Anda di halaman 1dari 6

04 Mei 2009

LONG TAIL, Sebuah Trend Baru Dalam Dunia Marketing

Publikasi ulang dari Blog Fanda

Pada tahun 2006 terbit sebuah buku yang mengangkat sebuah fenomena baru dalam dunia bisnis.
Chris Anderson dengan cara memikat membuka wawasan kita akan masa depan dunia ini. Dunia
di mana pilihan tak terbatas akan menciptakan permintaan tak terbatas. Buku ini diterbitkan di
Indonesia tahun 2007, dan inilah tinjauanku atas pemikiran dan teori Long Tail ini, dan
bagaimana teori ini akan membantu hidup dan bisnis kita.

-----

Long Tail atau ekor panjang sejatinya adalah gambaran sebuah kurva pada grafik penjualan
suatu produk. Lihat gambar di bawah ini:

Area berwarna merah (kita sebut sebagai kepala) menunjukkan popularitas, sedang area
berwarna orange (yang disebut ekor) menunjukkan produk atau omzet. Jadi, bila diterjemahkan,
Chris Anderson memandang tendensi bisnis saat ini adalah semakin tinggi popularitas sebuah
produk, semakin kecil omzetnya. Sedangkan semakin rendah popularitasnya, semakin besar
omzetnya. Bahkan, kalau kita cermati, ujung area orange membentuk panah ke arah timur, yang
menggambarkan bahwa di dasar popularitas, terdapat pasar yang tak terbatas. “Apa??”

Anda mungkin terkejut dan tidak setuju dengan teori itu. Kita sudah terbiasa dicekoki oleh ‘the
best’ atau ‘hit’ dalam hidup kita. Anda sering mendengarkan radio? Banyak radio yang
menayangkan tangga lagu setiap malam Minggu, begitu juga MTV. Artinya, yang disanjung-
sanjung adalah selalu ‘the best’, the best movie, the best music, dan the best-the best lainnya.
Anda pernah belanja buku atau download musik online? Di situs-nya pasti ada the best, best
seller atau top sekian...(ten to one hundred). Dan dapat dibayangkan pasti yang masuk di daftar
best seller itu meraup untung yang banyak dari omzet yang besar. Maka popularitas dianalogikan
dengan keuntungan, siapa yang paling populer, dialah yang berkuasa. Sampai...Chris Anderson
datang membawa idenya yang akan mengubah pandangan anda!

Anda pasti kenal Michael Jackson. Albumnya masuk dalam top 50 penjualan musik di seluruh
dunia. Namun, lihat saja di abad 21 ini, berapa orang yang mendownload lagu-lagunya dalam
satu bulan terakhir misalnya. Lihat juga pergeseran hiburan bagi kita yang hidup di jaman ini.
Penonton jaringan televisi merosot karena banyak yang pindah ke saluran-saluran kabel bertema
khusus. Penonton televisi juga mulai lebih suka memelototi internet maupun video games
ketimbang acara TV. Jadi, meski fenomena hit masih tetap ada, rating mereka terus turun. Lalu,
kemana perginya mantan customer setia itu? Tidak kemana-mana, melainkan terbagi-bagi ke
banyak pasar kecil khusus (niche market) yang lebih sesuai dengan selera mereka dan jumlahnya
buanyaaaaak...

Dulu kita hanya mempunyai beberapa surat kabar di kota kita dan malahan hanya satu saluran
televisi (TVRI) sebelum akhirnya banyak TV swasta yang berkiprah. Sehingga berita yang
diterima oleh semua orang sama: yaitu yang disiarkan TV atau dicetak di koran itu. Kalau ada
yang bertanya siapa penyanyi favoritmu? Pasti jawabannya adalah penyanyi yang kita tahu
karena memang sudah terkenal. Tapi lihatlah apa yang terjadi sekarang!

Anda mungkin sudah familiar dengan iPod. Coba bandingkan isi iPod anda dengan teman-teman,
isinya pasti akan sangat beragam. Mungkin malah ada lagu-lagu yang tak pernah anda dengar
sebelumnya. Itulah pasar kecil khusus atau niche market.

