Pribadi manusia memiliki secara
intrinsik dalam dirinya kebebasan beragama. Kebebasan beragama
adalah keutamaan dan keabsahan dari hak yang berakar dalam
kodrat pribadi manusia. Hak itu adalah wewenang setiap pribadi
manusia untuk bebas berbuat atau tidak, untuk menerima atau
menolak kebenaran yang dicari oleh manusia yang menyangkut
agama. Mereka wajib berpegang pada kebenaran (agama) yang
diakuinya, sesuai dengan kodrat mereka. Jadi hak atas kebebasan
beragama didasarkan pada kodrat dan martabat pribadi manusia.
Toleransi antar umat beragama sangat diwajibkan, karna untuk
menghindari perselisihan dan perpecahan antar umat beragama.
Maka dari itu, kita sebagai umat yang beragama wajib melakukan
dan menjalankan dua hubungan dalam kehidupan. Yakni, hubungan
secara vertikal yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan
hubungan secara horizontal yaitu hubungan manusia dengan
manusia.
Rasa toleransi beragama dalam arti saling menghormati,
saling pengertian, saling menghargai dan saling menjaga kerjasama
antar umat beragama menjadi dasar terwujudnya kerukunan hidup
yang tenteraman, tertib dan damai dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Untuk itu, agama-agama di Indonesia
harus memanfaatkan rumusan konstitusi itu untuk memasukkan

18
prinsip-prinsip keagamaan terutama prinsip Ketuhanan Yang Maha
Esa dalam kehidupan berbangsa dan negara. Dengan berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa, persatuan dan persaudaraan antar
komponen bangsa akan tetap terjaga, sehingga memantapkan posisi
agama-agama di Indonesia sebagai ”kerohanian yang dalam” yang
menopang kohesi sosial, daya tahan, dan keutuhan NKRI.

19
DAFTAR PUSTAKA

Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed), Kebebasan Beragama atau


Berkepercayaan di Indonesia, (Jakarta; Komnas HAM, 2006) hal 4-5.

http://tafany.wordpress.com/

Ahmad Suaedy, et.al., Islam, konstitusi, dan Hak Asasi Manusia :


Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia,
Wahid Institute, Jakarta, 2009.

Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era


Reformasi, Makalah yang disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas
HAM “Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel Borobudur
Jakarta, 8 -11 Juli 2008.

Laporan Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di


Indonesia 2008 yang dipublikasikan SETARA Institute.

Laporan Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di


Indonesia 2008 yang dipublikasikan SETARA Institute.

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,


LP3ES, Jakarta, 2006.

http://www.icrp-online.org/wmprint.php?ArtID=240, diakses pada 2 Juli


2008

20

Anda mungkin juga menyukai