Terima kasih pada internet, dunia maya yang memberikan pilihan yang tak terbatas pada kita.
Niche market yang pada jaman dulu pasti tak akan terlihat, tertutup bayang-bayang para
penguasa best seller, kini dapat menemukan dan ditemukan penggemarnya lewat Google dan
search engine lainnya. Tapi, bukankah niche market itu jumlahnya kecil sekali? Bagaimana bisa
sebuah bisnis hanya mengandalkan niche market? Begitu pula pikirku ketika aku pertama kali
berkenalan dengan internet marketing (baik adsense maupun affiliate marketing). Apa akan ada
yang mengklik iklan adsense-ku? Atau membeli produk affiliate-ku? Atau bahkan berapa orang
yang akan masuk ke website nicheku? Padahal aturan bisnis yang aku ketahui sampai saat itu
adalah gelutilah bisnis yang paling banyak dibutuhkan orang, misalnya: makanan. Kan semua
orang pasti butuh makan? Makanya bisnis ini kagak ada matinya. Kata siapa?? Banyak resto
yang tutup padahal makanannya lumayan enak.

Jadi, kalau bisnis yang pasarnya luas aja bisa bangkrut, apalagi kalau di niche market? Chris
Anderson memperkenalkan pada kita yang disebutnya dengan ‘Aturan 98%”. Yaitu hasil
pengamatan sebuah perusahaan pembuat digital jukebox. Dari 10.000 album yang tersedia, ada
berapa persen yang terjual paling tidak 1 track per triwulan? Kalau di dunia nyata, separo dari
10.000 buku terlaris tidak terjual satupun per triwulan. Sedang di digital jukebox? Siap-siaplah
untuk kaget: 98% !! Setelah riset yang panjang, Chris pun memperkenalkan fenomena the Long
Tail, si ekor panjang. Karena, ternyata justru produk yang sangat-sangat niche dan jumlahnya
sangat banyak itu tetap diminati banyak orang, sehingga kurva itu seolah tanpa akhir. Setiap kali
si digital jukebox menambah koleksinya, selalu akan ada penjualan. Jadi, tidak diketahui kan
kapan berakhirnya?

Apa penyebab fenomena ini?

Tak lain karena pergeseran budaya. Baik yang menyangkut permintaan: manusia modern yang
tak mau lagi didikte. Didikte oleh penjual, oleh selera pasar. Kita semua ingin tampil beda kan?
Juga yang menyangkut produksi. Dengan adanya bytes dalam dunia digital dan internet, juga
fenomena open source (lihat review buku Wikinomics), ongkos produksi dan distribusi menjadi
semakin murah sehingga segala sesuatu menjadi tersedia bagi semua orang. Dengan bantuan
Google, kita dapat mencari apapun yang kita butuhkan, berita, makanan, tempat wisata, kursi di
pesawat, sampai jodoh...

Bagi penggemar buku, mungkin pernah mendengar tentang print-on-demand, yakni pencetakan
buku yang bukan dengan cara massal seperti yang selama ini ada, tetapi sebuah naskah baru akan
dicetak begitu ada permintaan (aku sudah pernah membeli buku yang model begini, yakni Old
Surehand). Mungkin cara ini masih terbilang mahal, namun potensinya sangat besar untuk
menggeser industri percetakan (buku Old Surehand kubeli dengan harga 60.000, bukan harga
yang terlalu mahal dibanding buku-buku best seller di toko buku offline!).

Efisiensi produksi itu bukan hanya memperpanjang ekor si Long Tail, tapi juga akan
memperbaiki iklim bisnis di area kepala. Lalu bagaimana sebenarnya mekanisme Long Tail itu
dapat bertahan? Unsur pertama adalah produksi (yang sudah diulas di atas), kedua: distribusi,
dan yang ketiga dan terpenting adalah unsur word of mouth, yang memungkinkan orang
menemukan apa yang mereka inginkan di tengah keragaman yang luarbiasa berlimpah itu.

Mungkin kita ini tidak menyadari bahwa kita sedang berada pada titik perubahan besar dalam era
manusia. Kita sedang meninggalkan Jaman Informasi untuk memasuki Jaman Rekomendasi. Apa
itu Jaman Rekomendasi? Di jaman ini informasi begitu mudah didapat, namun yang sulit adalah
untuk membuat keputusan di tengah banjir informasi itu. Nah, rekomendasi-lah jalan pintas
menembus hutan informasi itu. Pernahkah anda membeli barang atau sekedar ‘window
shopping’ di Amazon??

Bagaimana kultur para pengguna Amazon? Sebelum membeli mereka akan mempelajari fitur
produk itu, lalu melihat berapa banyak pengguna lain yang telah memakai produk itu, apa kata
mereka tentang produk itu, puas atau tidak. Pada akhirnya, rekomendasi pemakai lainlah yang
punya pengaruh besar pada keputusan membeli. Coba kalau kita melihat barang yang belum
pernah direkomendasi orang sama sekali. Pasti kita akan berpikir, wah, kok tidak ada yang
merekomendasi ya? Jangan-jangan produknya jelek?. Nah, jelas kan apa itu Jaman
Rekomendasi?

Mengapa pada 30 tahun yang lalu, misalnya, kita tidak membutuhkan niche atau rekomendasi?
Karena kultur manusia sudah berubah. Jika dulu orang ingin ‘I want to be normal’, maka
sekarang mereka menuntut ‘I want to be special’. Jika dulu mereka dipaksa menurut selera pasar,
alias pasarlah yang mendikte, maka kini customer berbalik menjadi penguasa atas pasar.
Customer-lah yang menciptakan pasar. Kita semua dapat mengeksplorasi selera kita tepat seperti
yang kita inginkan. Jika dulu, pada jaman toko buku offline, berhubung keterbasan ruang untuk
display, maka buku-buku yang best seller-lah yang menguasai ruangan. Kita tak punya pilihan
lain. Namun sekarang, ketika biaya penyimpanan dalam bytes hampir nihil, ketersediaan itu
menjadi berlimpah. Maka kita disuguhi pilihan yang tak terbatas. Karena melimpahnya pilihan
itu, maka kita membutuhkan rekomendasi, yakni rekomendasi dari orang lain dengan kebutuhan
dan kondisi yang sangat mirip dengan kita.

Maka, tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan pesat teknologi membuat Long Tail tak dapat
dihindari. Kultur niche akan menata ulang tatanan sosial kita. Orang-orang akan membentuk
kembali kelompok berdasarkan minat yang tidak dipengaruhi lagi oleh kedekatan geografis serta
kesamaan tempat kerja. Kalau dulu penduduk sebuah kota kecil dapat dipastikan membaca berita
yang sama dari harian lokal yang sama, menonton acara televisi yang sama. Namun kini, anda
dan anak anda bisa saja berada di ruang yang sama, namun sibuk dengan hal yang benar-benar
berbeda.

Keberadaan blog adalah contoh bisnis yang menganut kultur niche. Seorang blogger bisa
mengulas sesuatu niche dengan sangat fokus, berkebalikan dengan media massa yang harus
menjangkau semua golongan, sehingga hanya berita-berita terhangat di semua niche-lah yang
akan di-cover. Itulah sebabnya blog merupakan ancaman serius bagi industri media.

Lalu bagaimana dengan anda, siapkah anda mengantisipasi ledakan Long Tail ini bagi karir
maupun bisnis anda? Hanya anda yang tahu. Yang jelas, bagi yang sedang atau sudah menekuni
internet marketing, aku pikir kita sudah berada di jalan yang tepat!
Ditulis oleh Anthony Harman at 09:53

ciptakan pilihan sebanyak mungkin, sampai tak terbatas, sehingga memunculkan kebutuhan yang
tak terbatas pula. Amazon menyediakan database buku yang amaaaaaat banyak, yang tidak akan
ditemukan di toko buku manapun. Member E-bay menyediakan barang seaneh apapun yang tak
ada di pasar. Rhapsody menampung database lagu yang luar biasa banyak, yang tak mungkin
disimpan di toko musik.

Grafik penjualan di Amazon menunjukkan: buku-buku best seller laku seperti kacang goreng.
Tapi buku yang kurang laku pun terjual, meski hanya satu buku per kuartal. Dan inilah uniknya:
tak ada satu pun buku yang tak laku. Jika dibuat grafik, buku yang lalu membentuk kepala,
sedangkan yang kurang laku membentuk ekor. Karena yang kurang laku itu jumlahnya amat
banyak, tak terbatas, maka membentuk ekor yang amaaaaat panjang. Namun, jika penjualan
buku yang kurang laku ini dijumlahkan, angkanya LEBIH BESAR daripada penjualan buku best
seller!.

Hal yang sama terjadi pada penjualan musik di Rhapsody maupun lelang barang-barang khusus
di e-Bay!

Bila sampai hari ini Anda belum mendengar istilah ‘the long tail‘, sangat mungkin dalam
beberapa waktu ke depan, Anda akan sering mendengarnya. Dan sebelum Anda mendapatkan diri
terlibat dalam percakapan mengenai topik ini, ada baiknya Anda mengetahui terlebih dahulu ada
apa di balik istilah ‘the long tail‘ sehingga rekan-rekan diskusi Anda bakal terpesona dengan
luasnya pengetahuan Anda (atau dalam kasus ini, panjangnya pengetahuan Anda).

Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh seorang jurnalis majalah Wired, Chris Anderson, yang
menulis mengenai topik ini di majalah tersebut pada bulan Oktober 2004. Artikel tersebut segera
mendapat sambutan luas sehingga Anderson memutuskan menulis sebuah buku dari topik serupa.
Buku tersebut, The Long Tail: Why the Future Is Selling Less for More, saat ini menjadi salah
satu best seller di toko-toko buku US. Di Amazon.com sendiri, pada hari ini, buku tersebut
menempati urutan ke-18.

Lalu apa itu sebenarnya ‘the long tail‘? Bila Anda mengenal hukum 80/20 yang diperkenalkan
oleh ekonom Italia, Vilfredo Pareto, Anda pasti tahu bahwa 80% kontribusi umumnya datang dari
20% penyumbang. Sebagai contoh, dalam satu toko, 80% penjualan cuma datang dari sekitar
20% jenis item. Dalam B2B, 80% omset datang dari 20% klien terbesar. Karena itu, hukum
Pareto sering disebut sebagai the law of vital few. Hukum Pareto ini juga lah yang membuat para
pebisnis bersikap konservatif dalam memilih barang-barang dagangan yang hendak dipasarkan.
Keterbatasan ruangan fisik, seperti luas toko, membuat mereka selektif memilih dagangan dengan
kriteria tertentu. Dengan alasan itu, di toko seluas apa pun (seperti hypermarket), tetap
memberikan batasan jumlah item barang yang dipajang. Dan tentu saja barang-barang yang
dipajang tersebut adalah barang-barang yang sudah dikenal luas. Sementara itu, barang-barang
yang jarang peminatnya jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan tempat pajangan di toko-
toko konvensional tersebut.

Namun Internet membalikkan batasan-batasan tersebut. Tiadanya batasan fisik dan semakin
murahnya storage media membuat bisnis di Internet (seperti Amazon, eBay, iTunes, Netflix,
YouTube) mampu menyimpan informasi produk atau data digital lainnya sebanyak mungkin dan
menawarkannya kepada publik. Recommendation engine yang dimiliki situs seperti Amazon
memungkinkan konsumen menemukan barang-barang yang kurang dikenal. Uniknya, dalam
bisnis di ruang maya tersebut, meski prinsip hukum Pareto masih berlaku, Anderson menemukan
bahwa barang-barang yang termasuk di luar 20% vital few tersebut ternyata hampir selalu terjual
paling tidak sekali dalam sebulan. Di sini lah muncul istilah the long tail karena bila jumlah item
yang terjual tersebut digambar di grafik, maka grafik penjualan dari item terlaris sampai item
terkecil penjualannya akan kelihatan seperti kurva yang memiliki luas besar di awal dan diikuti
oleh ekor tipis yang panjang.

Memang kelihatannya barang-barang yang termasuk dalam the long tail tidak memberikan
kontribusi volume yang besar. Akan tetapi, Anderson menegaskan, dalam industri yang
mendewakan hak cipta intelektual, barang-barang yang termasuk dalam the long tail tersebut
umumnya bisa diproduksi hanya dengan membayar biaya lisensi yang kecil. Sebagai contoh:
untuk lagu-lagu dari penyanyi indie, lisensi yang dibayarkan ke mereka tidak berarti apa pun bila
dibanding dengan lisensi yang harus dibayar kepada Christina Aguilera, misalnya. Buku-buku
dan lagu-lagu lama kadang malah bisa diproduksi tanpa membayar biaya lisensi sama sekali.
Netflix sendiri secara cerdik memanfaatkan fenomena ini dengan memproduksi film dokumentar
sendiri dengan budget yang relatif rendah, dan kemudian menyewakan film-film tersebut secara
ekslusif untuk pelanggannya. Karena itu, meski secara volume penjualan para penghuni daerah
ekor panjang tersebut kalah besar, secara total profit, mereka bisa menyumbang dalam jumlah
yang tidak kalah besarnya.

Anderson melihat fenomena tersebut tidak sekedar berkaitan dengan ekonomi. The long tail juga
menyentuh aspek sosial dan politik. Lihat saja blogging atau podcasting, di mana suara atau
ekspresi diri satu orang saja bakal mendapatkan tempat penyaluran yang bisa ditemukan oleh
siapa pun yang mencarinya. Singkatnya, Anda bisa menemukan apa pun dalam long tail tersebut.
Seaneh apa pun selera Anda, the long tail menyediakan apa yang Anda cari. Kadang, keanehan
selera yang sangat tidak masuk akal pun bisa mendapatkan salurannya di wilayah ekor panjang
ini, seperti kejadian 2-3 tahun lalu di Jerman, di mana seorang kanibal berhasil menemukan
korban sukarela lewat di Internet. Sang kanibal memasang posting di Internet mencari korban
yang bersedia dibunuh, namun sebelumnya, (maaf) penis sang korban akan dipotong dan
dimakan terlebih dahulu dengan disaksikan oleh sang korban yang masih hidup. Anda mungkin
berpikir ini hanya terjadi di film-film seperti Silence of the Lambs. Tetapi, fakta sering lebih aneh
dari pada fiksi. Terbukti ada orang yang menanggapi posting tersebut dan menyatakan diri
bersedia menjadi korban!

The long tail juga berhasil menghapus monopoli hits oleh perusahaan-perusahaan besar dengan
menciptakan pasar yang jauh lebih demokratis, baik untuk produk atau untuk individu. Individu-
individu yang kreatif sekarang memiliki kesempatan yang sama untuk menghasilkan hit, best
seller, atau box office; selain karena luasnya saluran distribusi untuk mamasarkan produk/karya
mereka, juga karena bantuan viral marketing di Internet yang sering menular dengan kecepatan
luar biasa. Beberapa contoh yang bisa dilihat adalah film Blair Witch Project atau March of the
Penguins, yang diproduksi dengan biaya yang rendah dan berhasil menghasilkan penjualan
ratusan juta USD.

Bagi Anda yang tertarik untuk tahu lebih jauh mengenai fenomena ini, silakan cari bukunya
(sayang belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia). Tapi bila Anda ingin menghemat uang, Anda
bisa membaca blog the long tail dan artikel perdana Anderson secara gratis.

Sebagai catatan akhir, istilah ‘the long tail‘ ini pada awalnya berada pada zona long tail itu
sendiri. Namun dengan larisnya penjualan buku di Amazon dan toko-toko buku lainnya,
kelihatannya istilah ini sekarang sudah menjadi hit. Dengan kata lain, meme ‘the long tail‘ sendiri
berhasil menyebar dengan cepat dan menjadi hit karena dibantu oleh fenomena the long tail itu
sendiri.

Siapkah Anda memanfaatkan the long tail tersebut?

Anda mungkin juga menyukai